OSWE

Pertengahan tahun lalu saya sudah mendapatkan sertifikasi Offensive Security Certified Professional (OSCP) dan ceritanya sudah saya tuliskan di sini. Sampai saat ini saya masih tetap bekerja full time sebagai programmer dan pekerjaan security tetap hanya pekerjaan part time bagi saya, jadi sebenarnya saya tidak perlu mengambil sertifikasi lagi.

Tapi karena faktor diskon, saya jadi mengambil Offensive Security Web Expert (OSWE). Di akhir tahun 2019 ada diskon besar untuk sertifikasi OSWE, tadinya harganya 1400 USD (kurs saat ini: 21 juta kalau dirupiahkan), tapi menjadi 999 USD saja. Kebetulan saya juga punya voucher 50 USD dari offsensive security dan vouchernya bisa dipakai di atas diskonnya, jadi biayanya bisa berkurang hingga menjadi 949 USD (saat ini: 14 juta kalau dirupiahkan). Seperti ketika OSCP, Xynexis mendukung saya dalam pembiayaan sertifikasi ini. Biaya OSWE saat ini adalah 1400 USD untuk akses lab 30 hari.

Untuk memperjelas: nama sertifikasinya adalah Offensive Security Web Expert (OSWE) dan nama course yang diperlukan adalah Advanced Web Attacks And Exploitation (AWAE). Dulu pelatihan AWAE ini hanya diberikan offline saja, tapi sejak tahun lalu bisa diambil online. Dulu pelatihan offline AWAE di Blackhat 2018 di Singapore harganya 5000-5500 SGD atau sekitar 53-58 juta rupiah dengan kurs saat ini, yang hanya beda tipis dengan kurs 2018.

Lab

Saya mendaftar tanggal 19 Desember 2019, dan mendapatkan akses lab mulai 12 Januari 2020. Saya sama sekali tidak ingat mengenai sertifikasi ini. Sampai mendapatkan peringatan tanggal 14 Januari bahwa akses akan segera ditutup jika saya tidak mendownload materinya.

Lanjutkan membaca “OSWE”

Mengucap Syukur untuk 13 Tahun di Chiang Mai

Tanggal 4 Mei 2007, kami tiba di Chiang Mai untuk pertama kali. Awalnya, tidak terbayang akan tinggal sampai selama ini di kota ini. Sebelum tinggal di Chiang Mai, saya tinggal di Bandung selama 12 tahun. Jadi, sekarang saya bisa bilang kalau saya sudah lebih lama tinggal di Chiang Mai daripada di Bandung.

Foto di Rathcpreuk Februari 2020, sebelum semua harus di rumah saja

Di tulisan tahun lalu, ada yang bertanya dan belum saya jawab tentang bagaimana awalnya kami pindah ke Chiang Mai. Saya cari lagi, sepertinya saya belum pernah menuliskan kisah awal kami ke sini. Jadi, di tulisan ini akan sekalian saya tuliskan, supaya jadi catatan untuk kami juga di kemudian hari.

Lanjutkan membaca “Mengucap Syukur untuk 13 Tahun di Chiang Mai”

Duolingo: Aplikasi untuk Belajar Bahasa

Sekitar dua hari yang lalu, saya mendapatkan e-mail yang mengingatkan kalau saya sudah setahun memakai aplikasi Duolingo untuk belajar bahasa Korea. Sebelum memakai ini, saya sudah mencoba juga memakai Memrise yang pernah saya tuliskan di sini. Saya jadi ingat kalau saya belum pernah menuliskan tentang aplikasi Duolingo di blog.

Duoversary e-mail dari Duolingo

Walaupun aplikasi Duolingo dan Memrise sama-sama saya pakai untuk belajar bahasa Korea dan metodenya mirip, saya akhirnya meninggalkan Memrise tapi tetap meneruskan Duolingo. Beberapa alasannya karena: Memrise materinya semakin lama semakin berat dan tidak banyak petunjuk, Duolingo terasa lebih fun dan ringan karena ada banyak petunjuknya dan saya bisa mengerjakan lebih sebentar.

Lanjutkan membaca “Duolingo: Aplikasi untuk Belajar Bahasa”

Belajar PUEBI Lagi

Hari ini, saya mengikuti kelas self-editing dengan teman-teman dari group KLIP. Belajarnya via aplikasi Zoom. Pengajarnya sepupu saya, Rijo Tobing, yang berhasil saya ajak masuk grup KLIP tahun 2020 ini. Inti dari pelajaran hari ini tentu saja kembali ke tata bahasa dalam bahasa Indonesia alias PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).

