Bongkar pasang

Posting ini sekedar sebagai pengingat saja, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hardware yang saya lakukan akhir-akhir ini.

Mulai dari yang sederhana, mengganti batere Chronos ez430 yang voltasenya sudah dibawah 3 Volt (setelah di bawah 3 volt, jamnya tidak stabil, terkadang akan reset).

Sudah lama membeli modul bluetooth serial port ini, tapi belum pernah ditest. Beberapa hari yang lalu punya niat dan waktu untuk mengetesnya:

Testingnya menggunakan Bus Pirate



Menambahkan serial port ke DNS-320

Lanjutkan membaca “Bongkar pasang”

Konyolnya para fanboy

Kalo menurut wikipedia, fanboy/girl:

Fanboy is a term used to describe a male who is highly devoted and biased in opinion towards a single subject or hobby within a given field. Fanboy-ism is often prevalent in a field of products, brands or universe of characters where very few competitors (or enemies in fiction, such as comics) exist.

Saat ini saya batasi saja pada fanboy di bidang IT, atau singkatnya orang yang cinta mati merk atau perusahaan tertentu. Apa yang dilakukan perusahaan tersebut dibela mati-matian, meskipun jelas-jelas salah. Mungkin saat ini yang paling banyak ditemui: Fanboy Apple, fanboy iOS, fanboy Android. Yang lain juga ada, tapi (saat ini) nggak sebanyak itu.

Beberapa yang “lucu” (konyol) yang saya temui akhir-akhir ini misalnya, saya membaca komplain seseorang tentang Apple: iOS sekarang sering error dalam hal penggunaan space oleh “other”. Beberapa orang “marah” dan “membego-begoin” penulis blog itu: kan tinggal restore aja. Di sini terlihat bahwa fanboy ini mereka tidak mengakui bahwa itu masalah serius, mereka juga tidak menyadari jika kapasitas devicenya besar, bisa butuh waktu beberapa jam untuk me-restore datanya. Sebagian lagi menyarankan: datang aja ke Genius Bar di apple store. Orang itupun ke sana, dan hasilnya: tetap sama saja. Dan akhirnya dia harus memecahkan persoalannya sendiri dengan software pihak ketiga. Dan anehnya lagi, tidak ada orang yang berkomentar di situ (atau di diskusi hackernews) yang menyarankan penggunaan software phonedisk/iexplorer untuk memperbaiki masalahnya.

Atau kelucuan lain adalah pembela Apple, yang mati-matian membela keputusan Apple menggunakan peta baru di iOS. Sampai-sampai bilang: Google Maps juga ada salahnya. Lucunya, sampai mengambil contoh yang mengada-ada bahwa Google menyarankan Anda untuk berjalan di atas air. Padahal Google menyarankan beberapa route untuk berjalan, dan yang paling cepat adalah berjalan plus mengambil jalur ferry (tapi opsi: berjalan saja juga, kalau mau 33 jam). Kelemahan yang relatif kecil ini tidak bisa dibandingkan dengan Apple yang mencantumkan tanda “Rumah Sakit” di toko dealer Ford dan di Dollar Store. Andaikan Anda dalam keadaan setengah darurat (misal kecelakaan kecil memakai alat berat, yang tidak perlu sampai memanggil ambulans), Anda menanyakan peta rumah sakit terdekat di peta Apple, lalu ketemunya dealer mobil, apakah Anda tidak kesal? Untuk darurat yang lebih penting, dan Anda sedang di dalam kota, sebaiknya Anda menelpon nomor darurat dan menunggu ambulance.

Pasti peta Apple akan membaik, tapi pertanyaan pentingnya adalah: apakah Anda mau dijadikan kelinci percobaan dan membela mati-matian? Lebih baik ikut mengkritik supaya Apple mendengar keluhan penggunaanya dan cepat memperbaikinya.

Dua contoh tersebut kebetulan saja Apple, sebenarnya banyak juga “kelucuan-kelucuan” lain dari fans Android, tapi karena kebetulan saja sekarang ini Apple baru merilis iOS6 dan iPhone 5, maka dua contoh itu yang baru saya temui. Beberapa kekonyolan kedua belah pihak adalah merasa satu fitur tidak ada di device yang lain, atau merasa yang satu meniru yang lain, karena mereka tidak mengenal device yang lain. Misalnya dulu ada yang memuji “wah cerdas nih apple, kalau mengetik password, karakternya muncul sebentar, terus berubah jadi bulet hitam, jadi bisa kelihatan masukin passwordnya bener apa nggak, nggak seperti device lain yang cuma munculin bintang-bintang”, mereka tidak tahu bahwa fitur itu sudah ada di Nokia sejak beberapa tahun sebelumnya.

