Kosa kata Bahasa Indonesia Jonathan

Sejak kecil, Jonathan sudah kami ajak berbicara dengan bahasa Indonesia. Di masa awal, dia sudah bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari lagu-lagu yang dia dengarkan dan buku yang kami bacakan.

Sekitar umur 3,5 tahun, kami masukkan Jonathan ke preschool Thai, dan dia pun mulai bisa berbahasa Thai selain Indonesia dan Inggris.

Setelah umur 4,5 tahun, kami masukkan dia ke sekolah Australia yang hanya menggunakan bahasa Inggris. Sejak saat itu, Jonathan hanya mau berbicara bahasa Inggris (dengan aksen Australia) dan semakin jarang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Thainya.

Sejak mulai homeschool, Jonathan mulai lagi berbicara bahasa Indonesia di rumah selain menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Thainya tetap jadi nomor 3 karena dia tidak punya teman bermain orang Thai (teman Thainya bisa berbahasa Inggris juga). Teman-temannya dari berbagai negara di grup homeschool umumnya bisa berbahasa Inggris. Jadi kalau di luar dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan di rumah bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris.

Lanjutkan membaca “Kosa kata Bahasa Indonesia Jonathan”

Yay! Hujan!

Beberapa hari ini udara di Chiang Mai sangat panas sekali, ya sudah diduga sih, karena prakiraan cuaca beberapa hari lalu juga bilang akan panas bahkan sampai 41 derajat. Tapi selain panas, yang tidak ada dalam prakiraan cuaca adalah polusi udara yang semakin parah. Di beberapa tempat, kadar AQI nya sudah di atas 500, yang artinya sudah sangat membahayakan buat kesehatan.

Hujan yang tak disangka-sangka

Tahun 2019, saya ingat ada 1 hari di mana kadar AQI bahkan hampir mencapai 700. Tahun ini saya sudah tidak terlalu kaget dengan AQI di atas 500, tapi yaaa tetap saja berharap polusi ini segera berlalu.

Menurut berita yang saya baca, polusi di utara Thailand ini ternyata bukan lagi produk dari penduduk Thailand saja, tapi juga merupakan kiriman dari negeri tetangga. Jadi ini menjawab pertanyaan saya, kenapa sudah ada larangan pembakaran 80 hari, tapi udara tidak juga membaik.

Lanjutkan membaca “Yay! Hujan!”

Sekolah di Rumah

Catatan: Tulisan ini tidak sedang memperdebatkan definisi homeschool, sekolah di rumah, home based education, distance learning, online learning, learning from home dan metode-metode yang menyebabkan anak belajar di rumah di bawah pengawasan orangtua.

Beberapa hari belakangan ini, saya banyak baca pengumuman di berbagai belahan dunia termasuk di DKI Jakarta mengenai sekolah ditutup dan kegiatan belajar dipindahkan di rumah sebagai salah satu langkah mencegah penyebaran virus covid-19. Berbagai reaksi dari orangtua dan siswa bermunculan.

Saya tidak tahu bagaimana nantinya pelaksanaan dari kegiatan belajar di rumah. Mungkin ada yang dalam bentuk memberikan lembaran kerja untuk dikerjakan di rumah seperti PR tapi lebih banyak dari biasanya. Mungkin ada yang mengadakan pelajaran streaming online – walaupun untuk hal ini saya tidak yakin kesiapan bandwith dari sekolah maupun dari setiap murid. Mungkin akan ada juga di mana orangtua harus mengambil dan mengantarkan hasil kerja anaknya setiap hari. Yang jelas, bagaimanapun pelaksanaannya, orang tua akan jadi lebih repot daripada sebelumnya.

Bagaimana kalau kedua orangtua harus bekerja seharian? Di beberapa negara, selain sekolah ditutup, pegawai kantor juga diperintahkan untuk bekerja dari rumah. Dengan asumsi ini, orangtua bisa mengawasi anaknya untuk mengerjakan pelajaran sekolahnya. Tapi bagaimana kalau kantor orangtuanya masih wajib masuk kerja? siapa yang akan mengawasi kegiatan belajar anak di rumah?

Lanjutkan membaca “Sekolah di Rumah”

Ketika Joshua Ada Maunya

Polusi di Chiang Mai sudah membuat kami lebih sering di rumah saja daripada keluar rumah. Musim panas juga bikin tambah malas keluar rumah. Tapi sepertinya Joshua mulai bosan di akhir pekan kalau hanya di rumah saja. Entah ide dari mana, dia mengajak papanya untuk mencari tulisan atau bentuk ABC di sekitar lingkungan rumah. Dia menyebutnya Nature Walk ABC. Beberapa kali karena polusi, kami menolak ajakannya. Ketika polusinya hanya di level moderate, papanya ajak dia jalan keliling komplek.

