Hong Kong Trip

Bulan April lalu, Joe iseng–iseng ikutan lomba CTF berhadiah conference gratis di Hong Kong. Kebetulan waktu itu sedang liburan Songkran di Thailand. Ternyata iseng-isengnya Joe berhasil mendapatkan hadiah pertama berupa tiket pesawat, penginapan gratis ke Hong Kong, dan biaya training + conference, plus uang saku yang cukup untuk jalan-jalan sekeluarga di Disneyland (Joe bakal udah posting lebih lengkap soal conferencenya). Karena kami tahun ini ga pulang ke Indonesia, tau-tau terpikir, gimana kalau saya dan anak-anak ikutan juga. Cek harga tiket Air Asia, ternyata ada penerbangan langsung dari Chiang Mai ke Hong Kong (sekitar 2,5 jam) dan tiketnya jauh lebih murah daripada pulang ke Indonesia.

Awalnya agak ragu mau ikutan ke Hong Kong, tapi karena ternyata orang Indonesia ga butuh visa buat masuk ke Hong Kong, jadi semakin tergoda untuk jalan-jalan ke sana. Walau sudah tau beberapa bulan sebelumnya, tapi karena terlalu banyak informasi di internet, saya ga serius baca mengenai tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Satu hal yang terpikir adalah adanya Disneyland di Hong Kong, walaupun anak-anak ga terlalu kenal tokoh Disney kami pikir ya anggap aja kami yang mau jalan-jalan ke Disneynya hehehe.

Point normal ke Hong Kong dari Chiang Mai

Bulan lalu, setelah menimbang-nimbang akhirnya kami memutuskan jadi ke Hong Kong termasuk ke Disneyland. Beli tiket kebetulan bisa redeem big point air asia yang selama ini sudah dikumpulkan, biasanya putuh belasan ribu point untuk ke Hong Kong, tapi waktu itu ada promosi khusus, jadi untuk saya dan anak-anak tiketnya semakin murah lagi dari anggaran awal.

Harga Point Diskon

Untuk memaksimalkan pengalaman di Disney, kami memutuskan untuk menginap 1 malam di Disney dan 4 malam di pusat kota yang dekat dengan conference. Ada banyak sekali pilihan yang harus diperhatikan sebelum membeli tiket Disneyland. Setelah membaca berbagai review, kami memilih menginap di Disney’s Hollywood Hotel dan membeli tiket 2 fun day. Harga tiket 2 fun day ini beda sedikit banget dibanding 1 hari, jadi ya sekalian biar puas deh di Disneyland. Nanti cerita soal Disneyland Experience akan saya tuliskan terpisah, karena kalau semua dituliskan di sini akan menjadi tulisan yang sangat panjang.

Training dan conference yang akan dihadiri Joe diadakan hari Kamis dan Jumat (20 dan 21 September 2018), awalnya kami berencana datang dari hari Sabtu sebelumnya, supaya lebih lama di Hong Kong. Rencana berubah karena sejak awal September setiap Senin kami ada kegiatan co-op Homeschool dan saya merasa ga baik kalau demi jalan-jalan kami harus bolos co-op (di co-op saya mengajar kelas juga, kalau bolos berarti saya harus meminta orang lain menggantikan saya mengajar). Ternyata, keputusan kami ini sudah sangat tepat, karena hari Minggu sebelum kami berangkat, Hong Kong dilewati oleh topan Mangkut. Kami berangkat hari Selasa, di mana merupakan hari pertama Disneyland kembali beroperasi setelah tutup dilanda topan badai.

Jonathan sudah menghitung mundur dan tak sabar menanti-nantikan berangkat ke Hong Kong. Dia sempat bertanya-tanya juga soal topan Mangkut waktu kami ceritakan kalau hari Minggu terjadi topan di Hong Kong dan semoga hari Selasa semua sudah buka kembali. Kesempatan juga menjelaskan mengenai kenapa terjadi topan dan bagaimana kerusakan yang bisa terjadi akibat topan. Saya sendiri sempat agak kuatir, tapi ya baca-baca berita semua sudah mulai normal di hari Senin. Jadi kami cukup yakin hari Selasa akan semakin baik-baik saja.

