Hobi Nonton? Yuk Menulis

Hari ini, saya mau membahas tentang seringnya saya membaca atau mendapatkan komentar negatif tentang penonton drama Korea. Beberapa komentarnya antara lain mencibir kalau artis Korea terlihat cantik karena operasi plastik, menyebutkan kalau penonton drama Korea umumnya kerjanya bergadang sehingga di siang hari terkantuk-kantuk sepanjang hari. Lalu ada lagi komentar kalau cerita drama Korea yang katanya terlalu membikin penontonnya menjadi halusinasi dan tidak bisa membedakan dunia nyata dan dunia fantasi.

Ada banyak deh berita-berita tentang keretakan hubungan rumahtangga gara-gara drama Korea. Lalu hari ini saya membaca katanya gara-gara nonton Korea, banyak orang jadi mager alias males gerak dan mengakibatkan duduk terlalu lama. Lalu bahaya duduk terlalu lama karena nonton melulu itu sudah sama berbahayanya seperti bahaya gangguan kesehatan yang diakibatkan rokok.

Saya jadi bertanya-tanya, segitu hinanyakah drama Korea? Apakah drama Korea levelnya sudah seperti candu yang merusak generasi kelas narkoba? Apa iya? Padahal ya, itu sih salah orangnya bukan salah drama Koreanya. Buktinya kami di Drakor Class makin produktif dengan menonton drama Korea.

Karena banyaknya stigma negatif tentang penonton drama Korea, ada banyak penonton drakor yang menyembunyikan fakta kalau mereka menonton drama Korea. Soalnya, kalau di sosial media ngomongin drama Korea, mereka takut mendapat komentar yang tidak enak. Misalnya: “wah kok sempat sih nonton”, “gue gak mau nonton, takut kecanduan”, atau… “gue ga bisa nonton, ga ada waktu, sibuk bla bla bla…”

Gak harus kok nonton drama Korea, tapi gak perlu juga menghakimi penonton drakor kan. Namanya selera kan boleh beda, tapi hanya karena kamu tidak suka selera saya, maka selera kamu paling enak sedunia gitu? Tentu tidak!

Saya, termasuk yang pernah termakan stigma tentang penonton drama Korea. Saya ingat, ada suatu masa, setiap bertemu teman-teman saya dan pergi berbelanja ke ITC, mereka akan berlama-lama memilih judul drama yang belum mereka tonton. Lalu mereka akan mulai seru banget ngebahasnya dan saya tidak mengerti, tapi saya tidak mengomentari, biasanya saya mendengarkan saja. Kalau dilihat dari jumlah kepingan CD nya memang terlihat banyak, dan tentu harganya jadinya lumayan juga ya. Saya dulu lebih tertarik beli film daripada serial drama, lebih irit juga daripada beli berkeping-keping.

Saya sebenarnya suka menonton serial, tapi dulu itu menonton serial di TV saja sudah cukup. Saya ogah rugi membeli CD bajakan dengan kualitas jelek. Sempat juga akhirnya menemukan sumber yang cukup bagus kualitasnya, yaitu melalui tempat penyewaan VCD. Masih ingat rasanya, pernahlah patungan dengan teman untuk menyewa VCD/DVD serial biar agak lebih murah. Akhirnya, karena memang sudah lengkap seasonnya, ada kecenderungan nonton sampai pagi, dan itu saya ingat salah satunya serial Ally Mc Beal.

Sejak ketemu Joe, tontonan serial saya makin banyak, apalagi kami pernah langganan Indovision semasih di Bandung. Lalu, belakangan ini setelah ada layanan streaming berbayar seperti Netflix, semakin banyaklah tontonan yang ada.

Saya pernah marathon nonton Serial Breaking Bad, Alias, Designated Survivors dan berbagai serial Amerika di Netflix. Seperti juga saya sebutkan, saya juga pernah marathon beberapa season Grey’s Anatomy sebelum akhirnya saya harus menunggu episode barunya tayang setiap minggu. Dan Greys Anatomy ini sekarang sudah sampai season 17 (setiap seasonnya lebih dari belasan episode).

Mungkin kalau dibandingkan dengan sinetron Indonesia, sinetron terpanjang itu dulu tersanjung entah berapa ratus episode. Pemerannya saja dari anak kecil sampai besar. Bedanya, saya tidak pernah terpikir membeli CD sinetron dan dulu belum tersedia dalam layanan streaming untuk bisa nonton marathon.

Jadi, kalau melihat kembali ke belakang, menonton itu salah satu hobi saya. Kenapa? karena, awalnya sih dulu tontonan gak pakai mikir, tinggal dilihat dan didengarkan. Lalu kalau ada jalan cerita yang tidak masuk akal, atau akhir yang aneh sekalipun, saya jarang berkomentar. Seringnya malah saya melupakan kalau sudah menontonnya.

