Mengetik dengan Suara

Posting kali ini saya coba tulis menggunakan Google voice typing dan disunting berikutnya menggunakan keyboard biasa. Saya hanya perlu menambahkan tanda baca dan mengubah beberapa kesalahan pemakaian huruf besar. Tapi sekarang karena enggak harus ngetik kok jadi bingung mau cerita apa ya? Ternyata mengetik lebih memberi waktu untuk berpikir sebelum menuliskannya daripada berbicara.

Dulu pernah coba fitur mengetik pake bahasa Inggris dan hasilnya lumayan jelek. Saya baru tahu fitur bisa menulis dengan bahasa Indonesia tanpa mengetik dari sepupu saya, awalnya dia kasih tau bisa untuk aplikasi chatting, tapi ya basically bisa untuk segala app yang inputnya menggunakan keyboard seperti halnya aplikasi wordpress di handphone saya.

Biasanya dulu kalau lagi ada ide pengennya bisa cuman ngomong doang dan langsung terketik. Dulu terpikir untuk membawa-bawa recorder untuk merekam ide, lalu diketik sesempatnya, tapi tidak pernah terlaksana, akhirnya bisa diwujudkan langsung terketik seperti sekarang. Google voice typing ini belum terlalu sempurna tapi sudah lumayan lah.

Kalau saya tahu dari dulu, saya bisa menulis cerita jalan-jalan ke Hong Kong kemarin pakai metode voice typing ini saja. Tidak ada kata terlambat, mulai sekarang harusnya bisa update blog lebih sering. Mungkin ada yang sudah pernah pakai juga karena fitur ini sudah lama tersedia, kalau ada tips yang mau dibagikan, saya tunggu ya. Untuk yang belum pernah pakai pasti bertanya-tanya, gimana cara memakainya seperti Jonathan yang bertanya ke saya.

Pertama yang perlu diketahui adalah setting voice typingnya di handphone android:

1. Dari menu setting pilih System

2. berikutnya pilih menu languages and input untuk keyboard and inputs, pilih google voice typing di virtual keyboard

3. Set voice typing automatic


Kita bisa memilih multi bahasa, atau 1 bahasa tertentu supaya tidak bingung. Saya sudah mencoba bahasa Indonesia, Inggris dan bahkan bisa menuliskan bahasa Thai dalam aksara Thai. Akurasinya belum 100 persen, tapi sejauh ini bisa sangat meminimasi mengetik.


Kalau voice typing sudah diatur, berikutnya cara memakainya, tekan lambang microphon dan bicaralah.


Agar bisa memakai fitur ini, pastikan microphon handphone bekerja dengan baik. Saya coba menggunakan microphon di handsfree dengan berbisik-bisik hasilnya untuk bahasa Indonesia sudah cukup baik.

Plus nya fitur ini adalah, misalnya saya sedang menyetir dan sedang macet dikit, kalau saya perlu menuliskan sesuatu di to-do list, saya bisa mendiktekan saja sebelum saya lupa. Kalau sedang ada ide untuk menuliskan cerita sambil menunggu juga bisa dimanfaatkan waktunya untuk mendiktekan tulisan.

Di awal mungkin akan terasa aneh karena kita seperti ngomong sendiri, tapi ya sebenernya sama saja kalau kita sedang terima telepon juga yang kedengaran orang sekitar kita cuma apa yang kita ucapkan, bukan apa yang diucapkan lawan bicara.

Dari hasil mencoba-coba, yang cukup menarik adalah voice typing bahasa Thai. Pertama tentunya saya harus mengubah keyboard ke tulisan Thai, lalu saya mendiktekan kalimat dalam bahasa Thai. Kalau pengucapan saya cukup benar, sejauh ini ejaan bahasa Thainya juga cukup akurat. Sebagai yang belum lancar mengingat ejaan kata dalam bahasa Thai tapi cukup bisa membaca, fitur ini berguna untuk melatih kemampuan bahasa Thai saya.

Ada banyak bahasa yang sudah disupport oleh Google voice typing ini, bahkan untuk beberapa bahasa kita bisa menyunting teks kita dengan voice command. Saya belum mencoba semua fitur dari voice typing ini, tapi kalau ada yang rajin bisa baca di sini.

