Satu Windu (Delapan Tahun) di Chiang Mai

Tulisan ini tulisan yang terlambat 1 bulan. Kami tiba pertamakali di Chiang Mai 2 Mei 2007 dan sekarang sudah bulan Juni tahun 2015. Tidak terpikir sebelumnya kami akan tinggal di negeri ini sampai selama ini. Waktu pertama kali tiba di sini, kami bertemu dengan pasangan bule yang pernah tinggal di Indonesia dan sudah 8 tahun di Chiang Mai, waktu itu mereka bilang: sepertinya kalian akan betah lama di Chiang Mai. Dalam hati saya berkata: ah masa sih bisa betah di negeri yang susah bahasanya ini. Dan ternyata, semakin tahun tinggal di sini memang kami semakin betah saja. Apalagi sejak semakin bisa berkomunikasi dalam bahasa Thai, dan semakin banyak orang Indonesia yang juga menetap di Chiang Mai (walau beberapa orang ga bertahan selama kami), rasanya betah-betah aja di sini.

Chiang Mai sekarang sudah banyak perubahan di banding 8 tahun yang lalu. Waktu kami baru datang hanya ada 1 mall besar (Airport Plaza) dan 1 mall (Kad Suan Kew) yang sudah agak tua. Sekarang ini ada 3 Mall lebih baru (Central Festival, Promenada, Maya) dari mall besar yang ada 8 tahun lalu. Di setiap sudut kota ini juga sedang banyak pembangunan gedung apartemen ataupun toko ataupun renovasi bangunan yang sudah agak lama. Jam-jam tertentu jalanan mulai agak macet, tapi karena sekarang kami menyewa rumah dekat dengan kantor dan jam berangkat sekolah dan jemput sekolah Jonathan agak beda dengan jam padat, kami tidak terlalu merasakan efek dari kemacetan jalan kecuali di hari libur.

Masalah sekolah anak sempat jadi topik yang tiap hari bikin pusing. Pusing karena ada banyak pilihan dan sedikit kuatir salah memutuskan pilihan. Awalnya terpikir untuk homeschool saja, lalu memikirkan untuk mengirim ke sekolah Thai, lalu sempat mempertimbangkan sekolah Bilingual, sampai akhirnya mengirimkan Jonathan ke sekolah Internasional yang berharga lokal dan model pengajaran seperti homeschool (lebih banyak bermain daripada belajar dan tidak ada pr untuk tingkat preschool).

Kami tetap ingin Jonathan bisa berbahasa Thai dan fasih membaca dan menulis bahasa Thai nantinya, tapi untuk saat ini bahasa Inggris lebih penting. Kami tidak ingin kalau keburu berlidah Thai bahasa Inggris jonathan jadi Thaiglish. Kesempatan untuk belajar bahasa Thai masih ada karena setiap weekend kami masih membawa Jonathan belajar piano dan aerial silk di mana guru dan teman-temannya berbahasa Thai dan sejauh ini Jonathan tidak mengalami kesulitan untuk mengerti instruksi yang diberikan gurunya.

Di kota ini ada banyak sekali pilihan untuk kegiatan anak dan keluarga. Harga tiket masuknya juga tidak mahal karena kami sekarang bisa mendapatkan harga thai dengan menunjukkan surat ijin mengemudi ataupun dengan berbahasa Thai. Pilihan ada mulai dari taman kota yang gratis, night safari dengan sistem keanggotaan 500 baht (200 ribu rupiah) untuk akses gratis selama 6 bulan, zoo lengkap dan dengan biaya ekstra bisa masuk aquarium, melihat panda, berfoto dengan koala dan memberi makan penguin, taman bunga internasional, botanical garden yang menyediakan lunch buffet dan mini petting zoo seharga 199 baht (80 ribu rupiah). dan beberapa tempat menggratiskan biaya masuk untuk anak di bawah tinggi tertentu (sejauh ini Jonathan selalu gratis masuk tempat rekreasi). Pilihan untuk aktivitas sepulang sekolah ataupun di hari weekend juga ada banyak (seperti belajar piano, aerial silk, berenang, ruang bermain yang bayar perjam). Kadang-kadang sangkin banyaknya pilihan, rasanya capek juga nganter Jonathan kalau lagi ada maunya main-main keluar hehehehe.

