Grab atau Go-Jek?

Liburan kali ini, kami banyak memanfaatkan jasa Grab dan Go-Jek untuk bepergian. Awalnya karena di Chiang Mai cuma ada Grab, kami lebih sering prefer naik Grab, tapi ternyata dari pengalaman ke puncak dan ke Bogor hari ini, entah kenapa supir Go Car lebih mau untuk menerima pesanan perjalanan ke tempat yang jauh.

Beberapa hari lalu, saya sudah mencoba memesan makanan dengan Grab Food dan ada sedikit masalah, mulai dari restoran yang tidak ditemukan, lalu restoran yang menu tidak update sehingga harus ubah pesanan dan juga restoran yang udah dijelaskam lewat telepon tapi masih salah memberikan pesanan. Hari ini, kami mencoba memesan makanan dengan Go Food. Pesanan kali ini sih mencari sate padang, dan ternyata walau biaya antarnya lebih mahal (10 ribu rupiah), tapi semua berjalan mulus dan gak sampai 30 menit pesanan sudah datang.

Acara dari GO-JEK di perpustakaan nasional di hari ibu untuk para driver Ibu-Ibu

Kalau dilihat dari segi harga pemesanan, seringnya Grab Car selalu lebih murah dibandingkan Go Car. Tapi pengalaman dengan Grab Car beberapa kali di cancel setelah drivernya menerima pesanan. Bahkan sekali pernah juga drivernya ga merespon setelah kami menunggu lebih dari 10 menit padahal di aplikasi dinyatakan driver sudah dijalan dan akan tiba dalam waktu 6 menit. Mungkin aplikasi di HP nya ngehang atau entahlah apa alasannya karena kalau dilihat dari pergerakan mobilnya di aplikasi tidak terlihat tetap jalan. 

Selama beberapa kali bepergian, mungkin karena Go Car lebih mahal maka banyak juga pengguna seperti kami yang awalnya selalu mencoba memakai Grab dulu sebelum akhirnya memilih Go Car karena gak kunjung dapat orang yang mau nganterin ataupun ya udah dicancel berkali-kali jadi merasa lebih baik bayar lebih daripada nunggu lama lagi. Dari beberapa kali memesan Go Car, kami belum pernah di cancel setelah supirnya menerima pesanan kami. 

Terlepas dari Grab Car atau Go Car, sejauh ini pengalaman kami selalu ketemu dengan pengemudi yang ramah dan sopan. Mereka juga menyetirnya cukup baik dan gak membahayakan penumpang. Beberapa kali pernah juga dapat mobil yang agak berbau rokok, mungkin supirnya merokok sambil menunggu orderan, tapi ya setelah beberapa lama baunya bisa hilang. Mobil yang membawa kami ga selalu mobil baru, kadang-kadang mobilnya ya sudah terlihat tua juga, tapi selalu cukup bersih. Bahkan lebih bersih dari mobil kami di Chiang Mai hahahah.

Senyaman-nyamannya disupirin naik Grab atau Go Car ada satu kelemahannya: deg-degan pas nunggu takut di cancel dan kadang di aplikasi dibilang driver akan tiba 8 menit lagi, tapi kenyataanya bisa lebih dari 8 menit. Tapi karena sejauh ini kami pergi itu bukan ke tempat yang sttict harus tiba jam tertentu, ya kami bisa agak santai walaupun pas menunggunya jadi repot dikit karena anak-anak kalau udah disuruh pakai sepatu malah jadi gelisah kalau jemputannya ga kunjung datang.

Secara  biaya, walaupun Grab dan GoJek relatif lebih murah daripada taksi argo yang bisa melonjak harganya kalau macet, ya tetap saja akan lebih ekonomis kalau punya mobil sendiri dan memiliki supir pribadi. Sekarang ini gak nyetir di Jakarta alasannya ada dua: pertama ga punya sim Indonesia, mungkin saja SIM Thailand laku, tapi kami ga mau ambil resiko kalau ga terpaksa. Alasan kedua: gak ada mobil yang bisa kami pakai juga hehehe (harusnya ini yang pertama ya, klo ga ada mobil punya sim juga ga ada gunanya).

Ada yang punya cerita mengenai pengalaman naik Grab atau Go Car? atau ada yang selalu hanya memilih Grab atau memilih GoJek dan alasannya?

Nostalgia Hoka-Hoka Bento

Kemarin, waktu lagi bingung mau makan apa, tiba-tiba teringat dengan makanan yang sebenarnya bukan menu khas Indonesia. Dulu sering dikonsumsi sejak jaman mahasiswa sampai kerja. Waktu masih mahasiswa, makanan ini masuk kategori makanan mewah tapi setelah kerja, kalau ada rapat atau dinas di Jakarta, sering banget dapatnya menu makanan dari restoran Hoka-hoka Bento alias HokBen ini sampai bosan hahaha.

