Tentang Sebuah Nama

Saya orang Batak. Lahir dari keluarga marga Saragih, tapi marga itu tidak tercantum di akte kelahiran saya. Kata mama saya, waktu saya lahir di tempat pembuatan akte (DKI Jakarta) ada peraturan tidak boleh memasukkan marga sebagai nama keluarga (entah peraturan apa, atau ada peristiwa apa waktu itu yang menyebabkan tidak dibolehkan). Ternyata sampai sekarang masalah pencantuman nama marga ini masih jadi masalah untuk WNI keturunan.

Jadilah akte lahir saya cuma punya 1 nama. Saya anak ke-3, kakak pertama saya punya 3 nama (nama depan, tengah + marga), kakak ke-2 punya 4 nama (nama depan, tengah, akhir + marga), dan sepertinya waktu saya lahir orangtua saya sudah kehabisan nama hehehe, jadilah akhirnya dikasih 1 nama doang (yang sebenernya bisa juga dipisah jadi 2 nama kalau mau, tapi orangtua saya memberi nama saya sebagai 1 nama). Sebenernya nama yang pendek menguntungkan saya waktu ujian masuk PTN, ga banyak bulatan yang harus saya lingkari hehehe.

Kakak saya dan adik saya punya nama mereka plus marga di aktenya, karena akte kakak saya hilang lalu waktu mama saya urus lagi sudah boleh memasukkan marga ke akte, sedangkan waktu adik saya lahir peraturannya sudah berubah dan boleh mencantumkan marga batak. Kertas akte saya juga cuma selembar kertas tipis yang jaman itu belum kenal yang namanya laminasi. Kadang-kadang saya cemas setiap kali harus membawa kertas aktenya, takut robek dan jadi urusan yang panjang.

Sebelum saya merantau ke Thailand, saya tidak pernah merasakan perlunya mencantumkan nama keluarga di akte saya, toh walaupun itu tidak ada di akte, marga saya tetap melekat dengan saya. Ternyata sekarang ini baru merasakan masalah tidak punya nama belakang.

Masalah pertama muncul waktu mengisi form untuk membeli tiket online, untungnya mereka akhirnya memberi contoh masukkan saja nama yang ada diulang sebagai nama depan dan nama belakang. Masalah berikut muncul ketika mengisi form untuk membuka rekening bank. Di sini, program mereka tidak menghandle seperti di program beli tiket online AirAsia. Akhirnya mereka mengarang sendiri misalnya last name saya jadi : No Surname, ataupun NA dan karena sistemnya tidak konsisten antara satu pihak dan lain, ini bisa membingungkan.

Di Thailand, beberapa form tidak menerima nama latin, jadi kita mau ga mau harus punya nama dalam aksara Thai. Nama kami dalam akte lahir anak-anak dituliskan dalam bahasa Thai walaupun kadang bunyinya ga bisa persis sama karena beberapa huruf di akhir kata akan berubah bunyi dalam aksara Thai. Contohnya, nama saya ris-na akan dibaca jadi rit-na, atau ri-sa-na. Hal ini jadi bahan pertimbangan kami waktu bikin nama anak-anak untuk mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Thailand. Untuk anak yang lahir di Thailand, otomatis nama mereka ada dituliskan dalam bahasa Thai di akte kelahirannya.

Waktu saya hamil, saya mendaftarkan nama saya sebagai pasien menggunakan nama akhir Joe sebagai nama keluarga. Masalahnya kadang-kadang saya lupa kalau saya pakai nama Nugroho bukan Saragih, jadi setiap kali ke dokter kandungan perlu waktu lama buat cari kartu pasien saya karena saya salah kasih nama pas daftar hehehe. Bertahun-tahun saya pakai nama belakang Saragih, tentunya ga gampang mengubah reflek mengingat nama belakang saya pakai Nugroho. Untuk membiasakan diri, saya pakai nama akhir Nugroho di profil Facebook saya.