Waktu kami tiba di sana, masih terlihat sisa-sisa pohon tumbang akibat badai. Pegawai hotel masih dengan giat membersihkan dahan pohon yang patah. Dari berita, ada juga beberapa gedung yang mengalami kerusakan, tapi sejauh yang kami lewati semua gedung terlihat baik-baik saja dan tidak ada kerusakan berarti.

Setelah menginap 1 malam di Disneyland, kami pindah hotel ke daerah Tsim Tsa Tsui. Daerah ini merupakan pusat kota dan dekat ke banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi dengan anak-anak. Kami bahkan ga perlu naik kendaraan untuk mengunjungi beberapa museum dan juga terutama untuk Joe ke lokasi conferencenya. Museum yang kami kunjungi diantaranya Space Museum dan Science Museum. Kami juga berkesempatan melihat Symphony of Light dari Central Cultural Hong Kong. Tulisan mengenai wisata seputar Tsim Tsa Tsui juga akan saya tuliskan di posting terpisah.

Hari Sabtu, hari terakhir sebelum pulang ke Chiang Mai, Joe sudah tidak ada acara. Kami bisa bareng-bareng mengunjungi Sky Terrace The Peak yang katanya merupakan titik tertinggi untuk melihat kota Hong Kong. Karena lokasi The Peak ini agak jauh, kami berkesempatan naik MRT dan Peak Tram, kereta tua yang udah beroperasi 130 tahun. Cerita ini juga akan saya tuliskan terpisah.

Kesan soal Hong Kong secara umum kota ini lebih sibuk dan lebih mahal dari Singapore. Positifnya museum untuk pendidikan mengenakan tarif cukup murah bahkan gratis untuk anak-anak di hari tertentu. Kamar mandi di Airport juga serba otomatis (dilengkapi sensor). Hotel tempat kami menginap meminjamkan mobile wifi dengan unlimited data dan cukup cepat. Kecepatan internet di Hong Kong cukup memuaskan dan banyak tersedia titik hotspot gratis. Ada banyak pokestop dan pokemon (haha jauh-jauh ke HongKong tetep aja main pokemon ya).

Saya sempat agak culture shock juga di Hong Kong. Terbiasa dengan kota Chiang Mai yang serba santai, saya berasa ga enak kalau lagi bayar di minimarket ada orang memotong saya karena dia cuma beli 1 item, lalu membayar pakai e-money dan pergi, sementara saya masih menghitung-hitung uang saya (karena belum biasa lembaran mana nominal berapa). Di Hong Kong orang juga harus bayar kalau butuh plastik untuk belanja. Harga 1 kantong plastiknya 50 sen (sekitar 1000 rupiah). Rata-rata sedotan tidak disediakan, di Disneyland sedotan yang digunakan juga dari kertas keras (yang walaupun ramah lingkungan tapi rasanya jadi gak enak kalau terendam air terlalu lama).

Beberapa hal yang bikin Hong Kong menjadi tidak menarik untuk saya pribadi terutama ada banyak sekali orang merokok. Udara Hong Kong terutama di pusat kotanya terasa menyesakkan buat saya. Udara panas dicampur dengan bau asap rokok benar-benar tidak nyaman rasanya. Banyak tempat di Hong Kong sangat memanfaatkan setiap meter persegi tanah untuk menjadi tempat jualan. Restoran di basement itu hal biasa. Pengalaman makan di beberapa restoran di Hong Kong, saya ga menemukan makanan yang enak. Beli makanan di restoran Thai karena berharap makanan yang familiar buat kami, tapi entah kenapa terasa sangat berminyak. Beli noodle ala Hong Kong, rasanya yang terasa hanya asin atau hambar.

Ukuran menu di Hong Kong juga sangat besar. Kami beli 2 menu saja rasanya ga sanggup untuk menghabiskannya. Pernah juga waktu saya pergi bareng anak-anak tanpa Joe, saya pesan 1 menu saja untuk kami bertiga dan semua kenyang. Kagum dengan ukuran porsi orang Hong Kong di depan saya yang menghabiskan 1 porsi sendiri (padahal badannya kecil banget hehehe). Karena kangen kopi, saya juga coba pesan kopi di HongKong, hasilnya mengecewakan haha. Masih lebih enak kopi instan dari sachet daripada kopi seharga 44 HKD.