HokBen aka Hoka-hoka Bento

Tadi teringat lagi deh untuk memesan menu HokBen, delivery via telepon. Ternyata setelah sekian lama ga beli HokBen, ada beberapa perubahan dari penyajian HokBen ini. Dulu saya ingat, tulisan di kotak depannya masih berupa Hoka-Hoka Bento dengan logo karikaturnya lengkap dengan badan, tangan dan kaki. Sekarang, mungkin karena orang-orang sering menyebut HokBen doang untuk singkatan dati namanya, akhirnya mereka menuliskan nama HokBen doang di kotak kemasannya, dan logonya juga tinggal kepala doang. Karena penasaran, baca wikipedia, ternyata memang Hoka-hoka Bento ganti nama jadi HokBen doang sejak 2013.

Kemasan HokBen sekarang

Saya lupa, kapan terakhir kali makan di HokBen, tapi ternyata, setelah sekian lama rasanya masih tetap sama. Waktu menikmati HokBen, berasa jadi nostalgia teringat jaman doeloe. Masa mahasiswa, kalau ada yang traktir HokBen itu, rasanya mewaaaaah banget. Masa kerja, awal-awal kalau ada konsumsi rapat berupa HokBen rasanya bahagia (bahagia karena gak keluar duit lagi buat beli hahaha). Sampai akhirnya ada masa bosan dengan HokBen, karena kalau mau naik kereta api pulang dinas dari Jakarta ke Bandung atau kalau ada dinas di Jakarta, menu makanan yang sering di beli ya HokBen ini. 

Dulu saya pikir restoran HokBen ini franchise yang aslinya dimiliki orang Jepang karena menunya khas makanan Jepang. Belakangan saya ketahui kalau HokBen ini namanya aja restoran Jepang, tapi kepemilikannya ya asli Indonesia. Jadi teringat dengan restoran Jepang di Thailand yang namanya Oishi, awalnya saya pikir juga restoran asli dari Jepang, ternyata kepemilikannya asli Thailand.

Keunikan yang saya sukai dari makanan HokBen ini menurut saya nasinya lembut sehingga bisa dimakan menggunakan sumpit. Selain menu yakiniku, teriyaki, ekkado, katsu dan lain-lain, yang saya ingat dari HokBen ini juga puding coklat dan puding mangganya. Rasa puding coklatnya agak berubah, kalau dulu ada rasa rum yang agak keras, sekarang aroma rum nya sudah hilang. Tapi pada dasarnya puding coklatnya masih enak sih rasanya.

Dari harganya, menu HokBen ini buat saya sebenernya relatif mahal, tapi ya masih ga semahal makanan di mall di Jakarta. Sayangnya anak-anak cuma suka puddignya saja. Tadi Jonathan lebih memilih makan sate bumbu kacang yang dibeli eyang daripada makan menu HokBen. Lain kali kalau beli berarti bisa beli cuma buat papa mamanya doang, untuk Jonathan dan Joshua bisa dibelikan puddingnya doang hehehe. 

Pengalaman Mesen Grab Food

Ceritanya hari ini mau pesan makanan spaghetti carbonara biar Joshua ga cuma makan nasi telur dadar doang selama di Indonesia. Saya dengar pengalaman orang-orang kalau sekarang gampang pesan makanan bisa pake GrabFood aja, jadi ga usah keluar rumah atau capek menunggu makanan atau macet di jalan. Jadilah saya mencoba untuk menggunakan jasa GrabFood.

Dari dalam aplikasi, saya cari daftar restoran yang jualan carbonara, trus saya pilih yang jaraknya paling dekat dan waktu tunggu nya kurang dari 1 jam. Untuk milihnya tapi gak ada fasilitas mengurutkan berdasarkan waktu tunggu, jadi saya milihnya agak random aja dari beberapa hasil pencari pertama. Menunya terlihat menarik, harganya ga terlalu mahal, reviewnya juga ga jelek. Semuanya terlihat menjanjikan, eh driver Grab nya ga bisa nemu restorannya. Pelajaran pertama: milih restoran harus yang udah pernah tau lokasinya dan namanya ga mirip-mirip kalau di Google. Orderan pertama akhirnya saya cancel deh. Terbuang waktu 15 menit karena tadi juga agak lama milih-milih menunya dan juga nunggu jasa Grabnya mencari restorannya.