Waktu kami punya anak, kami putuskan untuk memakai nama belakang Joe juga di belakang nama anak-anak. Berbeda dengan marga untuk orang batak, nama belakang yang kami berikan bukan marga untuk orang Jawa. Kami pakai saja nama belakang Joe. Berdasarkan pengalaman saya, kalau tidak ada nama belakang ke depannya akan jadi repot untuk mengisi formulir, dan juga karena kami tinggal di Thailand, nama belakang yang sama dengan Joe supaya orang tahu kalau mereka anak pak Nugroho :). Toh di sini ga banyak orang dengan nama belakang Nugroho, ga seperti di Indonesia hehehe. Untungnya juga menuliskan Nugroho dalam bahasa Thai relatif bisa dibaca dengan tepat, dan ga bernasib seperti nama saya yang berubah bunyi.

Untuk orang batak, marga berguna untuk mengetahui silsilah. Sebagian orang batak bahkan menomori marganya jadi bisa tahu keturunan ke berapa. Kebetulan, saya Batak Simalungun tidak tahu nomor marga dan sepertinya setiap pertemuan keluarga tidak pernah ditanya nomor berapa. Waktu saya pertama kali merantau ke Bandung, ketemu dengan orang batak lain itu serasa jadi bersaudara. Ketika bertemu orang bukan batak, mereka sering reflek bertanya kenal dengan pak ini atau bu itu Saragih yang mungkin saja terkenal karena pejabat atau sering masuk TV. Orang batak pasti tahu kalau ga semua batak saling kenal, tapi tidak demikian dengan orang yang bukan batak.

Beberapa waktu lalu, ada berita di tanah air tentang seorang boru Saragih yang ketangkap tangan KPK, ada juga seorang marga Saragih yang mencalonkan diri jadi Gubernur tapi ternyata ijasahnya palsu. Teman saya yang bukan batak tau-tau bertanya ke saya: wah Ris itu ada saragih begini begitu. Jawaban saya: saya ga kenal dan ga ada hubungannya dengan saya. Memang sebagian orang batak akan merasa malu-maluin marga aja tuh orang. Tapi saya sih ga merasa apa-apa hehehe. Bukan marganya yang bikin dia melakukan itu, memang dasar dianya aja begitu.

Di Thailand sini, banyak anak punya nama keluarga ikut ibunya. Hal ini mereka lakukan karena kalau orangtua bercerai, anak biasanya ikut ibu, dan mungkin juga karena banyak orang punya anak tanpa mendaftarkan pernikahan secara legal (mereka menikah cuma ke kuil saja). Saya ga tahu apakah di Indonesia boleh memakai nama belakang ibunya untuk mendaftarkan anak ke akte lahir. Mungkin kalau namanya bukan marga tapi nama seperti misalnya Anak Syalala atau Putri Sematawayang boleh-boleh saja kali ya, tapi saya ga tahu apakah di akte lahir boleh tidak mencantumkan nama bapaknya. Kalau ada yang tahu, silakan tulis di komen ya.

Kadang-kadang masalah nama keluarga (nama belakang) ini jadi pertanyaan Jonathan juga, kenapa oppung nama belakangnya beda dengan saya, kenapa eyang ga punya nama belakang dan kenapa saya katanya punya marga tapi ga punya nama keluarga di akte. Yang jelas sih, nama belakang itu perlu terutama buat isi form, jadi kalau bisa untuk yang belum punya anak, jangan lupa kasih nama anak jangan cuma 1 nama saja biar mereka ga repot kalau ada form isian yang wajib isi nama belakang. Dan juga pilihlah nama yang tidak terlalu sulit untuk diucapkan berbagai bangsa, jaman sekarang kita harus berpikir suatu saat anak-anak kita akan merantau keliling dunia, dan jangan sampai mereka jadi terkendala karena nama yang kita pilihkan.

LINE Mobile

Dulu waktu masih di Bandung, kami sering sekali membeli simcard dari berbagai provider cellular untuk mendapatkan tarif termurah, baik itu tarif bicara ataupun tarif paket data. Sesampainya di sini, kami berhenti bereksperimen karena awal di sini internet di rumah dan di kantor sangat cepat (terasa beda banget dengan internet selama di Indonesia).