Anyway, bersyukur karena sekarang sudah kembali lagi ke Chiang Mai. Perjalanan ke Hong Kong bikin makin betah di Chiang Mai. Di sana kami sering disangka orang lokal juga. Tiap ketemu kasir pasti diajak ngomong pake bahasa mandarin, untungnya mereka bisa berbahasa Inggris juga selain mandarin (walaupun beberapa kasir saya gak ngerti dia ngomong apa sampai dia ganti kalimatnya baru saya ngerti).

Kalau ditanya apakah saya masih pengen jalan-jalan ke Hong Kong lagi? jawabannya sudah jelas tidak. Saya ga tahan dengan asap rokok. Kalau ada kesempatan jalan-jalan, saya lebih memilih mencoba melihat negeri lain atau mungkin ke kota-kota di Indonesia yang belum saya kunjungi (dari dulu pengen ke Bromo belum jadi-jadi).

Cerita lengkap perjalanan per hari bisa di lihat di berbagai posting dalam blog ini di kategori hong kong.

Aksesori elektronik kecil

Sudah lama saya tidak menuliskan tentang oprekan elektronik. Salah satu alasannya adalah karena tahun ini saya berusaha mengurangi pembelian berbagai benda dari AliExpress. Tahun lalu saya membeli terlalu banyak benda yang akhirnya kurang sempat dioprek.

Capture HDMI kualitas rendah

Ketika mengerjakan salah satu proyek Raspberry Pi, saya perlu berada di depan komputer karena menyangkut akses GPU untuk menampilkan video secara langsung dari kamera ke layar (pernah saya tuliskan di sini). Ada beberapa alternatif cara menangkap output HDMI, tapi harganya masih relatif mahal. Alternatif saat ini: PCI  card USB 3 capture card, dan device independen. Dari berbagai review yang saling bertentangan saya masih ragu harus membeli hardware yang mana, sedangkan harga hardwarenya tidak murah (puluhan hingga ratusan USD).

Dalam kasus kali ini, saya tidak benar-benar butuh capture kualitas tinggi, saya hanya ingin memastikan bahwa di layar tampil sesuatu yang seperti harapan saya. Jadi saya mengambil pendekatan paling murah: saya membeli HDMI2AV (kurang dari 7 USD). Signal HDMI diubah menjadi AV (dan resolusinya diresize), lalu saya tangkap signal AV ini dengan USB capture card yang sudah saya miliki (dulu harganya 4.5 USD).

Lanjutkan membaca “Aksesori elektronik kecil”

Text-to-Speech untuk mainan

Joshua sangat menyukai huruf dan angka. Di usianya sekarang (3 tahun) dia sangat suka alfabet. Dia bisa menyebut nama alfabet dalam bahasa Inggris dan Indonesia, bisa mengingat urutan alfabet  dari depan ke belakang dan sebaliknya, bisa menuliskan semua huruf besar dan kecil. Selain itu Joshua juga suka alfabet Thai, dalam sekitar 2 minggu dia sudah mengingat nama semua 44 konsonan dan cara menuliskannya.

Mainan ini bisa mengucapkan kata-kata tertentu, misalnya APPLE, BALL, dsb

Setelah suka alfabet, Joshua suka belajar membaca dan juga menulis, termasuk juga mengetik di komputer. Dia sangat senang dibelikan mainan tablet alfabet di atas. Mainan di atas disertai beberapa buku, di buku itu ada kata-kata yang bisa “diketikkan”, dan setelah selesai  kata itu akan diucapkan oleh tablet tersebut.

Lanjutkan membaca “Text-to-Speech untuk mainan”

Co-op Homeschool di Chiang Mai

Sejak hari Senin lalu, Jonathan dan Joshua ikutan co-op homeschool di Chiangmai. Co-op ini merupakan cooperative dari beberapa keluarga yang menghomeschool anaknya. Di tiap tempat bisa berbeda-beda, tapi ini cerita untuk kami yang di Chiangmai.