Masalah mencari restoran ini, driver grabnya katanya udah ngikutin pin map nya tapi ga nemu. Saya coba cari pake google map juga, karena pengalaman pertama, saya ga tahu kalau kita bisa melihat profil restorannya untuk tahu detail alamat restorannya. Kasian sebenarnya karena driver grabnya jadi ga dapat apa-apa, padahal udah muter-muter nyari. Akhirnya saya cancel dengan alasan restoran tidak ditemukan, saya ga tahu apakah nantinya restoran itu akan dihapus dari list grab food, atau masnya aja kurang cermat mencari. Katanya dia coba telepon ke nomor restorannya, tapi nomornya tidak aktif.

Berikutnya, karena kelihatan mau hujan, mau gak mau masih lebih praktis memesan lewat GrabFood, saya masih mau mencoba peruntungan. Saya ketemu restoran lain yang juga waktu tunggunya ga sampe 1 jam. Orderan berhasil dilakukan dengan lancar, pilih-pliih menu dan dapat drivernya. Setelah driver tiba di lokasi eh ternyata menu nya katanya udah ganti *sigh*. Kayaknya restorannya jarang di order ya, jadi mereka ga gitu perduli untuk mengupdate menu makanannya. Masalahnya, saya bayarnya pake non tunai OVO, kalau ordernya ganti otomatis total harganya bakal ganti.

Karena saya ga menemukan cara mengubah pesanan via aplikasi karena kasus menunya berganti, dan saya capek ngetik via message, saya telpon deh melalui aplikasinya. Ekspektasi saya, saya akan bicara dengan driver Grab nya, ternyata yang nerima orang restorannya. Saya belum nemu cara nelpon drivernya malah. Dengan orang restorannya, saya ubah pesanan dan waktu saya bilang mau ngomong sama mas drivernya, eh malah ditutup *grmbl, mulai emosi rasanya hahaha*. Akhirnya messsage lagi ke mas drivernya, nanyain gimana tuh kalau ganti pesanan, terus kata masnya nanti dibantuin kalau dia sudah antar makanan.

Waktu makanan tiba, eh dari 4 menu yang saya pilih, yang diantar cuma 3. Kata mas drivernya, orang restorannya udah dibilangin pesanananya ada 4 tapi si restoran ngotot bilang 3. Terus harga makanan di aplikasi dan bon yang dikasih restorannya juga lebih mahal harga yang dari restorannya. Haish, ya untungnya saya belum kelaparan, dan pesanan utamanya ada, jadi ya sudahlah. Ternyata, kalau ada selisih seperti itu, yang akan membayar dulu itu drivernya, jadi walaupun pesanan via non tunai, duitnya itu masuk ke account drivernya. Jadi tadi karena pesanan dari 4 jadi 3, saya gak perlu nambah malahan masih ada kembalian. Pelajaran ke-2: lain kali pesen makanan bayar cash aja biar gampang kalau totalnya ganti karena ganti orderan (dan lebih baik memang memesan makanan di restoran yang kita sudah tau pasti letak dan menunya, biar ga kejadian lagi seperti hari ini). Untungnya, tujuan utama pembelian tercapai, Joshua sukses makannya ga pake susah dan abis dong 1 porsi sendiri, walaupun menurut saya rasanya ya biasa aja dan beda dari ekspektasi sih hehehe.

Saya pikir-pikir, biaya delivery makanan di sini 4000 rupiah itu gak sampai 10 baht, kalau di Chiang Mai, pemesanan makanan itu biayanya 40 baht (lebih 4x dari biaya delivery di sini). Saya tahu cari duit itu gak gampang, tapi saya jadi kasian dengan driver ojek online yang biaya deliverynya dihargai murah sekali di sini. Kalau andaikan tadi saya harus pergi sendiri mencari restorannya muter-muter, lalu mesen makanan menunya ga ada, dan akhirnya pulang lagi ke rumah, rasanya biayanya pastilah lebih dari 4000 rupiah. Tapi saya tahu, kalau harga deliverynya lebih dari itu, mungkin akan berkurang orang yang menggunakan jasa delivery makanan ini.

Dulu, saya ingat jasa pengiriman makanan itu biasanya dilakukan oleh restorannya. Saya jadi kepikiran, sekarang biaya delivery makanan dari restorannya langsung jadi berapa ya?, Jaman awal kerja di Bandung, dulu saya inget sering banget delivery Hoka-Hoka Bento atau Pizza Hut. Sekarang, kalau biaya deliverynya lebih dari 4000 rupiah, bisa-bisa orang memilih jasa ojek online saja untuk memesan makanan. 

Ada yang punya tips-tips lain sebelum menggunakan jasa Grab Food ini? atau ada yang tahu gimana mengubah pesanan dari aplikasi kalau drivernya udah sampai restoran dan menunya berganti?