Setelah 8 tahun tinggal di sini kami semakin terbiasa untuk tidak mencari makanan khas Indonesia (walaupun sebenarnya makanan Thai cukup dekat dengan makanan Indonesia). Tapi sesekali karena semakin banyak orang Indonesia di Chiang mai, kami masih bisa merasakan suasana dan makanan khas nusantara kalau lagi ada kumpul-kumpul warga Indonesia. Cukuplah untuk mengobati kangen kuliner Indonesia. Kalau dulu untuk makan tempe harus bener-bener bikin sendiri, sekarang kalau gak sempat bikin sudah ada pilihan untuk beli tempe beku (walaupun pastinya jadi lebih mahal daripada bikin sendiri).

Ada beberapa hal yang tidak kami temukan di sini yang mulai digemari Jonathan, misalnya meses Ceres. Sudah lama saya tidak kecarian ama meises Ceres, tapi sejak Jonathan tahu rasa meses Ceres, dia jadi suka nyariin dan akhirnya kalau mudik atau ada yang datang kami perlu nitip meses Ceres lagi. Selain itu sejak dia suka minum teh bikinan eyang, kami juga perlu menyimpan stock bubuk teh dari Indonesia (padahal orang Indonesia malah nyari teh ala thai hehehe). Tapi secara umum kami sudah tidak terlalu kecarian kalaupun misalnya stock Ceres ataupun teh habis.

Perbedaan paling signifikan setelah 8 tahun di Chiang Mai adalah, datang ke sini cuma berdua dengan 2 koper isi baju doang, tapi sekarang udah ada Jonathan dan sebentar lagi (beberapa hari lagi tepatnya) kami akan menyambut kelahiran adik Jonathan. Dengan adanya Jonathan (dan adiknya nanti) pindah rumah bukan hal mudah lagi bagi kami (apalagi kalau harus pindah negara), mudik ke Indonesia juga akan semakin terasa ongkosnya hehehe. Kalau ditanya mau selamanya di Chiang Mai? ya kami sih bakal jawab: tergantung Tuhan saja, tapi sejauh ini kami menyukai kota ini dan kota ini cocok untuk kami yang tidak terlalu tahan dengan kemacetan kota besar yang perlu berjam-jam untuk menempuh ke satu lokasi seperti Jakarta ataupun Medan. Tapi kalau Tuhan kasih kesempatan menjelajah ke kota lain, kami berharap kota itu lebih baik lagi dari Chiang mai.

Medan, Depok 2015

Tahun ini kami pulang lagi ke Indonesia setelah tahun lalu pulang dua kali. Tiket kali ini dibeli ketika ada promo AirAsia sebelum Risna hamil. Sebenarnya sempat juga terpikir untuk menghanguskan saja tiketnya (atau saya dan Jonathan saja yang pergi).

Kami memutuskan untuk terbang bareng-bareng setelah mempertimbangkan banyak hal. Saat ini udara Chiang Mai sedang buruk (polusi), dan Jonathan juga sedang libur paskah + songkran, plus kami tidak tahu kapan lagi akan pulang setelah adik Jonathan lahir nanti (Jonathan baru terbang setelah 1.5 tahun, kemungkinan nanti adiknya juga). Menurut dokter, Risna masih boleh terbang bolak-balik.

Tadinya tiket kami cuma Chiang Mai – Medan – Chiang Mai, dengan rencana jalan-jalan di Medan, Danau Toba, mengunjungi Institut Teknologi DEL (kami pernah mengajar di sana), dsb. Tapi dengan kondisi kehamilan Risna, kami memutuskan untuk tidak ke mana-mana di Medan (sekedar mengunjungi mertua dan keluarga), dan meneruskan ke Depok. Saat ini salah satu paman Risna (tulang saya) sedang dirawat, jadi kami berniat menjenguk.

Karena kami pergi dua minggu, hanya highlight perjalanan yang akan saya tuliskan di sini.

Ketika berangkat: Bandara Chiang Mai kini amat sangat ramai karena banyaknya turis dari China. Di sisi baiknya: saat ini Air Asia punya connecting flight, tidak perlu turun naik bagasi di Bangkok.

Lanjutkan membaca “Medan, Depok 2015”

Jaringan di Rumah

Waktu sampai di Chiang Mai dulu, kami cuma diberi modem dengan 1 port ethernet, (kami memakai ISP 3BB). Risna memakai Macbook, saya memakai laptop Linux. Koneksi internet saya share via Wifi.

2864360241_9c32dc9f4f_b

Tapi lama-lama setting ini kurang bagus, kalau butuh koneksi WIFI berarti komputer saya harus menyala. Jadi saya beli WRT54GL, dioprek, ditambahi SD Card.