Kami mengikuti co-op berbahasa Inggris. Saya kurang tau apakah ada Co-op berbahasa Thai dan udah jelas ga ada bahasa Indonesia hehehe. Pesertanya tidak dibatasi hanya orang asing tapi wajib bisa berbahasa Inggris. Persyaratan lainnya salah satu dari orangtua wajib berpartisipasi mengajar kelas sesuai dengan perencanaan yang dilakukan sebelumnya.  Jadi co-op ini bukan jenis drop-off anak dan bayar guru.

Berbeda dengan sekolah, pertemuan setiap Senin ini hanya dilakukan 2 term dalam setahun dan masing-masing term dibagi 3 bulan. Hal ini dilakukan karena banyak juga keluarga homeschooling yang pulang ke negeri asalnya berbulan-bulan, jadi ya tidak terikat harus berada di Chiang Mai sepanjang tahun.

Manfaat dari kegiatan ini selain buat sosialisasi anak homescholer juga untuk para orangtua berkumpul berbagi keahlian mengajarkan yang tidak bisa diajarkan ortu yang lain. Kadang-kadang bisa juga untuk pelengkap kurikulum yang dipakai. Dulu saya ikutan co-op waktu Jonathan masih 3 tahun. Waktu itu niatnya untuk belajar soal homeschool. Memang banyak sekali pertanyaan mengenai memulai homeschooling yang akhirnya terjawab sejak gabung di sana, tapi waktu itu kami ga jadi meneruskan homeschool karena menemukan sekolah yang cukup ideal dengan apa yang kami cari. Jonathan juga anaknya sangat social, jadi kami berpikir memberikan kesempatan buat dia merasakan sekolah.

Tahun ini awalnya kami hampir ga kebagian slot untuk ikutan di co-op. Memang ada batasan jumlah murid perkelas dan jumlah keluarga yang bisa bergabung supaya semua bisa berjalan dengan baik. Tapi beberapa bulan sebelum term dimulai, saya diberitahu ada keluarga yang anaknya kira-kira seumuran Jonathan dan Joshua tiba-tiba harus pulang ke negeri asalnya jadi ada slot yang terbuka. Keluarga tersebut awalnya mengusulkan untuk mengajar sensory class untuk nursery-preschool jadi saya ditanyakan apakah bersedia mengajar kelas itu atau malah mau ngajar kelas Kindergarten yang juga ada slot guru kosong. Karena pengalaman dulu Jonathan ga bisa ditinggal di kelas, saya cari aman saja ngajar kelas di mana Joshua akan ditempatkan alias nursery/preschool.

Contoh kegiatan
Lanjutkan membaca “Co-op Homeschool di Chiang Mai”

Mencari Sekolah buat Joshua

Sekarang Joshua berumur 3 tahun 2 bulan dan masih belum dikirim ke sekolah/playgroup atau daycare manapun. Jonathan dulu umur 3 tahun kurang sudah dikirim ke daycare/taman bermain. Sebelumnya ga kepikiran mencari/memilih sekolah aja bisa jadi rumit. Mencari sekolah ini selalu jadi topik yang menarik buat saya karena di sini walaupun ada banyak sekolah, tapi mencari sekolah yang sesuai dengan kami itu ternyata ga mudah. Bahasa, harga, lokasi selain kualitas jadi pertimbangan sebelum mengirim anak ke sekolah/taman bermain.

Waktu Jona masih di daycare, saya bertemu dengan salah seorang ibu yang sama-sama mencari sekolah terbaik buat anak. Kami mengunjungi banyak sekali sekolah di Chiang Mai. Tapi karena teman saya ini orang Thailand kami lebih banyak mengunjungi sekolah Thai atau bilingual yang mengakomodasi orang asing. Dari dulu sekolah Internasional itu mahal, jadi kami ga pernah menargetkan sekolah Internasional. Kalau kata teman saya, anak dikirim ke sekolah Internasional cuma bisa berbahasa Inggris, dan kadang-kadang malah ga punya skill lainnya. Mungkin karena dia memandang sebagai orang lokal tinggal di negara sendiri, dia merasa kemampuan bahasa Inggris itu ga harus jadi kemampuan utama, apalagi kalau sampai harus bayar mahal. Dia juga punya beberapa ponakan yang lulusan sekolah Internasional tapi akhirnya kerjanya biasa saja dan penghasilannya ga berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah lokal.

