Barang Berguna

Sejak bisa mencari uang sendiri, saya banyak beli barang-barang. Kebanyakan barang-barang elektronik: komputer dan berbagai aksesorinya, handphone dan berbagai aksesorinya, printer, scanner, kamera digital, gps, peralatan jaringan, dsb, sampai komponen-komponen elektronik microcontroller, multimeter, kabel, timah, solder, obeng, dsb. Kadang-kadang saya merasa diri saya sangat boros, tapi biasanya selalu membela diri bahwa barang-barang itu “berguna” buat saya.

Ada beberapa level kegunaan barang yang saya beli:

  1. Benar-benar berguna, dipakai setiap hari, sampai setidaknya lebih dari setahun. Contohnya, saya beli iPod touch yang benar-benar dipakai setiap hari untuk browsing, mendengarkan musik, membaca twitter, dsb. Contoh lainnya adalah komputer yang saya pakai setiap hari.
  2. Berguna untuk proyek Alkitab. Saya punya dua proyek Alkitab open source, Symbian Bible dan BiblePlus. Untuk mengembangkan itu, saya membeli banyak HP. Sebagian HP-nya dipakai cukup lama, sebagian lagi cuma dipakai sebentar, tapi saya merasa sudah puas kalau HP-nya sudah terpakai untuk mengembangkan program Alkitab.
  3. Berguna untuk mengerjakan proyek tertentu. Minimal uangnya terganti dari proyek yang saya kerjakan.
  4. Berguna untuk menambah ilmu.

Untuk hal yang terakhir ini, ukuran apa yang saya pakai bahwa ilmu saya sudah bertambah?

  1. Sudah membuat kode program untuk benda itu. Misalnya saya membuat OTP untuk jam EZ430, atau ROM update tool untuk Acer E130.
  2. Sudah membuat tulisan mengenai benda tersebut.
  3. Sudah mengoprek benda tersebut, misalnya sekedar menginstall Linux pada Dingoo, atau menjailbreak Kindle.
  4. Untuk komponen elektronik, minimal saya sudah mencoba komponen tersebut di breadboard.

Setidaknya kalau dari ukuran saya, lebih dari 75% barang-barang yang saya beli adalah barang-barang yang berguna, bukan hanya sekedar beli, lalu tidak terpakai.

Kenangan Masa SMU

Posting ini tidak akan membahas banyak hal waktu sama masih SMU. Posting akan membahas kisah cinta saya, cinta pada programming. Saya belajar komputer kali pertama kelas 2 SMP, tahun 1994. Waktu itu saya ikut kursus DOS, Wordstar dan Lotus 123. Nama tempat kursus saya waktu itu adalah Linggar jati, di dekat pertigaan jalan raya bogor ke arah Cibubur. Dari segi komputer dan pengajar, tempat itu sangat biasa, yang luar biasa adalah: semua siswa boleh belajar di luar jam kursus, dan bahkan jika ada kursus lain pun boleh menggunakan komputer yang di belakang (jika tidak dipakai), asalkan tidak menganggu yang lain.

Di situlah saya belajar sendiri memprogram dalam bahasa BASIC. Buku pegangan saya cuma buku panduan ujian bahasa BASIC. Bukunya tidak punya teori, cuma soal pilihan ganda dan kunci jawaban saja. Ternyata buku semacam itu mudah untuk dipelajari, misalnya ada pertanyaan “Fungsi LEFT$ berguna untuk?”, lalu saya cari jawabannya, misalnya “mengambil N karakter terkiri”, nah dari situ saya tahu apa gunanya fungsi LEFT$. Setahun kemudian ayah saya membelikan Apple II/e (komputer tua yang dibeli karena bapak saya tidak mengerti soal komputer, dan kebetulan ada yang menjual murah). Saya banyak memprogram BASIC di komputer itu, tapi sayang dalam beberapa bulan komputernya mulai rusak, dan saya tidak punya lagi arsip program-program lama saya.