Liburan Hari ke-6: Perpustakaan Nasional

Hari ini janjian ketemu dengan Bu Inge di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia . Saya baru tau kalau ada perpustakaan keren seperti pusnas ini. Dulu pernah sekilas baca berita soal perpustakaan yang dilengkapi dengan ruang khusus untuk koleksi anak-anak dengan tempat yang nyaman untuk anak-anak membaca, tapi kalau bukan karena Bu Inge ada acara di pusnas, saya ga kepikiran bakal berkunjung ke pusnas pada liburan kali ini.

maket gedung perpustakaan nasional

Kami berangkat naik Grab lagi dari Depok. Perjalanannya cukup lancar, akan tetapi ketika sudah memasuki kawasan jl. medan merdeka selatan, ada penutupan ruas jalan karena ada demo. Google Map menyarankan memutar mengitari monas dulu, tapi bakal butuh waktu sekitar 20 menit, padahal kalau jalan tinggal 500 meter. Akhirnya kami putuskan untuk jalan saja, toh jalanannya cukup teduh dengan banyaknya pohon-pohon besar di pinggir jalan.

foto dulu sebelum masuk perpustakaan

Kesan pertama melihat bagian depan Perpustakaan Nasional, saya cukup kagum dengan hal-hal yang dipamerkan di gedung depannya di sana. Cara mereka menatanya juga terlihat cukup menarik dan artistik (padahal saya bukan orang yang mengerti banyak mengenai seni). Di bagian belakangnya ada gedung 24 lantai yang menyimpan berbagai koleksi buku. 

Waktu masuk ke lantai dasar, kami mengamati ada toilet dan kafe. Ada direktori apa saja koleksi yang disimpan di setiap lantainya. Tujuan utama kami ketemu Bu Inge yang sedang menghadiri launching buku di ruang serbaguna lantai 4, tapi karena acara mereka belum selesai, kami sempatkan ke lantai 7 untuk melihat ada apa di ruang koleksi bacaan untuk anak-anak.

Di ruangan khusus anak-anak, kita diminta untuk melepaskan sepatu dan meninggalkan makanan dan minuman di luar ruangan. Untuk penyimpanan tas, tersedia loker dengan kunci yang bisa kita pegang. Oh ya layanana perpustakaan ini setahu saya koleksinya hanya bisa dibaca di tempat. Untuk bisa masuk dan membaca di situ, kita tidak harus menjadi anggota. Perpustakaan ini bebas biaya masuk. 

Saya senang melihat berbagai koleksi buku yang ada untuk anak-anak, bahkan ada majalah Bobo segala. Jadi teringat masa kecil di mana kami kadang-kadang dibelikan majalah Bobo. Koleksi buku bersampul tebal (board book) juga cukup lumayan. Buku-buku berbahasa Inggris ataupun bilingual juga banyak tersedia di sana. Ah rasanya waktunya ga cukup banyak untuk browse buku-buku yang ada di sana. 

dekorasi di depan pusnas

Setelah sekitar 30 menit di lantai 7, kami turun ke lantai 4 untuk bertemu dengan bu Inge. Ternyata ada kantin juga di lantai 4, jadilah kami makan di sana saja daripada menghabiskan watu di jalan untuk naik taksi lagi. Bertemu dengan bu Inge itu suatu hal yang ditunggu-tunggu oleh Jonathan. Walaupun Oma Inge (demikian anak-anak memanggil bu Inge) bukanlah nenek kandung mereka, tapi Jonathan dan Joshua bisa senang bermain dengan oma Inge seperti bermain dengan eyang girl nya. 

Selesai makan di lantai 4 kami iseng ke lantai 24 untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Sayangnya tidak ada ruang untuk duduk ngobrol dengan enak di lantai 24, anginnya juga cukup kencang di sana, jadi kami ga berlama-lama di luar dan memutuskan kembali ke bagian koleksi anak di lantai 7.

Dari lantai 24 kami turun ke lantai 7 untuk kembali ke ruang baca anak lagi. Sedikit catatan, menunggu lift di lantai 24 memakan waktu lama, karena ketika kami akan turun, tiba-tiba lift yang naik sudah sampai lantai 21 berbalik arah lagi turun. Kalau cuma beberapa lantai, mungkin kami sudah akan turun tangga saja supaya ga lama nunggu liftnya. Saya perhatikan, di setiap lantai yang kami kunjungi ada mushollanya dan kamar kecilnya. Semuanya terlihat cukup bersih. Untuk ukuran sebuah tempat yang free entrance, saya merasa cukup senang berada di pusnas. Catatan lainnya, entah kenapa begitu masuk ke area perpustakaan, sinyal hp pada hilang, untungnya di dalam perpustakaan ada wifi yang gratis untuk umum dan ya cukup lah aksesnya. 

