Review NAS D-Link DNS-320

Sebenarnya sudah lama punya benda ini, dan pengen nulis mengenai benda ini, tapi selalu lupa. Kemarin ada yang comment minta review ini, jadi inget lagi untuk mereview DNS-320 ini. Sebelumnya saya sudah punya beberapa Network Attached Storage (NAS) untuk porting FreeBSD, sebagian besar saya dapatkan gratis.

NAS ini cukup powerful, CPU ARM 800 Mhz dan RAM 128Mb. NAS saya sebelumnya cuma memiliki RAM 32 MB dan hanya 200 Mhz, dan hanya punya port 100mbps. NAS ini bisa menampung 2 harddisk 3.5″ (harddisk desktop), bisa dalam mode RAID, atau dianggap jadi 2 harddisk terpisah. Port Ethernetnya sudah gigabit, jadi menyalin file dari dan ke NAS bisa dilakukan sangat cepat. Harga benda ini sekitar 3000 baht (99 USD) waktu saya beli sekitar 6 bulan yang lalu.

Lanjutkan membaca “Review NAS D-Link DNS-320”

Lagi-lagi pindah hosting

Belum ada 2 bulan sejak saya hosting di csoft.net sekarang sudah kembali lagi ke prgmr. Di bulan pertama, layanan csoft.net bagus sekali, tapi kemudian mulai banyak masalah, pertama salah satu situs diblok karena terlalu banyak request, lalu saya dipindah ke server lain, dan sudah dua kali disk spacenya habis. Niatnya pindah ke csoft.net adalah supaya saya tidak memikirkan masalah backup dan menjaga server tetap hidup dan selalu menggunakan software terbaru (jika ada masalah bug keamanan).

Ternyata hosting 25 USD/bulan (26.3 USD dengan pajak) ini sangat tidak memuaskan. Hal yang mengecewakan adalah: saya berjualan software TinyController memakai hosting itu, jadi ketika situsnya down, artinya ada pembeli potensial yang batal mencoba atau membeli software saya. Saya juga sering tidak sabar menunggu admin membereskan masalah.

Setelah mempertimbangkan banyak hal: ternyata saya lebih suka VPS, meski harus repot, saya bisa mengambil tindakan apapun dengan cepat, dan tidak perlu kesal menunggu beberapa jam sampai sebuah masalah diselesaikan. Saya mengambil 2 paket VPS, yang satu memakai RAM 1 GB (192 USD/tahun), yang satu 512 Mb (115.2 USD/tahun), atau sekitar 25.7 USD/bulan. Bagusnya saya mendapatkan 2 IP (tapi saya meminta 1 extra IP dengan biaya 5 USD, jadi saya punya 3 IP).

Lanjutkan membaca “Lagi-lagi pindah hosting”

iPod Nano Pengganti

Sekitar 6.5 tahun yang lalu, adik-adik saya (Aris dan Yosi) memberi hadiah sebuah iPod Nano generasi pertama. Ceritanya sudah pernah saya posting di blog ini. Tidak berapa lama kemudian layarnya pecah tiba-tiba, tapi itu dianggap cacat produksi, sehingga mendapat ganti yang baru.

iPod nano hadiah dari adik tersebut sudah menemani saya cukup lama. iPod nano tersebut bisa jadi USB disk, lalu saya install RockBox sehingga fungsionalitasnya bertambah (bisa untuk main game, dsb), pernah juga untuk mendengarkan CD belajar Bahasa Thai. Terakhir masih dipakai untuk memperdengarkan musik pada Jonathan (dihubungkan ke speaker).

Bulan November 2011, Apple mengumumkan bahwa sebagian iPod Nano generasi pertama ternyata cacat produksi, dan berisiko meledak baterenya. Produk ini sudah sangat lama, tapi ternyata apple mau mengganti produk ini. Setelah dicek, ternyata serial number saya termasuk yang cacat produksi. Sempat beredar berita bahwa penggantinya adalah iPod generasi pertama juga, tapi refurbished. Saya pikir: wah bagus juga kalau dapat pengganti, walaupun hanya refurbished. Ternyata rumor itu tidak 100% benar, sebagian mendapatkan pengganti berupa iPod Nano generasi pertama, tapi sisanya mendapat pengganti berupa iPod Nano generasi keenam, alias iPod Nano terbaru.

