Applikasi untuk Mengenal Huruf Thai

Tulisan ini masih ada sambungannya dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Nah kalau misalnya mantap nih mau jalan-jalan atau tinggal di Chiang mai, hal berikut yang perlu diketahui adalah bahasa Thai itu berbeda dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Tulisannya bukan dengan alphabet a-z seperti yang kita kenal dan satu hal lagi yang sangat perlu diperhatikan, bahasa Thai itu bahasa yang tonal. Jadi kalau kita mengucapkan sesuatu, nada naik turun suara kita bisa membuat kata yang transliterasinya sama berbeda makna.

Nah supaya familiar dengan huruf-huruf Thai, kalau ada yang mau mengenal 44 konsonan, 32 vokal, tone marks dan angka dalam tulisan Thai, bisa coba donlot aplikasi KengThai. Aplikasi ini ada versi lite yang bisa dipakai secara gratis dan cukuplah kalau mau pengenalan tahap awal. Kalau misalnya punya anak kecil, nah aplikasi ini juga cocok buat anak kecil belajar tracing huruf Thai hehehe. Aplikasi ini tersedia di AppStore untuk iOS maupun GooglePlay untuk Android.

Ada banyak aplikasi untuk belajar bahasa Thai, tapi saya suka dengan aplikasi ini untuk mengenalkan hurufnya dulu. Aplikasi ini juga mengenalkan cara menulis huruf Thai. Berbeda dengan menuliskan alphabet latin, menuliskan huruf Thai ada aturannya, bukan sekedar asal terlihat sama bentuknya. Setiap huruf Thai juga ada namanya dan bunyinya. Kalau sudah bisa mengingat sebagian besar informasi dari game ini, tahap berikutnya baru deh mencoba aplikasi untuk belajar bahasa Thai.

Dulu, waktu saya di awal belajar bahasa Thai, aplikasi ini belum ada. Saya kursus bahasa Thai untuk percakapan saja dan tidak langsung belajar membaca dan menulis bahasa Thai. Kalau saya mengulang dari awal, rasanya saya akan memilih untuk belajar membaca dan menulis langsung sambil belajar percakapannya. Sekarang ini setelah nyaman bisa berbahasa Thai, ada kemalasan tersendiri untuk memaksakan diri membaca dan menulis bahasa Thai, apalagi karena tidak ada kebutuhan.

Joshua dan Jonathan belajar menulis huruf Thai menggunakan applikasi ini, selain juga dengan bantuan poster di rumah dan buku-buku yang bisa di trace yang bisa di beli dengan murah. Dibandingkan aplikasi lain, aplikasi ini antar mukanya lebih besar dan lebih gampang untuk tracingnya. Gambarnya juga cukup menarik dan suaranya cukup jelas untuk ditirukan. Sekarang ini, Joshua sudah bisa mengingat keseluruhan 44 konsonan Thai, tapi karena dia masih belum mengerti konsep menggabungkan konsonan dan vokal, dia belum bisa diajarkan untuk membaca bahasa Thai yang menggabungkan konsonan dan vokalnya.

Setelah belajar mengenal huruf, tahap berikutnya adalah mengenal kata-kata dalam bahasa Thai. Nah untuk ini akan saya tuliskan di posting terpisah. Belajar bahasa itu tidak cukup dengan 1 app atau 1 buku saja. Kunci dari belajar bahasa adalah kita harus menggunakan bahasa itu. Contohnya, walaupun bertahun-tahun sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, tapi untuk menulis dalam bahasa Inggris, grammar saya masih sering kacau. Untuk bahasa Thai juga vocabulary yang tidak dipakai banyak yang saya lupa walaupun pernah belajar.

Oh ya, kalau ada yang punya rekomendasi app atau buku untuk belajar bahasa Thai, silakan tulis di komen ya.

Miskonsepsi Seputar Chiang Mai

Selama beberapa tahun tinggal di Chiang Mai, kadang-kadang ada teman yang bertanya tentang Chiang Mai. Tapi kadang-kadang pertanyaanya salah karena sepertinya pertanyaan itu muncul karena generalisasi yang mereka dengar atau ya memang begitulah biasanya digambarkan mengenai Thailand. Di sini saya mau mencoba menuliskan beberapa hal yang sering disalahpahami tentang Chiang Mai, Thailand.