Jonathan juga sudah mencoba fitur google typing ini, yang langsung terpikir selain bisa untuk melatih Jonathan untuk mengeja bahasa Inggris, bisa juga nantinya untuk melatih membaca bahasa Indonesia dan bahasa Thai. Sejauh ini dia senang bisa mengetik dengan suara. Mungkin saya akan menyemangati dia untuk menulis blog memanfaatkan fitur ini, dan selanjutnya memberi tugas menambahkan tanda baca dan menyunting penggunaan huruf besar kecilnya.

Flare-On 5 (2018)

Ini sudah keempat kalinya saya mengikuti challenge tahunan Flare-On dari FireEye. Saya sudah pernah menuliskan tentang Flare-On ini di posting saya yang lain, tapi akan saya ulangi sedikit.

Flare-On adalah challenge reverse engineering, alias tantangan membongkar program. Bentuk Flare-On adalah challenge, semua yang selesai adalah pemenang. Ini ibaratnya seperti marathon, semua yang berhasil menyelesaikan disebut sebagai finisher. Ini berbeda dari CTF lain yang biasanya sifatnya adalah lomba (seperti lari Sprint) di mana yang duluan memecahkan adalah pemenangnya (contoh seperti ini adalah ketika saya menang hadiah ke Hong Kong dari reverse engineering). 

Hadiah Flare-On Tahun ini
Lanjutkan membaca “Flare-On 5 (2018)”

Hong Kong Trip: Kowloon Park, dan The Peak

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari Sabtu, 22 September 2018 merupakan hari terakhir dimana kami bisa jalan-jalan melihat HongKong. Ada banyak pilihan sebenarnya yang bisa dikunjungi, tapi kami putuskan untuk ke The Peak saja. Tapi sebelum ke The Peak, kami pengen ajak anak-anak ke playground di Kowloon Park. Lokasi Parknya juga ga jauh dari hotel.

Traveling dengan anak-anak ga bisa bikin itinerary yang banyak, kami juga sengaja ga menargetkan harus berangkat pagi-pagi. Pengennya ya jalan-jalan santai saja. Sekitar jam 10 lewat kami baru keluar dari hotel, tujuan pertama ke Kowloon Park mengikuti google map, jalan kaki sekitar 8 menit.

Seperti kebanyakan tempat di HongKong, dari luar ga keliatan kalau tempat itu adalah park yang sangat besar. Kowloon Park ini ada kolam renangnya segala, sekitarnya tertutup tembok tinggi. Masuk ke dalam, kami mencari playground. Jalan masuk ke dalam yang kami temukan, kami harus menaiki tangga, mungkin ada pintu masuk lain yang stroller friendly karena di dalam kami melihat banyak juga yang bawa anak di stroller.

Playgroundnya ada banyak slide dan cukup luas. Area playgroundnya dicover dengan lapisan soft tile. Matahari sudah agak terik dan beberapa slide terasa panas, tapi anak-anak masih bisa enjoy main di sana dan ada banyak juga yang datang bermain ke taman. Sementara anak-anak main, saya main pokemon di bangku pinggiran playground yang disediakan untuk yang nungguin anak main hehe.

Di park itu ada banyak pokestop. Hari itu sedang ada pokemon community day, dan kalau diliat sekilas hampir semua pokestop dipasang lure module, hal seperti ini ga pernah saya lihat di Chiang Mai. Sepertinya orang-orang di HongKong lebih rajin main Pokemon Go.

Setelah anak-anak puas bermain sekitar 1 jam, kami memutuskan untuk ke tujuan selanjutnya, tapi karena udah jam 12 lewat dan kami melewati Mc Donald, kami memutusan makan dulu supaya ga kelaparan nantinya. Antrian di Mc Donald agak panjang, hari itu hari Sabtu dan banyak yang baru selesai berenang memutuskan makan juga di Mc Donald. Setelah memesan makanan, saya baru menyadari ternyata makan di Mc Donald HongKong harganya cukup murah dibandingkan makan di restoran-restoran yang sebelumnya kami datangi, pantesan aja ramai ya. Menu Mc Donald di HongKong ga ada nasi, jadi Joshua ga mau makan. Joshua juga ga mau makan kentang. Jadi selesai dari Mc Donald, kami pindah ke restoran lain yang jual spaghetti carbonara. Selama di Hong Kong, Joshua agak sulit makan, menu yang dia makan cuma nasi telur atau spaghetti carbonara.

