Fiksi: Kisah Bunga dan Sepatu

Bunga memandang walk-in closetnya. Dia sedang memilih-milih mau pakai sepatu yang mana hari ini. Mungkin pakai yang tingginya 5 cm saja. Hari ini dia cuma berencana ke supermarket di belakang gedung apartemennya. Tapi dia sedang mempertimbangkan, mungkin bisa juga pergi agak jauh dari apartemen, hitung-hitung memanaskan mesin mobilnya yang belum dipakai beberapa hari ini.

Selesai berdandan dan mengenakan sepatu 5 cm, Bunga kembali dihadapkan dengan pilihan: mau pakai tas yang mana ya? Tas backpack kayaknya gak aman dan gak matching dong dengan sepatu 5 cm nya. Tas sandang mau warna biru atau merah garis putih?. Aduh bingung deh, tadi memilih baju saja habis 15 menit, milih sepatu 20 menit, sekarang pilih tas butuh berapa menit lagi?

Oh ya, hari ini perginya naik mobil yang putih atau yang biru ya? Mungkin yang hijau saja, soalnya yang putih dan biru baru dicuci. Mungkin sebaiknya sekalian mampir di tempat cuci mobil. Eh tapi… Bunga baru ingat, tempat cuci mobil itu sudah tutup beberapa bulan ini, dia hanya bisa minta tolong satpam apartemen untuk mencuci mobilnya sesekali.

Bunga menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Tak lupa memeriksa apakah make up nya sudah terlihat sempurna. Dia mengenakan pelindung muka dari plastik supaya wajahnya tetap bisa dilihat dengan jelas dan dia tidak perlu menggunakan masker. Untung beberapa bulan lalu dia menemukan ada yang menjual benda ini di online shop tempat dia biasa membeli berbagai hal. Jadi dia tidak perlu menutupi setengah wajahnya dengan masker.

Bunga merasa kecewa, ternyata tidak banyak orang yang berbelanja ke toko yang dia datangi hari ini. Jadi buat apa dia berdandan dan sibuk memilih sepatu, tas dan baju hampir sejam tadi? Dia berusaha berlambat-lambat membeli apa yang dia butuhkan, tapi ternyata sekarang ada aturan berbelanja hanya boleh maksimum 15 menit saja. Huh, mungkin besok-besok dia perlu berbelanja agak lebih jauh lagi dari rumahnya, siapa tahu bertemu lebih banyak orang lagi.

Bunga kembali ke rumahnya. Dia menyimpan belanjaan ke tempatnya. Hari ini dia memutuskan untuk tetap menggunakan sepatu 5 cm di dalam rumah, tapi dia akan pakai sepatu yang berbeda dengan yang tadi dia pakai keluar. Ya tentu saja, dia harus mencuci sepatu itu sebelum sepatunya boleh masuk ke walk-in closetnya lagi.

Bunga sudah bosan bekerja di rumah saja. Sudah bosan dengan interaksi lewat layar gadget. Sudah bosan tidak hang out dengan teman-temannya. Semua film yang dia punya sudah hampir habis rasanya dia tonton. Dia bosan karena di rumah tidak ada orang yang bisa diajak bicara.

Kadang-kadang dia merasa iri dengan kakaknya dan teman-temannya yang sudah punya anak. Setidaknya walau mereka sering mengeluh karena harus ngajarin anak di rumah, mereka masih ada orang lain yang bisa ditemui dan gak bicara dengan tanaman, kucing atau koleksi baju, tas dan sepatu seperti yang Bunga lakukan.

Tadi Bunga berusaha ajak ngobrol siapa saja yang dia temui, mulai dari bapak penjaga parkir, satpam yang mengecek suhu tubuh waktu masuk ke supermarket dan juga mbak-mbak kasir waktu membayar. Tapi mereka sepertinya tidak ingin ngobrol berlama-lama. Iya Bunga mengerti, mereka pasti juga lebih merasa was-was untuk semua orang yang ditemui, mereka bertemu dengan berbagai orang setiap harinya. Pasti mereka ada kekhawatiran, gimana kalau yang ngajak bicara ini ternyata silent spreader?

Bunga memandangi barang-barang di walk-in closetnya, dia mengelus satu persatu sepatu-sepatunya, koleksi tasnya, koleksi bajunya, berbagai aksesori perhiasan dan jam tangan yang bisa dipadu padan dengan baju dan mood dan acara yang akan didatangi.

Sudah lama dia tidak bisa menuruti hobinya untuk berbelanja barang-barang branded untuk menambah koleksinya. Beberapa bulan pertama masa pandemi, dia masih menambah koleksi dengan berbelanja online, tapi pada akhirnya dia tidak ada acara yang perlu didatangi untuk sekalian pamer koleksi. Orang-orang di lingkaran sosial medianya juga sudah jarang memberikan komentar atau sekedar reaksi. Eksistensinya sudah hampir lenyap rasanya.

Bunga menarik napas panjang, sudah 8 bulan situasi ini berlangsung, sudah selama itu juga dia tidak menghadiri acara apapun di mana dia bisa mengenakan koleksi kebanggaanya ini. Dia masih ingat, di bulan pertama pandemi ini berlangsung, semua optimis semua akan berlalu dalam waktu singkat. Nyatanya? semua usaha di rumah saja dari sebagian kecil orang sepertinya tidak berhasil. Masih banyak saja kelompok masyarat dengan berbagai alasan yang membuat usaha mengurangi penyebaran infeksi bisa berhasil.

Sampai kapan ini semua akan berlangsung? Sebentar lagi sudah tahun baru, apakah di malam tahun baru dia bisa pergi ke acara old and new seperti tahun-tahun sebelumnya? Bunga tidak berani mengeluh ke teman-temannya, mereka mungkin tidak paham apa yang dirasakan Bunga. Banyak teman-temannya yang mengalami kedukaan sepanjang tahun ini, mana mungkin dia bisa mengeluhkan dirinya yang ga bisa tampil gaya hanya karena isi lemarinya perlu dipamerkan?

Tiba-tiba, Bunga tersadar, betapa dia tidak bersyukur selama 8 bulan ini. Dia tetap bisa dandan, pakai baju bagus, pakai sepatu ganti-ganti, pilih-pilih tas walau cuma dipakai di dalam rumah. Makanan juga tidak pernah jadi masalah, hobi memasaknya sudah semakin terasah selama dia di rumah saja. Dia juga bisa mengirimkan berbagai masakannya untuk keluarga satpam apartemennya. Dia tidak kekurangan selama ini, kenapa harus mengeluh hanya karena tidak bisa ke acara-acara untuk pamer diri itu?

Bunga akhirnya menyadari kalau dia tidak butuh baju 1 lemari penuh dengan berbagai judul. Masih belum tau berapa lama lagi akan ada acara yang membutuhkannya mengenakan baju-baju itu. Tapi dia pikir, siapa yang sekarang ini membutuhkan aneka baju pesta yang dia miliki? tidak ada acara pesta yang berlangung, boro-boro pake baju pesta. Bunga memutuskan untuk menyimpan semua baju-baju yang sudah tidak dianggap penting itu ke dalam kotak dan akan menjualnya setelah masa-masa ini berakhir. Walaupun Bunga tidak tahu kapankah semua ini berakhir…


catatan:

Tulisan ini fiksi belaka, semua kesamaan nama, peristiwa dan kejadian hanyalah rekaan belaka. Ceritanya sengaja tidak spesifik untuk kurun waktu tertentu, tapi semoga saja ini semua tidak akan pernah jadi kenyataan.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.