Boleh Curhat, tapi Jangan Gampang Baper

Tanggal 10 Oktober 2020 kemarin, diperingati sebagai “World Mental Health Day.” Untuk meramaikan blog baru kami drakorclass.com, saya menulis kesan pertama drakor berjudul “Do Do Sol Sol La La Sol.” Drama ini masih baru mulai ditayangkan, dan akan ada episode baru setiap hari Rabu dan Kamis di Netflix.

Ketika menonton episode ke-2, ada satu bagian yang membuat saya berpikir agak lama dan rasanya sangat berkaitan dengan topik kesehatan mental. Kisah drakornya baca di tulisan blog drakorclass.com saja ya, di sini saya akan membahas topik membatasi berkeluh kesah (curhat) dan hubungannya dengan kesehatan mental.

tulisan penuh spoiler untuk 2 episode pertama, silakan dibaca di blog drakorclass.com

Di dalam salah satu adegan, ada percakapan antara tokoh utama wanita dengan temannya yang sudah cukup lama. Memang si wanita tokoh utama ini baru saja mengalami serangkaian kemalangan secara beruntun. Secara alami, ketika kita bertemu dengan teman yang kita rasa cukup dekat, kita akan menceritakan kemalangan yang kita alami (mungkin ga semua orang begini, tapi saya sering begini).

Temannya, yang ternyata juga baru mengalami masalah dalam keluarganya meminta si tokoh wanita untuk berhenti bercerita. Katanya, “memang kalau kita berbagi beban rasanya akan lebih ringan, tapi bisa saja beban yang dibagikan malah membuat orang yang mendengarkannya jadi ikut kepikiran dan membuat mereka malah ikutan tidak nyaman”.

Waktu mendengar percakapan ini, saya awalnya agak protes dan merasa temannya ini jahat dan tidak setiakawan. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, temannya ini ada benarnya juga. Terus saya jadi mikir lebih lama hanya karena percakapan yang bahkan bukan bagian utama dari cerita drakor ini.

Mengenali Batas Diri

Jadi, pada akhirnya saya akui memang temannya benar. Terkadang, apa yang kita ceritakan ke orang lain, bisa jadi membuat kita lega karena sudah bercerita. Tapi, bagaimana dengan yang mendengarkan cerita kita? Bagaimana kalau diapun punya masalah yang tidak bisa diceritakan dan ada kemiripan dengan masalah kita. Atau katakanlah dia orangnya emang sensitif dan gampang mengadopsi masalah orang lain menjadi masalahnya sendiri? Yang bercerita lega, yang mendengarkan cerita ketambahan masalah.

Untuk ini, kita harus mengenali batas diri. Kalau kita memang tidak mau mendengarkan masalah tambahan, kita katakan saja kalau kita tidak bersedia mendengarkan keluh kesah. Tapi ya sampaikan dengan cara mengarahkan supaya yang pengen curhat mencari orang yang tepat untuk curhat.

Curhat ini kan ada banyak kategori ya, ada yang dasar aja orangnya suka mengeluh, sampai hal-hal yang memang harus ditangani dengan serius. Kalau kita merasa teman kita ini sepertinya keluhannya serius, segera arahkan dia untuk berkonsultasi ke orang yang tepat dan bukan ke kita.

Saya jadi teringat, di masa awal pandemi. Banyak yang tidak suka dengan tsunami informasi bercampur hoax tentang pandemi yang terkadang belum diverifikasi kebenarannya tapi sudah tersebar di setiap grup WA yang diikuti. Saya juga harus belajar untuk membatasi diri untuk tidak selalu membaca informasi tentang pandemi ataupun membagikannya terus menerus.

Saya yakin ada banyak yang terganggu kesehatan mentalnya dengan banyaknya informasi beredar, sampai merasa efek psikosomatis (tidak sakit fisiknya, tapi secara mental merasa gejala penyakitnya). Ini juga kenapa sampai ada kursus di Coursera tentang mengendalikan pikiran untuk menjaga kesehatan mental di masa pandemi ini.

Tulisan dari kursus Coursera untuk mengendalikan pikiran di masa pandemi

Mengenali Teman Curhat

Sebelum curhat, atau berbagi beban, sebaiknya kita tahu juga teman kita seperti apa. Kalau saya sih, curhat itu 2 arah. Artinya, kalau teman saya tipe ga pernah curhat ke saya, masa saya tiba-tiba curhat ke dia? Ya nggak juga kan ya. Nah kalau sudah sering saling curhat, kan kita bisa tahu sampai mana curhat yang bisa diproses oleh teman kita ini.

Setelah menikah, saya curhat itu ya paling sering ke pasangan. Tentunya pasangan saya juga curhatnya ke saya. Kalau ke teman, adalah beberapa, tapi level permasalahannya berbeda dengan apa yang diceritakan ke pasangan. Jadi buat curhat aja kita perlu punya tingkat kesulitan yang ingin diceritakan ya, hehehe.

Lalu kalau misal kita sedang cerita dipotong karena teman tidak mau dengar seperti kisah drama di atas bagaimana? Ya tidak apa-apa juga. Kita harus memaklumi, justru bagus, tandanya teman kita itu mengenali dirinya sendiri dan tahu batas penerimaanya terhadap masalah orang lain. Jadi jangan baper kalau misalnya ada teman yang bilang: “ah gue ga mau denger masalah lu, masalah gue juga dah banyak!” Mungkin kalau gitu, sebaiknya ajak makan coklat atau es krim atau apalah yang enak biar sama-sama merasa relaks.

Kembali ke contoh berbagai berita di masa pandemi, saya juga sudah mengenali teman mana yang punya level yang sama dalam menyikapi pandemi, dan teman mana yang sudah masa bodoh dengan apa yang terjadi di masa pandemi. Saya juga sudah mulai malas update berita pandemi, yang penting berita Thailand saja.

Penutup

Pandemi atau tidak, menjaga kesehatan fisik itu penting, tapi jangan lupa kesehatan mental juga tidak kalah penting. Kesehatan fisik masih bisa dilihat dan lebih mudah didiagnosa, tapi kesehatan mental ini tidak semua bisa diatasi dengan ramuan tradisional, tapi perlu bantuan dari ahlinya juga.

Mengutip dari FB Dokter Lintas Batas, ada 3 hal praktis yang bisa dilakukan ketika kita mengalami kegelisahan:

  1. Take a breath, atur napas yang baik,
  2. Take a break, beristirahat yang cukup untuk bisa rileks,
  3. Take care, jaga diri baik-baik dan perhatikan sesama sesuai batas kemampuan kita.

Kalau setelah berusaha melakukan hal itu kita tidak merasa lebih baik, sebaiknya kita mencari bantuan ke ahlinya psikolog ataupun psikiaters. Karena masalah kesehatan mental itu masalah kesehatan juga, bukan karena kurang iman ataupun diguna-guna orang.

Nah kan, gara-gara nonton drakor mikir kemana-mana. Kalau mau curhat atau menerima curhat jangan lupa batas-batasnya ya. Hormati permintaan teman kalau mereka tidak menerima curhat, dan ya kita juga jangan ragu-ragu mencari bantuan dari ahlinya kalau merasa ada masalah dengan kesehatan mental kita.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.