Musim Dingin di Chiang Mai

Hari ini, bangun pagi rasanya agak berbeda. Ternyata musim dingin sudah tiba. Musim dingin di sini merupakan waktu yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang. Awal kami di Chiang Mai saya ga kebayang apa yang dimaksud dengan musim dingin di sini, karena di Indonesia dulu musim dingin itu disertai dengan hujan. Di Bandung juga hawanya sejuk, tapi ya kadang cuma pagi hari doang, dan ketika kami meninggalkan Bandung sebelum ke sini, Bandung sudah ga terlalu sejuk lagi.


Kami diberitahu kalau di Chiang Mai musim dingin itu berbeda dengan musim hujan. Akhirnya setelah mengalami kami jadi mengerti, kalau di sini walaupun hujan belum tentu dingin, dan biasanya sekitar November sampai Februari baru deh musim dingin yang tanpa hujan. Suhu udara memang jadi dingin berbeda dengan musim hujan. Tidak ada hujan tapi udara sehari-harinya sekitar 18 derajat celcius sampai 30 derajat celcius, dan akan ada hari-hari di mana bangun pagi itu 11 derajat dan rasanya susah banget buat bangun karena hawanya adem buat tidur. Matahari tetap bersinar terik, tapi udaranya dingin. Cuaca yang baik untuk jalan-jalan.


Jangan bandingkan musim dingin di sini dengan musim dingin di negeri bersalju. Di sini puji Tuhan ga ada salju, karena kadang-kadang ada masa beberapa hari di mana suhunya bisa berkisar 11 derajat celcius dan dingin sepanjang hari. Tahun lalu, waktu musim dingin yang lagi dingin banget begini, kepala saya pusing sangkin dinginnya. Dari pengalaman musim dingin di sini, saya jadi tahu kalau saya ga cocok di negeri yang mengalami dinginnya salju.


Karena musim dingin di sini gak seekstrim negeri bersalju dan sepanjang tahun umumnya panas menyengat, tentu saja kami ga prepare dengan pemanas udara. Pemanas air di kamar mandi sih ada, tapi untuk pemanas ruangan di sini bukan hal yang umum. Waktu beli AC harusnya bisa memilih AC yang punya pilihan mengeluarkan udara hangat selain udara dingin, tapi AC bawaan dari rumah yang disewa sering kali nggak punya fitur itu. AC di mobil kami cukup bisa menghangatkan mobil ketika di musim dingin, tapi sejauh ini AC di rumah kami cuma bisa mendinginkan saja.

Buat saya, musim dingin itu menyenangkan karena angka tagihan listrik bisa lumayan berkurang karena ga perlu nyalain AC lagi hahaha. Tagihan air juga berkurang karena mandi cukup 1 kali sehari hahaha. Dulu kalau dibilang orang ga mandi tiap hari saya akan terheran-heran, tapi sekarang jadi ngerti kalau musim dingin kita ga keringatan dan rasanya walau ada air hangat di kamar mandi tapi ogah masuk kamar mandi sering-sering karena udaranya dingin begitu selesai mandi hehehe.

Musim dingin di Chiang Mai itu musim untuk jalan-jalan. Udara sejuk, tanpa hujan. Matahari cerah tapi ga keringatan. Bunga-bunga yang indah juga bermekaran. Di bulan Januari, ada tempat yang cukup dingin untuk bunga Sakura berkembang. Kalau ada yang pengen datang berkunjung ke Chiang Mai, semua orang selalu akan menyarankan datanglah di musim dingin. Orang asing yang tinggal di negeri 4 musim juga sangat senang dengan musim dingin di sini, karena musim dingin di sini ga ada apa-apanya dibandingkan negara mereka. Di musim dingin di sini akan terlihat pemandangan mencolok di mana orang lokal pake baju tebal berlapis dan scarf (karena ini waktunya tampil beda mungkin ya) sedangkan orang asing berbaju singlet dan celana pendek.

Suhu di Doi Inthanon

Secara geografis, Chiang Mai ini terletak di bagian utara Thailand. Di bagian selatan Thailand seperti Phuket dan Krabi atau di bagian tengah seperti Bangkok dan Pattaya tentunya tidak akan sedingin di Chiang Mai. Sedingin-dinginnya Chiang Mai, ada bagian Thailand yang lebih utara lagi yang lebih dingin lagi. Di titik tertinggi seperti Doi Inthanon udaranya bisa sangat dingin sampai embun paginya berbentuk es. Beberapa tahun terakhir, suhu udara di Doi Inthanon bisa mencapai dibawah nol derajat celcius. Beberapa tahun lalu kami pernah ke Doi Inthanon di musim dingin, rasanya memang lebih menggigil dibanding di Chiang Mai, padahal kami ke sana bukan di saat suhunya paling dingin.

Bunga sakura (di Thailand) hanya berbunga di musim dingin

Musim dingin sudah tiba, saatnya mengeluarkan baju-baju hangat yang selama ini tersimpan di lemari dan menyusun jadwal rencana jalan-jalan akhir pekan untuk menikmati udara segar di Chiang Mai. Kalau ada yang mau ke Chiang Mai, sekarang ini saat yang tepat. Di bulan November ini akan ada Festival Lentera dan Loy Kratong sekitar tanggal 20-23, masih ada waktu buat memesan tiket hehehe.

Pajak Mobil di Thailand

Sejak mulai menyetir mobil di Chiang Mai, saya jadi tahu ada layanan bayar pajak mobil drive thru di sini. Di Indonesia saya ga pernah nyetir dan ga pernah tau urusan pajak mobil hehehe. Kebetulan lokasinya dekat sekali dengan rumah kami waktu pertama sampai di Chiang Mai. Karena hari ini saya baru membayar pajak mobil tahunan dan prosesnya ga lebih dari 15 menit, saya jadi kepikiran menuliskan ini. Hal ini merupakan salah satu hal yang bikin hidup lebih nyaman di sini.

