Physical Distancing Terbawa ke Mimpi

Kemarin, setelah sekian lama, kami sekeluarga pergi berlibur. Kami menginap di sebuah resort dengan dua kamar tidur dan memiliki kolam berenang. Anak-anak senang sekali bermain-main di kolam renang dengan papanya.

Kolam renangnya sebenarnya tidak besar, tapi cukup untuk menyenangkan hati anak-anak bermain air di sore hari yang panas. Hanya ada kami di kolam itu. Setelah capek bermain air, kami kembali ke kamar untuk beristirahat.

Villa itu memiliki dua kamar tidur, ruang TV yang bergabung dengan dapur, dan dua kamar mandi. Kami semua tidur di kamar yang sama di paling depan. Padahal biasanya anak yang besar sudah bisa tidur di kamar sendiri. Kami menutup area ke kamar tidur yang tidak kami tempati karena bulu kuduk rasanya agak berdiri setiap melewati atau melihat kamar yang kosong itu. Perasaan saya agak tidak enak dan merasa seram dengan ruangan yang kami sewa itu.

Di pagi hari, saat baru terbangun saya berkata dalam hati, “bukankah di masa sekarang ini ada peraturan kalau kolam renang harusnya masih ditutup? Kenapa kami kemarin bisa menggunakan kolam renang ya?” Terus, saya jadi memikirkan lagi, kami bahkan tidak memakai masker ketika berenang. “Tapi aneh sekali ah kalau berenang sambil pakai masker,” kata saya dalam hati. Lalu, entah kenapa saya terpikir lagi, “Ah ini sepertinya hanya mimpi, mana mungkin bisa liburan di masa pandemi.” Di saat yang hampir bersamaan kalau itu semua hanya mimpi, saya benar-benar terbangun dari mimpi.

Lanjutkan membaca “Physical Distancing Terbawa ke Mimpi”

Surat untuk Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi

Hari ini akhirnya hujan turun di Chiang Mai, entah kenapa jadi ingat belum menuliskan surat untuk tenaga kesehatan yang paling sibuk di masa pandemi ini. Untuk pegawai di dinas kesehatan, untuk para dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit, klinik kesehatan ataupun puskesmas di seluruh dunia. Untuk mereka yang gak punya pilihan untuk bekerja dari rumah.

sumber: freepik.com

Para tenaga kesehatan ini mungkin yang paling berharap pandemi segera berlalu, supaya mereka bisa beristirahat dengan perasaan tenang di rumah dengan keluarga, tanpa ada rasa khawatir jangan-jangan saya sudah terpapar penyakit. Mereka yang bertugas untuk mengurus pasien. Mereka yang harus menjaga dirinya supaya tidak terpapar dengan segala penyakit yang ada selain covid-19.

Iya penyakit bukan cuma 1 saja, ada banyak penyakit lain selain Covid-19, dan semua itu harus dirawat juga. Setiap hari, para tenaga kesehatan ini berhadapan dengan segala penyakit yang kadang tidak terlihat gejalanya. Mereka harus mendiagnosa penyakit pasien dengan serangkaian pertanyaan maupun tes. Kalau pasiennya tidak jujur, semakin sulit penyakit ditemukan, semakin lama harus mencari bagaimana merawatnya dan semakin tinggi kemungkinan mereka terpapar penyakit yang dibawa si pasien (dan ini bukan hanya masa covid-19 saja).

Mama saya seorang perawat di masa mudanya. Ketika kami mulai agak besar, papa saya meminta mama saya berhenti bekerja di rumah sakit dan bertugas di kantor saja. Sekarang mama saya sudah pensiun bertahun-tahun sebagai pegawai dinas kesehatan yang mengurus pekerjaan bagian rumah sakit. Sedikit banyak, saya tahu juga pekerjaan mama saya di dinas kesehatan. Mereka juga perlu membuat laporan tentang jumlah pasien, tentang penyakit yang paling banyak terjadi di satu daerah, tentang fasilitas apa yang dibutuhkan di satu daerah tertentu.

Terbayang saat ini, di masa pandemi, pegawai dinas kesehatan baik yang bertugas di rumah sakit ataupun yang di kantor, kerjaannya jadi banyak. Mereka tidak punya pilihan untuk di rumah saja. Mereka yang akan disalahkan kalau ada data laporan yang salah ataupun jumlah pasien yang tak kunjung sembuh.