Selesai makan, kami memutuskan untuk ke stasiun Tram The Peak. Dengan bantuan google map kami menemukan stasiun MRT. Waktu sebelumnya kami berencana membeli octopus card untuk keperluan naik MRT dan bayar berbagai hal di HongKong, tapi karena hari-hari sebelumnya saya dan anak-anak cuma eksplore seputar hotel, jadi kami baru berkesempatan naik MRT di hari terakhir ini.  Kami membeli tiket single pass dari stasiun Tsim Tsa Tsui ke arah Central (cuma 2 stop).

Dari Central kami mengikuti petunjuk arah ke Tram The Peak. Petunjuk arah di HongKong cukup banyak dan cukup jelas. Kadang-kadang kalau terpaku dengan google map malah bisa nyasar. Jadi kami mengikuti petunjuk arah yang ada di jalan saja. Dari Central ke Tram The Peak menurut google map sekitar 1km lebih. Jalan sambil ngejar-ngejar Joshua ga berasa sampai juga ke Tramnya.

Awalnya kami pikir akan sampai di The Peak seblom terlalu sore dan bisa pulang awal, tapi ternyata kami salah. Hari sebelumnya saya sudah baca mengenai perlunya boooking online tiket Tram supaya tidak harus mengantri panjang, tapi karena kami ga yakin jam berapa kami bisa datang maka kami nekat aja datang tanpa beli tiket online. Dan keputusan ini agak disesali karena ngantrinya emang super lama dan melelahkan. Ada 2 antrian super panjang di sana.

Kami hampir salah mengantri. Antrian pertama itu antrian untuk Bus City Tour, di seberang jalan di bawah jembatan ada antrian untuk membeli tiket Tram The Peak. Mengantri buat membeli tiketnya saja kayaknya ada hampir 2 jam, lalu setelah beli tiketnya habis itu antri lagi untuk masuk ke Tram nya. Kalau kita beli online, ada jalur khusus untuk langsung naik ke Tramnya. Jadi saran saya, kalau memang mau ke sana bawa anak-anak ataupun sendiri, lebih baik rencanakan dengan matang dan pastikan bisa datang pada waktu yang direncanakan. Jauh lebih baik daripada ngantri berjam-jam. Tapi seandainya kami beli tiket online, kemungkinan ga bisa ke park dulu paginya.

Setelah antrian yang berjam-jam, akhirnya kami naik ke Tramnya. Dan naik tramnya cuma 7 menit! hahaha. Tramnya cukup unik sih, udah berumur 150 tahun terbuat dari kayu dan mengingatkan saya dengan lift untuk naik ke Doi Suthep. Bedanya, Tram ini naiknya lebih tinggi dibanding 300 tangga Doi Suthep. Pemandangan di sebelah kanan Tram bisa melihat kota HongKong juga. Kagum mereka bisa membangun rel dengan elevasi yang cukup miring dan bertahan lama. Waktu turunnya penumpang duduknya seperti jalan mundur.

Sampai di The Peak, kami masih harus naik escalator lagi melewati mall beberapa lantai (lupa 5 atau 6 lantai) dan akhirnya sampailah di sky terrace untuk melihat pemandangan seputar kota Hong Kong. Di Sky Terrace tidak tersedia banyak kursi, ada teropong untuk melihat kota yang menggunakan koin seperti di Monas, tapi sayangnya yang bisa melihat dengan enak hanya orang yang tinggi badannya, kalau di Monas saya ingat tersedia tangga untuk anak-anak bisa melihat menggunakan teropongnya, tapi di sana tidak ada sama sekali.

The Peak Hong Kong ini juga menyediakan kartu berbentuk hati untuk kita bisa menuliskan pesan-pesan yang digantung di sana. Kalau dari iklannya, tempat ini juga bisa dibooking kalau misalnya mau melamar kekasih hati. Di bagian bawah sky terrace ini berupa mall dan restoran. Waktu kami sampai ke sana, matahari belum terbenam, tapi sedang silau-silaunya. Karena kami ga punya kamera yang cukup bagus, agak sulit membuat foto yang bagus. Di sana disediakan juga jasa foto profesional, tapi karena antrinya banyak, kami memutuskan foto seadanya aja. Sebenarnya katanya sih orang-orang banyak yang datang buat melihat sunset di The Peak itu, dan pemandangan kota malam hari lebih indah karena banyak lampu dari gedung-gedung di kota keliatan jelas, tapi dengan pertimbangan besok kami masih harus perjalanan pulang ke Chiang Mai, kami tidak menunggu sunset supaya tidak terjebak antrian berjam-jam lagi untuk pulang.