Drive thru untuk bayar pajak mobil

Di Thailand, sebelum bayar pajak, setiap mobil yang berumur lebih dari 7 tahun harus diinspeksi dulu mesinnya. Proses inspeksi ini biasanya sekitar 10 menit. Setelah itu kita wajib membayar asuransi pemerintah yang di sini di kenal dengan nama Po Ro Bo. Asuransi wajib ini biayanya sekitar 600 baht. Karena mobil kami masih belum 7 tahun, tadi saya bahkan ga perlu turun dari mobil. Saya datang ke garasi yang menyediakan layanan pembuatan Po Ro Bo, lalu bilang mau bayar pajak mobil. Kurang dari 5 menit orangnya sudah selesai mencetak dokumen asuransi Po Ro Bo untuk dibawa ke bagian bayar pajak mobil

Tadi saya bikin Po Ro Bo di garasi seberang tempat bayar pajak, jadi dari sana saya tinggal bawa mobil melewati tempat drive thru dan menunggu giliran di dalam mobil saja. Di loket pembayaran ada tulisan kira-kira menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk melayani 1 mobil itu sekitar 1 menit 45 detik. Wow banget ya, mereka bisa melayani banyak orang yang bayar pajak dalam 1 hari. Setelah sampai di loket, kita serahkan buku biru mobil dan bukti sudah memiliki Po Ro Bo, lalu kita diberi tahu berapa biaya yang harus dibayarkan. Biaya tiap mobil berbeda tergantung umur dan jenis mesin, untuk mesin kami Nissan Almera kami membayar 1070 baht per tahunnya. Untuk 5 tahun pertama harga pajak akan tetap, dan setelahnya akan ada penurunan harga sekitar 10 persen.

Buku biru dan stiker baru tahun 2562 = 2019 masehi

Buku biru di sini merupakan buku yang berisi informasi mengenai mobil dan pemiliknya. Setiap kali transaksi jual beli mobil, kita biasanya langsung ganti buku biru dan ganti nama pemilik.  Setiap bayar pajak juga akan ada catatannya di dalam buku biru ini. Stiker yang ditempel di kaca mobil berisi informasi bukti sudah membayar pajak dan kapan harus bayar pajak lagi. Angka besar yang tertera merupakan tahun dalam kalender Thai. Selain tahun itu ada informasi bulan dan tanggal expired dan nomor plat kita. Berbeda dengan yang saya ingat, di Indonesia orangtua saya ganti plat setiap 5 tahun, di sini kami ga pernah ganti plat tapi ya ganti stiker.

Stiker tanda bayar pajak



Setelah kita bayar pajak mobil, kita akan diberikan stiker yang harus ditempelkan di depan kaca mobil. Stiker ini untuk memudahkan polisi mengecek ketika ada razia. Pernah satu kali kami sudah bayar pajak, tapi Joe lupa belum ganti stikernya dan pas ada pemeriksaan. Akibatnya harus bayar denda deh karena stikernya juga ketinggalan di rumah. Dendanya juga lumayan, 500 baht. Denda nya bisa bayar di tempat, atau transfer di Bank. Joe waktu itu memilih bayar di tempat, daripada repot nyari banknya dan antri lagi di bank.

Kalau di Indonesia sekarang ini gimana ya kira-kira pembayaran pajak kendaraan bermotornya. Ada ga sih layanan bayar drive thru begini. Urusan bayar pajak jadi mudah dan ga makan waktu lama dengan pelayanan drive thru begini.

Hong Kong Trip: Kowloon Park, dan The Peak

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari Sabtu, 22 September 2018 merupakan hari terakhir dimana kami bisa jalan-jalan melihat HongKong. Ada banyak pilihan sebenarnya yang bisa dikunjungi, tapi kami putuskan untuk ke The Peak saja. Tapi sebelum ke The Peak, kami pengen ajak anak-anak ke playground di Kowloon Park. Lokasi Parknya juga ga jauh dari hotel.

Traveling dengan anak-anak ga bisa bikin itinerary yang banyak, kami juga sengaja ga menargetkan harus berangkat pagi-pagi. Pengennya ya jalan-jalan santai saja. Sekitar jam 10 lewat kami baru keluar dari hotel, tujuan pertama ke Kowloon Park mengikuti google map, jalan kaki sekitar 8 menit.

Seperti kebanyakan tempat di HongKong, dari luar ga keliatan kalau tempat itu adalah park yang sangat besar. Kowloon Park ini ada kolam renangnya segala, sekitarnya tertutup tembok tinggi. Masuk ke dalam, kami mencari playground. Jalan masuk ke dalam yang kami temukan, kami harus menaiki tangga, mungkin ada pintu masuk lain yang stroller friendly karena di dalam kami melihat banyak juga yang bawa anak di stroller.

Playgroundnya ada banyak slide dan cukup luas. Area playgroundnya dicover dengan lapisan soft tile. Matahari sudah agak terik dan beberapa slide terasa panas, tapi anak-anak masih bisa enjoy main di sana dan ada banyak juga yang datang bermain ke taman. Sementara anak-anak main, saya main pokemon di bangku pinggiran playground yang disediakan untuk yang nungguin anak main hehe.

Di park itu ada banyak pokestop. Hari itu sedang ada pokemon community day, dan kalau diliat sekilas hampir semua pokestop dipasang lure module, hal seperti ini ga pernah saya lihat di Chiang Mai. Sepertinya orang-orang di HongKong lebih rajin main Pokemon Go.

Setelah anak-anak puas bermain sekitar 1 jam, kami memutuskan untuk ke tujuan selanjutnya, tapi karena udah jam 12 lewat dan kami melewati Mc Donald, kami memutusan makan dulu supaya ga kelaparan nantinya. Antrian di Mc Donald agak panjang, hari itu hari Sabtu dan banyak yang baru selesai berenang memutuskan makan juga di Mc Donald. Setelah memesan makanan, saya baru menyadari ternyata makan di Mc Donald HongKong harganya cukup murah dibandingkan makan di restoran-restoran yang sebelumnya kami datangi, pantesan aja ramai ya. Menu Mc Donald di HongKong ga ada nasi, jadi Joshua ga mau makan. Joshua juga ga mau makan kentang. Jadi selesai dari Mc Donald, kami pindah ke restoran lain yang jual spaghetti carbonara. Selama di Hong Kong, Joshua agak sulit makan, menu yang dia makan cuma nasi telur atau spaghetti carbonara.