Tanggal 10 Januari 1997, kelas 2 SMU saya dibelikan PC pertama saya: Pentium 120 Mhz, Ram 16 Mb, harddisk 1 GB. Itulah dimulainya petualangan memprogram. Hari ini saya menemukan beberapa program yang saya buat waktu itu. Melihat program-program tersebut, aneka hal muncul di pikiran saya:

  1. Melihat sebagian program, saya berpikir: wah kok saya dulu goblok banget ya, kan ini mestinya bisa begini
  2. Melihat sebagian program lain saya berpikir: wah hebat juga ya, dulu saya bisa ngerti ini, padahal cuma belajar sendiri
  3. Wah kok dulu kepikiran ya bikin program ini
  4. Ngapain coba bikin program ini, gak ada gunanya
  5. Wah ternyata dulu saya fans Sailor Moon
Lanjutkan membaca “Kenangan Masa SMU”

Hobi Elektronik

Sejak kemarin saya baca-baca lagi isi blog ini yang sudah dimulai sejak 2004, dan ternyata sepertinya banyak hal dalam hidup ini yang tidak dituliskan. Nah supaya nggak lupa, sekarang mau nulis soal hobi baru: elektronik, atau tepatnya lagi elektronik digital. Dari dulu sebenarnya saya ingin belajar elektronika tapi nggak pernah dapet pelajarannya waktu SD, SMP ataupun SMU, jadi dasar elektronika yang saya punya cuma dari kuliah Fisika. Di ITB, dulu di Teknik Informatika tidak diajarkan sama sekali dasar elektronika (nggak tau ya sekarang setelah bergabung dengan elektro menjadi STEI).

Awal dari keinginan belajar elektronika lagi adalah karena kemalasan. Kami tinggal di sebuah apartemen yang kuno (fasilitas perusahaan, bukan milik sendiri). Sebenarnya isi apartemennya sangat bagus, kecuali AC yang harus dikendalikan langsung dari thermostat, tidak bisa via remote. Membeli thermostat yang lebih modern harganya cukup mahal (di Internet sekitar 1 juta rupiah), dan mungkin tidak kompatibel dengan AC yang sudah ada. Jadi saya ingin bisa mengendalikan remote tersebut dengan memodifikasi thermostat yang sudah ada. Saya hanya ingin bisa menyalakan/mematikan AC dari tempat tidur (tidak perlu bisa mengatur suhu).

Dengan berbekal kit dari buku berbahasa Thai, awal bulan lalu saya mulai belajar elektronika. Karena saya belum bisa baca bahasa Thai (paling cuma mengerti beberapa kata saja), saya belajar dengan melihat diagram, foto, dan source code. Kit dari buku itu menggunakan microcontroller PIC16F627A, dengan beberapa komponen (transistor, resistor, kapasitor, motor, LED, LDR, thermistor, potensiometer) dan disertai dengan programmer (disebut juga downloader/flasher) dengan serial port. Sebuah breadboard kecil juga disertakan, jadi saya tidak perlu menyolder ketika mulai belajar (breadboard adalah papan kecil dimana kita bisa menancapkan/melepaskan komponen dengan mudah).
Lanjutkan membaca “Hobi Elektronik”

Flickr di Facebook dan Ravelry

Sebenarnya dari dulu Joe udah mengusulkan untuk menggunakan fasilitas flickr berbayar sebagai tempat penyimpanan foto kami, tapi karena saya orangnya agak pelit saya selalu kasih alasan untuk tidak bayar flickr. Setelah akhirnya dengan berbagai cara Joe meyakinkan saya bahwa flickr bisa di share dengan mudah dan kita tidak perlu berulang kali mengupload foto untuk berbagai situs yang kami punya, selain sebagai tempat back-up semua foto-foto kami,  akhirnya saya setuju. Kami sepakat untuk menggunakan 1 account flickr bersama, karena sudah tentu Joe yang akan mengurus upload foto yang sangat banyak terlebih dahulu.