Mungkin mereka tidak pernah berharap bakal bertemu dengan masa pandemi. Jangankan tenaga kesehatan, saya saja masih sering berharap masa pandemi ini hanya mimpi buruk dan segera terbangun dari tidur dan semua kembali ke keadaan yang normal.

Kemarin saya ngobrol dengan ipar saya, seorang dokter yang bertugas di Puskesmas. Ketika saya menanyakan bagaimana kabarnya, dia langsung curhat kalau sejauh ini sudah ketemu dengan 3 pasien positif covid-19 (bukan cuma terduga) dari hasil rapid test. Padahal rapid test ini masih sering memberikan false negatif, tapi kalau hasilnya positif, berarti memang sudah benar-benar positif. Saya tanyakan apakah dia selalu memakai perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) setiap ketemu semua pasien. Katanya mau tak mau ya harus, walau APD yang dipakai bukanlah APD yang sesuai standar dan terkadang harus cuci kering dipakai lagi sampai robek baru ganti.

Saya kaget, saya pikir tenaga kesehatan kita dapat jatah APD untuk melindungi diri dan supaya bisa merawat pasien dengan baik. Ternyata, mereka harus mencari sumbangan sendiri untuk mendapatkan APD. Duh, kalau dokter dan tenaga kesehatan tidak ada jatah APD, bagaimana kalau mereka terpapar lebih dahulu? bisa-bisa semua pasien dengan keluhan lain ikut terpapar juga.

Obrolan dengan ipar saya membuat saya ingin bertanya lagi dengan dokter yang lain. Saya mengontak teman SMA saya yang juga seorang dokter. Kalau menurut teman saya ini, dokter yang bekerja di rumah sakit swasta bisa menolak menemui pasien kalau tidak ada APD. Betapa jauh bedanya dengan nasib dokter di puskesmas ya. Padahal mereka sama-sama dokter dan sama-sama dibutuhkan di masa pandemi ini. 

Saya juga bertanya-tanya apakah suster dan pegawai kesehatan lainnya mendapat jatah APD juga? Kataya, kalau suster harus menyediakan APD sendiri. Padahal setahu saya gaji suster itu jauh lebih rendah daripada gaji dokter, dan mereka juga lebih sering ketemu pasien daripada dokter.

Ah, sekarang saya mengerti kenapa dulu papa saya tidak suka mama saya bekerja di rumah sakit. Saya baca saat ini banyak tenaga kesehatan yang tidak berani pulang ke rumah. Mereka menjaga jarak aman dengan keluarganya karena mereka tidak mau mengambil risiko. Sudah banyak tenaga kesehatan jadi korban pandemi ini.

Mungkin kalau saya yang jadi pegawai kesehatan di masa pandemi, saya akan bolos kerja saja atau berhenti sekalian. Pergi ke rumah sakit saja rasanya sudah bikin gemetar duluan, apalagi kalau harus jadi yang merawat orang sakit tanpa APD di masa pandemi ini.

Tapi memang menjadi tenaga kesehatan itu panggilan hati. Mereka menjadi tenaga kesehatan bukan karena gengsi atau sekedar biar ada pekerjaan. Mereka pastilah memang punya hati untuk melayani. Hati untuk membantu sesama manusia melawan penyakit yang diderita.

Walau tanpa fasilitas APD bukan jadi penghalang buat para tenaga kesehatan untuk mengerjakan tugasnya. Mereka mengupayakan APD sendiri, mereka menjaga kesehatan diri sendiri sambil tetap merawat yang sakit. Mereka tidak mundur walaupun nyawa sendiri taruhannya.

Buat para petugas kesehatan semua dimanapun kamu bertugas, terimakasih saya ucapkan untuk kalian semua. Terimakasih kalau kalian mau tetap bekerja supaya kami bisa di rumah saja. Terimakasih kalau kalian tetap mau merawat semua pasien tanpa memandang status dari si pasien dan jenis penyakit apa saja.

