Sekolah dari Rumah VS Homeschooling

Pandemi Covid-19 membuat banyak gedung sekolah ditutup dan murid-murid harus sekolah dari rumah. Sudah hampir 3 bulan orangtua mendadak repot mendampingi anak belajar dari rumah karena sekolah dipindahkan ke rumah. Kerepotan itu tidak terjadi pada kami yang memang memilih jalur homeschooling.

Tahun ajaran sekolah sudah akan berganti, tapi belum ada tanda-tanda kepastian kapan anak-anak kembali bersekolah di gedung sekolah. Mungkin saatnya mempertimbangkan beralih ke homeschooling.

Tulisan saya ini membedakan sekolah dari rumah dengan homeschooling. Walaupun pada dasarnya siswa sama-sama belajar di rumah dan di bawah pengawasan orangtua. Sekolah dari rumah merupakan kegiatan belajar yang diarahkan guru sesuai dengan kurikulum dan jadwal dari sekolah dan didampingi oleh orangtua. Penilaian akhir metode ini ada dari pihak sekolah.

Anak homeschool, belajar tidak harus duduk di meja

Homeschooling yang saya maksud di sini, siswa belajar di rumah di mana orangtua yang menyusun sendiri kurikulum dan target pembelajaran anak dengan jadwal lebih fleksibel dalam satu tahun ajaran akademik. Dalam pelaksanaannya, orangtua bisa menjadi guru atau membayar guru untuk mata pelajaran yang tidak dikuasai orangtua. Penilaian akhir homeschool ada di orangtua.

Sekolah dari Rumah

Setiap sekolah memiliki kebijakan sekolah dari rumah dan cara yang berbeda. Setiap orangtua juga menyikapi sekolah dari rumah ini dengan cara yang berbeda. Ada yang pasrah menyerahkan semua ke gurunya karena selain mendampingi, masih punya tanggung jawab pekerjaannya juga. Ada juga orangtua yang memilih untuk membiarkan anaknya tidak menyelesaikan tugas sekolah daripada anak merasa tertekan dan tidak suka sekolah. Orangtua jadi lebih mengetahui kelebihan dan kekurangan anak, selain itu juga jadi mengetahui kualitas dari guru yang mengajarkan anak.

Tidak semua siswa bisa belajar dari rumah dengan baik. Tapi memang, bukan cuma di Indonesia, kebanyakan orang tidak siap dengan situasi belajar dari rumah. Jangankan orangtua, guru saja banyak yang kewalahan mempersiapkan materi dadakan dan jam kerja ekstra untuk memeriksa hasil kerja murid-muridnya. Guru, siswa dan orangtua mengalami perubahan mendadak dan tidak siap dengan situasi belajar dari rumah.

Beberapa sekolah menggantikan kelas tatap muka yang biasanya di ruang kelas dengan video conference. Guru masing-masing sekolah menyiapkan materi ajar dan murid menerima materi dan tugas-tugas didampingi orangtuanya. Untuk keluarga yang mampu dan memiliki lebih dari 1 anak, hal ini tidak jadi masalah, tapi bagaimana dengan keluarga yang punya anak lebih dari satu dan tidak punya gawai sesuai jumlah anak? Bagaimana pula dengan keluarga yang tidak punya koneksi internet yang cukup kencang untuk video conference? Bagaimana dengan daerah yang sinyal internet tidak cukup baik atau listrik saja masih sering terputus?

Reaksi anak dengan kegiatan sekolah di rumah sangat beragam. Ada anak yang jadi sangat menikmati berbagai kegiatan lain yang bisa dikerjakan di rumah selain kegiatan akademik. Ada anak yang menikmati kegiatan sekolah di rumah karena tidak harus bangun pagi-pagi dan seharian di sekolah. Ada juga anak yang jadi tidak suka dengan kegiatan sekolah karena tugas-tugas yang terlalu banyak. Kebanyakan anak merasa kehilangan teman-temannya karena tidak bisa bermain bersama.

Banyak orangtua yang berharap sekolah segera dibuka kembali dan mengembalikan semua kegiatan belajar mengajar kepada sekolah lagi. Tapi masih banyak juga berbagai hal juga perlu dipertimbangkan sebelum mengirimkan anak kembali ke sekolah. Kalau tingkat infeksi masih tinggi, dengan berbagai aturan, apakah berani mengirim anak-anak ke sekolah?

Kebijakan pembayaran uang sekolah juga beraneka ragam. Beberapa sekolah memberikan potongan uang sekolah untuk beberapa bulan. Ditengah ketidakpastian apakah tahun ajaran baru bisa mulai sekolah seperti dulu lagi, beberapa sekolah memberikan potongan harga penerimaan siswa baru.