Setelah puas ngobrol-ngobrol di lantai 7, kami memutuskan untuk pulang dulu, eeeeh teryata sedang hujan. Akhitnya kami ngopi-ngopi sambil nyemil di kafe yang ada di lantai dasar tadi. Rasa kopinya lumayan lah ya, apalagi setelah beberapa hari cuma dapat kopi instan saja. Karena sudah agak sore, kami memesan makanan untuk anak-anak. Walau kafe nya terlihat kecil, makanan cemilannya lumayan banyak variasinya.

Setelah hujan berhenti, kami pun beranjak pulang. Tapi karena kami pulang bersamaan dengan jam orang pulang kerja, jalanan yang kami lalui banyak macetnya. Bahkan di jalan tol cuma bisa kecepatan 10-20 km / per jam. Sampai di rumah eyang, Joshua sukses tertidur kecapean.

Secara keseluruhan, jalan-jalan ke perpustakaan cukup menyenangkan buat kami karena anak-anak kami menyukai buku. Yang menyenangkan juga harga makanan di pusnas cukup masuk akal dan ga semahal harga makan dimall. Koleksi buku bacaannya ada bahasa Inggris ataupun bilingual yang bisa dibaca anak-anak kami. Semoga di kemudian hari, di daerah-daerah semakin banyak perpustakaan yang bagus isinya seperti di perpustakaan nasional ini.

Review Terbang dengan AirAsia

Berhubung hari ini kami sedang travel pulang ke Indonesia naik AirAsia, sekalian jadi pengen cerita tentang pengalaman naik AirAsia sejak jaman dahulu kala. Mungkin kategori yang tepat bukan review tapi ya cerita-cerita aja hahaha.

sekarang giliran papa jagain anak-anak hehehe

Kami menggunakan AirAsia sejak sebelum menikah, ya maklum aja harga tiket penerbangan lain jauh diatas rate AirAsia. Pilihannya ya pakai AirAsia atau naik kapal laut, tentu saja milih naik pesawat. Masih ingat pengalaman pertama ditinggal pesawat juga ditinggal sama AirAsia (eh semoga nggak ada pengalaman ditinggal berikutnya). Pernah juga perubahan jadwal dadakan yang di majukan beberapa jam dari jadwal awal atau berangkat besok harinya, sehingga kami selesai pesta pernikahan harus buru-buru antar sebagian keluarga Joe ke airport. Ya perubahan jadwalnya sebenar waktu itu tidak harus kami terima, tapi sebagian anggota keluarga kebetulan ga bisa kalau harus dibesokkan lagi menunggu berangkatnya.

Ironisnya, dihari perubahan jadwal itu keluarga Joe ditunggu sampe beberapa menit mereka tutup pintu pesawat. Giliran saya dan Joe beberapa hari kemudian datang terlambat 5 menit dari batasan check in diijinkan 45 menit sebelum take-off eh kami ga boleh dong masuk huhuhu. Padahal oh padahal sebelumnya mereka menerima sampai 5 menit sblom jadwal take-off. Huh tak adil. Eh kok jadi curhat.

Sejak pindah ke Thailand, pilihan untuk pulang juga semakin mahal dengan penerbangan lain, kapal laut juga nggak bisa dipilih hahaa. Air Asia jadi pilihan lagi terutama kalau mau pulang lebih dari 1 x setahun. Waktu awal-awal, kami ga punya banyak pilihan, pulang ke Indonesia harus transit via Kuala Lumpur. Karena waktu itu AirAsia belum ada yang namanya fly thru, kami harus sangat repot sekali. Turun pesawat di Malaysia, keluar dari imigrasi, menunggu bagasi, ambil bagasi, pindah terminal ke terminal keberangkatan berikutnya, masukin bagasi lagi lalu imigrasi untuk keberangkatan ke Indonesia, proses pulang itu bener-bener perjuangan hahaha. Tapi balik ke Chiang Mainya lebih perjuangan lagi, karena ada step tambahan ketika sampai di Kuala Lumpur kami harus menginap di Tunes hotel 1 malam (karena tidak ada jam penerbangan berikutnya di hari yang sama), bangun super pagi untuk berangkat lagi ke Chiang Mai. Bisa aja nginap di tengah kota KL, tapi mana ada jaminan besok paginya nyampe subuh ke bandara buat berangkat lagi. Atau bisa aja ngampar di airport, tapi bayar tunes hotel ga terlalu mahal dan tentunya lebih nyaman daripada ngampar di airport.

Pernah sekali, sebelum kami punya anak, karena begitu repotnya perjalanan akhirnya kami iseng sekalian mampir sana sini. Jadi sebelum kembali ke Thailand, kami mampir dulu ke KL untuk berkunjung ke teman yang tinggal di KL, lalu kami mampir ke Singapur menginap 1 malam di Singapur. Dari Singapur kami terbang ke Bangkok, dan di hari yang sama dari Bangkok terbang ke Chiang Mai. Dipikir-pikir iseng banget ya hahaha. Kebetulan waktu itu dihitung-hitung dengan detour sedikit biayanya ga jadi jauh lebih mahal, dan karena teman-teman kami baik hati, kami ga perlu bayar hotel hahaha.