Saya tahu, kalian pasti berharap kami semua mengikuti anjuran yang ada dari pemerintah. Supaya kami tidak keluar rumah kalau tidak terpaksa. Supaya kami jaga jarak aman dengan yang lain. Supaya tidak ada pasien yang bohong waktu diperiksa. Dan pasti kalian berharap besok tidak ketemu pasien dengan gejala ataupun tanpa gejala yang positif covid-19.

Iya, tidak ada yang mau sakit. Semua juga pengen sehat. Semua berusaha untuk meningkatkan imunitas. Saran berjemur, minum vitamin, makan makanan sehat, berolahraga sebagian besar berupaya lakukan. Tapi memang ada juga yang selalu merasa dirinya harus sehat karena kalau tidak kerja tidak makan.

Iya, banyak yang merasa sehat dan tidak bisa diam di rumah saja. Tidak punya kendaraan pribadi, lalu terpapar atau malah menyebarkan di angkutan umum yang berdesakan. Banyak juga yang sudah disarankan untuk isolasi, tapi karena butuh makan harus keluar rumah juga.

Saya hanya bisa berdoa dan berharap pandemi ini segera berlalu. Semoga para tenaga kesehatan juga tetap sehat melalui masa ini. Semoga ada yang segera menemukan titik terang untuk mengakhiri pandemi ini. Entah itu vaksin, atau obat atau cara mendeteksi pasien secara dini untuk mengurangi penyebaran infeksi.

Salam dari Chiang mai untuk tenaga kesehatan di manapun kamu berada. Semoga malam ini kalian bisa beristirahat memulihkan tenaga walau mungkin hanya sebentar saja.

Menanti-nantikan Hujan turun di Chiang Mai

Sejak beberapa hari lalu, saya membaca pengumuman kalau akan ada hujan di utara Thailand sebagai akibat dari badai di Cina Daratan bagian selatan. Setiap hari, saya memeriksa prakiraan cuaca dan berharap pengumuman itu cukup akurat. Sungguh berharap hujan yang cukup banyak untuk menghapuskan polusi di kota Chiang Mai ini selain untuk mengisi persediaan air kota Chiang Mai yang mulai mengering.

Pengumuman akan ada Summer Thunderstorms di Utara Thailand (Sumber: tmd.go.th)

Membaca detail pengumuman ini, sebenarnya hati saya terbagi antara senang dan sedikit khawatir. Senang karena dengan adanya hujan dan angin kencang artinya udara akan terasa sejuk dan bersih, bye bye polusi. Khawatir karena membaca deskripsinya berupa hujan badai disertai kilat yang menyambar dan angin kencang dan kemungkinan hujan batu es juga. Apalagi dilengkapi dengan peringatan untuk tetap berada di dalam ruangan selama hujan berlangsung. Semoga saja tidak semengerikan yang saya bayangkan yang nanti terjadi.

Lanjutkan membaca “Menanti-nantikan Hujan turun di Chiang Mai”

Physical Distancing dan Good Friday

Ada gak yang mengalami apa yang saya alami. Sekarang ini, setiap melihat foto atau video di mana ada banyak orang ramai-ramai berkerumun, yang pertama terpikir adalah: “Wah mereka kok tidak jaga jarak aman”. Pikiran berikut:”Kok ga pada pake masker sih!” Kemudian saya tersadar, lah itukan foto dan video lama, bukan baru-baru ini.

Tapi jangankan lihat foto dan video lama, kalau melihat drama yang masih on-going tayang setiap minggu saja, saya berpikir: “Wow mereka berani sekali ya tetap produksi film. Kira-kira apa yang mereka lakukan untuk merasa aman di antara kru film atau artisnya tidak ada yang jadi spreader? apakah mereka mengadakan rapid test terlebih dahulu dan mengisolasi kelompok mereka supaya tidak berinteraksi sama sekali dengan dunia luar? Kira-kira kalau ada aktor atau kru film nya yang mengalami gejala, apakah mereka akan berhenti produksi seketika?”

Parah ya? Setelah kurang lebih 3 minggu di rumah saja dengan segala himbauan untuk jaga jarak aman dan memakai masker, rasanya sudah seperti dicuci otak saja. Gimana dengan orang-orang di Wuhan yang katanya lockdown selama 76 hari? Kira-kira setelah berapa hari kondisi di Thailand akan kembali normal?