Tapi pertanyaannya, siapa yang mau membayar uang sekolah mahal lalu tetap harus mendampingi anak untuk belajar di rumah? Bukan sampai disitu, selain mendampingi kegiatan belajar dari rumah, orangtua juga harus memberikan laporan penilaian kegiatan belajar ke sekolah. Laporan orangtua ke sekolah ini kemudian dilaporkan kembali ke orangtua dalam bentuk rapor. Jadi sebenarnya bayar uang sekolahnya untuk dapat kurikulum dan cap dari lembaga sekolah formal saja.

Homeschooling

Ada berbagai metode homeschooling, kesamaan dari semua metode homeschooling itu adalah peserta homeschooling tidak terdaftar di lembaga sekolah formal.

Untuk anak yang usianya masih muda, biasanya orangtuanya yang akan banyak berperan menentukan apa yang menjadi kurikulum pendidikan si anak. Walau tidak ke sekolah, bukan berarti anak homeschool sepanjang hari hanya bermain-main dan tidak mempunyai struktur. Anak homeschool biasanya selalu memakai kesempatan untuk belajar kapan saja dan di mana saja. Kebanyakan anak yang di-homeschool juga terbiasa belajar secara mandiri.

Anak homeschool, belajar di luar kalau udara lagi bagus juga bisa

Anak homeschooling memang tidak punya rapor untuk kenaikan kelas, akan tetapi sekarang ini murid homeschooling bisa mengikuti ujian persamaan untuk mendapatkan ijazah yang setara dengan ijazah dari sekolah.

Untuk mengikuti ujian persamaan, tentunya harus mengikuti kurikulum yang berlaku. Misalnya, kalau anak saya ingin ambil ujian kejar paket A nantinya untuk mendapatkan ijasah setara lulusan SD, maka dia harus menguasai materi pelajaran SD sesuai kurikulum yang berlaku di Indonesia. Tapi masalah ujian persamaan ini tentunya tidak menjadi masalah ketika anak memang sudah menguasai berbagai materi pelajaran yang diberikan selama ini.

Selesai 1 pelajaran, bisa main sebentar sebelum melanjutkan pelajaran lain.

Mempertimbangkan Homeschooling

Tidak semua anak cocok dengan homeschooling, tidak semua keluarga cocok dengan belajar di rumah dan memikirkan kurikulum dan mengajar semuanya sendiri. Tapi dengan situasi pandemi sekarang ini, anak yang biasa dikirim ke sekolah maupun anak homeschooling sama-sama belajar di rumah dan orangtua mau tak mau mendampingi dan memberikan penilaian terhadap kemajuan akademik anak.

Beberapa orangtua mungkin mulai mempertimbangkan untuk mengambil alih kerepotan mengikuti kurikulum sekolah dengan membuat kurikulum sendiri. Pertimbangan lain, dengan memilih homeschooling, tidak perlu was-was karena harus mengirim anak ke sekolah dengan adanya kemungkinan anak terinfeksi.

Di awal tahun 2020, kami sempat mempertimbangkan untuk mengirimkan anak -anak mengikuti kegiatan belajar di sekolah dengan alasan supaya anak punya pengalaman belajar dalam suasana di sekolah. Tapi dengan terjadinya pandemi ini, jawabannya sudah jelas lebih baik meneruskan homeschooling saja. Walaupun banyak sekolah yang menawarkan potongan harga untuk pendaftaran, tapi kalau pada akhirnya menambahkan kerepotan, lebih baik tetap homeschooling saja.

Selama masa pandemi ini, bisa dibilang kegiatan homeschooling anak-anak berjalan seperti biasa. Perbedaan yang paling terasa, saat ini tidak bisa mengikuti kelas menggambar dan taekwondo. Kegiatan bermain dengan anak – anak lainnya juga otomatis tidak ada. Sebagai gantinya ya memang jadi agak lebih banyak bermain gawai selain membaca buku.

Penutup

Dalam ketidakpastian, kadang kita perlu mengambil keputusan untuk mendapat perasaan yang pasti. Daripada resah dan repot dengan tugas sekolah yang banyak, mungkin waktunya mempertimbangkan memilih homeschool. Tentunya perlu dilihat juga perkembangan anaknya bagaimana sejak belajar dari rumah.

Harapannya pandemi segera berlalu. Tapi tetap harus bersiap-siap juga, kita tidak tahu kapan berlalunya. Yang jelas, semua butuh waktu. Bagaimana kalau pandemi berlangsung sampai 2021? Pendidikan anak tidak menunggu. Keputusan apapun harus dipertimbangkan dengan baik dan ada konsekuensi masing-masing.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.