Saya tidak suka memakai masker, dan Joshua juga tidak suka memakai masker. Memang memakai masker ini tidak nyaman. Makanya kami juga mengurangi jalan-jalan di luar rumah dan memilih di rumah saja dengan memasang filter udara. Kami sudah berusaha menjelaskan sebelumnya, tapi setiap kali kami pasang maskernya, Joshua akan langsung melepaskannya.

Yay, akhirnya mau juga Joshua pakai masker ketika polusi
Lanjutkan membaca “Ketika Joshua Ada Maunya”

Virus Covid-19 VS Robot, Self Driving Cars, dan Tes Kit 15 menit

Setiap hari, saya berusaha untuk tidak memikirkan masalah penyebaran Covid-19. Melihat angka-angka bertambahnya pasien atau adanya pasien meninggal terkadang membuat perasaan campur aduk. Saya dan Joe berusaha melihat sisi lain dari mewabahnya Corona yang sudah dinyatakan sebagai global pandemic oleh WHO ini.

Obrolan kemarin misalnya, karena ada banyaknya pasien di Italia, semua rumah sakit penuh dan dokter sampai pusing menentukan siapa yang harus ditolong dan tidak. Atau ketika membaca berita meningkatnya jumlah pasien positif di Belanda karena ada satu daerah di mana 4% dari petugas rumahsakit di area Noord-Brabant (Eindhoven, Tilburg, Breda and Den Bosch) positif Corona.

Kami pikir, alangkah baiknya kalau ada mekanisme pengecekan positif atau tidaknya corona ini dengan cepat dan harga yang terjangkau. Lalu kami juga berandai-andai ada robot yang bisa mengecek positif tidaknya pasien, mengantarkan kebutuhan pasien seperti makanan, obat dan misalnya untuk memeriksa temperatur. Dengan adanya robot yang bisa desinfeksi, kemungkinan bisa membuat para pekerja di rumah sakit juga tidak perlu khawatir tertular.

Joe juga bilang, harusnya sekarang ini para ilmuwan berlomba untuk membuat test kit Covid-19 yang bisa diproduksi massal, harga terjangkau dan juga bisa mengetahui hasilnya dengan cepat, jadi setiap orang bisa melakukan pengecekan sendiri semudah pengecekan kehamilan di rumah. Lalu ya kalaupun positif tapi gejalanya tidak parah, bisa mengisolasi dirinya sendiri di rumah sampai merasa lebih baik dan mengecek lagi ketika merasa sehat sampai dipastikan memang bebas virus.

Ternyata, dari hasil googling hari ini, semua yang kami pikirkan itu sudah mulai dikembangkan. Kelebihan manusia dalam menghadapi krisis memang selalu menghasilkan inovasi baru atau membuat teknologi yang dibutuhkan untuk menghadapi krisis dengan cepat.

Lanjutkan membaca “Virus Covid-19 VS Robot, Self Driving Cars, dan Tes Kit 15 menit”

Musim Panas, Polusi dan Songkran 2020 di Chiang Mai

Thailand resmi memasuki musim panas sejak 1 Maret 2020. Beberapa hari di awal Maret, ada badai musim panas yang melewati sebagian dari daerah utara Thailand dan cukup memberikan angin mengusir polusi di Chiang mai.

Udara yang panas dan akan semakin panas

Sudah beberapa hari ini rasanya semakin malas keluar rumah. Selain polusi, virus corona dan sekarang udara yang panas luar biasa terutama di siang sampai sore hari membuat saya memilih tinggal di rumah saja kalau tidak terpaksa keluar.

Kalau menurut prakiraan beberapa hari ke depan, setiap harinya akan semakin panas. Akhir pekan ini prakiraannya suhu tertingginya sampai 41 derajat Celcius. Musim panas baru berlangsung beberapa hari, dan temperatur sudah setinggi ini? Saya tidak bisa bayangkan bagaimana suhu udara di bulan April nantinya. Kemungkinan bisa mencapai 44 – 45 derajat celcius.

prakiraan cuaca 7 hari ke depan: mostly sunny and hot (sumber: accuweather)
Lanjutkan membaca “Musim Panas, Polusi dan Songkran 2020 di Chiang Mai”

Bingung Bahasa

Bingung bahasa dalam tulisan ini bukan bingung bahasa yang terjadi pada anak-anak yang besar dengan multi-bahasa. Tapi cerita bagaimana saya bingung bahasa alias lupa sama sekali kosa kata yang harusnya saya sudah tahu hehehe.

