Berduka di Masa Pandemi

Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.

Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.

Designed by mindandi / Freepik

Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.

Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.

Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.

Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.

Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.

Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.

Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.

Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.

Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.

Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.

Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.

Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.

Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.

Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:

  • Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
  • Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
  • Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.

Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.