Warisan untuk Anak

Dari hari Senin, dapat tema tantangan menulis untuk KLIP dengan tema: Mainan yang kuwariskan untuk anakku. Sejak membaca temanya, sampai hari ini, saya tetap tidak menemukan jawabannya.

Menurut saya, walaupun mainan itu ada yang tahan bertahun-tahun dan bisa saja secara literal diwariskan ke generasi berikutnya seperti Lego block, atau permainan game boy yang masih populer dari jaman saya kecil sampai sekarang, tapi entah kenapa hati ini berkata: warisan buat anak itu bukan mainan dan bukan benda secara fisik.

Main Let’s Dance di Nintendo Wii yang dibeli sejak sebelum anak-anak lahir

Mungkin pembaca akan bertanya-tanya: terus apa dong yang diwariskan kalau gitu? Sabar ya, nanti akan sampai ke sana, tapi saya mau cerita dulu tentang apa yang diwariskan orangtua saya kepada saya.

Bapak saya seorang pegawai swasta, Mama saya seorang perawat yang kemudian bekerja sebagai PNS di Dinas Kesehatan. Di masa kecil, saya kakak beradik tidak punya banyak mainan. Walaupun orangtua saya keduanya bekerja, ekonomi keluarga kami ya bisa dibilang pas-pas an.

Memang anak kecil belajar melalui bermain, tapi mainan itu tidak mutlak. Anak-anak punya imajinasi tinggi mempergunakan apa saja sebagai mainan. Kalaupun sekarang kami membelikan berbagai mainan untuk anak-anak, pastilah mainannya punya nilai edukasi dan menjadi bagian dari kegiatan homeschooling mereka.

Percaya tidak percaya, saya pernah sakit karena minta dibelikan boneka. Ceritaya suatu kali saya dibawa mama ke pasar berbelanja, saya minta dibelikan boneka gadis cantik berambut dikepang yang terpajang di sana, tapi mama tidak membelikannya, bukan barbie yang pasti, tapi saya lupa namannya. Sampai di rumah saya sakit dan demam tinggi. Saya sembuh setelah mama membelikan boneka yang saya mau, hehehe. Segitunya cara minta beliin boneka, tetap saja bonekanya ya akhirnya rusak entah di umur saya ke berapa, saya sudah lupa persisnya.

Walaupun saya besar tanpa alat masak-masakan seperti kitchen set anak jaman sekarang, tapi saya ingat dulu saya menggiling batu bata campur tanah dibungkus daun untuk kegiatan masak-masakan dan berpura-pura jualan makanan. Malah saya ingat, terkadang menangkap ikan gobi dari parit di depan rumah untuk kemudian pura-pura dimasak juga.

Mama saya rajin menyulam, saya ingat sejak saya kecil saya juga sudah belajar menyulam dan berbagai kegiatan kerajinan tangan. Kami tidak punya banyak buku, kami tidak langganan majalah apapun. Satu-satunya bacaan di rumah itu surat kabar daerah. Jadi sebenarnya, saya juga tidak tergolong rajin membaca waktu kecil.

Membicarakan warisan, orangtua saya selalu bilang ke kami anak-anaknya begini: “Jangan harapkan warisan dari orangtua, kalaupun sekarang ini ada rumah, bukan berarti suatu hari akan jadi bagian kalian. Warisan kalian itu ya apa yang kalian dapatkan sekarang, sekolah yang benar untuk modal kalian mencari untuk diri kalian sendiri.”

Jadi dari kecil, saya diajarkan jangan sampai ribut gara-gara harta atau materi. Orangtua kami bilang juga kalau apa yang mereka miliki ya buat mereka nikmati di hari tua mereka. Jadi bukan bagian untuk anak-anak, karena anak-anak sudah disekolahkan untuk mandiri sendiri.

Memang orang tua saya tergolong orangtua yang tidak mau menyusahkan anak. Mama saya yang sudah ditinggal Bapak selama hampir 11 tahun, tidak pernah meminta saya untuk menyokong hidupnya. Kata mama saya gaji pensiunan yang diterima untuk dirinya sendiri sudah cukup. Kalau sesekali saya memberikan sesuatu sebagai hadiah, mama saya selain berterima kasih juga selalu mengingatkan kalau kebutuhan kami masih banyak karena anak-anak masih kecil.

Nah, waktu berdiskusi dengan Joe tentang apa yang akan diwariskan ke anak-anak? Kami sepakat untuk mengadopsi cara orang tua saya. Kami tidak akan mewariskan materi ke anak-anak kami, tapi kami akan mewariskan pendidikan dan prinsip hidup. Harapannya, tentu saja mereka mandiri dan dengan modal yang kami berikan sekarang ini, mereka bisa mencari untuk diri sendiri dan keluarganya. Apa yang kami punya sekarang ya tentu saja untuk kami pergunakan bersenang-senang di masa tua, supaya kami tidak perlu menyusahkan anak-anak kami.

Kalau mainannya apa dong yang diwariskan? Mainan secara fisik tidak ada. Tapi dengan apa yang mereka pelajari saat ini, nantinya akan mereka ingat seperti Joe dan saya mengingat masa kecil kami yang bahagia dengan memanfaatkan apapun yang ada disekitar kami menjadi permainan. Bahkan bila itu sekedar bermain bersembunyi di bawah selimut atau berpura-pura kalau kami sedang berkemah, padahal dengan hanya duduk bersama di bawah selimut lebar sambil menyalakan senter.

Mainan fisiknya sering berubah, tapi sebagian besar cara bermainnya tetap sama, maka kenangannya yang lebih bisa diwariskan. Kalau dulu kami sempat kenal dance-dance revolution di PS 1, sekarang kami dengan anak-anak main Let’s Dance di Nintendo Wii yang kami beli sejak anak-anak belum lahir.

Matching shirt Super Mario dengan anak-anak

Jaman sekarang, mainan lebih banyak berbentuk digital, tapi sebenarnya tokohnya bisa saja sudah ada dari jaman kami kecil. Misalnya saja sekarang ini, kami mengenalkan tokoh Super Mario ke anak-anak sambil bernostalgia, walaupun cara bermainnya berbeda, tapi tokohnya tetap membawa kenangan ke masa kami kecil. Nantinya waktu mereka dewasa, bisa jadi Super Mario ini masih akan ada dan bisa menjadi kenangan mereka dan dimainkan dengan anak-anaknya kelak.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.