Setelah Joe mengupload semua foto yang pernah ada, bagian berikutnya yang cukup menyita waktu adalah mengorganisasikan foto. Mengupload foto dilakukan secara otomatis, jadi Joe emang agak curang melakukan bagiannya. Sedangkan mengorganisasikan foto harus dilakukan manual karena perlu dipilih mana yang cukup bagus buat di published dan mana yang kurang oke buat disimpan saja.

Selain memilih-memilih yang mana yang perlu dipublished, bagian lain yang cukup memakan waktu adalah mengelompokkan foto-foto. Kelebihan memakai flickr berbayar sudah tentu bisa memiliki set dan koleksi yang lebih banyak daripada yang gratisan. Jadinya saya bisa menyimpan hasil kerajinan tangan saya ataupun hasil eksperimen saya di dapur secara terpisah. Kami juga bisa mengelompokkan foto jalan-jalan kami baik yang di Indonesia maupun setelah tinggal di Chiang Mai.

Setelah hampir sekian persen beres-beres, sekarang saya malah kesenangan mengorganisasikan flickr ini. Kebetulan saya join komunitas rajut ravelry.com, saya bisa langsung sharing foto saya dari flickr dan tidak perlu mengupload ulang lagi. Lalu di facebook juga ada aplikasi untuk berbagi foto flickr langsung dari dalam facebook: Flickr Photosets, sehingga saya lagi-lagi ga harus upload foto berulang-ulang ke facebook.

Lalu, ada lagi flickr badge yang bisa di filter berdasarkan set ataupun tag, atau hanya foto tertentu, sehingga bisa menjadi widget seperti yang ada di sidebar blog ini. Dan yang tidak kalah penting adalah, dari Windows Live Writer (software yang saya gunakan untuk posting blog), ada plug-in untuk menyisipkan Flikcr Image, sehingga saya bisa tinggal pilih-pilih dan voila, saya ga perlu upload foto lagi buat ngeblog (termasuk di blog saya yang lain).

Sebenarnya, buat yang tertarik menyimpan foto di flickr tapi masih tidak mau bayar, fasilitas-fasilitas yang saya sebutkan diatas bisa saja dinikmati, akan tetapi akan ada batasan besarnya foto yang bisa di upload, batasan jumlah foto yg bisa di upload sebulan, batasan jumlah set dan tidak adanya collection. Intinya, kalau gratis ya sudah pasti ada batasan. Sedangkan Joe dan saya orangnya mau praktis, jadi kami memilih untuk mengupload filenya seukuran hasil foto tanpa diedit terlebih dahulu. Dipikir-pikir, sayang sih punya kamera sekian megapixel kalau kemudian yang di upload di kecilin jadi ukuran 640×480 :P.

Duh kok saya kesannya jadi jualan flickr, nggak kok ini cuma bagi-bagi pengalaman aja, saya tidak dibayar sepeserpun buat promo flickr, malahan bayar tuh biar punya account pro di flickr :). Yuk ngeflickr.

Memanfaatkan Hobi untuk berbagi

Bukan, scarf-scarf ini bukan karya saya. Saya cuma bikin 2 square, lalu teman-teman dari berbagai tempat yang tergabung dalam mailing list bikin beberapa square, ada yang bikin 2 ada yang bikin 4, ada yang denger-denger bikin 10 (tapi belum nyampe). Masing-masing orang mengirimkan squarenya, lalu ada yang bersedia menyediakan waktunya untuk menggabungkan square-square yang diterima dan jadilah scarf etnik yang bagus-bagus diatas.