Udah mau bubar baru ingat foto (Sumber: dokpri)

Dari dulu, pelajaran bahasa Indonesia itu sering dianggap enteng. Banyak yang berpikir hanya karena kita bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, kita langsung jadi ahli bahasa Indonesia. Padahal dalam semua bahasa, belajar lisan dan tulisan tidak selalu sama. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan supaya pembaca tidak jadi salah mengerti ketika membaca tulisan kita.

Walaupun sudah banyak menulis di blog, saya sering tidak sabar untuk memeriksa kembali tata cara penulisan saya. Pembelaan diri saya, “Ah ini kan bukan tugas Bahasa Indonesia.” Padahal, alasan sebenarnya karena saya terlalu malas untuk membiasakan diri untuk belajar PUEBI lagi.

Saya tidak akan menuliskan apa saja hal-hal yang saya pelajari hari ini, karena semuanya ada banyak di buku-buku PUEBI yang tersedia online maupun offline.

Beberapa bulan lalu, di grup KLIP juga pernah ada belajar tentang PUEBI ini dalam sebuah kulwap (kuliah WhatsApp). Waktu itu, memang belum jamannya belajar sambil tatap muka pakai Zoom seperti sekarang. Waktu saya membaca materinya serasa membaca buku saku PUEBI. Saya menyerah sebelum mencoba.

Berbeda dengan kulwap sebelumnya, karena kelas menggunakan Zoom, selain mendengar saya bisa melihat presentasi dan contoh. Saya bisa berinteraksi juga untuk menanyakan langsung kalau ada pertanyaan. Belajar dua arah begini kelebihannya bikin beberapa hal langsung terekam di kepala. Hasilnya, saya jadi ingin belajar PUEBI lagi.

Belajar itu berbeda dari sekedar tahu. Setelah tahu apa saja aturan PUEBI, tentunya saya harus berlatih untuk mengaplikasikan aturan yang ada ketika menulis. Berlatih terus menerus sampai akhirnya menjadi keahlian.

Setelah pelajaran hari ini, saya merasa waktunya bergeser dari zona kemalasan. Setiap hari menulis berarti setiap hari ada kesempatan berlatih memperbaiki tulisan mengikuti PUEBI. Kalau merasa kurang banyak bahan latihan, selalu bisa memperbaiki tulisan yang lalu-lalu.

Belajar itu harus pakai niat. Dulu, rasanya mustahil buat saya bisa menulis setiap hari. Ternyata, tahun 2020 ini saya bisa menulis hampir setiap hari. Jadi, mudah-mudahan niat saya untuk belajar PUEBI lagi ini bisa tetap saya ingat untuk lakukan.

Buat saya, menulis sambil memeriksa aturan tata bahasa itu sering membuat ide tulisan keburu hilang. Yang terpikir saat ini, saya akan tetap menulis saja dulu seperti biasa, lalu membaca ulang sambil memperbaiki tata bahasa.

Mulai hari ini, saya akan mencoba mengingat satu hal dari aturan tata bahasa dan menerapkannya ketika memperbaiki tulisan. Kemudian akan menambahkan satu aturan baru setiap harinya, atau setiap beberapa hari. Mudah-mudahan, di akhir tahun 2020 ini, saya bisa mengingat dan menggunakan semuanya.

Belajar PUEBI lagi ini baik buat saya. Selain supaya tulisan-tulisan berikutnya semakin enak untuk dibaca, juga untuk persiapan mengajarkan ke anak-anak. Setidaknya ketika diperlukan mengajarkannya ke anak-anak, saya tidak perlu gagap lagi sambil berkali-kali buka contekan. Untungnya, sekarang ini anak-anak masih belum fasih membaca bahasa Indonesia. Jadi, saya punya waktu untuk belajar duluan.

Berduka di Masa Pandemi

Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.

Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.

Designed by mindandi / Freepik

Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.

Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.

Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.

Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.

Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.

Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.

Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.

Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.

Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.

Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.

Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.

Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.

Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.

Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:

  • Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
  • Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
  • Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.

Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.

Selamat Jalan Eyang Girl Sugiyarti

Panggilan ini dibuat Jonathan (waktu masih berusia sekitar 4 tahun) untuk membedakan panggilan ke orangtua Joe. Orang jawa biasa menyebut eyangti atau eyang putri. Tapi Jonathan menyebut mereka Eyang boy dan eyang girl. Sedangkan untuk mama saya, Jonathan memanggilnya oppung. Karena papa saya sudah tidak ada, Jonathan hanya punya 1 oppung jadi dia tidak menambahkan boy dan girl diakhir.

Duka di Keluarga Kami

Eyang Girl baru berulang tahun ke 64, tanggal 21 April kemarin. Kami hanya bisa mengucapkan selamat dengan video call. Beberapa hari lalu, kami juga baru teleponan lagi. Memang dengan adanya telepon pintar dan internet, kami bisa lebih sering telepon sambil tatap muka.