Antrian pulang itu sebenarnya cuma antri untuk naik ke tram, tapi karena kapasitas tram terbatas dibanding banyaknya penumpang, kami antri sekitar 30 menit untuk naik ke Tram.  Samai di bawah, awalnya kami berencana untuk naik taksi saja pulang langsung ke hotel, tapi nunggu taksinya lama, ya udah deh jalan lagi ke stasiun MRT. Perjalanan pulang ga terasa lebih cepat, mungkin karena udah lebih tau arah tujuan jalannya dibanding waktu pergi. Sampai hotel rasanya kaki mau copot, apalagi Joe yang jalan sambil beberapa kali gendong Joshua.

Makan malam kami take away, makan di kamar. Packing-packing dan tidur deh. Untungnya pesawat dari HongKong ke Chiang Mai ga terlalu pagi seperti dari Chiang Mai ke Hong Kong, jadi kami bisa tidur cukup tenang dan ga ketakutan ketinggalan pesawat. Jam 7 pagi kami cekout dan langsung dapat taksi ke airport, perjalanan ke Airport sekitar 30 menit dan karena masih pagi kami ga kena macet. Sampai airport banyak tempat masih tutup. Di airport akhirnya nemu kopi yang lumayan rasanya dibandingkan sebelum-sebelumnya. Dan jam 12 siang kami sudah tiba lagi di Chiang Mai.

Hong Kong Trip: Jalan-jalan seputar Tsim Tsa Tsui

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke Hong Kong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari ke-3 di Hong Kong, Kamis 20 September 2018. Hari ke-3 ini, Joe pergi mengikuti acara BEVX, saya harus bawa anak-anak berkelana sendirian. Karena kecapean di Disneyland, dan udara Hong Kong yang banyak debu dan asap rokok, Joshua bersin-bersin sejak kami tiba di hotel Butterfly on Prat. 

Sebelum berangkat, Joe sempat berharap di hotelnya akan ada pokegym atau pokestop, dan harapannya terkabul, ada pokestop persis di hotelnya hahaha.

Sebelum memilih hotel ini, kami mempertimbangkan memilih AirBnB supaya bisa masak,  tapi ga sengaja nemu hotel ini yang lokasinya benar-benar dekat ke mana-mana (tujuan kami), dan dapat kamar yang cukup besar dengan 2 bed double dan 1 bed single (jadi bisa tidur lebih leluasa). Waktu di Disneyland Hotel, cuma dapat 2 bed double, jadi Joe dan Jonathan agak sempit-sempitan, di hotel ini mereka bisa seorang  1 bed dan saya share dengan Joshua. Hotel ini juga meminjamkan 1 HP yang bisa akses internet dan telepon lokal (walau tidak kami pakai), dan 1 mobile wi–fi dengan akses data unlimited (nah yang ini kepake banget). Harga kamarnya juga ga berbeda dengan harga AirBnB yang cukup untuk 2 dewasa dan 2 anak.

Pagi-pagi Joe duluan keluar dari hotel untuk ke acara BEVX, saya dan anak-anak masih melanjutkan istirahat. Kami sarapan seadanya saja, dan berencana makan siang agak awal. Sebelum jam 11, saya dan anak-anak keluar cari makan. Kali ini, setelah googling restoran yang family friendly kami ke Charlie Brown Cafe. Cuma butuh jalan 5 menit dari hotel, tapi karena Joshua lagi ga mau kerjasama, jalannya jadi agak lebih lama. Joshua gak suka jalan sendiri dan minta digendong, sepanjang jalan dia meringis antara ga mau jalan dan setiap ketemu gedung yang ada AC nya dia mau belok aja ke sana.

Setelah beberapa kali berhenti untuk membujuk Joshua jalan, akhirnya sampe juga di cafe nya. Untungnya menu nya cocok untuk Joshua, dan dia bisa makan banyak. Makan terbanyak sejak sampai di HongKong. Karena kami makan cukup lama dan Joshua masih kurang fit, saya putuskan pulang kembali ke hotel untuk tidur siang dan memutuskan untuk jalan sore bareng Joe aja. Dari google,  saya liat ada space museum berseberangan dengan lokasi acara Joe, jadi lebih baik jalan-jalan sore biar ga panas juga jalannya.