Lanjutkan membaca “Jaringan di Rumah”

Sekarang Windows sudah (lebih) gampang

Ketika membaca lagi posting lama saya, saya menemukan tulisan Siapa Bilang Windows itu Gampang?, yang saya tulis tahun 2009. Sekarang keadaan sudah cukup berubah menjadi lebih baik.

Sudah ada package manager yang namanya chocolatey sejak sekitar 2012. Sekarang saya tak perlu pusing mendownload, menginstall, dan mengupdate software. Misalnya saya butuh virtualbox, saya cukup mengetikkan:

choco install virtualbox

Dulu, setiap kali Windows menampilkan dialog “Finding Solution”, atau “Searching Driver Online”, saya sudah pesimis, dan biasanya solusinya tidak berhasil dan drivernya tidak ketemu. Sekarang proses mencari solusi dan mencari driver sudah benar-benar jalan. Bahkan ketika saya beli Clone Arduino dari China, ketika saya colok, dia mencari drivernya online, ketemu, dan langsung berjalan lancar.

Antivirus sekarang sudah built ini di Windows, dan tidak terlalu membebani sistem lagi.

Waktu saya menulis posting sebelumnya, saya belum terlalu mencoba powershell. Saya sempat mencoba powershell 1.0 dan masih ada banyak keterbatasannya, tapi semakin lama powershell ini semakin powerful, dan cukup bagus untuk scripting.

Mengenai beberapa software yang saya komplain sebelumnya, sebagian besar sudah lebih baik. PDF Reader sudah built in, Office saat ini bisa didapatkan dengan harga terjangkau, bahkan Internet Explorer sudah cukup baik untuk browsing sehari-hari. Untuk masalah development, saat ini microsoft memberikan Visual Studio Community Edition gratis.

Beberapa hal memang masih kurang nyaman (misalnya kadang butuh reinstall software ketika pindah harddisk, untung ini tidak sering saya lakukan). Mengenai konfigurasi secara remote, server ssh dari Bitvise sudah bagus, dan kalau butuh akses remote, saya bisa memakai TeamViewer.

Saya merasa saya adalah orang yang reasonable, saya tidak fanatik teknologi tertentu, jika ada teknologi yang bagus, saya akan mencoba dan berpindah jika memang suka. Saat ini saya cukup suka memakai Windows sehingga mau memakainya di laptop sebagai OS default, sementara di desktop saya masih dual boot Windows/Linux.

Produk Apple

Komputer pertama saya adalah Apple II, jadi saya sudah lama memakai produk Apple. Saya juga sempat memakai notebook apple ketika masih memakai Power PC (waktu itu namanya adalah Apple iBook, beda dengan software Apple iBooks ya). Saya membeli Macbook generasi pertama tak lama setelah keluar. Saya yang menyarankan semua komputer di kantor memakai produk Apple (dan sampai sekarang di kantor masih memakai Apple). Saya punya iPod Nano generasi kedua, dan sekarang juga masih punya iPod Touch, iPad, iPhone 5s, MacBook Pro, dan Mac Mini.

2874448573_84f2871238_b

Meski saya cukup suka produk Apple,saat ini saya mulai menghindari banyak produk Apple.

Harga dan Upgrade

Hal pertama yang saya tidak suka dari produk Apple adalah harga. Dari dulu harganya memang cukup mahal, tapi sekarang ini untuk kategori tertentu (misalnya kategori laptop) harganya sudah berlebihan. Contoh: MacBook Pro (non retina) sekitar 15 juta, memorinya masih 4 GB, Masih Core i5, HD 500 GB. Sedangkan laptop Windows saya harga sekitar 7 juta, sudah Core i7, HD 1 TB memorinya mudah diupgrade, harddisknya juga, bahkan saya bisa memakai mSata 256 GB SSD + 1 TB HDD.

Saya cukup senang ketika Apple masih membolehkan kita mengupgrade komponen sendiri, karena upgrade memori atau HDD bisa kita lakukan dengan lebih murah (karena dari vendor lain, atau karena kita mengupgrade 1 tahun setelahnya, sehingga harganya sudah turun).