Saya sendiri dulu hampir “ngefans banget produk Apple”. Sejak tahun 2005 saya sudah memakai iBook, dan setelah itu beralih ke MacBook. iPod juga punya. Bahkan seluruh workstation di kantor saya sekarang memakai produk Apple karena saya yang menyarankan. Pertama kali memakai produk Apple, komentar saya adalah: produknya indah, layanannya juga bagus sekali (beberapa kali ada masalah, langsung diganti), sistem operasinya berbasis UNIX, tapi tidak perlu diutak-atik seperti memakai Linux. Oh iya bahkan tahun 1994-an, sebelum orang mulai ngefans Apple, saya juga memakai Apple ][/e yang sudah kuno sekali.

Tapi lama-lama saya juga menemukan banyak kelemahan memakai berbagai produk Apple. Ribuan foto yang sempat saya masukkan ke iPhoto, ternyata membuat iPhoto menjadi lambat dan bahkan terkadang error. Membuat slide yang sederhana dan indah mudah dilakukan dengan keynote, tapi jika harus dishare ke orang lain, export ke ppt tidak selalu lancar. Banyak package command line tidak berjalan dengan baik, terutama setiap kali ada update OS (banyak package MacPorts yang tidak jalan, harus menunggu patch). Aplikasi Numbers bagus untuk membuat sheet sederhana, tapi banyak fitur (misalnya pivot) sampai sekarang masih belum ada. Kompilasi program juga lebih lambat di bandingkan Linux. Secara teknis, filesystem Mac secara umum ketinggalan jaman dibanding filesystem yang dimiliki Linux, hasilnya: manipulasi file dalam jumlah banyak akan terasa lambat. Dan masih banyak lagi keluhan besar dan kecil lainnya.

Hardware yang tidak bisa “dioprek” juga membuat saya semakin malas menggunakan produk Apple. Saya sudah pernah mengganti sendiri harddisk Macbook Pro, harddisk iMac (seri tahun 2007) juga sudah pernah saya ganti. Dua-duanya tidak mudah, untuk MacBook pro perlu membuka 27 baut. Mengganti batere iPod Nano juga pernah saya lakukan .Tapi produk-produk Apple terbaru semuanya tidak bisa diganti/diperbaiki sendiri.

Pernah juga saya memakai hp Android. Cukup suka dan sangat customizable, tapi itu kadang yang membuat saya menghabiskan waktu terlalu banyak mengoprek HP. Sebagai orang yang lebih sering di kantor dan di rumah, saya sadari bahwa saya tidak terlalu butuh membawa smartphone yang terlalu pintar. Sekarang saya hanya memakai BlackBerry, itupun jarang saya sentuh (chat BBM menggunakan tinycontroller di desktop), jadi sekarang saya tidak memakai Android ataupun iPhone.

Meski dengan keluhan mengenai Apple, sampai sekarang, saya masih tetap memakai iMac di kantor. Saya tetap membelikan iPad 3 untuk anak saya, dan mungkin akan segera membeli iPod Touch terbaru. Tapi saya masih menghindari membeli macbook baru, dan iphone. Tapi saya juga tetap memakai Windows dan Linux di rumah, memakai tablet Blackberry PlayBook, dan tetap memakai tablet Android. Menurut saya nggak ada gunanya ngefans buta produk tertentu. Produk akan berlalu dengan cepat, bahkan perusahaan yang besar juga bisa berlalu dalam waktu belasan atau puluhan tahun. Apa yang cocok untuk saat ini, ya pakailah produk itu (misalnya: saat ini lebih banyak aplikasi edukasi di iPad dibanding Android).

Bagi anak saya: iPad atau Android sama saja, yang penting ada permainannya

Ngoprek Software dan Hardware

Catatan: istilah “ngoprek” di sini saya pakai sebagai padanan hacking dalam definisi positif (a hacker is a computer hobbyist who pushes the limits of software or hardware, someone messing about with something in a positive sense, that is, using playful cleverness to achieve a goal).

Sebagian orang heran, kenapa sih sebagian orang suka menghabiskan waktu mengoprek hardware dan software. Kenapa nggak pake produk yang “sudah pasti jalan”. Misalnya sebagian menyarankan menggunakan produk Apple sehingga semua bisa langsung jalan (misalnya iPhone dan komputer Mac MacBook/iMac/Mac Mini). Menurut saya ada beberapa alasan mengapa ngoprek itu perlu:

  1. Saya bisa lebih mengerti benda yang saya pakai, dan bisa memaksimalkan penggunaan benda tersebut
  2. Tidak ada satu kombinasi software/hardware yang benar-benar bisa memenuhi keinginan saya
  3. Software-software dan hardware yang ada sekarang ini, hampir semuanya “busuk” (mengesalkan, banyak bugnya, fiturnya kurang lengkap).