Karena anak-anak masih capek pasca jalan-jalan di Disneyland, setiba di hotel mereka tidur nyenyak. Menjelang jam 5 sore, saya dan anak-anak keluar lagi. Lokasi BEVX sekitar 10 menit dari hotel. Tapi karena lagi-lagi saya semi menyeret Joshua yang gak suka jalan di luar yang banyak orang dan bau rokok, saya kelewat lokasi BEVX. Biasanya selama ini saya melihat hotel selalu punya halaman yang cukup luas untuk parkir dan atau taman hotel, tapi ternyata hal ini ga berlaku di HongKong, gara-gara ini saya kelewat lokasi trainingnya Joe, karena saya pikir baru melewati pertokoan doang.

Setelah ketemu Joe, kami nyebrang langsung ke Space Museum. Di dalam Museum, Joshua langsung happy. Tiket masuk Space Museum ini cukup murah, untuk Joshua kami bahkan ga perlu membayar. Isi space museum ini cukup menarik bahkan untuk Joshua. Ada banyak yang bisa dicoba, pencet sana sini dan perhatikan apa yang terjadi.

Rencana selanjutnya cari makan sebelum pulang ke hotel, tapi saya baru menyadari kalau space museum ini bersebelahan dengan HongKong Cultural Centre, dan setiap jam 8 malam di sana bisa melihat Symphony of Lights. Ada 3 restoran di Hongkong Cultural Centre, kami pilih restoran yang menunya ga terlalu besar, tapi itupun tetap saja kami ga berhasil menghabiskan apa yang kami pesan. 

Sebelum jam 8 malam, kami sudah duduk manis untuk menunggu Symphony of Lights. Acara ini berlangsung tiap malam sekitar 15 menit, tapi saya heran kenapa tetep rame ya? Saya bertanya dalam hati, kira-kira ada gak penduduk HongKong yang akan setia datang tiap malam melihat Symphony of Lights, atau semua yang duduk di situ turis?

Selesai melihat Symphony of Lights, kami langsung jalan pulang ke hotel. Kali ini Joe menggendong Joshua karena dia sudah terlihat sangat capek sekali. Jonathan sudah mulai terlatih jalan banyak, dan karena enjoy dengan banyak yang dia alami selama di HongKong, mulai ga mengeluh soal jauh perjalanan, apalagi jalan sore/malam hari lebih enak karena ga ada panas matahari yang menyengat.

Hari ke-4, Jumat Joe masih ada 1 hari lagi kegiatan BEVX. Hari Jumat Joshua sudah lebih segar. Pagi-pagi, saya ajak anak-anak jalan ke Science Museum. Tapi begitu keluar dari hotel, Joshua seperti trauma jalan di trotoar HongKong. Setelah beberapa kali berhenti dan membujuk dia supaya jalan, kami sampai juga di Science Museum. Tiket masuk ke Science Museum juga tidak mahal. Ada pameran mengenai space juga, jadi kami seperti melihat extended dari Space Museum. Beberapa jam di sana, kami belum berhasil melihat semuanya. Sekitar jam 1 siang, saya ajak anak-anak pulang, karena biasanya kalau kelewat jam makan bisa-bisa Joshua ketiduran pas nunggu makanan.

Di jalan pulang, kami melewati komplek yang banyak restoran kecil-kecil. Saya putuskan untuk makan sebelum pulang, di restoran yang kebetulan ada meja kosongnya (jam makan siang hampir semua restoran penuh). Waktu menunggu makanan, hampir saja Joshua ketiduran, untungnya masih bisa dibangunkan dan bisa makan dengan lahap.

Sampai hotel, kami tidur siang lagi. Saya juga ketiduran hahaha. Ternyata jalan-jalan bawa 2 anak di negeri orang lebih berat daripada di Chiang Mai.  Selama di Hong Kong, rata-rata saya berjalan sekitar 10.000 langkah, sementara di Chiang Mai tinggal injek gas ke mana-mana hahhaa. Bener-bener ya dimanjakan banget sama kota Chiang Mai.