Saya sebagai lulusan sekolah negeri dari SD sampai kuliah, ga bisa argue juga mengenai sekolah Internasional. Kemampuan bahasa itu bisa dipelajari, kami ga pernah menargetkan anak-anak harus bisa bahasa Inggris dulu atau bahasa Thailand dulu, tapi karena kami ga tinggal di Indonesia kami malah menargetkan anak-anak harus tetap bisa berbahasa Indonesia selain bahasa apapun yang mereka suka.

Jonathan bisa bahasa Thai dan Inggris dan sempat cuma prefer bahasa Inggris. Sejak homeschool dan banyak berbahasa Indonesia, dia mulai lebih banyak kosa kata bahasa Indonesianya. Joshua sampai sekarang lebih banyak berbahasa Inggris walaupun mengerti bahasa Indonesia. Tapi belakangan dia juga mulai suka mengucapkan kata-kata bahasa Thai yang dia dengar. Kenapa kami memaksakan anak-anak harus bisa bahasa Indonesia padahal ga tinggal di Indonesia? ya karena mereka orang Indonesia dan oppung/eyangnya ga bisa bahasa Inggris ataupun Thai. Mereka harus bisa bahasa Indonesia biar bisa ngobrol dengan keluarga besar kalau lagi pulang kampung.

Di Chiang Mai, daycare yang gurunya bisa bahasa Inggris itu pilihannya ga banyak, dan harganya 2 kali lipat dari jaman Jona daycare. Kadang2 kepikiran, dulu orangtua kami rasanya ga pusing-pusing amat milih sekolah, mereka akan cari sekolah terdekat negeri yang mereka mampu bayar dan itupun kadang terasa berat tiap awal tahun ajaran karena harus beli baju seragam maupun buku pelajaran dan alat tulis, sepatu dan tas kalau misalnya yang sebelumnya sudah kekecilan/rusak.

Di Chiang Mai ada banyak orang asing. Ada banyak sekolah Internasional dan bilingual, setiap sekolah Thai juga selalu ada English Programnya, tapi dari hasil survei, walau mereka bilang English Programme atau Bilingual umumnya semua pemberitahuan ke orangtua atau penjelasan apapun pakai bahasa Thai. Harga uang sekolah di sini juga sangat beragam, yang pasti untuk sekolah Internasional, rata-rata berkisar mulai dari 250.000 baht/tahun atau diatas 110 juta per tahun. Saya tahu, di Indonesia uang sekolah Internasional juga ga murah, tapi karena kami bukan lulusan sekolah internasional dan merasa bisa berhasil tanpa sekolah internasional, kami jadi merasa sekolah internasional ga sepadan dengan harganya.

Untuk mengeluarkan uang sekolah ratusan juta per tahun sejak anak umur 3 tahun sampai lulus universitas kalau dihitung-hitung bakal jadi beban untuk anak itu juga. Pilihan daycare bisa lebih murah (walau ga murah banget juga), dan untuk umur di bawah 6 tahun, pendidikan formal itu belom dibutuhkan. Anak lebih butuh diajak bermain dan belajar life skill. Saya mencari sekolah paruh waktu buat Joshua, tapi inipun belum berhasil menemukan yang tepat. Dengan kemampuan akademis Joshua yang mulai membaca di umur 3 tahun, sepertinya bakal semakin sulit mencari sekolah yang tepat buat dia. 

Untuk sebelum umur 6 tahun, saya mencari sekolah yang tidak mahal, guru bisa berbahasa Inggris dan tidak menekankan akademik tapi lebih banyak mengajak anak bermain. Sekolah yang guru-gurunya ga sibuk main HP dan tetap mau perhatikan anak main walaupun judul kelasnya free play. Sekolah/daycare yang ga banyak kasih anak video walaupun itu kasih lagu nursery rhyme. Karena kalau gurunya main HP mulu atau kasih video doang akhirnya sama aja dengan saya dong dan bisa saya lakukan di rumah tanpa bayar atau ribet antar jemput hehehe. 