Setelah punya anak pertama, pulang pertama kali kami memutuskan naik Singapore Air demi kenyamanan perjalanan. Tapi perjalanan berikutnya untungnya sudah ada pilihan untuk fly thru  dan bisa terbang di hari yang sama jadi kami kembali naik Air Asia hehehe.

Sekarang ini, perjalanan dengan AirAsia jauh lebih nyaman. Selain bisa langsung terbang di hari yang sama tanpa repot keluar masuk bagasi, sekarang ini kami bisa memilih berapa banyak bagasi yang harus kami beli karena toh kami ga pernah bawa barang terlalu banyak, kami bisa memesan makanan terlebih dahulu secara online dan bisa memilih kursi dan cek in online. Sistem Air Asia sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu, kadang-kadang masih ada masalah ketika check in, atau membeli makanan. Kemarin kami harus mengkombinasikan penggunaan aplikasi AirAsia mobile dan web ketika membayar untuk bagasi, kursi dan makanan.

Beberapa waktu lalu, untuk bisa terbang langsung ke Indonesia dengan fly thru, kami hanya bisa memilih transit di Bangkok (DMK), padahal saya sering melihat kalau rute pilihannya CNX-KUL, lalu KUL-CGK atau KUL-KNO, seringnya harganya lebih murah daripada via DMK. Tapi belakangan ini saya perhatikan aplikasi airasia sudah bisa juga fly-thru via KUL. Sekarang ini, jadi ada pilihan transit mau di Bangkok atau KL.

Hari ini, setelah sekian lama ga transit di KL dengan AirAsia, kami mampir di KL lagi. Terakhir mampir sini sudah beberapa tahun lalu sebelum ada Joshua. Eh pernah sekali mampir sini naik Malindo Air, sayangnya rutenya udah ga ada lagi. Waktu naik Malindo kami transitnya super sebentar, dan gate nya sebelahan jadi ga melihat banyak hal di KLIA. Sekarang ini kami transit beberapa jam, makanya sempat nulis ini sambil nunggu pesawat berikutnya. Hal yang paling menyenangkan, masih di pesawat udah bisa konek free wi-fi Airport yang bisa digunakan selama 24 jam. Jadi sambil nunggu gini bisa tetep online, main pokemon juga bisa haha.

Oh ya, kadang-kadang kami memilih penerbangan lain karena waktu di cek harganya penerbangan lain lebih murah daripada AirAsia, tapi hal ini jarang sekali terjadi. Sejauh ini pengalaman terbang dengan Air Asia baik-baik saja, semoga ke depannya semakin baik lagi.

Tentang Drama Korea

Tulisan kali ini saya tidak secara khusus mereview drama Korea tertentu, cuma mau menuliskan kesan-kesan setelah menonton sekian banyak TV Seri K drama. Saya gak tahu persisnya udah nonton berapa banyak, soalnya belum pernah menuliskan listnya (kapan-kapan tulis listnya kalau mau nulis review satu persatu hahahaha).

Dulu, jaman teman-teman saya pada ramai  ngomongin drama Korea, saya ga ikutan karena kalau dengar cerita mereka kesannya K-drama isinya romance doang. Tapi mungkin juga mereka dulu nontonnya emang yang genre romance doang ya. Dulu alasan ga nonton selain belum tertarik, ga ada waktu, juga ga mau beli /nyewa CD, sedangkan yang diputar di TV yang saya ingat cuma Meteor Garden dan ini bukan K-drama.

Beberapa waktu lalu, waktu iseng-iseng liat di Netflix, saya gak sengaja melihat serial Boys Over Flowers yang katanya versi koreanya Meteor Garden. Awalnya cuma pengen lihat apakah mereka cuma beda pemeran dengan cerita yang sama persis, atau mereka adaptasi sendiri. Ternyata walau garis besarnya sama, tapi karena saya nonton Meteor Gardennya udah lama banget, ya akhirnya saya keterusan juga nontonnya hahaha.

Beberapa judul yang populer memang terkenal karena aktor dan aktrisnya. Saya lupa apa serial berikut yang saya tonton, tapi beberapa serial awal yang saya tonton jalan ceritanya hampir bisa ditebak. Akan ada kilas balik, ada amnesia, ada yang kalau ketemu berantem mulu terus akhirnya jadi pasangan, ada cinta beda latar belakang ekonomi, dan kebanyakan walau awalnya jalan ceritanya berjalan dengan cepat, di tengah-tengah akan ada beberapa episode yang jalan ceritanya terasa lambat sekali dan banyak kilas balik dari episode-episode sebelumnya dan akhirnya semua diselesaikan secara terburu-buru di episode terakhir.