Diajak Ketemuan di Bangkok

Sebelum saya tinggal di sini, saya termasuk yang kurang mendengar tentang kota ini, padahal kota ini pernah jadi tuan rumah penyelenggaraan SEA Games tahun 1995. Kota ini merupakan kota terbesar di utara Thailand dan jaraknya sekitar 700 km di utara Bangkok ibukota Thailand.

Chiang Mai itu masih jauh dari Bangkok, naik pesawat 1 jam, naik mobil 9 jam, naik kereta api lebih lama lagi. Kota ini gak jauh dari Cina Daratan (sekitar 700 km ke utara Thailand), bahkan beberapa tahun belakangan ini banyak sekali turis dari Cina daratan berdatangan ke Chiang Mai sejak adanya film Cina yang shootingnya di Chiang Mai : Lost in Thailand. Beberapa turis itu bahkan memilih untuk tinggal menetap di Chiang Mai untuk berbagai alasan.

Walau bukan ibukota negara, sekarang ini ada banyak penerbangan langsung dari berbagai negara ke kota ini, sayangnya belum ada yang langsung dari Indonesia. Penerbangan ke Kuala Lumpur, Penang, Singapore, Hongkong, Shenzen, Macau, Hanoi, Yangon, Taipei, Seoul, Kunming, Beijing, Guangzhao, Doha, Xi An setau saya ada setiap harinya (bahkan ada yang lebih dari 1 x).

Dengan banyaknya penerbangan langsung ke Chiang Mai, biaya hidup yang lebih murah dibandingkan Bangkok, dan juga keindahan alamnya, kota ini jadi tujuan banyak orang baik untuk wisata ataupun untuk tinggal.

Banyak Godaannya

Pernah juga ada teman bertanya begini: “Kamu gak kuatir tinggal di sana, katanya wanita-wanitanya agressif, nanti kalau suami kamu digoda orang lokal gimana?” Waktu saya ditanya begitu, saya gak pernah kepikiran atau melihat ada wanita lokal yang seperti dikhawatirkan teman saya. Saya tahu tujuan orang beda-beda datang ke Chiang Mai, ada yang memang datang untuk melihat kehidupan malamnya, nah karena kami bukan orang yang berkunjung ke tempat hiburan malam, saya gak bisa kasih komentar banyak.

Tapi semua itu menurut saya sih tergantung orangnya yang datang, kalau memang hobi ke tempat hiburan malam, nggak hanya di Chiang Mai, di Indonesia juga saya yakin banyak wanita agressif. Kalau di tempat umum, manalah ada wanita yang tiba-tiba godain cowok-cowok. Mereka bahkan udah biasa dengan kehadiran orang asing di sini.

Banyak Ladyboy dan Tomboy

Pertanyaan lain yang juga gak pernah saya pikirkan akan ditanyakan adalah: “Pernah lihat wanita tapi bukan wanita gak? terus kamu gimana ngelihatnya?” Kenapa saya bilang gak kepikiran ada yang bertanya begini adalah, karena di sini lady boy dan tomboy itu ya biasa aja seperti laki-laki dan perempuan.

Mereka bisa bekerja di minimarket ataupun menjadi penari di tempat wisata. Tapi mereka bukan orang jahat, bukan orang yang harus di cela-cela dan bukan orang yang harus dipandang sebelah mata. Mereka juga bukan orang sakit menular yang harus dihindari.

Waktu pertama kali melihat, saya memang agak takjub, kok bisa ya wanita secantik itu ternyata bukan wanita, pastinya mereka melakukan usaha untuk bisa tampil seperti itu, tapi ya lama-lama biasa melihatnya. Jumlah ladyboy dan tomboy gak sebanyak itu juga sih di Chiang Mai sini.

Pedesaan Sepi

Ada lagi nih salah satu teman saya bertanya begini: “Chiang Mai itu pedesaan ya? katanya masih banyak sawah dan ladang kayak di pelosok Indonesia?” Nah mungkin di bandingkan kota Bangkok atau Jakarta, kota Chiang Mai ini emang kota kecil, tapi ya gak pedesaan banget.

Banyak fasilitas yang tersedia seperti halnya di kota besar, mall aja sekarang ada 3, tapi memang daerah sekitar Chiang Mai masih banyak hutan dan masih alami, jadi bisa juga kalau mau melihat alam pedesaan datang ke Chiang Mai. Menyetir sektiar 1 atau 2 jam, tahu-tahu kita sudah ada di kaki gunung yang penduduk sekitarnya hidup dari bercocok tanam.