Tadi malam, kami tidur agak awal dari biasa. Lalu sekitar jam 11 malam, ada telepon masuk ke HP Joe dari adiknya. Telepon tengah malam, untuk kami yang tinggal jauh di negeri orang ini selalu bikin jantung berdebar lebih kencang. Setengah tak percaya kami ulangi lagi. Tapi isinya tak berubah. Emak, demikian Joe dan adik-adiknya memanggil ibunya ternyata sudah pergi menemui sang pencipta.

Eyang memang sudah lama sakit Diabetes. Belakangan juga sudah ada beberapa komplikasi. Sejak Jonathan lahir, eyang sudah beberapa kali masuk rumah sakit dan bikin kami deg-deg an. Tapi ternyata, Tuhan baik, eyang dikasih umur panjang sampai bisa melihat dan bermain dengan 7 cucu dari 3 putra nya. Dia bahkan baru main dengan 2 cucunya malam kemarin sebelum dipanggil Tuhan.

Pertanyaan pertama untuk kami tentunya: bisa pulang gak ke Indonesia? Menurut informasi, semua penerbangan internasional di Indonesia dan di Thailand sama-sama sedang memperpanjang masa pelarangan terbang sampai akhir Mei. Adapun informasi untuk repatriasi ke Indonesia, penerbangan terdekat tanggal 2 Mei dari Bangkok ke Jakarta. Tapi, itupun belum pasti, dan harus mendapat ijin dari pemerintah lokal Chiang Mai sebelum ke Bangkok.

Pertanyaan berikut: kalau pulang ke Indonesia, kapan akan kembali ke Thailand? jawaban ini tidak pasti, tergantung si pandemi. Mungkin Juni, atau bisa jadi Juli. Itupun belum tentu dari cengkareng bisa ke Depok, karena jelas dalam 2 provinsi yang berbeda. Kami tak punya pilihan. Kami serahkan semua ke adik-adik dan bapak untuk mengatur acara pemakaman eyang, walau sesungguhnya pastilah ada keinginan melihat eyang untuk yang terakhir kali.

Tuhan menyediakan semuanya untuk keluarga kami. Adik-adik Joe bekerja sama dengan cepat untuk mengurus surat kematian, mendandani eyang sampai semua persiapan bunga tabur untuk di pemakaman. Pengurus dari gereja juga bersedia datang dari jam sebelas malam sampai jam 2 pagi.

Adik-adik dan bapak di makam Emak.

Hari ini, semua ibadah pemakaman sudah berjalan dengan baik. Tuhan memudahkan semuanya. Saya salut untuk pengurus gereja GPIB Gideon yang sangat cepat bekerjanya. Peti, Salib, Ambulans, Tata ibadah lengkap dengan nama yang dimulai jam 10. Acara pemakaman eyang selesai sekitar jam 1 siang.

Dalam situasi normal tanpa pandemi, kami bahkan belum tentu sudah tiba di Depok jam segini. Mungkin saja masih harus menunggu pesawat transit dari Bangkok ke Jakarta.

Kami mengucapkan terimakasih juga untuk semua orang yang sudah hadir di pemakaman Eyang walaupun ditengah pandemi. Terimakasih juga untuk semua ucapan dari teman-teman yang ada di Facebook yang belum bisa kami jawab satu persatu.

Eyang dalam kenangan

Eyang perempuan hebat, punya 3 anak laki-laki semuanya lulusan perguruan tinggi negeri. Yang 2 orang menyelesaikan sampai Master degree, yang 1 malah sudah PhD. Eyang cuma lulusan SMP, tapi bisa membesarkan anak-anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Eyang tidak pernah marah sama cucu-cucunya, sama saya juga tidak pernah walaupun kadang kalau lagi pulang ke Depok, saya bangun siang hehehe. Eyang selalu nanya mau dimasakin apa sebelum kami sampai Depok. Masih di mobil perjalanan dari Cengkareng ke Depok kami sudah bisa menikmati bakwan atau tempe goreng bikinan Eyang Girl.

Sampai rumah di Depok, masih banyak lagi makanan lainnya sesuai pesanan. Mau sup buntut? mau bebek goreng? mau sayur pecel? mau opor? mau apa aja tinggal sebut, semua biasanya sudah tersedia ketika kami tiba di Depok. Bahkan kalau ke Chiang Mai, eyang suka sekali memasak berbagai makanan untuk kami. Eyang memang hobi memasak, saya belajar masak bakwan dan bikin tempe juga ya dari eyang girl. Dia gak pernah marahin saya walaupun saya malas masak, tapi katanya, bisa masak itu bagus jadi anak-anak gak suka jajan makanan di luar. Cukup dengan makanan yang ada di rumah saja.