Kadang-kadang kami beli beberapa simcard kalau ada keluarga yang datang ke sini untuk dipakai sementara, lalu pernah juga dapat gratis di airport, tapi karena ga terlalu butuh bisa dibilang hobi ganti-ganti simcard gak diterusin di sini. Baru beberapa tahun belakangan kami beli paket data di handphone karena kami sering keluar untuk antar kegiatan Jonathan di akhir pekan.

Awalnya kami berlangganan paket data bulanan dari provider simcard kami saja, 1 bulan 1.5 GB lumayan cepat dan kalau lewat dari situ kecepatan menurun (jadi 64kbps) tapi sudah ga ada biaya tambahan. Kami jarang teleponan kecuali untuk urusan yang sangat mendesak, jadi sebulan kami cukup isi pulsa 300 baht (yang mana 220 baht dipakai untuk paket data). Kami memakai nomor yang sama sejak sampai di sini, dan di awal kami isi pulsa sekedar untuk memperpanjang masa tenggang saja. Kami sengaja memakai pra bayar, karena lebih mudah membeli prabayar buat orang asing dan ya kami ga butuh paket-paket yang ada dan akhirnya biayanya lebih murah dengan prabayar.

Bulan ini ada kuota ekstra karena membayar memakai Rabbit Line Pay

Belakangan ini, karena Jonathan makin banyak kegiatan di luar, 1.5 GB sebulan tidak cukup lagi, apalagi terkadang saya lupa untuk terhubung ke wifi ketika sampai di rumah. Joe juga pernah lupa mematikan koneksi yang dia share ke laptopnya, dan laptopnya update windows secara otomatis. Kebayang paket data 1.5 GB pastilah kurang.

Meneruskan dengan internet gratis yang low speed terasa menyiksa karena terbiasa cepat, jadi kadang-kadang akhirnya kami harus top up lagi dan lama-lama terasa mahal buat bayar internetnya (padahal dulu di Indonesia kami pernah langganan Matrix dan rata-rata pembayaran bisa di atas 300 ribu untuk data dan internet).

Beberapa bulan lalu, Joe menemukan promosi Line Mobile. Dengan 170 baht sebulan kami mendapatkan 5GB data dan 150 menit bicara. LINE mobile ini sebenarnya masih agak dipermasalahkan legalitasnya karena ijin MVNO (mobile virtual network operator) belum bisa di Thailand. Tapi akhirnya mereka pake sistem kerjasama dengan operator lokal.

Dulu saya agak enggan menambah nomor. Untuk ganti nomor saya jelas ga bisa karena banyak urusan sudah memakai nomor yang ada, nah untuk menambah nomor saya enggan membawa ekstra gadget. Pernah saya coba membawa hp dan tablet, prakteknya akhirnya tabletnya lebih sering saya tinggal. Tapi kali ini saya baru ganti handphone yang punya double simcard slot.

Jadilah saya membeli LINE Mobile dengan harapan 5GB akan jauh lebih dari cukup dibandingkan 1.5GB yang saat itu selalu terasa kurang. Pembelian LINE Mobile ini dilakukan sepenuhnya dari internet, bayar dengan kartu kredit Joe, dan kartu dikirim oleh kurir ke rumah. Belum sebulan saya memakai LINE Mobile, Joe ikutan beli juga, karena dia juga pengen punya paket data 5 GB. Oh ya, dia beli karena juga ada promosi untuk referal ke teman akan ada potongan 10 baht per bulannya baik untuk saya dan Joe. Baru-baru ini ada promosi pembayaran dengan Rabbit Line Pay (ini metode pembayaran Line yang kayanya baru ada di Thailand), dapat tambahan data 2GB dan diskon 10 persen dari billingnya.