Pada akhirnya, walaupun saya sangat ingin mengirimkan Joshua ke sekolah supaya saya bisa lebih ringan tinggal ngajarin Jonathan di rumah tanpa harus ajak Joshua main, yang paling tepat sampai sekarang ini ya tidak mengirimkan Joshua ke sekolah. Beberapa pertimbangan nantinya mencari nanny biar bisa ninggalin Joshua dan Jona di rumah kalau mamanya butuh me time.

 

Akhir Sesi 2 ODOP99days

Tanpa terasa, saya sudah memaksakan diri untuk menulis posting blog minimal 1 tulisan seminggu sejak bulan Mei yang lalu. Di awal semangat masih tinggi dan banyak topik yang rasanya ingin dituliskan. Dalam seminggu bisa lebih dari 1 tulisan diposting, tapi semakin mendekati finish, mulai sering jadi nulis kejar setoran. Tulisan ini termasuk tulisan kejar setoran menjelang pergantian minggu.

Kilas balik dengan target ikutan grup ini supaya mulai lagi mengisi blog dan ya kalau bukan karena ikutan grup sudah bisa dipastikan saya sudah berhenti lagi posting blog. Target tercapai walau terkadang menulisnya buru-buru dan sejauh ini tetap tidak memakai gaya bahasa formal.

Pengalaman dari ikutan ODOP99Days ini lumayan banyak, saya jadi menemukan banyak yang rajin menulis (bukan cuma blog), tapi buat mereka menulis itu menjadi karya yang juga bisa menjadi sumber penghasilan. Apakah saya jadi pingin menulis buku? ya sebenernya keinginan menulis buku sudah ada dari dulu, tapi belum pernah benar-benar memaksakan diri untuk mulai menuliskannya (ga baik, jangan ditiru).

Dari sejak Mei, saya juga jadi memaksakan diri membaca minimal 1 buku dalam seminggu. Seharusnya bisa membaca buku lebih banyak lagi, tapi ya belum bisa konsisten untuk duduk membaca buku karena masih lebih tertarik membaca konten sosmed ataupun blogwalking.

Dari sharing teman-teman di grup, menulis itu butuh latihan seperti ketrampilan lainnya. Menulis itu juga sebaiknya menuliskan apa yang memang kita ketahui dan apa yang kita suka untuk tuliskan. Kalau melihat tulisan yang akhirnya saya posting, kebanyakan tulisan seputar homeschooling ataupun anak-anak.

Sebenarnya terkadang banyak sekali opini yang pingin dituliskan, tapi saya merasa kalau opini saya ga bermanfaat untuk orang lain sebaiknya saya simpan sendiri, apalagi kalau dituliskan tidak terstuktur lebih baik jadi draft saja hehehe. Untuk memfasilitasi menulis opini ini grup ODOP juga menyarankan kita setiap harinya menyediakan waktu untuk free writing. Mungkin target saya mengikuti sesi berikutnya nanti berupa harus mulai rutin menulis free writing dan juga membaca.

Buat yang belum tau, ODOP99days ini diperuntukkan untuk wanita usia 18 tahun ke atas, walaupun namanya 0ne day one post, kita dikasih minimal untuk menulis 1 kali dalam seminggu sebanyak 500 kata. Mungkin awalnya terasa sulit untuk menuliskan sebanyak 500 kata, tapi umumnya lama-lama tulisan yang disetorkan jumlahnya bisa sampai ribuan kata. Informasinya bisa diikuti di FB Group ODOP99days.

Dari beberapa tahun yang lalu, Joe memberi tahu saya soal NaNoWriMo (National Novel Writing Month), ini targetnya menuliskan novel selama sebulan di bulan November. Sejauh ini saya dan Joe masih gagal buat ikutan, ide ceritanya mentok mulu dan seringnya juga karena tidak menyediakan waktu secara konsisten untuk menulis.

Kadang-kadang menuliskan novel/cerita fiksi buat saya sulit dibagian percakapan para tokohnya. Kalau lagi membayangkan saja sih saya bisa, tapi giliran nulis saya bingung kebanyakan kata si A atau kata si B. Menuliskan opini begini saja paragraphnya terkadang masih terlalu panjang.

