Tentang Sebuah Nama

Saya orang Batak. Lahir dari keluarga marga Saragih, tapi marga itu tidak tercantum di akte kelahiran saya. Kata mama saya, waktu saya lahir di tempat pembuatan akte (DKI Jakarta) ada peraturan tidak boleh memasukkan marga sebagai nama keluarga (entah peraturan apa, atau ada peristiwa apa waktu itu yang menyebabkan tidak dibolehkan). Ternyata sampai sekarang masalah pencantuman nama marga ini masih jadi masalah untuk WNI keturunan.

Jadilah akte lahir saya cuma punya 1 nama. Saya anak ke-3, kakak pertama saya punya 3 nama (nama depan, tengah + marga), kakak ke-2 punya 4 nama (nama depan, tengah, akhir + marga), dan sepertinya waktu saya lahir orangtua saya sudah kehabisan nama hehehe, jadilah akhirnya dikasih 1 nama doang (yang sebenernya bisa juga dipisah jadi 2 nama kalau mau, tapi orangtua saya memberi nama saya sebagai 1 nama). Sebenernya nama yang pendek menguntungkan saya waktu ujian masuk PTN, ga banyak bulatan yang harus saya lingkari hehehe.

Kakak saya dan adik saya punya nama mereka plus marga di aktenya, karena akte kakak saya hilang lalu waktu mama saya urus lagi sudah boleh memasukkan marga ke akte, sedangkan waktu adik saya lahir peraturannya sudah berubah dan boleh mencantumkan marga batak. Kertas akte saya juga cuma selembar kertas tipis yang jaman itu belum kenal yang namanya laminasi. Kadang-kadang saya cemas setiap kali harus membawa kertas aktenya, takut robek dan jadi urusan yang panjang.

Sebelum saya merantau ke Thailand, saya tidak pernah merasakan perlunya mencantumkan nama keluarga di akte saya, toh walaupun itu tidak ada di akte, marga saya tetap melekat dengan saya. Ternyata sekarang ini baru merasakan masalah tidak punya nama belakang.

Masalah pertama muncul waktu mengisi form untuk membeli tiket online, untungnya mereka akhirnya memberi contoh masukkan saja nama yang ada diulang sebagai nama depan dan nama belakang. Masalah berikut muncul ketika mengisi form untuk membuka rekening bank. Di sini, program mereka tidak menghandle seperti di program beli tiket online AirAsia. Akhirnya mereka mengarang sendiri misalnya last name saya jadi : No Surname, ataupun NA dan karena sistemnya tidak konsisten antara satu pihak dan lain, ini bisa membingungkan.

Di Thailand, beberapa form tidak menerima nama latin, jadi kita mau ga mau harus punya nama dalam aksara Thai. Nama kami dalam akte lahir anak-anak dituliskan dalam bahasa Thai walaupun kadang bunyinya ga bisa persis sama karena beberapa huruf di akhir kata akan berubah bunyi dalam aksara Thai. Contohnya, nama saya ris-na akan dibaca jadi rit-na, atau ri-sa-na. Hal ini jadi bahan pertimbangan kami waktu bikin nama anak-anak untuk mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Thailand. Untuk anak yang lahir di Thailand, otomatis nama mereka ada dituliskan dalam bahasa Thai di akte kelahirannya.

Waktu saya hamil, saya mendaftarkan nama saya sebagai pasien menggunakan nama akhir Joe sebagai nama keluarga. Masalahnya kadang-kadang saya lupa kalau saya pakai nama Nugroho bukan Saragih, jadi setiap kali ke dokter kandungan perlu waktu lama buat cari kartu pasien saya karena saya salah kasih nama pas daftar hehehe. Bertahun-tahun saya pakai nama belakang Saragih, tentunya ga gampang mengubah reflek mengingat nama belakang saya pakai Nugroho. Untuk membiasakan diri, saya pakai nama akhir Nugroho di profil Facebook saya.

Waktu kami punya anak, kami putuskan untuk memakai nama belakang Joe juga di belakang nama anak-anak. Berbeda dengan marga untuk orang batak, nama belakang yang kami berikan bukan marga untuk orang Jawa. Kami pakai saja nama belakang Joe. Berdasarkan pengalaman saya, kalau tidak ada nama belakang ke depannya akan jadi repot untuk mengisi formulir, dan juga karena kami tinggal di Thailand, nama belakang yang sama dengan Joe supaya orang tahu kalau mereka anak pak Nugroho :). Toh di sini ga banyak orang dengan nama belakang Nugroho, ga seperti di Indonesia hehehe. Untungnya juga menuliskan Nugroho dalam bahasa Thai relatif bisa dibaca dengan tepat, dan ga bernasib seperti nama saya yang berubah bunyi.