Sejak bertemu dengan drama Korea, saya menemukan hal baru dengan format cerita yang selesai dalam 16 episode. Walaupun ada beberapa judul drama Korea yang jumlah episodenya banyak, atau mempunyai lebih dari 1 season, tapi rata-rata drama Korea itu selesai dalam 16 episode. Variasi ceritanya juga semakin banyak, dan walaupun saya memilih genre ringan tanpa mikir banyak, tetap saja ada sesuatu yang bisa dipelajari di dalamnya.

Drama Korea yang episodenya sedikit itu bisa berbagi informasi dalam setiap episodenya. Sebut saja drama Startup, hanya dengan menonton 1 episode, Joe bisa menuliskan tentang pengenalan machine learning yang diceritakan dalam drama itu cukup baik (Joe tidak suka menonton drama Korea kalau bukan cerita teknis). Harapannya tentunya membuat lebih banyak orang tertarik untuk belajar Machine learning.

Drama lain, Birthcare Center, jumlahnya hanya 8 episode. Tapi cukup untuk memberikan gambaran bagaimana perjuangan seorang wanita untuk melahirkan dan perubahan-perubahan yang dialami, termasuk apa yang dirasakan oleh wanita. Ceritanya juga cukup memberi sosialisasi untuk pemberian ASI, pemilihan nama, bagaimana menjaga keharmonisan dengan suami disaat kita masih merasakan trauma melahirkan, perasaan persaingan antar ibu baru sampai bagaimana memutuskan untuk kembali bekerja atau memilih merawat anak di rumah. Semua itu akan terasa membosankan kalau dibuat dalam bentuk sosialisasi video yang sepotong-sepotong. Tapi karena dijadikan sebuah cerita utuh sepanjang 8 episode, drama Birthcare Center ini saya rekomendasikan ditonton oleh calon ibu (bersama suaminya).

Sebenarnya, semua tontonan itu bisa bermanfaat dan tidak bermanfaat. Bisa berguna dan bisa membuang-buang waktu. Semuanya kembali ke diri masing-masing penonton. Kenapa saat ini saya terkesan terlalu membela drama Korea? Karena saya melihat ada terlalu banyak stigma negatif yang sebenarnya ada pada umumnya semua drama lainnya juga, tapi entah kenapa, drama Korea sering jadi tertuduh utama.

Masalah orang yang tidak mengatur waktu lalu menonton marathon, masalah orang yang tidak bisa membedakan dunia nyata dengan drama, masalah orang ketagihan dan tidak bisa berhenti menonton, itu semua masalah orangnya, bukan karena drama Koreanya. Semua itu bisa terjadi juga karena ada layanan streamingnya, terus apakah itu salah Netflix? eh tapi banyak juga orang yang bela-belain cari bajakan demi nonton, terus itu salah yang menyediakan bajakannya atau salah pekerja kreatif di industri film?

Pada akhirnya, saya mau mengajak orang-orang yang suka menonton untuk tidak hanya menonton tapi mulai menuliskan hal-hal yang didapatkan dari apa yagn ditonton. Tidak terbatas drama Korea loh, semua yang ditonton kalau bisa dituliskan kembali itu sama dengan latihan untuk menarasikan apa yang sudah kita dapatkan.

Dengan menuliskan apa yang kita tonton, kita membagikan informasi selain opini dan bisa sambil mendapatkan keterampilan baru: menulis. Menuliskan apa yang kita tonton, tidak berbeda dengan menuliskan apa yang kita baca atau apa yang kita alami.

Mungkin akan ada yang bilang: aduh, jadi repot banget sih abis nonton disuruh nulis. Ya, kalau begitu, bener deh nontonnya hanya buang-buang waktu saja. Ada kutipan dari Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”

Mau nulis yang lain selain drama Korea? boleh kok, boleh banget malah. Saya hanya mencontohkan menulis tentang tontonan karena begitu banyaknya stigma tentang penonton drakor saja. Kalau menonton drakor, lalu menuliskannya, setidaknya kita sudah berkontribusi ke dunia literasi. Karena masih mengutip Pramoedya Ananata Toer: “Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna”

Jaman sekarang, menulis tidak hanya diterbitkan jadi buku. Dunia digital sudah maju, tulisan di blog juga sudah termasuk tulisan. Jadi, kalau kamu suka menonton, yuk mulai menulis. Tidak perlu malu karena punya hobi menonton, tapi tetap juga kita harus membagi waktu dengan baik, jangan keasikan menonton membuat lalai dengan prioritas lainnya.

Kalau kamu suka menonton drama Korea, suka menulis tentang drama Korea tapi takut dengan stigma yang ada atau tidak punya blog, bisa kirim aja tulisannya ke Drakor Class. Kalau memang tulisannya bukan hasil menjiplak, nanti biar ditampilkan di Drakor Class saja. Tulisannya tentu akan memberikan nama sesuai permintaan penulisnya.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.