Salah satu daya tarik Chiang Mai itu justru karena fasilitas lengkap seperti kota besar, tapi kalau mau refreshing ke alam terbuka gak perlu jauh-jauh.

Menjadi Digital Nomad

Di kota ini ada banyak digital nomad, ada banyak orang yang bekerja remote atau commuting dari Chiang Mai. Tapi ya untuk tinggal di sini, tetap harus mengurus visa masing-masing.

Ada yang bertanya ke kami begini: “Saya tertarik tinggal di Chiang Mai, gimana caranya?” ya caranya:

  • Kalau punya kemampuan, carilah pekerjaan di sini untuk dapat visa kerja.
  • Kalau punya duit untuk buka bisnis, bisa juga cari tau gimana caranya membuka bisnis di Thailand.
  • Kalau punya anak usia sekolah dan punya penghasilan tetap tanpa bekerja, ya anaknya bisa disekolahkan supaya bisa dapat guardian visa.
  • Bisa juga mencari tau menjadi volunteer untuk mendapat visa volunteer.
  • Beberapa yang banyak dilakukan juga adalah mengambil kelas belajar bahasa Thai selama setahun di tempat yang juga menawarkan visa Edukasi.

Kalau ada pertanyaan lain seputar Chiang Mai, silakan tinggalkan komentar atau kirim pesan ke halaman Facebook kami ya.

Buat yang Ingin Tinggal di Chiang Mai

Banyak orang yang setelah jalan-jalan ke Chiang Mai, jadi tertarik tinggal di Chiang Mai. Setiap tahunnya juga ada mahasiswa dari Indonesia yang mengikuti program perkuliahan di Chiang Mai University. Nah kali ini saya mencoba menuliskan hal-hal yang sering ditanyakan untuk yang berencana tinggal di Chiang Mai.

Pastikan punya Ijin Tinggal

Namanya jadi tamu di negeri orang, kita harus punya ijin tinggal yang legal. Kalau berencana tinggal karena urusan sekolah, biasanya sebelum datang ke Chiang Mai harus urus visa belajar dari Indonesia yang nantinya di konversi di Chiang Mai sesuai dengan lamanya waktu belajar. Sebagai orang Indonesia, kita bisa datang ke Thailand tanpa visa untuk tinggal selama 30 hari, tapi lebih dari situ, kita harus keluar dulu untuk bisa masuk lagi dan dapat ekstra hari. Kalau kita datang tanpa visa, kita tidak akan bisa urus ijin tinggal dari dalam negeri Thailand, jadi mendingan biar ga habis ongkos mundar-mandir, pastikan cari tahu mengenai visa yang sesuai untuk kebutuhan kita yang selanjutnya nanti dikonversi menjadi visa yang lebih lama ijin tinggalnya.

Untuk tinggal menetap di Thailand, kita harus urus Visa setiap tahun dan lapor diri setiap 90 hari ke imigrasi terdekat. Untuk pertama kalinya, jika kita datang ke Thailand sudah jelas akan bekerja di mana atau sekolah di mana, kita bisa urus visa di kedutaan Thailand di Indonesia atau negara lain selain Thailand untuk mendapat ijin tinggal 3 bulan pertama. Setelah kita tiba di Thailand, kita bisa urus supaya bisa mendapatkan ijin tinggal selama 1 tahun. Nah untuk tahun berikutnya, kita bisa urus untuk mendapatkan ijin tinggal 1 tahun dari imigrasi dalam Thailand (tentunya dengan surat-surat yang dilengkapi dari tempat kita bekerja/sekolah).

Kalau misalnya pengen tinggal di Thailand, tapi sudah masuk usia pensiun, ada juga pilihan untuk mendapatkan ijin tinggal yang namanya retirement visa. Atau misalnya kita ke Thailand karena ingin menyekolahkan anak dan sambil santai-santai saja tinggal di Chiang Mai, kita bisa mengurus visa edukasi untuk anak (dari sekolah di mana anak terdaftar), lalu kita orangtua jadi dependen terhadap visa anak. Masalahnya dengan visa edukasi anak ini, 1 anak hanya bisa memberikan ijin tinggal kepada 1 orangtua. Jadi kalau punya anak cuma 1, salah satu orangtuanya ga bisa dapat visa dependen deh. Tapi kalau punya 2 anak, masalah jadi beres hehehe.