Paket data yang disediakan LINE Mobile ini ada beberapa ukuran, tapi yang paling ekonomis buat kami saat ini ya yang 5GB ini. Sekarang dengan 170 baht sebulan saya bisa dapat minimum 5GB data dan 150 menit untuk telepon (yang sering tidak dipakai karena sekarang ini telepon selalu menggunakan voip). Nomor saya yang lama tetap saya gunakan dan untungnya sekarang ini sudah bisa membeli masa aktif, jadi saya tidak perlu isi ulang banyak setiap bulannya.

LINE Mobile ini menggunakan provider yang sama dengan DTAC, coveragenya akan sama dengan coverage DTAC . Selama menggunakan LINE Mobile saya belum pernah keluar Thailand, ada menu roaming internasional di aplikasinya tapi belum pernah dicoba.

Di Thailand sini, hampir semua orang menggunakan LINE, hampir semua toko memberikan diskon khusus kalau kita menambahkan mereka sebagai teman. Dan saya juga baru tahu kalau ada aplikasi LINE TV segala (gratis tidak dihitung data kalau memakai LINE mobile). Simcard LINE Mobile ini dilengkapi dengan aplikasi untuk mengetahui berapa tagihan kita, berapa sisa data dan berapa menit yang sudah terpakai. Selain itu kita juga bisa mengontrol untuk membatasi pemakaian kalau sudah kelebihan dari kuota yang diberikan berapa baht yang kita bersedia habiskan.

Terakhir pulang ke Indonesia, saya ingat XL juga sudah menggunakan aplikasi untuk memberikan informasi mengenai simcard kita, tapi kadang-kadang datanya tidak langsung update. Saya tidak tahu sekarang ini, tapi fitur seperti ini sangat membantu untuk mengetahui pemakaian kita.

Kecepatan speedtest memakai server di Jakarta dari Chiang Mai

LINE Mobile ini pasca bayar, saya tidak tahu kalau datang untuk sebagai turis apakah bisa memesannya, tapi kalau berencana tinggal beberapa bulan di Thailand sepertinya memakai LINE Mobile bisa dicoba, karena pemesanan dari Internet untuk orang asing cukup menyertakan foto dari passport kita saja lalu kita kirimkan alamat ke mana simcard akan dikirimkan. Pembayaran tagihan juga dilakukan langsung dari aplikasi LINE Mobilenya, bisa menggunakan internet banking, kartu debit, kartu kredit atau Rabbit Line Pay.

Kalau dilihat dari websitenya ada banyak promosi setiap bulannya berganti-ganti. Secara umum, untuk kebutuhan kami saat ini kami cukup dengan 5GB sebulan. Mudah-mudahan di Indonesia ada paket sejenis LINE Mobile ini, jadi kalau mudik ga jadi fakir bandwith seperti yang terjadi setiap pulang.

Harddisk yang tidak pernah cukup

Ini sekedar cerita dan catatan kenapa desktop saya sekarang punya 3 SSD dan 3 HDD, dan kenapa saya punya komputer lain yang jadi server dengan 1 SSD dan 3 HDD. Ceritanya ini juga sekaligus jadi catatan untuk diri sendiri.

Singkatnya kalau Anda rajin bereksperimen seperti saya, ruang harddisk sepertinya akan selalu tidak cukup. Misalnya ingin mengcompile ROM Android (bukan aplikasi Android, tapi source code kernel, OS dan berbagai aplikasi Android yang membentuk ROM Android), satu versi saja butuh disk space 100 GB untuk source codenya dan 150 GB lagi untuk membuild-nya. Sedangkan untuk development aplikasi Android juga butuh space cukup banyak: folder .android saya (yang berisi SDK dan VM, tidak semua versi saya install) sudah 20GB.

Mengcompile Firefox? butuh 30 GB, Chromium butuh 100 GB. Belum lagi ketika eksperimen dengan Raspberry Pi atau yang lain: tiap backup 1 SD Card biasanya seukuran SD cardnya (umumnya saya memakai 8-32 GB, tergantung devicenya).

Lanjutkan membaca “Harddisk yang tidak pernah cukup”

Beberapa buku Roald Dahl

Siapa sih Roald Dahl? Singkatnya Roald Dahl itu penulis terkenal, lengkapnya lihat di wikipedia Roald Dahl ya. Dia menulis berbagai cerita dan cukup banyak menulis buku cerita pendek untuk anak-anak.