Lanjutkan membaca “Produk Apple”

Tablet Windows

Baru-baru ini saya membeli tablet Windows 8.1 dengan prosessor Intel. Tabletnya harganya sekitar 100 USD, tapi saya sekalian membeli casing, dan memilih pengiriman via DHL, jadi totalnya 125 USD. Tablet ini saya beli dari Aliexpress dari penjual ini:

 

http://www.aliexpress.com/item/CHUWI-VI8-2GB-32GB-8-inch-IPS-Intel-Z3735F-Windows-8-1-Bluetooth-Dual-Cameras-Multi/32246675377.html

 

15646965829_32f2b3e8b7

 

Karena memakai DHL, barang tiba sangat cepat, barang saya pesan tanggal 4 Februari, dan sampai sini (Chiang Mai), tanggal 7 Februari.

Lanjutkan membaca “Tablet Windows”

Social Media

Semua orang sepertinya saat ini punya facebook, twitter, instagram dan atau account-account media sosial online lain (Path, Plurk, dsb). Sekarang ini saya liat banyak orang yang mulai terobsesi dengan media sosial ini. Ada yang merasa dirinya addicted lalu menonaktifkan accountnya (tapi kemudian mengaktifkannya lagi). Ada yang perlu selalu merasa menang online, sehingga bikin account palsu yang seolah-olah mendukung dirinya (account klonengan). Ada yang ingin dihormati di dunia fotografi, lalu mencuri foto orang lain dari situs lain (tapi ketahuan). Ada yang stress atau iri membaca posting-posting orang lain, tapi masih juga mengikuti terus orang tersebut.

Ada banyak kejahatan yang melibatkan media sosial juga, dari mulai spam, pembajakan account (dan diteruskan dengan penipuan), bahkan kasus penculikan. Ada banyak hal negatif di media sosial: pesan-pesan kebencian, berita-berita bohong, gosip-gosip tidak benar, dsb.

Seperti semua teknologi lain, media sosial bagi saya hanyalah sebuah teknologi, yang bisa digunakan untuk hal baik maupun tidak baik. Saya sendiri kurang aktif di berbagai media sosial. Kebanyakan posting saya di twitter adalah untuk sharing project/kegiatan yang saya lakukan. Kebanyakan posting facebook adalah aktivitas dengan keluarga (dan hanya saya share ke teman), dan juga proyek-proyek kecil yang saya lakukan.

Ada banyak hal berguna yang saya dapatkan dari facebook: ada grup yang berhubungan dengan computer security, jadi saya bisa mengikuti perkembangan dunia security di Indonesia, ada grup ibu-ibu yang diikuti oleh Risna, jadi dia bisa mendapatkan berita terbaru tentang berbagai event untuk Ibu dan Anak. Banyak informasi yang didapatkan Risna yang sulit dicari di luar facebook, misalnya seorang Ibu bisa memberikan info mengenai status tempat mainan anak di Night Safari yang belum diperbaiki.

Dari sisi komersial: Saya mengikuti group jual beli barang bekas di chiang mai, group ini jauh lebih cepat infonya dibandingkan mengecek situs iklan baris di berbagai web. Saya kadang mendapatkan diskon dan barang gratis dari facebook page yang saya ikuti (Terutama yang berhubungan dengan elektronik), misalnya saya sering membeli barang elektronik kecil dari toko www.taydaelectronics.com, dan toko tersebut sering memberikan diskon via facebook.

Karena hidup jauh dari keluarga besar, facebook juga menjadi sarana bagi kami untuk sharing tentang kehidupan kami di sini, dan bagi kami untuk melihat berbagai hal populer di Indonesia. Facebook juga memudahkan saya mengontak teman-teman, dan juga membuat phonebook selalu up-to-date.

Saya berusaha menggunakan fitur-fitur social media dengan baik agar bisa membaca dan berinteraksi lebih efektif. Saya mengelompokkan teman-teman dalam berbagai group (misalnya teman kuliah, teman SMU), jadi saya bisa membaca atau menshare seperlunya saja.

Jika ada teman dekat atau keluarga yang terlalu banyak posting, saya akan unfollow. Jika teman re-share dari facebook yang tidak saya suka, maka saya akan unfollow page itu. Jika ada orang yang baru saya kenal tapi mengesalkan, saya akan unfriend saja. Saya tidak ingin emosi membaca posting-posting yang tidak saya suka.

Sekarang saya juga sering memakai facebook dan google plus untuk login di berbagai situs. Jika sebuah web/app meminta ijin untuk posting, saya selalu memilih agar posting “only visible to me”. Memakai facebook atau google plus untuk login cukup aman, dan saya bisa dengan mudah menghapus link account dari console facebook/Google.

Kesimpulannya: media sosial itu bisa berguna, menyenangkan, asalkan kita tidak terobsesi dan mau belajar memakai fitur-fitur yang tersedia dengan bijaksana.