Masalah visa ini gak bisa saya jelaskan detail karena peraturannya bisa berubah-ubah. Tapi secara umum ya kalau mau tinggal lama di Thailand, caritau dulu bagaimana persyaratan untuk urusan visa, supaya gak mondar-mandir juga harus keluar dari Thailand mengurus visanya.

Tinggal di Apartemen vs Rumah

Di Chiang Mai banyak apartemen studio ataupun 1 atau 2 kamar. Waktu awal kami datang ke Chiang Mai, karena cuma berdua saja, kami cukup dengan tinggal di apartemen studio, tapi lama-lama ya dengan adanya anak, tinggal di rumah lebih enak. Biaya tinggal di apartemen juga relatif lebih mahal. Dengan harga sewa yang sama, kita bisa dapatkan kontrakan rumah yang lebih lega ukurannya dan bahkan kadang plus halaman. Tapi semuanya kembali kebutuhan kita, kalau misalnya tinggal sendiri dan masih single, ada juga banyak kamar kontrakan seperti kost-kostan dengan harga mulai 2000 baht/bulan. Di sekitar kampus Chiang Mai University selain banyak kontrakan kost-kostan juga ada banyak berjualan makanan yang harga mahasiswa.

Tinggal di apartemen itu kita merasa aman, tapi umumnya di apartemen kita tidak bisa memakai kompor gas, harus pakai kompor listrik/induksi. Selain itu, apartemen di Chiang Mai juga tidak mengijinkan memelihara hewan peliharaan apapun. Biaya listrik dan air juga hitungannya lebih mahal daripada tagihan listrik dan air di rumah.

Biasanya, menentukan lokasi tinggal berdasarkan apa kebutuhan kita juga. Misalnya untuk anak sekolah di lokasi tertentu, bisa cari rumah atau apartemen di daerah sana. Di sini, kontrak rumah itu bisa bikin perjanjian untuk setahun tapi dibayar bulanan. Bisa juga bikin kontrak untuk 3 bulan. Semakin singkat masa perjanjiannya biasanya akan semakin mahal harganya. Kalau masih single, ada banyak hotel backpacker yang biayanya mulai dari 150 baht/hari.

Untuk yang berencana tinggal lama di Chiang mai, pastikan memiliki kendaraan seperti motor atau mobil. Di Chiang Mai sistem transportasinya belum bagus, jadi untuk mempermudah kemana-mana sebaiknya punya kendaraan sendiri (dan pastikan punya surat ijin mengemudi yang masih berlaku). SIM dari Indonesia bisa dipakai di awal, tapi kalau mau tinggal lama, ada baiknya segera urus SIM lokal Thailand dengan cara mengikuti ujian di sini. Ujiannnya bahasa Inggris kok, jadi gak usah kuatir, dan waktu yang dibutuhkan gak lebih dari 1 hari. Kalau gak mau ikut ujian, kita bisa urus SIM Internasional dari Indonesia, lalu di Chiang Mai nantinya tinggal di konversi saja menjadi SIM lokal.

Biaya Hidup

Selain biaya kontrakan rumah/kamar, dan setelah punya kendaraan yang biayanya lebih murah daripada naik taksi ke mana-mana, biaya yang perlu dipikirkan tinggal masalah makan. Untuk biaya makan, orang lokal umumnya lebih sering beli daripada masak sendiri.

Biaya makanan 1 porsi mulai dari 30 baht. Kalau mode hemat berarti 1 hari 100 baht, tapi ya masa sih makannya ga variasi hehehe. Kalau mau lebih hemat lagi, ya selalu bisa belanja ke pasar dan masak sendiri. Harga bahan makanan di sini masih lebih murah daripada di Jakarta. Bisa juga masak nasi doang di rumah dan belanja lauk yang sudah di masak di pasar hehehe.

Gimana untuk biaya rekreasi? tergantung rekreasi apa, kalau mau ke taman kota ya gratis buat olahraga, hangout sama temen atau anter anak main-main. Kalau mau duduk-duduk ngopi, di Chiang Mai ada banyak coffee shop yang harganya bervariasi mulai dari 35 baht/cup sampai di atas ratusan. Starbuck juga ada beberapa di Chiang Mai, tapi kami lebih memilih membeli kopi produksi lokal. Harga nonton bioskop relatif lebih mahal dibanding harga di Indonesia, tapi kalau gak salah kalau hari Rabu bisa nonton cuma 100 baht saja. Sudah lama gak ke bioskop, perlu cek lagi buat memastikan masih ada gak promosi 100 baht itu. Semua bioskop di Chiang Mai setau saja bisa dipesan online, jadi ya ga ada alasan kehabisan tiket.