Bukan, scarf itu bukan untuk dijual, tapi akan disumbangkan secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan. Mungkin kalau dijual harganya bisa mahal yah :). Cita-citanya sih mau bikin selimut, tapi untuk selimut dibutuhkan lebih banyak square, jadi ya sekarang sambil menunggu lebih banyak yang mengirim square, kita bikin scarf dulu. Scarf dan selimut sama-sama bikin hangat 🙂

Ini seperti kata pepatah : Dari sedikit, lama-lama jadi bukit. Kalau saya bikin 2 square itu ga ada artinya, ga bisa jadi apa-apa kecuali disimpan di plastik atau dijadiin kain lap. Tapi kalau setiap orang kirim 2 square, lama-lama jadi banyak. Oh ya, itu square bukan sembarang square sih, kalau diperhatikan baik-baik, walau warnanya berwarna warni tapi desainnya sama loh.

Anyway, bikin square itu gampang, cuma butuh benang sisa, waktu sedikit (misalnya lagi menunggu sesuatu), dan niat hehe. Ya kalau ga niat mah ga jadi square. Kalau ada yang tertarik untuk ikutan kerja bakti, menggunakan hobi untuk berbagi, yuk gabung ke group charity From Dinamic with Love. Klik ke situsnya untuk membaca informasi lebih lanjut ya

Kuala Lumpur (lagi)

PutrajayaCeritanya panjang…, perjalanannya juga panjang. Cuma mo posting pendek aja. Saat ini lagi di KL (lagi). Kali ini ga cuma transit di airport doang, tapi singgah sini dan situ. Besok udah mo berangkat lagi ke SG. Emang rencananya short visit doang, buat merencanakan perjalanan berikutnya :). Sepertinya kota ini menyenangkan, nggak semacet bangkok, dan banyak tempat hiburannya.

Capek mode on nih. Lumayanlah 2 hari tapi udah bisa liat KLCC dengan menara petronasnya dan Petrosainsnya, udah bisa lihat Putra Jaya, capek main di Theme Park Sunway Lagoon, udah merasakan makanan nasi lemak khas malaysia, udah cape deeh.. Cerita versi panjangnya ntar aja ah setelah balik ke Chiang Mai. Thanks to Iya yang udah cape nemenin dan ngusulin tempat yang bisa dilihat dalam waktu singkat :).

Mendengarkan Buku

Kalau dibandingkan dengan Joe, gue ga ada apa-apanya dalam hal membaca. Lihat saja jumlah buku yang dibaca Joe dan gue baca di Goodreads, gue ketinggalan jauh.

Untuk membaca buku yang berbahasa Indonesia, mungkin gue bisa cukup cepat, tapi untuk membaca buku berbahasa Inggris? sulit rasanya untuk membaca dengan cepat. Untungnya sekarang menemukan solusi untuk mengatasi masalah gue ini, sekarang gue mencoba untuk mendengarkan buku suara alias audio book, itung-itung sekaligus melatih mendengarkan bahasa Inggris.

Ceritanya gue membeli buku The Story of My Life (Enriched Classics Series) udah lamaaa sekali, tapi kok ya membacanya ga kelar-kelar. Ada aja yang mengganggu proses membaca gue. Terus beberapa waktu lalu Joe ngasih tau situs LibriVox tempat mendapatkan audio book yang bukunya sudah masuk kategori public domain secara gratis.

Ceritanya yang membacakan itu orang-orang sukarelawan, jadi bisa saja 1 buku di baca beberapa orang, tapi kadang-kadang, ada juga 1 buku yang di baca oleh orang yang sama. Jadi untuk buku tertentu ada beberapa pilihan audiobook yang tersedia.

Akhirnya selesai juga baca buku Helen Keller ini. Hidup seorang wanita yang sejak kecil buta dan tuli tetapi dengan bantuan gurunya bisa belajar banyak hal, bisa menguasai bahasa Jerman dan Perancis, dan juga sekolah di Universitas umum. Bahkan, walaupun dia tidak bisa mendengar suaranya, dia bisa belajar berbicara! Hebat!

Oh ya, buku ini adalah sebuah otobiografi. Untuk seorang yang buta dan tidak dapat mendengar, pemilihan kata yang dia gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang dia rasakan sangat bagus. Kagum dengan semangatnya untuk belajar dan berkarya.

Lanjutkan membaca “Mendengarkan Buku”