Tapi waktu saya jadi anak-anak, manalah saya tahu buku Roald Dahl, taunya cuma Enid Blyton karena ada film Lima Sekawan diputar di TV, lalu jadi nyari buku Lima Sekawan. Kemungkinan waktu saya kecil, buku-buku Roald Dahl belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Mengenalkan buku Roald Dahl ke anak

Sejak mengenalkan chapter book ke Jonathan, saya jadi ikutan membaca buku-buku karya Roald Dahl. Waktu saya menonton film Charlie and the Chocolate Factory, saya tahu kalau film itu dari buku penulis terkenal, tapi saya tidak mencaritahu siapa penulis bukunya dan apa karya lainnya. Tapi setelah tahu, akhirnya buku Roald Dahl untuk Jonathan yang pertama dibeli adalah  buku Charlie and the Chocolate Factory. Sebagai reward selesai membaca buku, kami nonton filmnya di Netflix.

Buku Roald Dahl berikutnya yang Jonathan minta belikan adalah Charlie and the Glass Elevator, dan George’s Marvelous Medicine. Karena Jonathan  menyelesaikan dalam waktu singkat, berikutnya kami belikan buku Matilda.

Ketika saya berencana untuk membeli lebih banyak buku Roald Dahl, kebetulan ada yang mau pindah dari Chiang Mai dan menjual satu set buku-buku Roald Dahl dengan harga murah, langsung deh saya beli tanpa pikir panjang. Buku Roald Dahl beli di toko sekitar 300 an baht, buku bekas 1 set yang saya beli ada 15 buku cuma 500 baht saja dan semua buku dalam kondisi bagus walaupun akhirnya ada beberapa buku yang sudah kami punya.

Karena merasa perlu untuk mengetahui apa yang di baca Jonathan, saya juga ikutan membaca buku Roald Dahl. Saya tidak membaca buku Charlie and the Chocolate Factory, soalnya saya sudah 2 kali menontonnya, saya pikir saya akan baca belakangan.

Saya pilih baca buku Matilda, berikutnya buku  George’s Marvelous Medicine, Fantastic Mr. Fox, The Twits, The Girrafe and the Pelly and Me. Semua buku-buku itu sudah dibaca duluan oleh Jonathan. Bahkan ada beberapa buku Roald Dahl lainnya yang Jonathan sudah baca tapi saya belum sempat menyelesaikan juga.

Sebelum saya membeli bundle buku bekas harga murah, Joe awalnya berniat membelikan e-book saja. Tapi waktu mencari daftar bukunya Roald Dahl, kami baru menyadari kalau tidak semua buku Roald Dahl ini untuk anak-anak. Kalau masuk ke website officialnya Roald Dahl juga akan ada pertanyan apakah kita guru, anak-anak atau dewasa. Dan sayapun baru tahu kalau di official websitenya ada lesson plan untuk eksplorasi buku-bukunya di ruang kelas (bagian ini saya belum bisa cerita banyak karena saya juga baru tahu haha).

Kesan membaca buku Roald Dahl

Kesan saya ketika membaca buku-buku Roald Dahl (peringatan: bakal ada spoiler mengenai beberapa buku, karena saya ga bisa menuliskan kesannya tanpa menuliskan bagian yang bikin kesan tersebut).

Matilda

Awalnya saya merasa heran, apa iya buku ini untuk anak-anak? apalagi buku pertama yang saya baca Matilda. Kisahnya menurut saya sangat sedih dan banyak percakapan yang kurang pantas diucapkan oleh orangtua ataupun guru. Saya sempat heran, kenapa Jonathan ga nangis baca buku ini, mengingat dia nonton film pokemon aja bisa nangis hehehe.