Ceritanya sejak tinggal di Thailand, saya belajar bahasa Thailand dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Entah bagaimana, setiap kali menerjemahkan bahasa Thai, saya butuh bepikir dalam bahasa Inggris dulu, lalu kemudian menemukan bahasa Indonesianya.

Terkadang saya butuh untuk menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan Thai sekaligus. Berbeda dengan anak-anak yang bisa switch otomatis, saya sering salah dan keterusan ngomong 1 bahasa tertentu, yang dengar tentu saja jadi bingung hehehe.

Ada satu masa, di mana saya lebih bisa menemukan kosa kata dalam bahasa Thainya daripada menjelaskan bahasa Indonesianya ke Joe. Ada beberapa kata bahasa Thai yang memang tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia. Masalah ini biasanya terjadi karena kosa kata dalam bahasa Indonesianya sudah lama tidak saya gunakan, jadi ya tentunya lupa.

Belakangan saya belajar bahasa Korea dan banyak menonton drama Korea. Sebenarnya kosa kata bahasa Korea saya masih sangat sedikit sekali kalau dibandingkan dengan bahasa Thai.

Seperti halnya belajar bahasa Thai, saya belajar bahasa Korea dengan pengantar bahasa Inggris. Menonton drama korea, saya menggunakan subtitle bahasa Inggris. Demikian juga dengan aplikasi Memrise dan DuoLingo yang saya gunakan untuk belajar bahasa Korea, saya menggunakan bahasa Inggris.

Untuk bahasa Thai, saya sudah bisa bilang level percakapan sehari-hari sudah lumayanlah. Terkadang saya sudah bisa berpikir dalam bahasa Thai juga. Bahasa Korea saya belum bisa dipakai untuk percakapan, buat nonton tanpa subtitle saja masih belum bisa gitu loh.

Kemarin, setelah sekian lama, saya menonton film Thai di Netflix dengan subtitle bahasa Inggris. Untuk menonton film, walaupun saya sudah bisa bahasa Thai, saya masih menggunakan subtitle, karena masih banyak kosa kata gaul dalam bahasa Thai yang saya tidak mengerti, selain terkadang volume suaranya saya pasang pelan jadi ada kata-kata yang tidak terdengar.

Kembali ke cerita nonton film Thai, saya lihat di subtitle ada frasa: “miss you”. Dan saat itu juga entah kenapa yang kepikiran malah bogo sipo alias 보고 싶어, waktu menyadari, saya pikir lah itu mah bahasa Koreanya! Hahahahaha. Ketauan ya genre tontonan drama koreanya.

Terus saya jadi mikir sendiri: eh tunggu dulu, bahasa Thainya “miss you” apa ya? Sampai beberapa menit saya tidak ingat! Bisa saja saya membesarkan volume suaranya dan ulangi beberapa menit terakhir, tapi saya pikir: lah masak itu saja gak ingat sih! Sebelum film berakhir, saya bisa ingat sih akhirnya kalau bahasa Thai nya “miss you” itu khit theung (คิดถึง).

Kalau mau bela diri: emang saya ga pernah memakai kata-kata miss you dalam bahasa Thai, karena belakangan ini saya tidak punya teman Thai yang sering diajak ngobrol. Gak mungkin kan ngomong miss you random ke orang yang baru ketemu hahaha.

Waktu Jonathan masih punya teman playgroup orang Thai, mamanya teman Jonathan jadi teman saya juga, naaah teman saya itu sering tuh ngomong: Risna kemana aja, lama ga kelihatan, kangen deh.

Bahasa itu memang bisa hilang kalau tidak dipakai. Beberapa kosa kata bahasa Thai untuk kegiatan menjahit juga dulu saya banyak tahu waktu masih rajin belajar dengan guru Thai. Belakangan ini setelah 10 tahun berhenti menjahit, saya harus mengingat lagi istilah-istilah menjahit dalam bahasa Thai. Tapi biasanya, kalau kita sudah pernah tahu, kita lebih cepat untuk mengingatnya dan terutama bisa mengerti ketika mendengarnya.

Sepertinya sudah waktunya untuk mulai membuka-buka buku bilingual Thai – Inggris atau menonton film Thai juga. Waktunya untuk mengingat kembali berbagai kosa kata Thai yang pernah dipelajari supaya tidak jadi hilang semuanya.