Selesai makan, kami memutuskan untuk ke stasiun Tram The Peak. Dengan bantuan google map kami menemukan stasiun MRT. Waktu sebelumnya kami berencana membeli octopus card untuk keperluan naik MRT dan bayar berbagai hal di HongKong, tapi karena hari-hari sebelumnya saya dan anak-anak cuma eksplore seputar hotel, jadi kami baru berkesempatan naik MRT di hari terakhir ini.  Kami membeli tiket single pass dari stasiun Tsim Tsa Tsui ke arah Central (cuma 2 stop).

Dari Central kami mengikuti petunjuk arah ke Tram The Peak. Petunjuk arah di HongKong cukup banyak dan cukup jelas. Kadang-kadang kalau terpaku dengan google map malah bisa nyasar. Jadi kami mengikuti petunjuk arah yang ada di jalan saja. Dari Central ke Tram The Peak menurut google map sekitar 1km lebih. Jalan sambil ngejar-ngejar Joshua ga berasa sampai juga ke Tramnya.

Awalnya kami pikir akan sampai di The Peak seblom terlalu sore dan bisa pulang awal, tapi ternyata kami salah. Hari sebelumnya saya sudah baca mengenai perlunya boooking online tiket Tram supaya tidak harus mengantri panjang, tapi karena kami ga yakin jam berapa kami bisa datang maka kami nekat aja datang tanpa beli tiket online. Dan keputusan ini agak disesali karena ngantrinya emang super lama dan melelahkan. Ada 2 antrian super panjang di sana.

Kami hampir salah mengantri. Antrian pertama itu antrian untuk Bus City Tour, di seberang jalan di bawah jembatan ada antrian untuk membeli tiket Tram The Peak. Mengantri buat membeli tiketnya saja kayaknya ada hampir 2 jam, lalu setelah beli tiketnya habis itu antri lagi untuk masuk ke Tram nya. Kalau kita beli online, ada jalur khusus untuk langsung naik ke Tramnya. Jadi saran saya, kalau memang mau ke sana bawa anak-anak ataupun sendiri, lebih baik rencanakan dengan matang dan pastikan bisa datang pada waktu yang direncanakan. Jauh lebih baik daripada ngantri berjam-jam. Tapi seandainya kami beli tiket online, kemungkinan ga bisa ke park dulu paginya.

Setelah antrian yang berjam-jam, akhirnya kami naik ke Tramnya. Dan naik tramnya cuma 7 menit! hahaha. Tramnya cukup unik sih, udah berumur 150 tahun terbuat dari kayu dan mengingatkan saya dengan lift untuk naik ke Doi Suthep. Bedanya, Tram ini naiknya lebih tinggi dibanding 300 tangga Doi Suthep. Pemandangan di sebelah kanan Tram bisa melihat kota HongKong juga. Kagum mereka bisa membangun rel dengan elevasi yang cukup miring dan bertahan lama. Waktu turunnya penumpang duduknya seperti jalan mundur.

Sampai di The Peak, kami masih harus naik escalator lagi melewati mall beberapa lantai (lupa 5 atau 6 lantai) dan akhirnya sampailah di sky terrace untuk melihat pemandangan seputar kota Hong Kong. Di Sky Terrace tidak tersedia banyak kursi, ada teropong untuk melihat kota yang menggunakan koin seperti di Monas, tapi sayangnya yang bisa melihat dengan enak hanya orang yang tinggi badannya, kalau di Monas saya ingat tersedia tangga untuk anak-anak bisa melihat menggunakan teropongnya, tapi di sana tidak ada sama sekali.

The Peak Hong Kong ini juga menyediakan kartu berbentuk hati untuk kita bisa menuliskan pesan-pesan yang digantung di sana. Kalau dari iklannya, tempat ini juga bisa dibooking kalau misalnya mau melamar kekasih hati. Di bagian bawah sky terrace ini berupa mall dan restoran. Waktu kami sampai ke sana, matahari belum terbenam, tapi sedang silau-silaunya. Karena kami ga punya kamera yang cukup bagus, agak sulit membuat foto yang bagus. Di sana disediakan juga jasa foto profesional, tapi karena antrinya banyak, kami memutuskan foto seadanya aja. Sebenarnya katanya sih orang-orang banyak yang datang buat melihat sunset di The Peak itu, dan pemandangan kota malam hari lebih indah karena banyak lampu dari gedung-gedung di kota keliatan jelas, tapi dengan pertimbangan besok kami masih harus perjalanan pulang ke Chiang Mai, kami tidak menunggu sunset supaya tidak terjebak antrian berjam-jam lagi untuk pulang.

Antrian pulang itu sebenarnya cuma antri untuk naik ke tram, tapi karena kapasitas tram terbatas dibanding banyaknya penumpang, kami antri sekitar 30 menit untuk naik ke Tram.  Samai di bawah, awalnya kami berencana untuk naik taksi saja pulang langsung ke hotel, tapi nunggu taksinya lama, ya udah deh jalan lagi ke stasiun MRT. Perjalanan pulang ga terasa lebih cepat, mungkin karena udah lebih tau arah tujuan jalannya dibanding waktu pergi. Sampai hotel rasanya kaki mau copot, apalagi Joe yang jalan sambil beberapa kali gendong Joshua.

Makan malam kami take away, makan di kamar. Packing-packing dan tidur deh. Untungnya pesawat dari HongKong ke Chiang Mai ga terlalu pagi seperti dari Chiang Mai ke Hong Kong, jadi kami bisa tidur cukup tenang dan ga ketakutan ketinggalan pesawat. Jam 7 pagi kami cekout dan langsung dapat taksi ke airport, perjalanan ke Airport sekitar 30 menit dan karena masih pagi kami ga kena macet. Sampai airport banyak tempat masih tutup. Di airport akhirnya nemu kopi yang lumayan rasanya dibandingkan sebelum-sebelumnya. Dan jam 12 siang kami sudah tiba lagi di Chiang Mai.