Sore harinya, kami putuskan untuk stay di Hotel saja. Kami simpan tenaga buat jalan-jalan hari Sabtu. Hari terakhir di HongKong dan kami merencanakan untuk ke puncak tertinggi di HongKong.

HongKong Trip: Disneyland Day 2

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari berikutnya Rabu 19 September 2018. Anak-anak bangun sebelum jam 7 karena tidur awal malam sebelumnya. Matahari di luar sudah cerah banget. Karena hari sebelumnya kami makan malam masih agak sore, pagi-pagi kami udah lapar. Bersyukur juga udah pesan sarapan di hotel, jadi bisa langsung turun buat sarapan. 

Awalnya saya bingung mau milih makanan apa buat Joshua, akhirnya kami menemukan susu dan sereal di restoran untuk sarapan Joshua. Highlight dari sarapan di hotel adalah berfoto dengan Chef Mickey. Tapi berhubung chefnya cuma menyediakan sesi foto 30 menit, jadi kami harus antri foto juga sebelum Chefnya pergi. Anak-anak yang yang gitu kenal tokoh Mickey ya biasa aja deh hehehe.

Makanan sarapannya ada banyak jenis. Rasanya menurut saya biasa aja, ada pancake dibentuk kepala Mickey, ada buah-buahan, yoghurt, mie, nasi dan macem-macem deh. Tapi kalau kata Joe masih lebih berkesan dengan restoran di Jogja yang pernah kami kunjungi beberapa tahun lalu karena makanannya ada makanan khas Jogja (gudeg) dan ada jamu segala. Makanan di restoran Disneyland menurut saya agak standard, bahkan ga ada omellete yang diisi macam-macam yang biasanya jadi menu yang banyak ditunggu orang sampai ngantri.

Hari ke-2 sebelum ke Disneyland, selesai sarapan kami memutuskan jalan-jalan seputar hotel. Kami ga buru- buru ke Disneyland karena toh jam bukanya jam 10.30 pagi. Kami menemukan playground yang sangat sepi karena sepertinya anak-anak yang lain lebih suka berenang. Kami ga berenang karena saya ga siapin baju berenang, dan keputusan itu tepat karena kolam renangnya terbuka dan jam 8 pagi saja panasnya sudah terasa menyengat. Setelah puas bermain di playground yang menghadap ke laut, kami jalan sedikit mengitari halaman hotel sambil nangkap pokemon dan battle pokegym dan kembali ke kamar.

Karena jam check out hotel sekitar jam 11 dan kami masih mau bermain lagi di Disneyland (kami punya tiket untuk 2 hari), kami putuskan untuk langsung membawa koper ke area Disney supaya ga perlu balik lagi ke hotel. Di hotel juga ada penitipan koper, tapi daripada harus naik turun shuttle lagi sebelum naik taksi, lebih baik kami bawa koper sekalian. Sebenarnya di dalam resort Disneyland, dekat dengan tempat penitipan koper ada stasiun MRT juga, ada sedikit niat untuk naik MRT ke arah hotel berikutnya di kota. Saya bilang sedikit niat, karena kemungkinan besar kami sudah akan sangat lelah sehabis bermain di Disney dan naik MRT sambil membawa koper besar plus anak yang kemungkinan juga minta di gendong itu pastinya akan sangat merepotkan. Tapi ya pada akhirnya kami naik taksi langsung dari tempat bermain Disneylandnya sih karena jalur MRT untuk menuju hotel berikutnya itu memerlukan ganti jalur kereta dan kemungkinan besar jalannya lumayan jauh.

Biaya penitipan koper dihitung per potong, jadi kami bayar untuk 2 koper (1 besar dan 1 kecil). Hari ke-2 di Disneyland kami sudah lebih tau apa yang akan jadi tujuan kami. Saya sudah membaca-baca deskripsi permainan yang kira-kira juga akan cocok untuk Joshua. Kami memutuskan untuk tidak menyewa stroller, karena kami pikir, nantinya Joshua bisalah tidur pas kami istirahat makan siang. 

Tujuan pertama di hari ke-2 ke Fantasy Land. Pertama naik Flying Dumbo, untungnya di hari ke-2 ini walau matahari cukup menyengat, tapi beberapa waktu ada awan yang cukup membuat udara ga terlalu panas.