Mudah-mudahan saja kalau tetap berlatih di ODOP99days, tahun ini saya bisa mengikuti NaNoWriMo. Targetnya mungkin ga harus sampe dipublish ya, tapi ya minimal mengasah kemampuan menulis sebagai bentuk bercerita. Kalaupun bukan menulis novel, bisa juga bikin target untuk memulai menuliskan buku yang dari dulu ingin dituliskan. Mari kita lihat bagaimana konsistensi menulis di hari -hari mendatang. Semangat (menyemangati diri sendiri heheehehe).

Buku-buku Baru

Post ini sekedar untuk catatan beberapa buku baru yg dibeli belakangan ini. Bulan lalu beli beberapa buku dari Asiabooks.com. Kebetulan lagi ada diskon 20 persen untuk semua buku kalau beli online (ada beberapa toko asiabooks offline juga di sini). Berhubung Jonathan sudah selesai membaca buku Harry Potter 1 dan 2, maka kami beli buku 3 dan 4. Selain itu kami membeli buku set Minecraft.

Semua buku yang dibeli ini sudah dibaca berulang-ulang oleh Jonathan. Untuk Joshua kami membelikan buku wipe and clean 1 set yang isinya ada 5 buku. Sejak buku datang sampai sekarang, entah sudah berapa kali bukunya ditulisin dan dihapus. Untuk papa dan mamanya kayaknya ga beli buku deh, papanya palingan ikutan baca buku Minecraft saja.

Karena buku Fat and Cat sudah beberapa kali dibaca oleh Joshua, pas jalan ke toko buku liat buku Cow Take a Bow dan beberapa cerita lainnya. Papanya langsung semangat beliin buat Joshua, dan benar saja, sejak beli sampai sekarang entah sudah berapa kali dibacakan dan dihapalkan oleh Joshua.

Beberapa waktu lalu ada acara Big Bad Wolf di Bangkok. Saya awalnya ga kepikiran untuk beli-beli, karena ongkos buat ke Bangkoknya saja mahal. Kalau di Jakarta, teman saya cerita antrinya minta ampun dan kalau pergi ke sana harus siap-siap bawa koper dan ya siap-siap pegel ngantri selain bisa kalap liat buku banyak banget. Nah ternyata dari seorang teman yang pernah tinggal di Bangkok dan sekarang pindah ke Chiang mai, saya dikasih tau ada grup buat nitip beli. Waaaah langsung deh ikutan kalap hahaha.

Kerjaan Joshua. Masih ada beberapa yang salah, lumayan lah untuk 3 tahun 2 bulan yang tidak diajari secara khusus

Sebenernya saya masih cukup sukses menahan diri, melihat foto buku banyak banget. Kadang-kadang saya bingung, itu banyak banget buku apa ada yang baca ya? terus bukunya judulnya mirip-mirip gitu modelnya. Buku aktivitas buat anak juga banyak selain buku cerita.

Dari Big Bad Wolf Bangkok akhirnya saya nitip buku dalam bentuk set, karena harganya memang jauh banget hematnya. Jonathan sudah kami belikan dan baca buku Captain underpants 1 sampai 3, tapi kami belum beli lagi karena alasan agak mahal. Akhirnya kemarin nitip beli Capt. Underpants yang set (10 buku). Harga setnya ini kira-kira cukup untuk beli 4 buku satuan.  Selain set itu kami juga beli buku Diary of Wimpykids set dan buku wipe and clean untuk menulis tulisan sambung (cursive). Buku-buku ini semua umumnya untuk Jonathan walaupun buku Capt. underpants saya ikutan baca buat hiburan. Oh ya, saya juga membeli buku The Famous Five-nya Enid Blyton, saya ingin bernostalgia sedikit sekalian mengenalkan ke Jonathan bacaan chapter book saya dulu.

Ketika paket buku BBW sampai, saya baru menyadari saya ga pesan apa-apa untuk Joshua, tapi Joshua ternyata malahan senang dengan buku latihan menulis sambung. Sejak buku itu sampai kayaknya lebih banyak Joshua yang pakai daripada Jonathan. Joshua secara umum lebih senang tulis-tulis daripada Jonathan.