Himbauan untuk menutup sekolah-sekolah dan lembaga kursus di Thailand di mulai sejak 18 Maret 2020, awalnya direncanakan sampai 30 Maret saja. Pada waktu itu bahkan belum ada rencana pembatalan Festival Songkran dan pesawat domestik dan internasional masih banyak beroperasi.

Lalu, karena semakin banyak kasus positif di seluruh Thailand, setiap hari peraturan bertambah, dan sekarang ini setelah semua sekolah ditutup, Kementrian Pendidikan Thailand mengumumkan tahun ajaran baru yang biasanya dimulai bulan Mei akan diundur dan mulai lagi 1 Juli 2020. Untuk sekolah Internasional, dipersilahkan mengatur tahun ajaran sendiri asalkan pelaksanaanya ya dari rumah masing-masing.

Dengan pengumuman ini, berarti sekolah dan lembaga kursus di Thailand diliburkan selama kurang lebih 100 hari. Selain aturan sekolah, kantor-kantor belum semuanya bekerja dari rumah. Beberapa orang yang kerjanya di mall tentunya sudah dirumahkan karena mall tidak boleh buka kecuali yang menjual makanan saja. Semua orang di luar rumah wajib memakai masker. Beberapa bis antar kota sudah berhenti beroperasi.

Lanjutkan membaca “Physical Distancing dan Good Friday”

Menulis itu…

Buat saya gak selalu gampang.

Saya berusaha menuliskan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Berusaha mengurangi menulis yang isinya keluhan semata dan mencari topik yang membuat orang lain merasa lebih baik setelah membacanya.

Ada idealisme untuk menuliskan hal-hal yang jelas sumbernya dan jelas sampainya ke pembaca. Butuh waktu untuk memformulasikan berbagai berita yang dibaca untuk dijadikan satu tulisan sendiri. Tapi sepertinya, di jaman sekarang, di saat arus informasi begitu derasnya, para profesional di bidang media sepertinya kurang mementingkan memeriksa fakta. Mereka berlomba untuk menuliskan berita terkini paling dulu.

Bukan hanya di masa pandemi ini saja, dari dulu setiap ada kasus yang ramai dibicarakan, setiap media berlomba memberitakannya. Bisa puluhan artikel terbit yang bedanya hanya 2 kalimat, yaitu kalimat judul dan kalimat penutup. Memang, media online berbeda dengan media cetak. Untuk tampil di media cetak, sebuah artikel pasti ada batas minimum jumlah kalimat, tapi untuk tampil di media online sepertinya berita berupa foto dengan keterangan foto saja sudah cukup untuk dilengkapi kemudian.

Kemampuan baca generasi online juga kabarnya tidak sama dengan kemampuan baca generasi offline. Jadi kalau melihat artikel dengan tulisan semua tanpa gambar, sudah hampir dipastikan banyak orang akan melewatkan beritanya dan hanya baca judul dan paragraph pertama saja.

Satu hal yang saya tidak suka dari artikel berita masa kini adalah, kadang-kadang jurnalis online mengutip beberapa tulisan dari media pribadi (blog, twitter, bahkan komen instagram) dan menuliskannya seolah-olah dia mewawancarai orang yang bersangkutan.

Ya memang secara tidak langsung, mereka memberi kredit terhadap penulisnya, tapi kenapa harus menuliskannya dengan gaya bahasa: menurut informasi yang kami peroleh dari mr. X , bla bla bla. Padahal ya sebut saja menurut blog si mr.X pendapatnya begini loh…. Penulisan seolah-olah ditanya langsung, padahal minta ijin mengutip tulisan aja kadang-kadang tidak dilakukan. Entahlah, apakah hal tersebut tidak diatur dalam kode etik jurnalisme ?

Menulis blog saja buat saya ga gampang. Kadang-kadang saya harus berpikir untuk menuliskan tanpa membuat orang lain tersinggung. Hal lain yang perlu dipikirkan juga bagaimana membuat tulisan yang ada gunanya. Kalau tulisannya tidak berguna, sudah saja tulisannya simpan jadi diary.