Mengenai point terakhir tersebut, tadinya saya mau nulis panjang lebar. Tapi orang ini sudah menuliskan keluhannya: Everything is Broken and Nobodys Upset. Saya masih bisa menambahkan banyak daftar lagi di keluhan tersebut, tapi intinya: semua kombinasi software dan hardware sekarang ini mengesalkan.

Saya sudah mencoba berbagai sistem operasi (Windows, Linux, Mac), bukan sekedar sebagi pengguna, tapi sebagai developer. Saya memakai Windows sejak 3.11, memakai Mac OS X sejak Tiger (memakai prosessor Power PC), memakai Linux sejak 1998. Saya sudah mengembangkan lusinan software dalam semua platform tersebut. Demikian juga dalam hal mobile, memakai Palm OS, smartphone Symbian, ngoprek Android, ngoprek iOS.

Untuk berbagai masalah yang ada di software dan hardware, saran orang-orang adalah: coba restart atau coba reinstall (backup, wipe clean, reinstall, restore). Untuk aplikasi web: coba logout lalu login lagi, atau: coba ganti browser. Yang lebih mengesalkan lagi: coba tunggu versi berikutnya.

Sebagian orang “menyelesaikan” masalahnya dengan membeli software dan hardware dari satu vendor saja dengan harapan semua bisa berjalan dengan baik. Misalnya saat ini yang paling terkenal adalah Apple, karena mereka memiliki: hardware desktop sendiri (Macbook, iMac, dsb, bahkan sampai keyboard dan mouse), sistem operasi sendiri (OSX dan iOS), toko digital sendiri (iTunes), tablet sendiri (iPad), ponsel sendiri (iPhone), layanan cloud sendiri (iCloud).

Tapi menggantungkan diri pada pihak lain (apalagi satu pihak saja) untuk kenyamanan juga berisiko tinggi. Misalnya orang ini accountnya dihack, dan semua datanya di semua device apple milikinya diwipe. Tentunya orang tersebut salah, seharusnya dia membuat backup datanya, tapi itu berarti harus membeli harddisk eksternal, harus tahu cara mengkonfigurasi time machine, dsb. Ini masih level “ngoprek” yang sederhana, tapi sudah terlihat bahwa itu tetap diperlukan.

Bahkan dengan semua software dan hardware dari satu perusahaan pun, kita tidak bisa berhenti berinteraksi dengan orang lain: attachment tertentu tidak bisa dibuka di OSX (karena softwarenya tidak ada), presentasi yang sangat bagus yang sudah dibuat dengan keynote di OSX tidak terlihat indah ketika diexport ke format PDF atau Power Point (dan ketika diexport ke format HTML5 dengan isi movie di sebagian slidenya, filmnya tidak bisa dibuka oleh firefox karena tidak mendukung format mp4).

Solusi saya untuk berbagai masalah komputer adalah dengan mengenal software dan hardware dan menghack-nya sesuai kebutuhan saya. Jika memungkinkan, setiap hardware yang saya miliki akan saya jailbreak, bahkan kalau perlu (dan masuk akal) akan saya install serial port. Saya memilih software yang bisa dikonfigurasi sefleksibel mungkin, walaupun software itu mungkin terlihat “kuno” (misalnya saya memakai editor teks Emacs yang sudah ada lebih dari 30 tahun). Saya suka memakai berbagai skrip buatan sendiri, karena saya tahu dengan tepat apa yang terjadi:

  1. Saya bisa membetulkan errornya jika ada perubahan di OS, di layanan web, atau apapun
  2. Saya tahu dengan tepat bahwa software tersebut tidak membocorkan data
  3. Saya bisa memindahkan skripnya dari satu OS ke OS lain

Membuat skrip sendiri atau mengkonfigurasi berbagai opsi memang butuh waktu, tapi saya anggap itu sebagai investasi di awal. Daripada memakai program atau layanan otomatis yang akhirnya error di kemudian hari dan harus menunggu orang lain membetulkannya.

Lagipula dibandingkan dengan kebanyakan hobi lain (nonton bola atau sinetron misalnya), ngoprek hardware dan software ini rasanya lebih berguna. Sekaligus mengasah ilmu.

Sebagai tambahan: saat ini banyak gerakan DIY (Do It Yourself) dan ngoprek secara umum (hacking). Beberapa website yang sering saya baca:

Dan beberapa orang yang kesukannya adalah Hacking/DIY. Semoga suatu saat saya bisa menurunkan kesenangan ngoprek ini pada Jonathan.

TV dan Tablet untuk anak-anak

Sudah ada cukup banyak riset yang menyatakan bahwa terlalu banyak TV tidak baik untuk anak-anak, apalagi bayi di bawah usia dua tahun. Misalnya
artikel ini menuliskan berbagai macam kejelekan televisi:

Those studies have found that children don’t really understand what’s happening on a screen until they’re about 2 years old. Once they do, media can be good for them, but until then television is essentially a mesmerizing, glowing box.