Lain-lain

Saat ini komunitas orang Indonesia di Chiang Mai masih sedikit dan tidak sampai 100 orang, karena banyak yang silih berganti datang dan pergi. Kalau ingin bertemu dengan teman-teman dari Indonesia lainnya, bisa tinggalkan komen di sini atau kontak kami di facebook page kami.

Buat yang Mau Berkunjung ke Chiang Mai

Sebenarnya sudah banyak menulis mengenai Chiang Mai, tapi ini saya mau mencoba menuiskan hal-hal mengenai Chiang Mai siapa tahu ada yang lagi bingung mau ke mana dan kepikiran mengunjungi Chiang Mai.

Chiang Mai itu di Mana?

Chiang Mai ini kota di utara Thailand, letaknya di kelilingi oleh perbukitan, dan jauh dari pantai. Jadi kalau mau liburan ke pantai, pastinya jangan cari di Chiang Mai hehehe. Kota ini merupakan kota terbesar di Utara Thailand, tapi sangat berbeda di bandingkan Bangkok.

Chiang Mai masih sekitar 3 jam perjalanan lagi untuk ke daerah perbatasan Thailand dengan negara Laos dan Myanmar. Selain bahasa Thailand, penduduk di sini kebanyakan berbahasa daerah juga (ya samalah kalau ke Bandung banyak yang bahasa Sunda bukan bahasa Indonesia doang). Tapi karena banyaknya orang asing tinggal di kota ini, gak usah kuatir kalau gak bisa bahasa Thailand, modal bahasa Inggris juga cukup kok untuk ke sini, kalau beruntung bisa ketemu orang asing yang sudah bisa berbahasa Thai, jadi bisa gampang nanya-nanya nya hehe.

Dari Indonesia sekarang ini belum ada direct flight langsung ke Chiang Mai, tapi ada banyak cara ke sini. Setelah sampai ke Bangkok, bisa naik pesawat sekitar 1 jam lagi atau naik bis malam (10 – 12 jam) atau kereta api (12 – 15jam). Alternatif lain, selain dari Bangkok, bisa juga dari Kuala Lumpur atau Singapur (ada pesawat yang transit di hari yang sama dan langsung ke Chiang Mai).

Kapan Waktu Terbaik ke Chiang Mai

Sepanjang tahun ada macam-macam festival yang menarik untuk dilihat dan menjadi alasan mengunjungi Chiang Mai, tapi tentunya tergantung juga dapat jatah liburnya kapan dan mau berapa lama di Chiang Mai. Chiang Mai memiliki musim panas (Maret – Agustus), musim hujan (September – November) dan musim dingin (Desember – Februari). Selama 12 tahun ini, musimnya kadang agak bergeser sedikit, November kadang sudah dingin kadang belum, Desember kadang masih hujan, dan Maret pagi-pagi masih dingin. tapi yang pasti April pasti panas banget dan Januari udaranya dingin. Musim dingin di sini itu gak ada salju dan ga ada hujan, jadi ya cuacanya menyenangkan buat jalan-jalan tanpa gangguan.

Biasanya turis paling banyak datang ke Chiang Mai itu di bulan Desember atau Januari awal. Tidak disarankan datang sekitar Februari sampai awal April karena di masa itu tingkat polusi udara sedang tinggi dari pembakaran ladang sisa panen di daerah utara Thailand dan juga dari negara tetangga. Biasanya polusi ini akan berakhir menjelang festival air Songkran / Tahun baru Thailand sekitar tanggal 14 dan 15 April. Tapi ya kalau datang bukan untuk festival air, lebih baik datang di awal Januari, saat udara sedang adem.

Apa yang bisa di lihat di bulan Januari? kalau beruntung bisa lihat bunga sakura sedang mekar. Kalau datangnya di minggu ke – 2 Januari bisa melihat perayaan hari anak di Thailand, di mana hari itu banyak tempat memberi gratisan untuk anak-anak. Bisa jalan-jalan ke kuil-kuil sekitar Chiang Mai sambil menikmati udara sejuk. Dan kalau datangnya minggu pertama Februari, bisa melihat festival bunga yang diadakan akhir pekan pertama di bulan Februari setiap tahunnya.