Menulis di media online itu harus ada filternya. Misalnya di jaman pandemi, kita gak bisa serta merta mengomentari setiap berita yang kita baca dan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan. Belakangan ini, selain mendapatkan tulisan yang menyejukkan hati ketika dibaca, banyak juga terusan video yang mengajak untuk mempermalukan orang-orang hanya karena pendapat mereka berbeda di awal maraknya Covid-19 dan setelah diresmikan jadi status pandemi.

Hal lain yang juga mengesalkan dari tulisan di media online, bahkan media berita yang sudah punya nama terkadang nulis berita itu sering menggunakan istilah yang salah. Padahal dengan menggunakan istilah yang salah, malah bikin beritanya jadi tambah ngawur.

Salah satu kata yang paling sering digunakan di masa pandemi ini adalah: lockdown. Media berlomba memberi list negara yang di lockdown. Waktu saya membaca kalau Thailand termasuk dalam negara yang lockdown, saya mengernyitkan kening karena sebagai yang tinggal di Thailand, saya tahu sampai saat inipun Thailand belum lockdown. Banyak aturan diberlakukan yang bisa ditambahkan setiap saat, tapi tidak ada lockdown di Thailand. Mau berbelanja keluar rumah gak perlu pakai ijin, cuma perlu pakai masker!

Ah ujung-ujungnya tulisan ini jadi ngomongin covid-19 related lagi deh. Padahal tadinya mau nulis secara general hehehehe. Intinya, menulis itu ga selalu gampang, tapi kalau udah nulis ya tuliskan hal yang berguna, bisa dipertanggungjawabkan dan jelas sumbernya. Bahkan menuliskan fiksi aja bisa jadi perkara kalau terlalu ada kesamaan fakta dan nama.

Tambah Irit Selama di Rumah Saja

Berbeda dengan cerita teman-teman yang mengeluhkan pengeluaran tambah banyak selama di rumah saja terutama untuk cemilan, saya merasa selama di rumah saja 3 minggu ini pengeluaran tambah irit. Kenapa begitu?

Karena kami keluarga homeschool, pada dasarnya anak-anak ya belajar di rumah saja. Kalaupun ada keluar itu biasanya untuk kegiatan tambahan seperti kelas art, kelas taekwondo, kelas musik dan kelas bahasa Thai. Nah sejak di rumah saja, semua kelas itu juga diliburkan, otomatis biaya kursus yang dibayarkan dihitung untuk pembayaran bulan berikutnya. Jadi pengeluaran untuk biaya kursus berkurang.

Biasanya, antar jemput anak pasti butuh isi bensin paling tidak 2 kali sebulan. Nah sejak di rumah saja, bensin belum diisi sama sekali. Kebetulan memang isi bensin sebelum himbauan dirumahkan ini. Joe masih kerja, tapi ke kantor jalan kaki doang jadi ga kepake tuh bensin. Terus kalaupun harus isi bensin, harga bensin sekarang lagi murah hehehe.

Di tempat kegiatan kursus anak itu biasanya banyak godaan jajanan. Kalau bukan anaknya, ya emaknya atau bapaknya suka tergoda beli cemilan waktu di luar. Dengan semuanya di rumah saja begini, cemilan jadi lebih terkendali dan karena sudah biasa di rumah saja, selera nyemil kami tidak jadi berubah drastis. Biasanya kalaupun di rumah udah bikin kopi, pas antar anak-anak les itu ada godaan buat beli kopi es lagi dan kadang-kadang beli kue-kue juga hehehe.

Sebelum himbauan di rumah saja, walaupun ada polusi, ada juga sih sesekali kalau udara tidak terlalu jelek kami pergi ke mall di akhir pekan. Kalau pergi ke mall, tau sendirikan, bukan cuma buat makan saja, kadang-kadang suka jadi sekalian beli ini beli itu. Godaan di mall itu banyak hehehe, belum kalau anak-anak liat mainan dan pasang tampang memelas pengen dibeliin.

Untuk makanan, karena di rumah saja, otomatis belanjaan lebih direncanakan untuk seminggu supaya gak sering-sering keluar. Dan tentu saja makan di rumah itu lebih irit daripada makan di restoran.