Cerita Matilda berakhir sepertinya bahagia tapi menurut saya menyedihkan karena orangtua Matilda meninggalkan Matilda begitu saja dengan gurunya. Memang sih Matilda lebih bahagia tanpa orangtuanya, dia bisa baca buku dan si ibu guru lebih mengerti dia daripada orangtuanya, tapi kan tetep aja sedih kalau ada cerita anak ditinggal orangtuanya.

George’s Marvelous Medicine

Dari cerita George’s Marvelous Medicine, saya juga masih heran, apa iya ini buku anak-anak? kok ya George bikin ramuan dari isi obat-obatan di kamar mandi dan gudang lalu dikasih minum ke neneknya.

Heran karena neneknya kok bisa ga langsung mati. Ketika neneknya akhirnya mati, sepertinya mereka ga diceritakan merasa sedih. Aduh ini ngajarin apa sih ke anak-anak?. Tapi saya menyadari, memberikan buku ke anak itu harus didampingi, jadi saya ajak Jonathan ngobrol untuk mengingatkan dia jangan pernah bikin campuran obat seperti di buku George’s Marvelous Medicine.

Saya juga bertanya apakah dia merasa takut atau sedih ketika membaca bukunya. Intinya saya jadi punya bahan untuk mengajarkan hal-hal yang berbahaya dan sebaiknya tidak dilakukan.

Fantastic Mr. Fox, The Girrafe and the Pelly and Me, dan The Twits

Buku Fantastic Mr. Fox dan buku The Girrafe and the Pelly and Me jauh lebih baik jalan ceritanya dan tidak sedramatis buku-buku sebelumnya. Diantara membaca 2 buku itu, saya membaca buku The Twits yang lagi-lagi agak dramatis.

Dramatis karena nasib tragis Mr. dan Mrs. Twits di akhir cerita walaupun kalau dibaca dari deskripsi tokohnya mereka bukan orang yang baik dan rasanya tidak ada yang akan merasa kehilangan mereka.

Penutup

Akhirnya sebuah cerita hanyalah cerita, yang lebih perlu gimana kita memaknai cerita tersebut. Mengambil hal yang baiknya dan mengerti kalau di dunia ini ga semua orang baik. Bagaimana supaya bertahan hidup seperti keluarga Fox ketika mereka disudutkan dalam lubangnya dan bagaimana bisa seperti Matilda yang sangat rajin membaca sejak kecil.

Berikutnya masih banyak buku Roald Dahl yang belum saya baca, sejauh ini walaupun ceritanya gak semuanya berakhir bahagia, tapi cerita-ceritanya cukup menghibur.  Motivasi saya membacanya supaya bisa memilih juga mana buku berikutnya sebaiknya yang dibaca Jonathan, dan supaya saya jangan ketinggalan dari Jonathan hehehe.

Berhentilah Jadi Script Kiddie

Saya sering mau ketawa tapi juga merasa sedih, kasihan dan juga marah kalau liat ada posting tentang ajakan DDOS sebuah situs. Ketawa karena mereka berusaha men-DDOS situs yang dilindungi Cloudflare (atau cloud firewall lain) dan ketawa karena mereka memakai tools-tools tua yang parah. Kalau memilih target jangan malu-maluin lah, ibaratnya mau menyerang klub malam maksiat tapi yang diserang malah papan iklan klub malam tersebut di pinggir jalan.

Copy paste ajakan semacam ini sangat banyak yang beredar di Facebook/WA/Telegram

Di posting ajakan mereka biasanya juga diberikan daftar tool yang bisa dipakai. Saya lihat ada batch file yang sekedar melakukan ping, dan ada salah satu tool DDOS Android bahkan mengirimkan IMEI dan Device ID ke server yang diserang, jadi memudahkan untuk dilacak balik. Mereka ini benar-benar script kiddies yang memakai skrip yang bahkan tidak mereka mengerti.  Sebagai catatan “kiddie” di sini bukan menunjukkan umur, tapi skill yang seperti anak-anak.