Selesai naik Flying Dumbo kami bertujuan ke It’s a small world. Tempat tujuan berikut ini isinya seperti istana boneka di TMII, tapi lagunya Joshua sudah kenal karena ada dalam playlist yang sering diputar di mobil. Tapi sebelum sampai ke it’s a small world, kami naik teacup yang muter-muter dulu karena kebetulan lewat dan antriannya kosong, jadi ya sekalian aja. Lagipula tempatnya juga ada atapnya, jadi cukup teduh.

Joshua cukup senang naik gajah terbang maupun teacup yang muter-muter. Pas masuk ke it’s a small world udaranya paling adem, Joshua langsung semangat banget menuju ke boatnya. Di Disney, semua wahana menyediakan tempat antrian yang cukup panjang, kalau lagi ga ada antrian jadinya jalannya jauh hehehe. Keluar dari It’s A Small World, berasa deh panas lagi.

Selesai dari istana boneka, kami memutuskan untuk ke Toy Story Land dulu sebelum makan, kalau sudah makan kuatir malah mual kalau mainannya agak mutar-mutar.  Mampir sebentar di Tomorrow Land karena Jonathan mau naik roller coaster ala star wars.

Karena Joshua ga bisa ikut naik (ada batasan tinggi 120 cm), saya dan Joshua menunggu di luar. Daripada bengong, saya beli eskrim bentuk kepala Mickey (40 HKD). Saya pikir, anggap aja pengganti beli susu. Selesai Jona dan papanya naik roller coaster ala star wars (yang katanya Jona lebih menyeramkan karena gelap), kami naik flying saucer (ini sebenarnya sama saja dengan flying dumbo).

Sebelum sampai di Toy Story Land, kami lewati Adventure Land lagi dan sedang ada pertunjukan orang Moana. Pertunjukannya pake bahasa Cina dan Inggris, Jona dan Joshua ga gitu tertarik. Ada banyak orang dan tempat duduknya juga sudah penuh. Jadi kami berhenti sebentar doang untuk istirahat sekalian berteduh. Pas lewat lagi, ada beberapa orang foto dengan tokoh Moana versi English. Komentar Joe: sepertinya yang foto dengan Moana bapak-bapak semua, anak-anaknya ga ada malahan hahahaha. Kalau komentar saya: aduh itu rambut Moana ketauan banget rambut palsu, masih bagusan rambut aku hahahahha.

Setelah mampir sana sini, sampai juga di Toy Story Land, Joshua gembira banget liat tulisan ABC sampai Z yang super besar. Jadi agak gak enak sama orang-orang yang berusaha foto di situ, karena ya Joshua lalu lalang sambil bernyanyi-nyanyi gembira walaupun di bawah terik matahari. Setelah di distract, akhirnya sampai ke tujuan Toy Story Land, naik roller coaster yang bisa untuk semua umur dan tidak terlalu ekstrim (Slinky Dog Spin). Tapi ternyata, namanya roller coaster ya sama aja ya, tetep keliatan Joshua kurang suka naik roller coaster. Jonathan yang sudah naik yang lebih ekstrim tentunya cuma ketawa-tawa bahagia aja.

Selesai naik roller coaster, Jonathan pingin naik wahana yang ada Parachute drop. Di wahana ini sebenarnya Joshua bisa saja karena minimal 80 cm, tapi karena kami kuatir Joshua ga enjoy dan antriannya banyak, saya dan Joshua ga ikutan dan menunggu sambil Joshua puas-puasin liat ABC raksasa. Awalnya saya pikir kalau mereka jual versi mainannya, saya akan beli buat Joshua, tapi ternyata gak ada.

Setelah capek liat-liat ABC, akhirnya saya ajak Joshua jalan menunggu di area parachute drop. Saya dudukkan dia di kursi tempat latihan buat orang yang duduk di kursi roda. Eh ternyata dia ngantuk dan tertidur deh disitu. Karena Joe dan Jonathan masih lama diantrian, ya saya biarkan saja Joshua tidur disitu, sambil berharap ga ada orang yang perlu memakai itu (untungnya ga diusir juga sama petugas haha).

Sementara menunggu Joshua tidur, sebagai pemain Pokemon Go, kami mengambil alih satu Gym di area Parachute Drop.