Pengeluaran yang paling terasa selama di rumah saja itu ya untuk listrik dan air. Karena udara panas luar biasa dan juga polusi udara, otomatis nyalain AC dan filter udara yang menggunakan tenaga listrik. AC sih gak selalu nyala 24 jam, tapi filter udara tidak bisa ditawar, hampir 24 jam menyala. Kalau air bertambah bayarnya selain untuk menyiram tanaman dan halaman, juga karena anak-anak dikasih main air di kamar mandi. Kasian gak kemana-mana, jadi ya udah main air aja di kamar mandi hehehehe.

Gimana dengan belanja online? katanya kan selama di rumah saja, malahan jadi tambah banyak belanja online? Kalau untuk soal ini, dari dulu saya tidak suka belanja online. Kalaupun ada yang kami beli online selama masa di rumah saja ini, ya memang karena dibutuhkan, bukan karena bosan ga ada kerjaan terus ya browsing barang-barang belanja gitu.

Sekarang ini mall di Thailand hanya boleh buka bagian makanan dan kebutuhan pokok. Yang namanya barang-barang non makanan itu semua wajib tutup. Jadi kalau ada butuh sesuatu yang non makanan, tidak ada pilihan lain kecuali beli online.

Kalau kalian selama di rumah saja jadi tambah boros atau tambah irit? Kira-kira paling boros di bagian mana?

Kenapa saya gak aktif di Instagram dan Twitter

Jaman sekarang ini sepertinya hampir semua orang beralih dari FB ke Instagram atau Twitter. Walaupun ada juga yang posting di FB, IG dan Twitter hal yang sama saja.

Mungkin ini tandanya saya sudah masuk generasi yang tidak mengikuti jaman. Saya punya account IG dan twitter, tapi rasanya enggan untuk aktif di sana. Untuk twitter bahkan saya sudah tidak login lagi karena lebih pusing lagi melihatnya.

Beberapa alasan kenapa saya tidak suka ber IG:

  • kebanyakan hastag, saya pusing baca caption dengan sejuta hastag yang kadang ga berhubungan
  • tulisan yang kecil-kecil dalam foto sungguh sudah tidak terbaca lagi
  • kadang-kadang ada video yang cuma beberapa detik tapi berulang ulang gerakan yang itu-itu saja, dan loadingnya bisa lama banget
  • saya lebih suka membaca tulisan daripada melihat video
  • suka pusing kalau ada yang berusaha bikin tulisan panjang lebar di 1 posting instagram, tapi karena keterbatasan jumlah huruf di caption, dilanjutkan di bagian komen
  • upload dan edit di IG juga terasa gak semudah FB

Iya namanya selera ya bebas ya, kebanyakan orang di FB juga tidak suka membaca tulisan kalau tidak ada fotonya, sedangkan di IG kebalikannya, kita tidak bisa posting kalau ga ada gambarnya. Karena katanya sebuah gambar itu bisa mewakili ribuan kata. Tapi pertanyaanya, kalau begitu, kenapa masih repot-repot menambahkan tulisan panjang lebar sampai super kecil di IG?

Sama halnya saya tidak suka twitter, saya pusing melihat orang yang berusaha menjelaskan hal panjang lebar dalam banyak posting, yang nantinya bisa dibalas satu persatu dan akhirnya bingung ini asal mulanya dari mana ya.

Kalau mau baca artikel, saya lebih suka artikel yang utuh dan sukur-sukur terstruktur. Saya bisa langsung ke bagian yang saya butuh kalau memang tidak mau baca bagian depannya.

Makanya saya memilih menulis di blog kalau memang ingin menulis panjang lebar. Saya bisa tambahkan foto kalau mau, kalau tidak juga tidak masalah. Linknya tinggal dibagikan di FB kalau memang pengen dibagikan.

Untuk melakukan pencarian, lebih mudah mencari kata daripada mencari penjelasan sesuatu dalam video atau dalam gambar yang dikasih tulisan panjang lebar.

Satu hal lagi yang saya kurang suka, adanya pemaksaan untuk memfollow account IG tertentu dan ngetag orang lain untuk memberi tahu sebuah event tertentu.

Iya, saya tahu, namanya juga teknik marketing jaman sekarang ya seperti itu. Mau gak mau ya harus ikut aturan, kalau ga mau ya minggir aja.

Banyak orang tidak suka baca tulisan terlalu panjang memang, jadi tulisan ini saya akhiri sebelum kepanjangan.