Udah tau pattern kayak gitu tapi tetep aja ya ditonton, salah siapa coba hahaha. Saya akhirnya sempat berhenti nonton karena mulai bosan dengan cerita yang gitu-gitu aja. Tapi ternyata setelah berhenti beberapa lama, saya menemukan serial kdrama yang jalan ceritanya ga cuma kisah cinta.

Salah satu kdrama yang topiknya hampir ga ada kisah cintanya itu seri yang tayang di Netflix Life. Ceritanya seputar konflik politik  antara manajemen di rumah sakit yang berorientasi profit dengan dokter yang berorientasi menyelamatkan pasien. Biasanya saya menonton kdrama yang sudah selesai seasonnya, serial Life ini salah satu yang saya tonton waktu masih harus menunggu 2 episode per minggu. Walaupun ceritanya berlangsung di rumah sakit, tapi tidak banyak cerita mengenai penyakit pasien tertentu. Kalaupun ada diceritakan soal pasien, karena pasien itu ada hubungannya dengan konflik kepentingan yang terjadi.

Salah satu seri yang saya tonton mengangkat cerita seorang pria terkena kanker payudara. Sebelum nonton film ini saya gak pernah tahu (dan seperti dikisahkan di film ini kalau kebanyakan orang gak pernah tahu) kalau pria juga bisa terkena kanker payudara. Dalam serial ini diceritakan mulai dari simptom awal, pemeriksaan awal, treatment yang dijalani sampai reaksi orang-orang ketika mengetahui seorang pria terkena kanker payudara. Walaupun ada kisah cintanya, film ini jadi bisa memberi edukasi juga supaya kita lebih aware dengan penyakit ini. 

Ide cerita yang juga menarik mengenai seorang yang punya kepribadian ganda dan jatuh cinta pada wanita yang sama. Walaupun penyelesaian ceritanya menurut saya gak masuk akal, tapi cukup menarik melihat 1 aktor memerankan 2 karakter yang sangat berbeda. Dalam serial ini diceritakan juga mengenai hypnotis itu bukan sihir tapi science. Ada bagian cerita dimana psikiater bisa menghipnotis orang secara massal dengan bunyi atau benda tertentu. Saya kurang tahu mengenai hipnotis, tapi saya jadi ingat dengan banyak cerita kejahatan dimana pelakunya menghipnotis korban sehingga tanpa sadar memberikan uang atau transfer atm dan sebagainya. Tapi di film itu disebutkan, biasanya orang bisa terhipnotis kalau yang dihipnotis menaruh kepercayaan ke orang yang menghipnotisnya.

Ada juga kdrama bercerita mengenai seorang spy yang sedang dalam pelarian lalu menjadi baby sitter tetangganya. Film ini menarik karena ada actionnya juga dan ibu-ibu komplek yang sangat canggih dalam mencari informasi. Jadi walaupun film ini berkisah mengenai agen rahasia, tapi banyak unsur komedinya juga jadi terasa lebih ringan, jangan dibandingkan dengan film Mission Impossible.

Walaupun sejak menonton Life saya bertekat ga akan menonton kdrama yang masih on-going, tapi ya kadang-kadang kalau lihat trailernya menarik saya akhirnya nonton juga tuh episode pertamanya untuk menentukan akan meneruskan menonton atau tidak. Sekarang ini sedang tergoda nonton Memories of the Alhambra. Film ini menarik karena walau saya sebelumnya ga tau apa itu Alhambra, di mana itu kota Granada, tapi karena dikisahkan tokohnya bermain game dengan augmented reality yang dilihat menggunakan contact lens dan adegan berantem melawan tokoh-tokoh yang muncul secara virtual. Entah kenapa malah teringat game pokemon hahaha. Sekarang ini baru ada 4 episode, dari 2 episode yang sudah ditonton, di akhir episode selalu ada hal yang bikin penasaran. Sepertinya saya akan menunda dulu menonton film ini sampai selesai di bulan Januari nanti (daripada saya penasaran tiap minggu hahaha).

Ada banyak alasan orang nonton k-drama, tapi buat saya ide ceritanya paling menentukan dibanding aktor dan aktrisnya. Biasanya trailer dan episode pertama bisa menentukan apakah filmnya cukup menarik atau tidak untuk ditonton. Kalau di episode pertama saja ceritanya sudah bertele-tele dan lamban, sudah pasti gak akan saya terusin hehehe. 

Kalau ada rekomendasi film (terutama k-drama) yang jalan ceritanya menarik, bagi-bagi judulnya ke saya ya hehehe.