Joshua masih kami biarkan tidur dikursi itu sekitar 25 menit, lalu kami gendong jalan sambil cari restoran.

Untungnya ga jauh berjalan dari situ kami menemukan restoran yang cukup adem dan ada menu nasi goreng segala di Explorer’s Club Restaurant di Mystic Point. Beberapa menu di restoran ini juga ada label Halalnya. Sambil menunggu saya order makanan, Joshua masih tidur sekitar 15 menit lagi.

Kami memutuskan  menutup perjalanan mengunjungi istana boneka lagi. Tapi setelah keluar dari Small World, Joshua mau naik Tea Cup lagi. Di sini HP Joe jatuh ke bawah Tea cupnya dan walaupun udah gorilla glass plus screen guard, HP Joe retak layarnya plus lensa kamera belakangnya juga retak. Masih nyala bisa dipakai, tapi layarnya ada bagian yang agak tajam dan berbahaya buat tangan, plus kamera depan belakang jadi blur.

Tadinya sudah cukup mau pulang, tapi karena wahana Winnie The Pooh lagi kosong dibanding hari sebelumnya, kami memutuskan masuk dulu ke Winnie The Pooh Storytime. 

Gak berasa, hari ke-2 kami bisa lebih banyak menikmati berbagai wahana. Tau-tau udah sore dan kami memutuskan untuk pulang supaya ga terlalu gelap sampai di hotel daerah Tsim Tsa Tsui. Kami naik taksi merah ke arah Tsim Tsa Tsui. Jonathan sangat terkesan dengan kode warna taksi di Hong Kong. Waktu dari Airport ke Disneyland, kami naik taksi berwarna biru, dari Disneyland ke Tsim Tsa Tsui kami naik taksi berwarna merah. Ada 1 jenis taksi lagi warna hijau tapi kami ga naik.

Sampai hotel Butterfly on Prat, sekitar jam 7-an, masukkin koper dan kami memutuskan makan di restoran Thailand sebelah hotel. Pelayan restorannya sebagian kurang bisa bahasa Inggris tapi bisa bahasa Thai, jadi mesennya malah pake bahasa Thai. Jauh-jauh ke Hong Kong pesen makanan Thai pake bahasa Thai hehehe.

Udah terlalu capek untuk menjelajah Hong Kong di waktu malam. Mampir di Cirlce K dan 7 Eleven akhirnya nemu susu coklat buat Joshua. Dan di sini lah saya mengalami kaget masalah sedotan, plastik bag dan merasa mini marketnya benar-benar mini dan barangnya ga sebanyak di Chiang Mai hehehe.

Hotelnya edkat McDonald’s, Circle K dan 7-Eleven

Kesimpulan hari ke-2: Kalau anak masih kecil, rasanya kurang optimal ke Disneyland. Sebaiknya menunggu anak tingginya 140 cm supaya bisa naik semua wahana dan harapannya kalau udah cukup besar, cukup kuat juga buat berjalan-jalan seharian menjelajahi Disneyland. Datang ke sana di hari biasa dan bukan musim liburan sekolah sangat membantu untuk tidak mengalami antrian panjang, tapi ya keputusan untuk langsung ke Disneyland di hari yang sama setiba di Hong Kong juga jadi ga efektif  di Disneylandnya.

Kalau mau lebih hemat, bisa juga menginap di area kota (bukan di Disneyland Resort), ke Disneyland hari berikutnya setelah sampai di Hong Kong, misalnya selesai sarapan naik MRT ke Disneyland, puas-puasin deh seharian dari jam 11.30 sampe jam 8 malam di Disneyland. Jadi bisa menghemat ga perlu titip koper segala, ataupun sewa stroller dan anak-anak juga udah segar tenaganya setelah tidur malam yang cukup. Bawa perbekalan makanan dan minuman dari Circle K atau 7 Eleven di kota, karena harga minuman di luar Disneyland berkisar 7 – 15 HKD saja.

Tapi ya, kami memang bukan traveler sejati. Udah tau ada aplikasi Disneyland sejak sebelum berangkat tapi tetap saja akhirnya di baca setelah sampai di sana hahahha. Jangan ditiru ya, kalau mau lebih fun lagi, sebaiknya baca informasi yang sudah banyak tersedia di internet, jadi gak kayak kami yang akhirnya banyakan jalannya daripada naik wahananya di hari pertama hehehhee.