Kalau datang Maret gimana?gak ada apa-apa kecuali polusi udara hehehe, tapi pernah juga sih sepupu kami datang ke sini akhir Maret, dan beruntung ada hujan sebelum mereka tiba, jadi polusi udaranya minggir dan mereka bisa jalan-jalan melihat Chiang Mai. Tapi ya jangan ambil resikolah, kecuali udah beli tiket hahaha.

April seperti saya sebutkan sebelumnya ada festival air Songkran. Biasanya hari siram-siraman ini berlangsung beberapa hari, puncaknya biasanya sekitar tanggal 14 dan 15 April. Kalau mau main-main air ya jadwalkan datangnya sekitar hari Songkran.

Antara Mei sampai Oktober, biasanya sepi turis. Tidak disarankan juga ke Chiang Mai karena sering ada hujan dadakan. Gak seru kalau jalan-jalan terus kehujanan tiba-tiba, dan kemudian tiba-tiba panas terik lagi. Udaranya juga masih cukup panas walaupun hujan. Kami tiba pertama kali di Chiang mai sekitar bulan Mei, waktu itu masih banyak sekolah libur dan kami pikir kota ini sepi sekali, ternyata tak lama kemudian kotanya ramai lagi. Libur akhir tahun ajaran untuk sekolah di sini untuk sekolah Thai antara Maret sampai pertengahan Mei, sedangkan untuk sekolah Internasional liburan itu awal Juni sampai akhir Juli, jadi memang antara Mei sampai Agustus banyak yang liburan dan mengurangi isi kota Chiang Mai. September dan Oktober banyak hujan, jadi tetap gak seru deh liburan ke Chiang Mai di bulan-bulan itu.

Di bulan November ada festival Loy Kratong dan Yi Peng. Nah ini juga menarik untuk di lihat. Tiap tahun tanggalnya bisa berubah, tergantung kapan bulan purnamanya. Kalau berenacana ke Chiang mai untuk melihat festival ini, bisa cek dulu kapan festival ini akan diadakan tepatnya. Kadang-kadang bulan November udaranya udah cukup dingin, kadang-kadang masih agak panas, tapi karena festival Loy Kratong dan Yi Peng ini biasanya dirayakan malam hari, lebih baik bawa baju hangat yang tidak terlalu tebal untuk persiapan.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan

Penduduk Thailand mayoritasnya beragama Budha. Makanan Halal agak sulit ditemukan, tapi ada beberapa restoran Halal di Chiang Mai, jadi gak usah kuatir juga. Ada banyak pilihan makanan vegetarian juga dan seafood dan semua bisa dibeli dengan harga yang terjangkau. Makanan di Chiang Mai ini cukup standar harganya baik di food court mall maupun di luar mall.

Di Chiang Mai belum banyak angkutan umum, untungnya sekarang sudah ada taksi Grab. Untuk rute tertentu sudah ada bis trayek tapi karena saya belum pernah naik jadi belum bisa cerita banyak. Kalau rencana mengunjungi Chiang Mai sekitar seminggu, bisa mempertimbangkan menyewa motor atau mobil. Surat Ijin Mengemudi kita dari Indonesia bisa dipakai kok di Thailand sini, tapi jangan lupa untuk selalu pakai helm kalau naik motor dan taati rambu yang ada biar gak berurusan sama polisi.

Mata uang rupiah biasanya tidak laku untuk ditukarkan di money changer di Thailand. Sebaiknya bawa dollar, atau tarik tunai dari mesin ATM sini juga bisa. Dari hasil mencoba beberapa bank, nilai tukar yang paling baik kalau menarik dana dari ATM Bangkok Bank. Setiap penarikan dari atm akan dikenakan biaya sekitar 220 baht, dan jumlah lembaran maksimal yang bisa ditarik itu tergantung limit harian dan isi rekening kamu hehehe.

Udah segitu dulu, besok-besok kalau ada yang ketinggalan akan ditambahkan lagi.

Jonathan dan Global Art

Jonathan dari kecil gak suka mewarnai. Dari dulu kalau menggambar juga ya suka asal-asal saja. Sejak homeschooling, karena saya tidak sabar ajarin teknik gambar warna ataupun yang mengarah ke art, saya daftarkan Jonathan ikutan kelas di Global Art dekat rumah.