HongKong Trip: Disneyland Day 2

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari berikutnya Rabu 19 September 2018. Anak-anak bangun sebelum jam 7 karena tidur awal malam sebelumnya. Matahari di luar sudah cerah banget. Karena hari sebelumnya kami makan malam masih agak sore, pagi-pagi kami udah lapar. Bersyukur juga udah pesan sarapan di hotel, jadi bisa langsung turun buat sarapan. 

Awalnya saya bingung mau milih makanan apa buat Joshua, akhirnya kami menemukan susu dan sereal di restoran untuk sarapan Joshua. Highlight dari sarapan di hotel adalah berfoto dengan Chef Mickey. Tapi berhubung chefnya cuma menyediakan sesi foto 30 menit, jadi kami harus antri foto juga sebelum Chefnya pergi. Anak-anak yang yang gitu kenal tokoh Mickey ya biasa aja deh hehehe.

Makanan sarapannya ada banyak jenis. Rasanya menurut saya biasa aja, ada pancake dibentuk kepala Mickey, ada buah-buahan, yoghurt, mie, nasi dan macem-macem deh. Tapi kalau kata Joe masih lebih berkesan dengan restoran di Jogja yang pernah kami kunjungi beberapa tahun lalu karena makanannya ada makanan khas Jogja (gudeg) dan ada jamu segala. Makanan di restoran Disneyland menurut saya agak standard, bahkan ga ada omellete yang diisi macam-macam yang biasanya jadi menu yang banyak ditunggu orang sampai ngantri.

Hari ke-2 sebelum ke Disneyland, selesai sarapan kami memutuskan jalan-jalan seputar hotel. Kami ga buru- buru ke Disneyland karena toh jam bukanya jam 10.30 pagi. Kami menemukan playground yang sangat sepi karena sepertinya anak-anak yang lain lebih suka berenang. Kami ga berenang karena saya ga siapin baju berenang, dan keputusan itu tepat karena kolam renangnya terbuka dan jam 8 pagi saja panasnya sudah terasa menyengat. Setelah puas bermain di playground yang menghadap ke laut, kami jalan sedikit mengitari halaman hotel sambil nangkap pokemon dan battle pokegym dan kembali ke kamar.

Karena jam check out hotel sekitar jam 11 dan kami masih mau bermain lagi di Disneyland (kami punya tiket untuk 2 hari), kami putuskan untuk langsung membawa koper ke area Disney supaya ga perlu balik lagi ke hotel. Di hotel juga ada penitipan koper, tapi daripada harus naik turun shuttle lagi sebelum naik taksi, lebih baik kami bawa koper sekalian. Sebenarnya di dalam resort Disneyland, dekat dengan tempat penitipan koper ada stasiun MRT juga, ada sedikit niat untuk naik MRT ke arah hotel berikutnya di kota. Saya bilang sedikit niat, karena kemungkinan besar kami sudah akan sangat lelah sehabis bermain di Disney dan naik MRT sambil membawa koper besar plus anak yang kemungkinan juga minta di gendong itu pastinya akan sangat merepotkan. Tapi ya pada akhirnya kami naik taksi langsung dari tempat bermain Disneylandnya sih karena jalur MRT untuk menuju hotel berikutnya itu memerlukan ganti jalur kereta dan kemungkinan besar jalannya lumayan jauh.

Biaya penitipan koper dihitung per potong, jadi kami bayar untuk 2 koper (1 besar dan 1 kecil). Hari ke-2 di Disneyland kami sudah lebih tau apa yang akan jadi tujuan kami. Saya sudah membaca-baca deskripsi permainan yang kira-kira juga akan cocok untuk Joshua. Kami memutuskan untuk tidak menyewa stroller, karena kami pikir, nantinya Joshua bisalah tidur pas kami istirahat makan siang. 

Tujuan pertama di hari ke-2 ke Fantasy Land. Pertama naik Flying Dumbo, untungnya di hari ke-2 ini walau matahari cukup menyengat, tapi beberapa waktu ada awan yang cukup membuat udara ga terlalu panas.

Selesai naik Flying Dumbo kami bertujuan ke It’s a small world. Tempat tujuan berikut ini isinya seperti istana boneka di TMII, tapi lagunya Joshua sudah kenal karena ada dalam playlist yang sering diputar di mobil. Tapi sebelum sampai ke it’s a small world, kami naik teacup yang muter-muter dulu karena kebetulan lewat dan antriannya kosong, jadi ya sekalian aja. Lagipula tempatnya juga ada atapnya, jadi cukup teduh.

Joshua cukup senang naik gajah terbang maupun teacup yang muter-muter. Pas masuk ke it’s a small world udaranya paling adem, Joshua langsung semangat banget menuju ke boatnya. Di Disney, semua wahana menyediakan tempat antrian yang cukup panjang, kalau lagi ga ada antrian jadinya jalannya jauh hehehe. Keluar dari It’s A Small World, berasa deh panas lagi.

Selesai dari istana boneka, kami memutuskan untuk ke Toy Story Land dulu sebelum makan, kalau sudah makan kuatir malah mual kalau mainannya agak mutar-mutar.  Mampir sebentar di Tomorrow Land karena Jonathan mau naik roller coaster ala star wars.

Karena Joshua ga bisa ikut naik (ada batasan tinggi 120 cm), saya dan Joshua menunggu di luar. Daripada bengong, saya beli eskrim bentuk kepala Mickey (40 HKD). Saya pikir, anggap aja pengganti beli susu. Selesai Jona dan papanya naik roller coaster ala star wars (yang katanya Jona lebih menyeramkan karena gelap), kami naik flying saucer (ini sebenarnya sama saja dengan flying dumbo).

Sebelum sampai di Toy Story Land, kami lewati Adventure Land lagi dan sedang ada pertunjukan orang Moana. Pertunjukannya pake bahasa Cina dan Inggris, Jona dan Joshua ga gitu tertarik. Ada banyak orang dan tempat duduknya juga sudah penuh. Jadi kami berhenti sebentar doang untuk istirahat sekalian berteduh. Pas lewat lagi, ada beberapa orang foto dengan tokoh Moana versi English. Komentar Joe: sepertinya yang foto dengan Moana bapak-bapak semua, anak-anaknya ga ada malahan hahahaha. Kalau komentar saya: aduh itu rambut Moana ketauan banget rambut palsu, masih bagusan rambut aku hahahahha.

