18 Tahun di Chiang Mai, Kota Kecil di Tepi Sungai Ping

Beberapa tahun terakhir, setiap mengingat kapan kami pertama tiba di Chiang Mai, kami mulai ikut bertanya-tanya mau sampai kapan tinggal di Chiang Mai? Apa ga ada keinginan untuk kembali ke tanah air? Tinggal di negeri orang kan repot bahasa dan urus ijin tinggal secara berkala. Kalau di Indonesia nggak perlu bingung bahasa dan pastinya juga dekat dengan keluarga besar.

Jalan pagi di komplek rumah

Pertanyaan tentang apakah ada rencana pulang ke Indonesia tentunya harus dilengkapi dengan pertanyaan kalau pulang mau tinggal di kota mana di Indonesia?

Ketika terjadi banjir di bulan Oktober 2024 yang lalu, saya hampir merasa yakin kalau itu adalah pertanda kami lebih baik kembali ke Indonesia saja. Saya juga merasa optimis akan bisa menemukan kota di Indonesia yang mendekati atau setidaknya adalah yang punya kelebihan dibandingkan Chiang Mai.

Semoga peristiwa banjir ini tidak terulang lagi

Ketika kami pulang ke Indonesia bulan April lalu, kami menyempatkan mengunjungi kota-kota yang disebut-sebut orang sebagai tempat tujuan untuk pensiun ataupun sebagai kota yang mirip dengan Chiang Mai mulai dari Bali, Batu, Malang, Semarang, Sukoharjo dan Tawang mangu dan Depok. Tapi ternyata kesimpulannya saat ini Chiang Mai masih lebih baik.

Saat ini, untuk mencari kota tempat tinggal, kami butuh alasan yang kuat kenapa kami perlu tinggal di kota itu. Pekerjaan kami pada dasarnya bisa dilakukan dari mana saja asal ada internet. Untuk urusan sekolah anak-anak juga tidak ada masalah, kami selalu bisa kembali homescool dan tidak terikat dengan sekolah tertentu. Tapi ternyata karena bisa di mana saja asal ada internet, kami jadi semakin sulit memilih karena ada banyak pilihan tapi sejauh ini belum menemukan yang lebih baik dari Chiang Mai.

Sempat terpikir kalau mau gampang ya udah ke Depok aja, kan keluarga Joe ada di sana semua, tetapi memang saya yang tidak ingin tinggal di kota yang dekat banget dengan Jakarta. Saya tidak siap menghadapi kemacetan lalu lintas dan perjalanan 1 jam dianggap dekat.

Pernah juga mempertimbangkan apakah kembali ke Bandung, karena toh sebelum ke Chiang Mai, kami pernah tinggal lama di Bandung. Berdasarkan pengalaman beberapa kali ke Bandung dan membaca berita tentang macetnya lalu lintas di kota Bandung, sepertinya kami tidak akan cocok lagi tinggal di Bandung.

Bagaimana dengan kota Medan? Duh, nggak deh, saya udah ga kuat kalau harus berurusan dengan kelakuan orang Medan dan lalu lintas yang semrawut. Walaupun saya pernah tinggal lama di Medan, rasanya sekarang ini saya tidak akan kuat tinggal di sana dengan kondisi cuaca dan juga lalu lintasnya, belum lagi menghadapi anak Medannya.

Lalu pernah berharap Bali, karena beberapa teman yang dulu tinggal di Chiang Mai, ketika pindah ke Indonesia itu ya ke Bali. Banyak kemiripan juga antara Chiang Mai dan Bali sebagai kota wisata. Tapi ternyata, pengalaman ke Bali kemarin dengan banyaknya orang merokok termasuk bau rokok di dalam mobil ojol (beberapa kali naik ojol ya begitu semua di Bali), membuat saya merasa tidak cocok dengan Bali.

Perjalanan ke Batu, Malang dan Jawa tengah juga hasilnya sama saja. Di indonesia terlalu banyak orang merokok, dan bukan hanya asap rokok, ada terlalu banyak orang masih membakar sampah, selain menggunakan kayu api untuk memasak. Jadi anggapan bahwa suasana di desa masih asri dengan udara segar itu hanya ilusi. Chiang Mai yang punya polusi musiman masih jauh lebih segar udaranya dan lebih bisa diatasi daripada menghadapi tetangga rumah yang suka bakar sampah misalnya.

Sebenarnya tidak ada alasan kuat kenapa kami harus di Chiang Mai, tapi sepertinya rejekinya memang ada di kota ini. Sebuah kota kecil di utara Thailand yang dilewati oleh sungai Ping (yang bisa bikin kebanjiran).

Dengan koneksi internet yang cukup lancar, dan bisa mengontrak rumah yang lokasinya dekat ke berbagai tujuan kegiatan yang sering kami kunjungi, membuat kami bisa tetap produktif sambil menikmati rutin keseharian kami sebagai keluarga. Komunitas orang Indonesia di Chiang Mai lengkap dengan adanya warung makanan Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang membuat kami tambah betah tinggal di sini.

Royal flora rajapreuk, salah satu tempat yang sering kami kunjungi di Chiang mai

Setelah 18 tahun tinggal di Chiang Mai, kami merasa kota ini masih yang terbaik untuk kami saat ini. Kami bisa jalan pagi dan sore dengan nyaman di komplek rumah kami. Kemanapun relatif dekat untuk mengantar anak-anak berkegiatan ataupun untuk kami kunjungi secara rutin.

Harapannya untuk Chiang Mai, jangan ada banjir lagi dan juga polusi bisa semakin diatasi. Semoga saja masih tetap diberi kesempatan untuk tinggal di kota ini untuk waktu yang cukup lama.

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses