Susahnya Menulis Fiksi

Buat sebagian orang, menulis fiksi itu hal yang mudah. Kenapa? karena bisa menyalurkan imajinasi seluas mungkin dan tidak harus masuk akal. Selalu ada pembelaan: namanya juga fiksi. Lalu, kalaupun ceritanya terkadang mirip dengan kisah seseorang, bisa kasih disclaimer kalau semua kemiripan tokoh dan nama hanya kemiripan semata. Teorinya, menulis fiksi itu gampang, segampang berangan-angan di siang bolong.

Tapi buat saya, menulis fiksi itu sulit. Sudah banyak membaca cerita fiksi, sudah banyak menonton drama dan film-film. Sudah banyak melatih imajinasi. Tapi, berkomentar dan menuliskan apa yang kurang atau lebih dari suatu karya fiksi itu tidak sama dengan menghasilkan karya fiksi sendiri.

Lanjutkan membaca “Susahnya Menulis Fiksi”

Fan Fiction: The King Eternal Monarch dan Pandemi

Memasuki tantangan menulis kokoriyaan topik 29, kami harus menuliskan fan fiction dari drama yang sudah ditonton. Sebenarnya, saya belum pernah membuat fan fiction dan tidak terlalu bisa menuliskan fiksi. Tapi, karena semboyan kami “tidak ada topik yang tidak bisa dituliskan”, dan “selalu ada waktu pertama untuk mencoba”, maka kali ini saya pun akan mencoba meneruskan salah satu drama yang saya tidak suka jalan ceritanya terutama endingnya. 

Jong Tae-eul, Lee Gon, dan Kapten Jo Yeong

Biasanya, orang akan menuliskan fan fiction dari drama yang dia suka, tapi saya justru nulis yang ini karena merasa drama ini punya potensi untuk disukai dengan pemilihan pemerannya dan juga visual dari drama yang enak dilihat, tapi sayangnya jalan ceritanya banyak yang membingungkan dan endingnya yang sepertinya bahagia tapi sebenarnya tidak ada tujuan.

Lanjutkan membaca “Fan Fiction: The King Eternal Monarch dan Pandemi”

Fiksi: Kisah Bunga dan Sepatu

Bunga memandang walk-in closetnya. Dia sedang memilih-milih mau pakai sepatu yang mana hari ini. Mungkin pakai yang tingginya 5 cm saja. Hari ini dia cuma berencana ke supermarket di belakang gedung apartemennya. Tapi dia sedang mempertimbangkan, mungkin bisa juga pergi agak jauh dari apartemen, hitung-hitung memanaskan mesin mobilnya yang belum dipakai beberapa hari ini.

Selesai berdandan dan mengenakan sepatu 5 cm, Bunga kembali dihadapkan dengan pilihan: mau pakai tas yang mana ya? Tas backpack kayaknya gak aman dan gak matching dong dengan sepatu 5 cm nya. Tas sandang mau warna biru atau merah garis putih?. Aduh bingung deh, tadi memilih baju saja habis 15 menit, milih sepatu 20 menit, sekarang pilih tas butuh berapa menit lagi?

Lanjutkan membaca “Fiksi: Kisah Bunga dan Sepatu”

Fiksi: Wedding in Time of Corona

Catatan: cerita ini fiksi belaka, nama, tempat, peristiwa, kronologi semuanya dari imajinasi saya saja.

Bunga merasa galau segalau-galaunya. Rencana pernikahan termasuk resepsi yang sudah disusun sejak tahun lalu alamat kacau balau. Siapa sangka ada wabah yang tiba-tiba mendunia. Padahal tinggal 3 hari lagi hari H itu tiba. Hari yang untuk merencanakannya saja butuh mencari hari di mana Bunga dan Abang bisa ambil cuti panjang, dan sekarang terancam buyar?

Semua sudah dipesan dan dibayar lunas, gedung pertemuan, katering sesuai jumlah undangan, dekorasi dan baju pengantin juga sudah diambil dari tukang jahitnya. Sengaja dia ambil cuti besar dan dari 3 minggu lalu pulang ke kotanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bunga tidak ingin merepotkan orang tuanya yang sudah berumur di atas 70 tahun, kakak-kakaknya juga tidak mungkin bisa membantu karena mereka sudah lama tidak tinggal di kota ini lagi.