Setelah mampir sana sini, sampai juga di Toy Story Land, Joshua gembira banget liat tulisan ABC sampai Z yang super besar. Jadi agak gak enak sama orang-orang yang berusaha foto di situ, karena ya Joshua lalu lalang sambil bernyanyi-nyanyi gembira walaupun di bawah terik matahari. Setelah di distract, akhirnya sampai ke tujuan Toy Story Land, naik roller coaster yang bisa untuk semua umur dan tidak terlalu ekstrim (Slinky Dog Spin). Tapi ternyata, namanya roller coaster ya sama aja ya, tetep keliatan Joshua kurang suka naik roller coaster. Jonathan yang sudah naik yang lebih ekstrim tentunya cuma ketawa-tawa bahagia aja.

Selesai naik roller coaster, Jonathan pingin naik wahana yang ada Parachute drop. Di wahana ini sebenarnya Joshua bisa saja karena minimal 80 cm, tapi karena kami kuatir Joshua ga enjoy dan antriannya banyak, saya dan Joshua ga ikutan dan menunggu sambil Joshua puas-puasin liat ABC raksasa. Awalnya saya pikir kalau mereka jual versi mainannya, saya akan beli buat Joshua, tapi ternyata gak ada.

Setelah capek liat-liat ABC, akhirnya saya ajak Joshua jalan menunggu di area parachute drop. Saya dudukkan dia di kursi tempat latihan buat orang yang duduk di kursi roda. Eh ternyata dia ngantuk dan tertidur deh disitu. Karena Joe dan Jonathan masih lama diantrian, ya saya biarkan saja Joshua tidur disitu, sambil berharap ga ada orang yang perlu memakai itu (untungnya ga diusir juga sama petugas haha).

Sementara menunggu Joshua tidur, sebagai pemain Pokemon Go, kami mengambil alih satu Gym di area Parachute Drop.

Joshua masih kami biarkan tidur dikursi itu sekitar 25 menit, lalu kami gendong jalan sambil cari restoran.

Untungnya ga jauh berjalan dari situ kami menemukan restoran yang cukup adem dan ada menu nasi goreng segala di Explorer’s Club Restaurant di Mystic Point. Beberapa menu di restoran ini juga ada label Halalnya. Sambil menunggu saya order makanan, Joshua masih tidur sekitar 15 menit lagi.

Kami memutuskan  menutup perjalanan mengunjungi istana boneka lagi. Tapi setelah keluar dari Small World, Joshua mau naik Tea Cup lagi. Di sini HP Joe jatuh ke bawah Tea cupnya dan walaupun udah gorilla glass plus screen guard, HP Joe retak layarnya plus lensa kamera belakangnya juga retak. Masih nyala bisa dipakai, tapi layarnya ada bagian yang agak tajam dan berbahaya buat tangan, plus kamera depan belakang jadi blur.

Tadinya sudah cukup mau pulang, tapi karena wahana Winnie The Pooh lagi kosong dibanding hari sebelumnya, kami memutuskan masuk dulu ke Winnie The Pooh Storytime. 

Gak berasa, hari ke-2 kami bisa lebih banyak menikmati berbagai wahana. Tau-tau udah sore dan kami memutuskan untuk pulang supaya ga terlalu gelap sampai di hotel daerah Tsim Tsa Tsui. Kami naik taksi merah ke arah Tsim Tsa Tsui. Jonathan sangat terkesan dengan kode warna taksi di Hong Kong. Waktu dari Airport ke Disneyland, kami naik taksi berwarna biru, dari Disneyland ke Tsim Tsa Tsui kami naik taksi berwarna merah. Ada 1 jenis taksi lagi warna hijau tapi kami ga naik.

Sampai hotel Butterfly on Prat, sekitar jam 7-an, masukkin koper dan kami memutuskan makan di restoran Thailand sebelah hotel. Pelayan restorannya sebagian kurang bisa bahasa Inggris tapi bisa bahasa Thai, jadi mesennya malah pake bahasa Thai. Jauh-jauh ke Hong Kong pesen makanan Thai pake bahasa Thai hehehe.

Udah terlalu capek untuk menjelajah Hong Kong di waktu malam. Mampir di Cirlce K dan 7 Eleven akhirnya nemu susu coklat buat Joshua. Dan di sini lah saya mengalami kaget masalah sedotan, plastik bag dan merasa mini marketnya benar-benar mini dan barangnya ga sebanyak di Chiang Mai hehehe.

Hotelnya edkat McDonald’s, Circle K dan 7-Eleven

Kesimpulan hari ke-2: Kalau anak masih kecil, rasanya kurang optimal ke Disneyland. Sebaiknya menunggu anak tingginya 140 cm supaya bisa naik semua wahana dan harapannya kalau udah cukup besar, cukup kuat juga buat berjalan-jalan seharian menjelajahi Disneyland. Datang ke sana di hari biasa dan bukan musim liburan sekolah sangat membantu untuk tidak mengalami antrian panjang, tapi ya keputusan untuk langsung ke Disneyland di hari yang sama setiba di Hong Kong juga jadi ga efektif  di Disneylandnya.

Kalau mau lebih hemat, bisa juga menginap di area kota (bukan di Disneyland Resort), ke Disneyland hari berikutnya setelah sampai di Hong Kong, misalnya selesai sarapan naik MRT ke Disneyland, puas-puasin deh seharian dari jam 11.30 sampe jam 8 malam di Disneyland. Jadi bisa menghemat ga perlu titip koper segala, ataupun sewa stroller dan anak-anak juga udah segar tenaganya setelah tidur malam yang cukup. Bawa perbekalan makanan dan minuman dari Circle K atau 7 Eleven di kota, karena harga minuman di luar Disneyland berkisar 7 – 15 HKD saja.

Tapi ya, kami memang bukan traveler sejati. Udah tau ada aplikasi Disneyland sejak sebelum berangkat tapi tetap saja akhirnya di baca setelah sampai di sana hahahha. Jangan ditiru ya, kalau mau lebih fun lagi, sebaiknya baca informasi yang sudah banyak tersedia di internet, jadi gak kayak kami yang akhirnya banyakan jalannya daripada naik wahananya di hari pertama hehehhee. 