Global Art ini franchise international, mereka punya program yang cukup jelas step by stepnya. Tiap level ada buku kerja untuk muridnya, di akhir level anak akan diberi semacam test kecil dan diberi laporan ke orangtua. Sejak ikutan kelas di sana, Jonathan sudah menyelesaikan 2 buku (1 buku kira-kira 10 gambar), dan sekarang sudah hampir menyelesaikan buku ke – 3.

Tujuan saya masukkan Jonathan ke Global Art untuk menjadi bagian dari homeschoolnya karena saya tidak bisa mengajar art. Awalnya saya pikir masa sih mewarnai saja harus dilesin? tapi ternyata setelah sekian lama saya bisa lihat kalau lesnya gak sekedar mewarnai. Ada teknik mewarnai mulai dari menggunakan crayon, pensil warna, cat air dan kadang-kadang ada selingan kelas handicraft juga.

Lanjutkan membaca “Jonathan dan Global Art”

Jauh Dekat itu Relatif

Kalau ditanya waktu belajar matematika atau fisika mengenai apa unit yang dipakai untuk mengukur berapa jauh sebuah jarak? jawabannya biasanya meter (atau konversinya ke cm, km tergantung jarak apa yang mau diukur. Tapi, sekarang ini, rasanya jarak tidak lagi diukur semata-mata dengan meter saja. Misalnya nih waktu di Jakarta, diajakin ke suatu tempat, kalau ditanya: eh kalau TMII jauh gak ya dari Depok. Jawabannya: deket kok, cuma sekitar 1 jam. Tapi kalau ditanya: eh kalau dari Monas ke Depok jauh ga ya? jawabannya: jauh itu, naik grab aja kalau lagi rush hour bisa 300ribu ongkosnya, belum lagi berjam-jam sampainya.

Sejak tinggal di Chiang Mai, kebanyakan tempat itu terasa dekat, terutama yang berada di sekitar rumah. Kalau nyetir gak sampai 15 menit walaupun jaraknya 15 km dari rumah, pasti berasa dekat. Kalau jarak tempuhnya 30 menit dekat atau jauh? ya tergantung di mana, kalau di Jakarta 30 menit itu dekat, kalau di Chiang Mai 30 menit nyetir itu terasa jauh (dan memang jarak yang ditempuh lebih jauh pada nyetir 30 menit di Jakarta).

Ada 1 lagi faktor yang bikin perasaan jauh atau dekat itu. Semakin sering kita ke suatu tempat, semakin dekat rasanya. Misalnya, dulu ke taman rajapreuk terasa jauh dari rumah kami, padahal ya nyetirnya 15 – 20 menitan, tapi setelah tahun lalu hampir setiap weekend main ke taman rajapreuk, tempat itu jadi dekat dari rumah. Ada lagi daerah turis di sini, tempat anak muda sering nongkrong, daerah Nimanhaemin, dulunya tempat itu terasa jauh buat kami (karena memang lalu lintasnya juga sering macet), tapi waktu Jonathan ke sekolah deket situ, akhirnya nemu jalan pintas dan jadi terasa dekat. Sekarang gimana rasanya setelah gak ke sana lagi tiap hari? ya mulai terasa gak jauh tapi juga gak deket-deket banget.

Masalah jarak tempuh ke suatu tempat di Chiang Mai sebenarnya sudah mulai ada perubahan juga. Kalau dibandingkan 12 tahun lalu, Chiang Mai yang sekarang ini jalannya tambah banyak. Jalan tambah banyak tapi juga volume kenderaan tambah banyak karena sepertinya penghuni kota ini juga bertambah banyak. Jam-jam tertentu, lalu lintasnya mulai terasa lama di jalan, tapi untungnya jalanannya tetap terjaga kualitasnya gak pada berlubang.

Dulu, di Bandung, rasanya ke mana-mana dekat. Tapi belakangan saya dengar Bandung mulai macet. Terakhir kami pulang, kami gak jadi ke Bandung karena katanya jarak tempuh Jakarta Bandung sekarang ini bisa sekitar 5 jam dan lebih baik naik kereta api daripada mobil sendiri atau bis. Nah sebenearnya ini pasti tergantung jam berapa juga, kemungkinan karena banyak yang gak mau bangun pagi misalnya, jadilah jalanannya penuh di jam orang normal bangun dan bikin jalanan macet. Jadi sepertinya dengan kemacetan yang ada membuat Bandung jadi Jauh dari Jakarta walaupun sudah ada jalan tol.