Di Thailand sini, proses penggantiannya masih kurang jelas, jadi iPod nano saya kirim kembali ke Indonesia (titip ke mamanya Risna) untuk ditukarkan oleh adik saya. Hari ini iPodnya sudah diambil, dan memang benar penggantinya adalah iPod Nano generasi ke-6 yang kapasitasnya 8 GB (tadinya iPod generasi pertama saya hanya 2GB). Ternyata hadiah dari adik-adik saya ini sangat awet sampai sekarang 🙂

Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga

Sebagian orang mempertanyakan, kenapa Risna tidak bekerja? padahal kan pendidikannya tinggi (S1 dan S2 keduanya Informatika ITB). Banyak yang menyayangkan kenapa tidak dipakai ilmunya dan menjadi Ibu rumah tangga saja. Kalau menurut kami sih, keputusan kami sudah tepat.

Menurut saya, kalau seorang Ibu memiliki pekerjaan yang amat sangat bagus, berhubungan dengan menyelamatkan hidup banyak orang (misalnya jadi ahli bedah), atau sangat penting bagi sebuah perusahaan (misalnya jadi CEO). Sehingga bisa menghasilkan uang yang sangat banyak sehingga bisa menyewa orang-orang terbaik untuk membantu mengasuh anak, maka tidak apa-apa Ibu itu bekerja. Tapi jika selisih gaji seorang Ibu setelah dipotong dengan ongkos, dipotong gaji pembantu, dsb hanya bersisa sedikit, Menurut saya sebaiknya seorang Ibu mendidik anaknya saja di rumah. Akan saya jelaskan lebih lanjut kenapa saya berpandangan seperti ini.

Kalo menurut kami: di dunia ini, apa sih harta kekayaan yang lebih dari anak? Jika kita sudah susah belajar sampai berpendidikan tinggi, apakah akan rela jika anak kita diasuh dan dibesarkan oleh orang yang pendidikkannya sangat rendah? (misalnya banyak pembantu di Jakarta yang dibayar 500 rb/bulan yang hanya lulusan SD). Rasanya percuma membaca semua jenis buku mengenai membesarkan anak jika tidak bisa kita praktikkan langsung dan pembantu yang lebih banyak praktik. Misalnya saya mendapat forward tentang jangan menggunakan kata-kata “bayi” seperti “nenen” tapi gunakan kata dewasa (“minum”). Jika 80% waktu anak bangun adalah bersama pembantu, apakah pembantu bisa mengerti hal-hal seperti itu?

Jika pembantunya cukup pintar untuk bisa mengerti, apakah pembantunya tidak akan pindah jika orang sebelah menawarkan gaji 50 ribu lebih banyak? Intinya apakah pekerjaan yang dilakukan pembantu itu bisa segenap hati seperti Ibu pada anaknya?
Lanjutkan membaca “Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga”

Time is Money

Gak berasa udah masuk bulan ke 2 tahun 2012, niat rajin posting blog cuma bertahan beberapa hari *sigh*. Jadi inget film in-time yang ditonton beberapa waktu lalu.

Ide cerita ini bener-bener menggambarkan waktu adalah uang. Setiap orang secara genetik diset mempunyai count down timer sejak mereka berumur 25 tahun. Mereka ga akan bertambah tua lagi secara fisik dan semua orang tetap keliatan awet muda selama bisa menjaga timernya ga jadi nol. Begitu timernya nol maka orang itu akan mati seperti terkena serangan jantung. Orang bekerja dibayar dengan waktu. Jadi sejak umur 25 tahun orang harus mulai bekerja untuk dapat menambah umur plus bisa membeli segala kebutuhan. Harga-harga semua dibayar dengan waktu. Misal: beli kopi 2 menit hidup berkurang, bayar bus 2 jam waktu hidup berkurang, bekerja beberapa jam sehari dibayar dengan penambahan waktu hidup sekian jam. Kebayang ga kalau misal tiket pesawat dibayar dengan pemotongan hidupmu 1 bulan kira-kira bakal mau ga terbang kemana-mana?

Seperti halnya dengan uang, di film itu waktu adalah currency (nilai tukar). Jadi orang kaya bisa bersantai-santai karena bisa hidup “selamanya” kecuali ditembak mati atau ditabrak mobil. Tapi orang miskin atau pas-pasan harus berpacu dengan waktu kalau masih ingin hidup. Kebanyakan orang bekerja hari demi hari demi menyambung hidup. Kalau tidak bekerja yaaa ga bisa hidup (kecuali dapat transferan dari orang yg bekerja setiap harinya).

Setelah menonton film itu harusnya saya lebih menghargai waktu. Saya menghabiskan beberapa menit mengetikkan posting ini di hp (sambil nungguin anak bobo) demi mengingat niat posting lebih rajin dan pesan moral dari film in-time. Dan harapan saya, tulisan ini bisa menggugah para pembaca untuk juga lebih menghargai waktu dan ga terlalu lama online di internet hehehe.