Untuk orang batak, marga berguna untuk mengetahui silsilah. Sebagian orang batak bahkan menomori marganya jadi bisa tahu keturunan ke berapa. Kebetulan, saya Batak Simalungun tidak tahu nomor marga dan sepertinya setiap pertemuan keluarga tidak pernah ditanya nomor berapa. Waktu saya pertama kali merantau ke Bandung, ketemu dengan orang batak lain itu serasa jadi bersaudara. Ketika bertemu orang bukan batak, mereka sering reflek bertanya kenal dengan pak ini atau bu itu Saragih yang mungkin saja terkenal karena pejabat atau sering masuk TV. Orang batak pasti tahu kalau ga semua batak saling kenal, tapi tidak demikian dengan orang yang bukan batak.

Beberapa waktu lalu, ada berita di tanah air tentang seorang boru Saragih yang ketangkap tangan KPK, ada juga seorang marga Saragih yang mencalonkan diri jadi Gubernur tapi ternyata ijasahnya palsu. Teman saya yang bukan batak tau-tau bertanya ke saya: wah Ris itu ada saragih begini begitu. Jawaban saya: saya ga kenal dan ga ada hubungannya dengan saya. Memang sebagian orang batak akan merasa malu-maluin marga aja tuh orang. Tapi saya sih ga merasa apa-apa hehehe. Bukan marganya yang bikin dia melakukan itu, memang dasar dianya aja begitu.

Di Thailand sini, banyak anak punya nama keluarga ikut ibunya. Hal ini mereka lakukan karena kalau orangtua bercerai, anak biasanya ikut ibu, dan mungkin juga karena banyak orang punya anak tanpa mendaftarkan pernikahan secara legal (mereka menikah cuma ke kuil saja). Saya ga tahu apakah di Indonesia boleh memakai nama belakang ibunya untuk mendaftarkan anak ke akte lahir. Mungkin kalau namanya bukan marga tapi nama seperti misalnya Anak Syalala atau Putri Sematawayang boleh-boleh saja kali ya, tapi saya ga tahu apakah di akte lahir boleh tidak mencantumkan nama bapaknya. Kalau ada yang tahu, silakan tulis di komen ya.

Kadang-kadang masalah nama keluarga (nama belakang) ini jadi pertanyaan Jonathan juga, kenapa oppung nama belakangnya beda dengan saya, kenapa eyang ga punya nama belakang dan kenapa saya katanya punya marga tapi ga punya nama keluarga di akte. Yang jelas sih, nama belakang itu perlu terutama buat isi form, jadi kalau bisa untuk yang belum punya anak, jangan lupa kasih nama anak jangan cuma 1 nama saja biar mereka ga repot kalau ada form isian yang wajib isi nama belakang. Dan juga pilihlah nama yang tidak terlalu sulit untuk diucapkan berbagai bangsa, jaman sekarang kita harus berpikir suatu saat anak-anak kita akan merantau keliling dunia, dan jangan sampai mereka jadi terkendala karena nama yang kita pilihkan.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

3 thoughts on “Tentang Sebuah Nama”

  1. Soal Ris-na dibaca Rit-na itu, saya jadi ingat dulu pernah naik tuk-tuk di Krabi, terus tukang tuk-tuknya bilang “finit here” sambil ngasih aba-aba turun. Saya baru paham maksudnya dia bilang “finish here”.

    Memang orang Thailand agak susah ngomong s mati ya kak?

    1. dalam bahasa Thailand, kalau huruf s di akhir sebuah suku kata emang akan berubsh bunyi jadi t, beberapa huruf lain yang berubah bunyi juga seperti ap-pel jadi ap-pen. Akhiran suku kata dalam bahasa Thailand cuma ada 8 bunyi. Bunyi s dan bunyi l termasuk yang tidak ada sebagai akhiran suku kata dalam bahasa Thai. Lengkapnya baca di wiki aja ya

  2. Yang aku baca-baca sih, perempuan yang punya anak tanpa menikah, di akta lahir, ditulis nama ibunya aja. Tapi ga tahu ya kenyataan di lapangan. Kan di akta ada kolom nama ibu dan nama ayah.
    (Hani)

Tinggalkan Balasan ke otidhBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.