Dulu, pulang ke Indonesia itu terasa jauh sekali, apalagi karena belum banyak pilihan pesawat dan kadang-kadang transit itu harus nginap dulu karena jadwal pesawat gak ada yang pas untuk langsung sampai di hari yang sama. Beberapa tahun belakangan ini, sudah semakin banyak pilihan maskapai dan juga mau transit di mananya dan rata-rata bisa sampai di hari yang sama (yang beda cuma harga tiketnya saja). Harapannya di kemudian hari Chiang Mai terasa makin dekat dari Indonesia, walaupun jaraknya tidak berubah dari dulu kala.

Pantesan saja ya ada yang bilang jauh di mata bisa dekat di hati, karena jauh dan dekat itu relatif terhadap perasaan hehehe. Tulisan random ini sebenarnya sedang bersyukur bisa tinggal di kota Chiang Mai yang jarak tempuh ke tempat-tempat yang perlu kami kunjungi tidak terlalu lama dan atau terasa jauh.

Mencoba Mi Band 3

Setelah lama memakai smart band tak bermerk seharga 17 dollar, akhirnya hari ini memutuskan membeli Mi Band 3. Sebenarnya smart band yang sebelumnya masih bekerja dengan baik dan baru saja saya ganti talinya, lagipula saya gak memakainya untuk tracking langkah atau lari. Selama ini lebih terpakai untuk notifikasi kalau ada telepon masuk saja. Saya selalu set HP saya tanpa nada dering kecuali memang sedang menunggu pesanan delivery makanan haha. Nah kalau lagi di luar sama anak-anak, kadang saya gak tahu kalau ada telepon masuk. Dengan bantuan smart band, saya bisa tahu ada telepon atau pesan masuk.

Bagusan mana? yang hitam atau yang merah?

Mi Band 3 harganya 2 x lipat smart band saya yang lama, tapi juga masih lebih murah dibandingkan smart watch lainnya. Alasan saya membeli Mi Band 3 ini karena jam yang lama softwarenya sudah tidak diupdate lagi. Setiap kali ganti HP, Joe harus mengatur secara khusus supaya jam nya bisa terhubung ke HP. Selain itu, entah kenapa belakangan ini jam tangannya sering terputus koneksinya dari HP, dan saya menyadarinya biasanya setelah ada panggilan tak terjawab di HP saya.

Belakangan ini saya juga mulai sering berenang, nah jam yang lama tidak tahan air, sedangkan si Mi Band 3 ini katanya walaupun tidak punya aplikasi khusus untuk mengukur berapa jauh kita sudah berenang, tapi versi ini sudah tahan air dan bisa di bawa berenang. Jadi ya…bertambahlah alasan buat beli. Siapa tahu juga ke depannya jadi rajin buat mencapai target jumlah langkah seharinya hehehe.

Sebenarnya ada banyak jenis smart band/smart watch yang tahan air dan bisa dipakai berenang selain memberi notifikasi telepon dan pesan masuk, tapi saya membeli Mi Band 3 karena benda ini cukup murah, batere tahan lama dan fungsinya cukup untuk kebutuhan saya. Saya gak butuh tracker aneh-aneh, tapi kalaupun butuh untuk hitung langkah, lari, atau heart rate selain berenang semua sudah ada di Mi Band 3. Jadi dengan harga murah dapat fitur lebih dari cukup untuk saya, ya…jelas dong beli ini aja.

Kesan pertama lihat jam ini lucu juga dan terasa lebih ringan dari jam sebelumnya. Sayangnya, untuk chargingnya saya butuh charger khusus, tidak seperti jam saya sebelumnya yang bisa langsung bisa di charge tanpa kabel ke USB. Memang sih kalau ada colokan masuk ke USB langsung, jamnya jadi agak lebih panjang dari seharusnya. Tapi ya repot karena kabelnya gak standar, kalau hilang bisa berabe.

Semoga generasi mi band berikutnya bisa di charge langsung tanpa kabel seperti versi jam saya yang lama

Kata Joe, talinya nanti bisa beli warna-warna lain, tapi sekarang ini saya mau lihat juga berapa lama kira-kira umur tali yang hitam. Kalau sudah bosan boleh juga nanti beli warna lain biar berasa jam baru lagi hehehe. Semoga juga jam ini tahan lama kayak jam versi sebelumnya, kapan-kapan kalau udah lebih tau banyak plus minusnya akan saya tuliskan lagi.