Awalnya, saya kurang setuju Joe beliin buku Captain Underpants buat Jonathan, karena tokoh ceritanya 2 anak sekolah yang agak “usil”, tapi setelah dibaca-baca, sebenarnya mereka bukan usil tapi kreatif. Buku ini juga mengenalkan konsep flip-0-rama. Konsep flip-o-rama ini sebenarnya bukan hal baru, tapi baru buku ini yang saya temukan cukup serius memperkenalkan flip-0-rama.

Buku Captain Underpants ini juga ada ide-ide yang bisa mengembangkan imajinasi anak, misalnya mesin fotokopi dari gambar jadi benda 3dimensi, mesin membesarkan atau mengecilkan, formula untuk memberi kekuatan super, dan pernah juga ada dibahas percobaan science sederhana mencampurkan vinegar dengan baking soda. Setelah membaca beberapa bukunya, menurut saya buku ini masih baik-baik saja untuk hiburan, tapi kita perlu ingatkan anak kita apa yang tidak baiknya dan jangan ditiru.

Sebelumnya saya berusaha mencari buku Famous Five nya Enid Blyton di toko buku di Chiang mai tapi ga pernah ketemu, nah dari foto-foto jasa titip, saya lihat ada 1 buku Famous Five. Berhubung ini buku lama, buku ini udah ga populer lagi sekarang, hampir saja yang dititipin kelewat karena dia ga pernah dengar The Famous Five (ketauan beda generasi). Untung akhirnya dia menemukan dari buku pertama, dan lebih menyenangkannya karena ada versi collection, 1 buku isi 3 judul buku. Saya langsung beli 3 buku koleksi yang ada di pameran itu. Yay dapat deh 9 buku hahaha.

Buku Captain Underpants udah selesai dibaca Jonathan sampai nomor 10, sekarang dia jadi terinspirasi ikut-ikutan bikin komik seperti tokoh dalam cerita captain underpants walau masih agak susah dimengerti. Saya baru selesai baca buku pertama Lima Sekawan. Jonathan juga tertarik dengan cerita Lima Sekawan karena saya bacakan bersuara. Menarik membaca buku lima sekawan versi bahasa Inggris (dulu yang saya baca versi bahasa Indonesia). Saya kagum dengan Enid Blyton yang bisa menulis banyak sekali buku dan karya yang dia tulis sebelum tahun 42 bisa dibaca tanpa terasa janggal di jaman sekarang ini. Gak kalah deh dengan Harry Potter.

Buku Diary of Wimpykids belum saya berikan ke Jonathan, karena pas saya baca lagi reviewnya ternyata ada bagian yang perlu didampingi. Sekarang ini Jonathan masih belum minta juga, jadi ya disimpan dulu. Harapan saya nantinya setelah baca buku Diary of Wimpykids, Jonathan kembali lagi mengerjakan jurnalnya dan siapa tahu mulai rajin mengisi blognya. Kadang-kadang Jonathan punya semangat yang sesaat saja, dan perlu disemangati terus menerus supaya dia tetap kerjakan.

Saya ini bukan orang yang terlalu rajin membaca, tapi saya suka ga bisa menahan diri untuk membeli buku apalagi kalau ada potongan harga. Sekarang ini udah banyak tumpukan buku yang harusnya dibaca, tapi gara-gara baca FB dan kadang-kadang nonton Netflix, jadilah bukunya ga dibaca juga. Joe lebih rajin membaca dari saya, dia bisa baca buku elektronik tanpa terdistract dengan segala pop up yang muncul di HP (Joe lebih sering baca buku teknis dan udah langganan Safari books, jadi jarang beli buku cetak).

Sekarang ini kami juga subscribe ke Kindle Unlimited supaya bisa mengakses lebih banyak buku lagi tanpa harus membelinya. Jonathan sepertinya lebih rajin membaca daripada saya, sekarang ini dia sedang meneruskan baca buku Micro Adventure yang ke-7 yang ke-8 (waktu bikin draft posting ini masih yang ke-7). Saya masih belum meneruskan baca buku Micro Adventure di buku ke-4 dan beberapa buku yang belum selesai di Kindle.

Waduh catatan buku aja jadi panjang gini. Biar ingat punya buku apa aja dan dibaca semuanya hehee.