Si Abang, calon suaminya nyaris tidak dapat terbang ke Indonesia, untung saja masih sempat menukar tiket pesawat dan bisa berangkat sebelum kota tempat mereka tinggal lock down dan masuk ke Indonesia tanpa masalah. Bunga dan Abang memang bekerja di luar negeri, dan untungnya bos Bunga lebih fleksibel daripada bos si Abang. Bunga sudah bisa pulang duluan dan ambil cuti besar selama 2 bulan, Abang cuma dapat cuti 1 bulan.

Sekarang si Abang masih dalam masa mengkarantina dirinya sendiri, dan hari H itu tepat 2 minggu sejak dia tiba di Indonesia. Bunga bahkan belum bisa bertemu langsung dengan Abang, untungnya ada video call sehingga mereka tetap bisa berkomunikasi tatap muka.

Keluarga Abang dan kerabat Bunga sudah banyak yang mengabari kalau mereka tidak akan bisa datang menghadiri pernikahan Bunga. Mereka semua terkena efek dari semakin ketatnya aturan keluar ataupun masuk dari setiap negara di dunia ini dan juga karena ada himbauan untuk di rumah saja.

Kakak-kakaknya yang tinggal hanya 3 jam dari kota mereka tinggal juga memutuskan untuk tidak datang, kakak pertama memang tenaga kesehatan, jadi dia tidak bisa ijin dan sedang sangat dibutuhkan saat ini. Kakak ke-2 sedang hamil besar anak ke-2, jadi dia tidak mau ambil resiko berperjalanan dengan membawa balita dan perut besar. Keluarga besar dari papa mamanya juga banyakan dari luar pulau, dan hanya sedikit yang berani ambil resiko untuk naik pesawat terbang.

Kemarin dia sempat ribut dengan Abang yang mengusulkan kalau mereka cukup catatan sipil dan minta pengesahan secara agama saja dulu dan menunda resepsinya lain kali. Bunga merasa, si Abang kayak tidak ngerti aja, ini kan hari di mana Bunga ingin merasa jadi ratu sehari. Hari yang harusnya hari paling bahagia.

Bunga ngotot bilang ke Abang, masak sama virus aja takut. Bunga mengusulkan untuk ambil tindakan pencegahan, misalnya desinfeksi ruangan dan sediakan handsanitizer sebagai souvenir – walaupun Bunga tidak tahu di mana harus mencari 2000 hand sanitizer. Tapi namanya Bunga sedang ngotot, dia bahkan terpikir bisalah bikin sendiri mengikuti berbagai video tentang pembuatan hand sanitizer.

Bunga sempat berpikir, apakah ini tandanya dia gak jodoh dengan Abang ya? atau mungkin Bunga yang salah fokus. Kemarin kakak pertamanya bercerita, kalau mereka sudah kewalahan di rumah sakit. Pasien yang harus ditangani hampir melebihi kapasitas rumah sakit dan bahkan harus dialihkan ke rumah sakit lain. Ratusan pasien yang masih menunggu hasil test tapi harus diperlakukan secara hati-hati kalau tidak mau ketularan. Belum lagi ada rekan mereka yang walaupun sudah sangat berhati-hati dengan pakaian dan masker yang selalu terpakai, sekarang juga sedang diisolasi dan menunggu hasil karena sudah mempunyai gejala yang sama.

Bunga mencoba curhat ke sebuah forum wedding organizer. Ternyata, Bunga tidak sendirian, ada banyak mengalami dilema yang sama. Beberapa memutuskan untuk membatalkan, ada juga yang menunda untuk tanggal yang tidak diketahui. Tapi, tunggu dulu, ada satu usulan yang membuat Bunga yang tadinya galau jadi lebih tenang.

Namanya Adinda, dia juga berencana menikah 3 hari lagi, tapi baru kemarin calon suaminya harus swab test karena mengalami gejala yang sama dengan pasien-pasien lainnya. Adinda bahkan menyewa gedung dengan kapasitas 3 kali lebih besar dari undangan Bunga.