Waktu tau Jonathan suka makan ketan yang berisi daging, Eyang masakin pulut ketan atau dibikin jadi lemper. Waktu saya tau Eyang bisa masak bubur sumsum lalu saya minta dimasakin, Eyang dengan senang hati membuatkan bubur sumsum buat saya sarapan pagi. Padahal harusnya kan saya yang masakin sarapan buat eyang ya hehehe. Kadang-kadang, cuma nanyain tukang mpek-mpek depan jualan gak ya? atau di mana ya jualan lupis, tak lama kemudian saya dikasih tau kalau makanan yang saya cari sudah ada di meja makan.

Setiap kali kami kembali dari Depok ke Chiang Mai juga pasti dibekali mie goreng sampe ayam goreng setidaknya bisa untuk makan malam dan sarapan pagi. Eyang rela bangun pagi-pagi walaupun pesawat kami terkadang harus berangkat jam 7 dari Jakarta. Soal makanan, eyang sangat memanjakan kami.

Kami Ikhlas

Terakhir kami bertemu eyang tahun baru 2019. Kami pulang sebulan di Depok, padahal rencana kita mau jalan-jalan bersama. Eyang sakit dan masuk rumah sakit hanya beberapa hari sebelum kami pulang ke Depok. Untungnya eyang sudah sembuh sebelum sebelum kami kembali ke Chiang Mai.

Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Kami sudah berencana untuk pulang di bulan April 2020 ini, apa daya pandemi terjadi. Padahal sudah menyusun rencana jalan-jalan dengan eyang girl ke Bandung. Lalu kemarin waktu telepon masih berjanji, setelah pandemi berlalu kami akan ke Depok. Ternyata Tuhan berkehendak lain.

Menurut iman kepercayaan Kristen, barang siapa yang sudah percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dia akan diselamatkan setelah mati. Karena kami tahu bagaimana eyang di masa hidupnya sudah menerima Yesus, kami juga ikhlaskan eyang bertemu dengan penciptanya.

Eyang sudah tenang bersama Bapa di Surga. Eyang tidak perlu mengeluh sakit ini atau itu lagi. Eyang tidak perlu kuatir akan apapun lagi. Hidup eyang di dunia ini sudah selesai. Tugas eyang untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya juga sudah selesai. Semua yang dia harapkan juga sudah didapatkan.

Terimakasih buat Emak (saya juga memanggil mertua saya dengan sebutan emak). Terimakasih sudah memberi contoh nyata menjadi ibu yang selalu berdoa untuk keluarga. Menjadi ibu yang selalu memanjakan anak dan menantunya. dengan kasih sayang.

Terimakasih untuk emak yang sudah membesarkan anak tertuanya yang sekarang menjadi suami saya dan mengajarkan saya untuk selalu berpikir positif dalam melihat hidup ini. Sampai nanti kita bertemu lagi. Yang pasti emak akan selalu ada dalam hati kami.

Harapan Setelah Pandemi Berakhir

Walaupun belum tahu kapan pandemi ini berakhir, saya ingin berangan-angan. Melihat cara-cara manusia beradaptasi terhadap situasi khusus di masa pandemi, saya berharap beberapa hal bisa tetap dilakukan pasca pandemi. Namanya juga harapan, belum tentu terwujud, tapi ya namanya juga angan-angan.

Pernikahan Tanpa Resepsi Mewah

Esensi pernikahan itu untuk mengikat janji sehidup semati menjadi suami istri. Sebelum pandemi, ada banyak sekali saya membaca pengantin baru yang harus menanggung beban membayar hutang pesta pernikahan yang hanya sehari itu.

Resepsi pernikahan berupa pesta mewah yang menghabiskan biaya banyak itu tidak ada gunanya. Mungkin banyak yang tidak setuju dan berpendapat kalau pesta itu untuk berbagi kebahagiaan. Tapi apa iya berbagi kebahagiaan kalau akhirnya harus menghabiskan dana yang tidak sedikit dari kerabat yang memaksakan diri datang, terutama dari luar kota, atau bahkan dari luar negeri? Ongkos pesawatnya kalau dijadikan amplop hadiah pengantin rasanya bakal bikin pengantin merasa wow, bisa buat nambah bayar uang muka beli rumah.

Dari pihak pengantin, mengeluarkan biaya tidak sedikit juga. Mulai dari sewa gedung, sewa fotografer, bayar katering makanan, bayar pemusik untuk hiburan, bayar seragam kalau misalnya ada keluarga yang menuntut seragam. Belum lagi untuk baju pengantin yang hanya akan dipakai sekali lalu disimpan dalam lemari.

Lanjutkan membaca “Harapan Setelah Pandemi Berakhir”