Cerita dari Ikut Kelas Gratisan di WAG

Beberapa waktu lalu, saya ikut kelas belajar bahasa Korea gratisan melalui WAG. Ini merupakan kali pertama saya belajar bahasa Korea melalui WAG.

Memang ada banyak ya kelas gratisan di masa pandemi ini, bukan cuma belajar Canva doang tapi juga belajar berbagai hal lain termasuk bahasa asing.

Alasan saya ikut kelas ini sih pengen tahu seperti apa sih rasanya belajar bahasa Korea melalui WAG. Sebelumnya, saya sudah belajar bahasa Korea melalui Coursera dan juga masih memakai aplikasi duolingo.

Belajar bahasa Korea saya lakukan cuma iseng-iseng belaka, dan tentu saja hasilnya sampai sekarang saya masih belum maju-maju juga. Saya mengerti banyak kosa kata ketika mendengarnya, tapi ketika disuruh menyusun kalimat sendiri (apalagi menuliskannya) tentu saja saya belum bisa.

Jangankan bahasa Korea ya, bahasa Thai saja yang lebih sering saya pakai di sini, masih belum ada kemajuan juga.

Belajar bahasa itu masalah kebutuhan. Jangankan bahasa asing, bahasa Indonesia saja, yang merupakan bahasa pertama saya, masih sering banyak kesalahaan terutama dalam penulisan disambung atau dipisahnya kata di.

Beberapa aturan penulisan PUEBI juga sudah berkali-kali dipelajari, tapi tetap saja masih lalai memeriksa kembali tulisan sebelum diterbitkan di blog. Berkali-kali berjanji pada diri sendiri untuk tetap berlatih, tapi berkali-kali mengabaikan janji itu lagi.

Eh iya, kembali ke topik. Jadi sebenarnya, buat saya belajar itu tidak bisa sekali baca langsung mengerti. Tidak bisa juga sekali tahu lalu ingat semua. Saya membutuhkan pengulangan dan latihan demi latihan untuk mengingatnya.

Memang benar kata peribahasa: lancar kaji karena diulang. Tau kan makna dari peribahasa ini?  Seseorang dapat terampil akan (tentang) sesuatu karena ia (mengikutinya dan) melakukannya berulang kali.

Nah, kembali lagi ke cerita pelajaran gratisan lewat WAG. Dari sekian banyak kelas lewat WAG yang saya ikuti, baru kali ini saya mendapatkan pelajaran yang berbeda.

Bedanya gimana?

Jadi sebelum kelas dimulai, selain perkenalan, gurunya meminta kami untuk menuliskan apa yang diharapkan dari belajar bahasa Korea. Kami diminta untuk menuliskan target jangka pendek dan jangka panjang.

Tentu saja saya jadi bisa melihat target-target yang lain, yang mana saya tidak tahu apakah mereka benar-benar baru belajar atau sudah lama belajar dan ingin memantapkan saja.

Lalu, masih sebelum materi utama dimulai, gurunya kembali lagi menjelaskan cara membuat target yang benar.

Bukan hal baru sebenarnya, karena lagi-lagi diingatkan untuk memecah-mecah target menjadi SMART alias Spesific, Measureable, Achievable, Relevant dan Time Limited.

Jadi misalnya kalau targetnya lancar berbahasa dalam 1 tahun, tapi tidak punya strategi jangka pendeknya, itu sih omong kosong ya. Kami juga diberikan tips memilih kamus bahasa Korea selain memilih tempat kursus bahasa.

Jadi ternyata, bahasa Korea itu juga ada sejenis TOEFL untuk bahasa Inggris juga. Nah, kalau mau benar-benar belajar bahasa Korea, carilah tempat kursus yang tujuannya sampai ke ujian yang diakui seperti itu sertifikatnya. Setiap bahasa biasanya mempunya ujian sertifikasi seperti ini (bahasa Thai juga ada sih, dan saya jadi kepikiran mau belajar bahasa Thai lagi).

Jelas saja kenapa saya sampai sekarang tidak benar-benar menguasai bahasa Korea ataupun bahasa Thai. Karena saya tidak pernah benar-benar duduk memikirkan strategi untuk mencapai target saya supaya mahir berbahasa asing.

Setelah diingatkan kembali tentang cara menyusun target belajar, dan tips-tips cara belajar bahasa (yang bisa diterapkan untuk belajar bahasa apapun). Barulah gurunya masuk ke dalam materi utama.

Namanya juga belajar kelas gratis yang cuma beberapa hari, mana mungkin bisa mencakup semua pelajaran bahasa yang banyak itu. Tips belajar bahasa nya kapan-kapan saja saya tuliskan yah.

Dari mengikuti kelas itu, saya tidak banyak mendapat materi belajar bahasa Korea, tapi saya banyak mendapat tips belajar. Gurunya menjelaskan juga kalau kita harus mengenali gaya belajar kita masing-masing.

Karena setiap orang gaya belajarnya beda. Dengan mengenali gaya belajar, kita bisa menyusun strategi untuk belajar lebih optimal.

Nah berbeda dengan kelas belajar bahasa yang tidak mungkin selesai dalam hitungan hari, kelas desain Canva atau Kinemaster masih lebih memungkinkan untuk belajar sedikit demi sedikit.

Tahun 2020 lalu, saya masih buta dengan Canva. Saya masih menganggap Canva itu terlalu sulit dan membuat saya terlalu lama memilih huruf dan warna, hehehe. Tapi ternyata, setelah ikut beberapa kelas gratis dan pakai Canva Pro, rasanya saya bisa lebih cepat mengikuti kalau ada tips atau ilmu baru.

Seperti halnya belajar apapun, belajar Canva dan Kinemaster ini butuh jam terbang alias berlatih dan berlatih terus. Makanya saya masih rajin nih ikutan kelas-kelas yang memberikan tutorial yang langsung ke tips membuat hal tertentu.

Dengan adanya teman belajar, dan guru yang lebih dulu mengeksplorasi Canva dan Kinemaster, saya bisa belajar lebih cepat juga. Melihat pekerjaan teman, saya bisa melihat apa yang ingin saya tiru.

Melihat tutorial dari pengajar, saya bisa mengikuti dan meniru membuat juga. Dengan kritik dan saran dari teman-teman dan dari pengajar, saya bisa memperbaiki hasil karya saya.

Setelah sering mengikuti berbagai kelas gratis lewat WAG, saya jadi menemukan cara belajar di WAG buat saya.

Belajar apapun via media apapun, akhirnya sih kembali ke kita lagi. Mau itu kelas bayar atau gratis, kita tetap perlu melakukannya dan terus menerus melatih diri.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.