Mencari Sekolah buat Joshua

Sekarang Joshua berumur 3 tahun 2 bulan dan masih belum dikirim ke sekolah/playgroup atau daycare manapun. Jonathan dulu umur 3 tahun kurang sudah dikirim ke daycare/taman bermain. Sebelumnya ga kepikiran mencari/memilih sekolah aja bisa jadi rumit. Mencari sekolah ini selalu jadi topik yang menarik buat saya karena di sini walaupun ada banyak sekolah, tapi mencari sekolah yang sesuai dengan kami itu ternyata ga mudah. Bahasa, harga, lokasi selain kualitas jadi pertimbangan sebelum mengirim anak ke sekolah/taman bermain.

Waktu Jona masih di daycare, saya bertemu dengan salah seorang ibu yang sama-sama mencari sekolah terbaik buat anak. Kami mengunjungi banyak sekali sekolah di Chiang Mai. Tapi karena teman saya ini orang Thailand kami lebih banyak mengunjungi sekolah Thai atau bilingual yang mengakomodasi orang asing. Dari dulu sekolah Internasional itu mahal, jadi kami ga pernah menargetkan sekolah Internasional. Kalau kata teman saya, anak dikirim ke sekolah Internasional cuma bisa berbahasa Inggris, dan kadang-kadang malah ga punya skill lainnya. Mungkin karena dia memandang sebagai orang lokal tinggal di negara sendiri, dia merasa kemampuan bahasa Inggris itu ga harus jadi kemampuan utama, apalagi kalau sampai harus bayar mahal. Dia juga punya beberapa ponakan yang lulusan sekolah Internasional tapi akhirnya kerjanya biasa saja dan penghasilannya ga berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah lokal.

Saya sebagai lulusan sekolah negeri dari SD sampai kuliah, ga bisa argue juga mengenai sekolah Internasional. Kemampuan bahasa itu bisa dipelajari, kami ga pernah menargetkan anak-anak harus bisa bahasa Inggris dulu atau bahasa Thailand dulu, tapi karena kami ga tinggal di Indonesia kami malah menargetkan anak-anak harus tetap bisa berbahasa Indonesia selain bahasa apapun yang mereka suka.

Jonathan bisa bahasa Thai dan Inggris dan sempat cuma prefer bahasa Inggris. Sejak homeschool dan banyak berbahasa Indonesia, dia mulai lebih banyak kosa kata bahasa Indonesianya. Joshua sampai sekarang lebih banyak berbahasa Inggris walaupun mengerti bahasa Indonesia. Tapi belakangan dia juga mulai suka mengucapkan kata-kata bahasa Thai yang dia dengar. Kenapa kami memaksakan anak-anak harus bisa bahasa Indonesia padahal ga tinggal di Indonesia? ya karena mereka orang Indonesia dan oppung/eyangnya ga bisa bahasa Inggris ataupun Thai. Mereka harus bisa bahasa Indonesia biar bisa ngobrol dengan keluarga besar kalau lagi pulang kampung.

Di Chiang Mai, daycare yang gurunya bisa bahasa Inggris itu pilihannya ga banyak, dan harganya 2 kali lipat dari jaman Jona daycare. Kadang2 kepikiran, dulu orangtua kami rasanya ga pusing-pusing amat milih sekolah, mereka akan cari sekolah terdekat negeri yang mereka mampu bayar dan itupun kadang terasa berat tiap awal tahun ajaran karena harus beli baju seragam maupun buku pelajaran dan alat tulis, sepatu dan tas kalau misalnya yang sebelumnya sudah kekecilan/rusak.

Di Chiang Mai ada banyak orang asing. Ada banyak sekolah Internasional dan bilingual, setiap sekolah Thai juga selalu ada English Programnya, tapi dari hasil survei, walau mereka bilang English Programme atau Bilingual umumnya semua pemberitahuan ke orangtua atau penjelasan apapun pakai bahasa Thai. Harga uang sekolah di sini juga sangat beragam, yang pasti untuk sekolah Internasional, rata-rata berkisar mulai dari 250.000 baht/tahun atau diatas 110 juta per tahun. Saya tahu, di Indonesia uang sekolah Internasional juga ga murah, tapi karena kami bukan lulusan sekolah internasional dan merasa bisa berhasil tanpa sekolah internasional, kami jadi merasa sekolah internasional ga sepadan dengan harganya.

Untuk mengeluarkan uang sekolah ratusan juta per tahun sejak anak umur 3 tahun sampai lulus universitas kalau dihitung-hitung bakal jadi beban untuk anak itu juga. Pilihan daycare bisa lebih murah (walau ga murah banget juga), dan untuk umur di bawah 6 tahun, pendidikan formal itu belom dibutuhkan. Anak lebih butuh diajak bermain dan belajar life skill. Saya mencari sekolah paruh waktu buat Joshua, tapi inipun belum berhasil menemukan yang tepat. Dengan kemampuan akademis Joshua yang mulai membaca di umur 3 tahun, sepertinya bakal semakin sulit mencari sekolah yang tepat buat dia. 

Untuk sebelum umur 6 tahun, saya mencari sekolah yang tidak mahal, guru bisa berbahasa Inggris dan tidak menekankan akademik tapi lebih banyak mengajak anak bermain. Sekolah yang guru-gurunya ga sibuk main HP dan tetap mau perhatikan anak main walaupun judul kelasnya free play. Sekolah/daycare yang ga banyak kasih anak video walaupun itu kasih lagu nursery rhyme. Karena kalau gurunya main HP mulu atau kasih video doang akhirnya sama aja dengan saya dong dan bisa saya lakukan di rumah tanpa bayar atau ribet antar jemput hehehe. 

Pada akhirnya, walaupun saya sangat ingin mengirimkan Joshua ke sekolah supaya saya bisa lebih ringan tinggal ngajarin Jonathan di rumah tanpa harus ajak Joshua main, yang paling tepat sampai sekarang ini ya tidak mengirimkan Joshua ke sekolah. Beberapa pertimbangan nantinya mencari nanny biar bisa ninggalin Joshua dan Jona di rumah kalau mamanya butuh me time.