Ada juga studi lain yang menunjukkan bahwa: bukan menonton TV yang membuat anak-anak menjadi “bodoh”. Tapi faktor edukasi dan finansial orang tua yang lebih berpengaruh.

In her initial analysis, Schmidt found that babies who spent more time in front of the TV performed worse on language and motor-skill tests at age 3 than those who watched less. But once Schmidt and her team controlled for other factors ” the mother’s educational status and household income” the relationship between TV-viewing and cognitive development disappeared. That means that TV-viewing alone did not appear to influence babies’ brain development; a parent’s education and finances mattered more. “Initially it looked like TV-viewing was associated with cognitive development,” says Schmidt, “but in fact TV-viewing is an outgrowth of other characteristics of the home environment that lead to lower test scores.”

Sayangnya riset tersebut kurang memperhatikan faktor ini: apakah karena pendidikan orang tua lebih baik, maka mereka jadi lebih menghabiskan waktu bersama anaknya? misalnya menjelaskan apa yang terjadi di televisi (dibandingkan orang tua yang pendidikannya kurang). Masalah ekonomi juga kurang dijelaskan. Apakah karena masalah ekonomi, maka orang tua harus bekerja ekstra dan membiarkan anak di depan televisi supaya diam, ataukah ada faktor lain.

Sebagai orang tua, kami memiliki pendapat seperti ini: tidak apa-apa anak menonton video di layar televisi, asalkan ditemani dan tontonannya dipilih. Jonathan sampai saat ini tidak suka melihat film tv (dia tidak peduli jika saya atau Risna menonton film di TV). Jonathan suka banyak video musik. Dulu sempat menonton barney, tapi sekarang tidak suka lagi. Sampai sekarang Jonathan masih tidak suka film animasi.

Jika kami tinggal di Indonesia, tentunya kami tidak akan memberikan tontonan sinetron atau acara-acara lain yang tidak baik. Sudah ada riset juga yang menyatakan bahwa apa yang ditonton berpengaruh terhadap perkembangan anak. Acara yang buruk akan berpengaruh buruk (misalnya acara kekerasan), sedangkan acara yang baik (program edukasi) berpengaruh baik. Dari pengalaman saya pribadi: saya dulu belajar bahasa Inggris dari Sesame Street, dan jadi suka matematika karena acara Mathnet. Lebih banyak materi mengenai sejarah dunia yang bisa saya ingat dari menonton serial TV Voyager!.

Sekarang ini, tablet sudah umum dipakai anak di rumah yang memiliki tablet. Menurut artikel ini:

According to some research out today from Nielsen in the U.S., in households that own a tablet, seven out of 10 children under the age of 12 use them.

Dibandingkan televisi: tablet bukan benda pasif, butuh interaksi (menyentuk objek), aplikasinya bisa dipilih, dan tablet juga lebih mudah disembunyikan. Risna sudah menemukan banyak sekali permainan edukasi untuk Jonathan. Kadang Jonathan belajar sesuatu lebih dulu di tablet di banding di dunia nyata. Misalnya dia sering kesulitan dengan puzzle, tapi setelah mahir bermain puzzle di iPad, dia tiba-tiba mau mencoba lagi puzzle fisik dan bisa.

Sampai sekarang ini Jonathan memakai tabletnya untuk:

  1. Menonton video musik, dan video rekaman dirinya sendiri
  2. Main game educational (sebagian daftarnya bisa dilihat di: situs Jonathan)
  3. Video call (dengan papa di tempat kerja atau anggota keluarga lain di Indonesia)
  4. Main game non educational (Angry birds dan Cut The Rope)

Sejauh ini Jonathan selalu menskip semua aplikasi yang tidak dia suka. Jika misalnya tidak sengaja salah sentuh (dan membuka website pembuat aplikasinya), Jonathan akan menutup browsernya dan kembali ke game/aplikasi tersebut.

Apakah tablet itu sangat membantu untuk pendidikan anak sehingga orang perlu membeli tablet? Menurut saya sih tidak sepenting itu. Saya sendiri tidak dibesarkan dengan televisi apalagi tablet, punya televisi setelah usia 8 tahun. Tapi jika punya tablet: bisa dicoba mencari berbagai aplikasi yang berguna untuk pendidikan anak. Saya rasa tablet lebih baik dibanding televisi. Dan jika Anda tetap memilih televisi: pilihkan acara yang baik. DVD film anak akan lebih baik dibandingkan dengan sinetron.

Khusus untuk acara televisi: kadang acara televisinya bagus, tapi iklan-iklannya kurang bagus. Apalagi nanti kalau sang anak sudah mengerti apa yang diiklankan, jadi ingin punya benda yang diiklankan. Jadi untuk amannya sebaiknya menonton selalu ditemani.