Adinda dan calon suaminya memutuskan untuk tetap menikah dengan catatan sipil dan secara agama saja setelah nantinya calon suaminya membaik. Untuk makanan yang sudah dipesan, dia minta kerjasama dari kateringnya supaya makanan prasmanan diganti menjadi nasi kotak saja. Nantinya makanan itu akan dibagi-bagikan untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19, termasuk juga untuk pasien-pasien yang ada. Selain itu juga akan dibagikan ke perkampungan masyarakat yang semakin sulit mendapatkan penghasilan.

Untuk biaya dekorasi, dokumentasi, dan sewa gedung, mereka akan mengusulkan supaya 60 persen dari duit yang sudah dibayarkan disumbangkan untuk membantu pengadaan berbagai keperluan melawan virus ini. Jadi pihak wedding organizer bisa tetap mendapatkan 40 persen walaupun mereka tidak bekerja. Tanpa diduga, beberapa pihak bersedia mengembalikan 90 persen, dan tergerak untuk menyumbang.

Bunga langsung mengirim pesan ke Adinda dan bertanya apa yang membuat dia memutuskan seperti itu? Adinda menjelaskan kalau menurut dia esensi dari pernikahan itu bukanlah pesta yang meriahnya. Mau seperti apapun usaha pencegahan, dengan adanya banyak orang berkumpul dari berbagai tempat, pasti ada kemungkinan penularan.

Bahkan sebelum calon suaminya mengalami gejala yang sama, mereka sudah mulai mempertimbangkan untuk membatalkan resepsi besarnya, akan tetapi keluarga besar mendesak karena alasan gengsi keluarga. Mereka merasa, dengan calon Adinda menjadi orang dalam pengawasan, keluarga besarnya yang tadinya anggap enteng dengan virus ini akhirnya tersadar, sebagian bahkan sudah mulai cemas karena beberapa hari sebelumnya masih berinteraksi dengan calon suami Adinda.

Adinda sih sudah pasrah, kalaupun dia juga terinfeksi, ya… setidaknya dia tidak menjadi spreader ke tamu-tamu yang lebih banyak lagi di resepsi pernikahannya. Adinda malah merasa bersyukur sudah ketahuan sebelum resepsi, gimana kalau gejalanya muncul sehari setelah resepsi, lalu gimana kalau 50 persen dari undangannya jadi terinfeksi juga? Pastilah rasanya akan sangat bersalah sekali. Bagaimana mungkin bisa berbahagia sepanjang pernikahan kalau diawali dengan membawa bencana ke banyak orang? Lagipula, apa sih esensi pernikahan itu? apakah lebih penting selebrasinya? atau komitmen menjadi pasangan suami istrinya?

Bunga berterima kasih ke Adinda dan langsung menelpon si Abang. Bunga menceritakan semuanya ke Abang dan akhirnya Bunga merasa lebih tenang. Akhirnya mereka sudah mendapatkan kesepakatan baru. Bunga juga akan meniru Adinda dengan sedikti modifikasi.

Bunga dan Abang akan tetap mengesahkan pernikahan secara agama dan negara 3 hari lagi, tapi tidak lagi di gedung pertemuan besar. Nantinya mereka akan membagikan link live streaming untuk disaksikan para undangan. Bunga juga akan meminta jika para undangan ingin memberi hadiah, bisa berupa uang untuk didonasikan untuk membantu tim tenaga kesehatan dalam memerangi virus ini.

Bunga sudah bisa tersenyum sekarang. Setiap masalah pasti ada jalan keluar, asal kita mau melihat apa sih fokus permasalahannya. Virus ini tidak akan bisa mengalahkan niat 2 orang yang saling mencintai untuk berkomitmen menjadi suami istri. Walaupun tanpa resepsi yang megah, pernikahan mereka tetap sah dengan acara agama dan catatan sipil. Dan yang pasti, mereka tidak perlu menanggung beban mental kalau sampai hari bahagia mereka membawa bencana buat orang lain yang terinfeksi.

— dan mereka hidup bahagia selamanya —