Review Brain Quest Deck (Flash Card)

Kali ini saya mau mereview flash card dari Brain Quest. Pertama membeli produk brain quest ini waktu Jonathan masih 2 tahun. Kami menggunakannya tidak terlalu rutin, tapi biasanya sebagai salah satu aktivitas sebelum siap-siap tidur. Flash card brain quest pertama yang kami punya tentunya untuk umur 2-3 tahun, dengan 350 pertanyaan yang berguna membangun vocabulary dari anak usia tersebut. 

Sebagian dari koleksi BrainQuest kami

Jonathan tergolong cepat berbicara dan mengerti banyak hal, dia senang sekali bermain dengan kartu-kartu brain quest ini. Biasanya dalam 1 box ada 2 set kartu, dan terbagi berbagai topik seperti topik bangun tidur, berpakaian, siap-siap berangkat sekolah, kegiatan di sekolah, ke taman, ke playground, di rumah bahkan sampai topik liburan. 

Brain quest ini memang menggunakan bahasa Inggris, tapi karena memang kami dari awal menggunakan 2 bahasa, Inggris dan Indonesia, Jonathan tidak ada masalah dan memang menambah banyak perbendaharaan kata-katanya dia. Setelah agak lama, Jonathan sempat bosan dan kami jadi lupa dengan kegiatan bermain dengan kartu Brain Quest ini.

Setelah Jonathan masuk sekolah, dia ingat dengan kartu Brain Quest yang dia punya dan minta dibelikan seri umur berikutnya. Waktu itu, ga selalu ada urutan umur berikut dari 2-3 tahun, jadi kami sempat skip membeli umur berikutnya 4-5 tahun dan 5-6 tahun. Setelah Jonathan bisa membaca, dia sering membaca sendiri pertanyaan dan jawaban yang ada di kartu. Kadang-kadang dia minta kami bacakan, dan semua pertanyaan yang ada dia bisa ingat jawabannya. Sekali bermain kami ga selalu membaca dari awal sampai akhir, paling ya 5 – 10 kartu saja.

Sejak Joshua mengenal huruf a,b,c dan tertarik dengan membaca, Joshua juga senang diajak bermain dengan Brain Quest. Perkembangan bicara Joshua berbeda dengan Jonathan, Joshua lebih memilih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Setelah beberpa kali diajak tanya jawab dengan kartu brainquest, dia malah sering main sendiri dengan kartu-kartu yang ada. Dia seperti bisa membaca pertanyaan dan jawabannya sehingga kadang saya bertanya-tanya Joshua beneran bisa baca atau dia memang mampu menghapal tanpa pengertian 100 persen?

Karena Joshua suka juga bermain dengan kartu Brain Quest, kami melengkapi seri umur 3-4 tahun. Tapi sejak beberapa waktu lalu, Joshua ga berhenti dengan brainquest yang diperuntukkan sesuai umurnya, dia malah pengen baca juga punya Jonathan untuk kelas 1 dan kelas 2 (tapi kosakatanya sudah terlalu sulit, jadi dia sering minta kami bacakan saja).

Contoh pertanyaan dan jawaban kartu BrainQuest

Selain flash card, brain quest juga ada workbook, app di nintendo dan seri write&erase. Untuk workbook, kami tidak beli semuanya, kami beli hanya kalau Jonathan berjanji untuk mengerjakannya. App nya juga ada untuk grade tertentu saja. Untuk write&erase nya saya belum pernah menemukan di Chiang Mai, padahal kalau ada, pasti Joshua akan senang sekali hehehe.

Kami suka Brain Quest ini karena ukurannya kecil bisa dengan mudah dibawa-bawa di mobil. Pertanyaan dan jawabannya juga dikategorikan berdasarkan umur dan bisa dimainkan sedikit demi sedikit. Untuk anak yang tertarik baca seperti Joshua, kartu-kartu ini juga bisa dipakai untuk dia berusaha baca. Mungkin awalnya dia menghapalkan pertanyaan dan jawabannya, tapi sekarang saya perhatikan dia mulai mengerti dan berusaha merangkai huruf di mana saja untuk dia baca.

Kami menggunakan kartu-kartu ini bukan untuk mendrill anak dan harus hapal, tapi mengikuti apakah anaknya mau bermain atau tidak. Kalau misalnya mereka sedang tidak ingin tanya jawab ya kami bacakan buku yang lain saja. Tapi melihat bagaimana Jonathan dan Joshua bermain menggunakan kartu-kartu dan workbook dari Brain Quest, kami cukup senang karena mereka menganggap belajar itu bukan beban dan seperti menjawab teka-teki silang saja hehehe. Kartu dan workbook dari Brain Quest ini seperti investasi buku. Membantu anak untuk suka belajar tanpa beban dan tetap fun.