 

Akhir Sesi 2 ODOP99days

Tanpa terasa, saya sudah memaksakan diri untuk menulis posting blog minimal 1 tulisan seminggu sejak bulan Mei yang lalu. Di awal semangat masih tinggi dan banyak topik yang rasanya ingin dituliskan. Dalam seminggu bisa lebih dari 1 tulisan diposting, tapi semakin mendekati finish, mulai sering jadi nulis kejar setoran. Tulisan ini termasuk tulisan kejar setoran menjelang pergantian minggu.

Kilas balik dengan target ikutan grup ini supaya mulai lagi mengisi blog dan ya kalau bukan karena ikutan grup sudah bisa dipastikan saya sudah berhenti lagi posting blog. Target tercapai walau terkadang menulisnya buru-buru dan sejauh ini tetap tidak memakai gaya bahasa formal.

Pengalaman dari ikutan ODOP99Days ini lumayan banyak, saya jadi menemukan banyak yang rajin menulis (bukan cuma blog), tapi buat mereka menulis itu menjadi karya yang juga bisa menjadi sumber penghasilan. Apakah saya jadi pingin menulis buku? ya sebenernya keinginan menulis buku sudah ada dari dulu, tapi belum pernah benar-benar memaksakan diri untuk mulai menuliskannya (ga baik, jangan ditiru).

Dari sejak Mei, saya juga jadi memaksakan diri membaca minimal 1 buku dalam seminggu. Seharusnya bisa membaca buku lebih banyak lagi, tapi ya belum bisa konsisten untuk duduk membaca buku karena masih lebih tertarik membaca konten sosmed ataupun blogwalking.

Dari sharing teman-teman di grup, menulis itu butuh latihan seperti ketrampilan lainnya. Menulis itu juga sebaiknya menuliskan apa yang memang kita ketahui dan apa yang kita suka untuk tuliskan. Kalau melihat tulisan yang akhirnya saya posting, kebanyakan tulisan seputar homeschooling ataupun anak-anak.

Sebenarnya terkadang banyak sekali opini yang pingin dituliskan, tapi saya merasa kalau opini saya ga bermanfaat untuk orang lain sebaiknya saya simpan sendiri, apalagi kalau dituliskan tidak terstuktur lebih baik jadi draft saja hehehe. Untuk memfasilitasi menulis opini ini grup ODOP juga menyarankan kita setiap harinya menyediakan waktu untuk free writing. Mungkin target saya mengikuti sesi berikutnya nanti berupa harus mulai rutin menulis free writing dan juga membaca.

Buat yang belum tau, ODOP99days ini diperuntukkan untuk wanita usia 18 tahun ke atas, walaupun namanya 0ne day one post, kita dikasih minimal untuk menulis 1 kali dalam seminggu sebanyak 500 kata. Mungkin awalnya terasa sulit untuk menuliskan sebanyak 500 kata, tapi umumnya lama-lama tulisan yang disetorkan jumlahnya bisa sampai ribuan kata. Informasinya bisa diikuti di FB Group ODOP99days.

Dari beberapa tahun yang lalu, Joe memberi tahu saya soal NaNoWriMo (National Novel Writing Month), ini targetnya menuliskan novel selama sebulan di bulan November. Sejauh ini saya dan Joe masih gagal buat ikutan, ide ceritanya mentok mulu dan seringnya juga karena tidak menyediakan waktu secara konsisten untuk menulis.

Kadang-kadang menuliskan novel/cerita fiksi buat saya sulit dibagian percakapan para tokohnya. Kalau lagi membayangkan saja sih saya bisa, tapi giliran nulis saya bingung kebanyakan kata si A atau kata si B. Menuliskan opini begini saja paragraphnya terkadang masih terlalu panjang.

Mudah-mudahan saja kalau tetap berlatih di ODOP99days, tahun ini saya bisa mengikuti NaNoWriMo. Targetnya mungkin ga harus sampe dipublish ya, tapi ya minimal mengasah kemampuan menulis sebagai bentuk bercerita. Kalaupun bukan menulis novel, bisa juga bikin target untuk memulai menuliskan buku yang dari dulu ingin dituliskan. Mari kita lihat bagaimana konsistensi menulis di hari -hari mendatang. Semangat (menyemangati diri sendiri heheehehe).

Buku-buku Baru

Post ini sekedar untuk catatan beberapa buku baru yg dibeli belakangan ini. Bulan lalu beli beberapa buku dari Asiabooks.com. Kebetulan lagi ada diskon 20 persen untuk semua buku kalau beli online (ada beberapa toko asiabooks offline juga di sini). Berhubung Jonathan sudah selesai membaca buku Harry Potter 1 dan 2, maka kami beli buku 3 dan 4. Selain itu kami membeli buku set Minecraft.

Semua buku yang dibeli ini sudah dibaca berulang-ulang oleh Jonathan. Untuk Joshua kami membelikan buku wipe and clean 1 set yang isinya ada 5 buku. Sejak buku datang sampai sekarang, entah sudah berapa kali bukunya ditulisin dan dihapus. Untuk papa dan mamanya kayaknya ga beli buku deh, papanya palingan ikutan baca buku Minecraft saja.

Karena buku Fat and Cat sudah beberapa kali dibaca oleh Joshua, pas jalan ke toko buku liat buku Cow Take a Bow dan beberapa cerita lainnya. Papanya langsung semangat beliin buat Joshua, dan benar saja, sejak beli sampai sekarang entah sudah berapa kali dibacakan dan dihapalkan oleh Joshua.

Beberapa waktu lalu ada acara Big Bad Wolf di Bangkok. Saya awalnya ga kepikiran untuk beli-beli, karena ongkos buat ke Bangkoknya saja mahal. Kalau di Jakarta, teman saya cerita antrinya minta ampun dan kalau pergi ke sana harus siap-siap bawa koper dan ya siap-siap pegel ngantri selain bisa kalap liat buku banyak banget. Nah ternyata dari seorang teman yang pernah tinggal di Bangkok dan sekarang pindah ke Chiang mai, saya dikasih tau ada grup buat nitip beli. Waaaah langsung deh ikutan kalap hahaha.