Sebagai catatan ada banyak teknik DDOS yang menarik dan ada yang spesifik satu OS/server/aplikasi tertentu. Di tulisan ini DDOS yang saya maksud di sini hanya DDOS generik dengan ping (ICMP), UDP, dan request flooding. Lanjutkan membaca “Berhentilah Jadi Script Kiddie”

Menjelang Homeschool Tahun ke-2

Sejak awal bulan Juni, Jonathan sudah selesai mengerjakan semua materi kelas 2 yang kami pakai. Kami memakai kurikulum Christian Light Education. Ada 10 buku masing-masing untuk pelajaran Math, Reading dan Language Art (Grammar, Phonics, Penmanship dan creative writing). Ada 5 buku masing-masing untuk Science, Bible dan Social Studies. Untuk tahun pertama menjalani homeschool, bisa dibilang kami menyelesaikan semuanya cukup cepat, mengingat kami mulai tanggal 30 October 2017 dan selesai 5 Juni 2018.

Tahun pertama kami jalani tanpa perencanaan yang banyak. Saya ga merencanakan jadual secara detail. Untungnya kurikulum yang kami pakai sudah dibagi 1 unit pelajaran per hari, semua instruksi juga jelas dan karena 1 unit hanyak beberapa halaman, Jonathan ga butuh waktu lama untuk mengerjakannya. Biasanya saya akan membuat jadwal per minggu. Setiap akhir pekan saya membaca cepat bahan untuk minggu depan, apakah kira-kira ada topik baru yang sulit dan butuh saya jelaskan.

Kurikulum yang kami pakai berupa workbook. Untuk tiap unit, dikenalkan sebuah topik baru, diberikan contoh soal dan jawabannya, lalu review beberapa topik sebelumnya. Setiap topik akan direview beberapa kali. Untuk pelajaran social studies dan Bible diberikan dalam bentuk cerita. Pelajaran yang butuh waktu agak lama buat Jonathan selesaikan Language Art, terutama untuk bagian creative writing dan penmanship. Untuk pelajaran lain, 1 pelajaran biasanya dia selesaikan rata-rata 30 menit, kecuali kalau dia lagi ga fokus dan mikirin mainan lain.

Beli beberapa buku waktu ada diskon di asiabooks.com

Sejak menghomeschool Jonathan, saya mengikuti beberapa group homeschooling, terutama yang memakai kurikulum yang sama. Saya jadi tahu, kalau di negara tertentu mereka harus melaporkan jumlah hari sekolah dalam setahun dan juga scope materi pelajaran yang mereka pelajari tahun tersebut. Untuk level high school (SMA) nantinya mereka harus menghitung kredit mata pelajaran. Bagian yang ini saya belum baca banyak karena saya mau fokus untuk kebutuhan saat ini saja. Lanjutkan membaca “Menjelang Homeschool Tahun ke-2”

HP Murah sudah cukup

Sejak kenal smartphone Nokia 3650, kami tidak lagi bisa memakai feature phone dan selalu memakai smartphone.  Setelah mencoba berbagai ponsel yang murah maupun mahal, kesimpulan saat ini: HP murah (asal bukan yang murah banget) sudah cukup .

Di posting ini sekedar ingin cerita HP yang pernah kami beli, dari mulai iPhone dan Samsung baru yang harganya 10 jutaan, sampai HP saat ini yang harganya hanya 3 jutaan. Berikut dengan alasan kenapa selalu berganti dan cukup di HP biasa saja.

iPhone 5s dan Samsung Note 4. Dulunya harga barunya masing-masing sekitar 10 juta rupiah.

HP Mahal tidak selalu bagus

HP termahal pertama yang dibeli adalah iPhone 5s 32 GB. iPhone ini diluncurkan September 2013 di Amerika dan kami beli Desember 2013 (belum lama setelah masuk Thailand), jadi harganya masih sangat mahal (sekitar 10 juta rupiah). Risna mendapati bahwa iPhone ini terlalu kecil, mengetik juga tidak terlalu enak (karena sebelumnya memakai Blackberry keyboard fisik lalu Blackberry Z10 touch screen yang keyboard virtualnya memang lebih baik). Lanjutkan membaca “HP Murah sudah cukup”