Kerjaan Joshua. Masih ada beberapa yang salah, lumayan lah untuk 3 tahun 2 bulan yang tidak diajari secara khusus

Sebenernya saya masih cukup sukses menahan diri, melihat foto buku banyak banget. Kadang-kadang saya bingung, itu banyak banget buku apa ada yang baca ya? terus bukunya judulnya mirip-mirip gitu modelnya. Buku aktivitas buat anak juga banyak selain buku cerita.

Dari Big Bad Wolf Bangkok akhirnya saya nitip buku dalam bentuk set, karena harganya memang jauh banget hematnya. Jonathan sudah kami belikan dan baca buku Captain underpants 1 sampai 3, tapi kami belum beli lagi karena alasan agak mahal. Akhirnya kemarin nitip beli Capt. Underpants yang set (10 buku). Harga setnya ini kira-kira cukup untuk beli 4 buku satuan.  Selain set itu kami juga beli buku Diary of Wimpykids set dan buku wipe and clean untuk menulis tulisan sambung (cursive). Buku-buku ini semua umumnya untuk Jonathan walaupun buku Capt. underpants saya ikutan baca buat hiburan. Oh ya, saya juga membeli buku The Famous Five-nya Enid Blyton, saya ingin bernostalgia sedikit sekalian mengenalkan ke Jonathan bacaan chapter book saya dulu.

Ketika paket buku BBW sampai, saya baru menyadari saya ga pesan apa-apa untuk Joshua, tapi Joshua ternyata malahan senang dengan buku latihan menulis sambung. Sejak buku itu sampai kayaknya lebih banyak Joshua yang pakai daripada Jonathan. Joshua secara umum lebih senang tulis-tulis daripada Jonathan.

Awalnya, saya kurang setuju Joe beliin buku Captain Underpants buat Jonathan, karena tokoh ceritanya 2 anak sekolah yang agak “usil”, tapi setelah dibaca-baca, sebenarnya mereka bukan usil tapi kreatif. Buku ini juga mengenalkan konsep flip-0-rama. Konsep flip-o-rama ini sebenarnya bukan hal baru, tapi baru buku ini yang saya temukan cukup serius memperkenalkan flip-0-rama.

Buku Captain Underpants ini juga ada ide-ide yang bisa mengembangkan imajinasi anak, misalnya mesin fotokopi dari gambar jadi benda 3dimensi, mesin membesarkan atau mengecilkan, formula untuk memberi kekuatan super, dan pernah juga ada dibahas percobaan science sederhana mencampurkan vinegar dengan baking soda. Setelah membaca beberapa bukunya, menurut saya buku ini masih baik-baik saja untuk hiburan, tapi kita perlu ingatkan anak kita apa yang tidak baiknya dan jangan ditiru.

Sebelumnya saya berusaha mencari buku Famous Five nya Enid Blyton di toko buku di Chiang mai tapi ga pernah ketemu, nah dari foto-foto jasa titip, saya lihat ada 1 buku Famous Five. Berhubung ini buku lama, buku ini udah ga populer lagi sekarang, hampir saja yang dititipin kelewat karena dia ga pernah dengar The Famous Five (ketauan beda generasi). Untung akhirnya dia menemukan dari buku pertama, dan lebih menyenangkannya karena ada versi collection, 1 buku isi 3 judul buku. Saya langsung beli 3 buku koleksi yang ada di pameran itu. Yay dapat deh 9 buku hahaha.

Buku Captain Underpants udah selesai dibaca Jonathan sampai nomor 10, sekarang dia jadi terinspirasi ikut-ikutan bikin komik seperti tokoh dalam cerita captain underpants walau masih agak susah dimengerti. Saya baru selesai baca buku pertama Lima Sekawan. Jonathan juga tertarik dengan cerita Lima Sekawan karena saya bacakan bersuara. Menarik membaca buku lima sekawan versi bahasa Inggris (dulu yang saya baca versi bahasa Indonesia). Saya kagum dengan Enid Blyton yang bisa menulis banyak sekali buku dan karya yang dia tulis sebelum tahun 42 bisa dibaca tanpa terasa janggal di jaman sekarang ini. Gak kalah deh dengan Harry Potter.

Buku Diary of Wimpykids belum saya berikan ke Jonathan, karena pas saya baca lagi reviewnya ternyata ada bagian yang perlu didampingi. Sekarang ini Jonathan masih belum minta juga, jadi ya disimpan dulu. Harapan saya nantinya setelah baca buku Diary of Wimpykids, Jonathan kembali lagi mengerjakan jurnalnya dan siapa tahu mulai rajin mengisi blognya. Kadang-kadang Jonathan punya semangat yang sesaat saja, dan perlu disemangati terus menerus supaya dia tetap kerjakan.

Saya ini bukan orang yang terlalu rajin membaca, tapi saya suka ga bisa menahan diri untuk membeli buku apalagi kalau ada potongan harga. Sekarang ini udah banyak tumpukan buku yang harusnya dibaca, tapi gara-gara baca FB dan kadang-kadang nonton Netflix, jadilah bukunya ga dibaca juga. Joe lebih rajin membaca dari saya, dia bisa baca buku elektronik tanpa terdistract dengan segala pop up yang muncul di HP (Joe lebih sering baca buku teknis dan udah langganan Safari books, jadi jarang beli buku cetak).

Sekarang ini kami juga subscribe ke Kindle Unlimited supaya bisa mengakses lebih banyak buku lagi tanpa harus membelinya. Jonathan sepertinya lebih rajin membaca daripada saya, sekarang ini dia sedang meneruskan baca buku Micro Adventure yang ke-7 yang ke-8 (waktu bikin draft posting ini masih yang ke-7). Saya masih belum meneruskan baca buku Micro Adventure di buku ke-4 dan beberapa buku yang belum selesai di Kindle.

Waduh catatan buku aja jadi panjang gini. Biar ingat punya buku apa aja dan dibaca semuanya hehee.