Mudah Ajak Anak Sikat Gigi dengan Pokemon Smile

Dari kecil, kami berusaha mengajarkan anak-anak sikat gigi setiap pagi dan malam setiap habis makan, tapi yang terjadi mereka cuma gigit-gigit sikat gigi dan bukanya sikat gigi dengan bersih. Urusan buka mulut untuk dibantu sikat gigi tidak pernah dilakukan dengan suka rela. Diberikan contoh tidak selalu diikuti, diberi berbagai game tentang meyikat gigi, tapi tidak selalu bersih kalau tidak diperhatikan. Sampai akhirnya, Joe menemukan aplikasi Pokemon Smile.

Gosok gigi dengan pokemon smile
Lanjutkan membaca “Mudah Ajak Anak Sikat Gigi dengan Pokemon Smile”

Anak Sakit di Masa Pandemi

Minggu lalu, di hari Selasa, Jonathan tiba-tiba sakit. Padahal kami tidak kemana-mana sejak hari Sabtu sebelumnya. Kadang perubahan cuaca dingin ke panas ke dingin lagi dan polusi memang bikin kondisi tubuh juga jadi gampang sakit. Bukan cuma anak-anak, orang dewasa juga bisa gampang sakit kalau udara lagi jelek begini.

Lanjutkan membaca “Anak Sakit di Masa Pandemi”

Gigi Joshua

Tulisan ini hanya ingin menjadi catatan saja tentang gigi Joshua. Kenapa perlu dituliskan? Supaya ada dokumentasinya saja. Joshua sudah kehilangan gigi atasnya sejak dia berumur 2 tahun lebih sedikit. Waktu itu, saya hanya menuliskan di Facebook. Supaya ceritanya ada di blog saya akan salin kembali beberapa hal dari Facebook ke tulisan ini.

Lanjutkan membaca “Gigi Joshua”

Boleh Curhat, tapi Jangan Gampang Baper

Tanggal 10 Oktober 2020 kemarin, diperingati sebagai “World Mental Health Day.” Untuk meramaikan blog baru kami drakorclass.com, saya menulis kesan pertama drakor berjudul “Do Do Sol Sol La La Sol.” Drama ini masih baru mulai ditayangkan, dan akan ada episode baru setiap hari Rabu dan Kamis di Netflix.

Ketika menonton episode ke-2, ada satu bagian yang membuat saya berpikir agak lama dan rasanya sangat berkaitan dengan topik kesehatan mental. Kisah drakornya baca di tulisan blog drakorclass.com saja ya, di sini saya akan membahas topik membatasi berkeluh kesah (curhat) dan hubungannya dengan kesehatan mental.

tulisan penuh spoiler untuk 2 episode pertama, silakan dibaca di blog drakorclass.com
Lanjutkan membaca “Boleh Curhat, tapi Jangan Gampang Baper”

Memilih Frame Kacamata

Ini cerita lanjutan dari hasil pemeriksaan mata minggu lalu. Salah satu hal yang bikin malas pakai kacamata itu karena frame kacamata sebelumnya itu dari bahan plastik dan terasa berat. Pandangan mata juga terasa terbatas. Pakai kacamata sebelumnya kalau kelamaan juga mulai bikin pusing.

Karena kacamata sebelumnya juga sudah mulai terasa tidak nyaman untuk membaca ataupun bekerja di depan komputer akhirnya bikin kacamata lagi. Dari hasil pemeriksaan, memang ada plus yang bertambah sedikit dibanding sebelumnya. Kacamata yang lama masih cukup nyaman dipakai kalau lagi keluar rumah/ menyetir. Jadi ya biar sekalian ada cadangan juga 1 kacamata di mobil.

Butuh waktu 1 minggu proses memesan kacamatanya, hari ini kacamatanya selesai dan sudah saya pakai langsung. Berdasarkan pengalaman dengan frame sebelumnya, kali ini saya memilih jenis yang tanpa frame dan bahan gagangnya dari titanium yang super ringan. Model begini ternyata cukup nyaman dan tidak terasa ada pembatasan dalam ruang pandang, tapi harus lebih berhati-hati dalam menyimpannya supaya tidak gampang jatuh atau tak sengaja tertimpa sesuatu yang berat misalnya. Kacamata tanpa bingkai ini sekilas terlihat lebih gampang pecah atau patah juga hehehe, jadi kurang tepat kalau punya kebiasaan meletakkan kacamata sembarangan ataupun membawa kacamata sampai tertidur.

Dari pengalaman 2 kali bikin kacamata, saya bisa ambil kesimpulan kalau mau pakai kacamata yang ringan jangan pilih bahan plastik. Kalau tidak suka ada pembatasan dalam ruang pandang, pilihlah kacamata tanpa bingkai/ frameless.

Kacamata sekarang ini juga sudah menjadi bagian dari fashion untuk sebagian orang. Jenis tanpa bingkai ini menurut saya kalau mau pakai baju warna apa juga pasti cocok hehehe. Kalau sudah bertahun-tahun memakai kacamata, mau frame seperti apapun akhirnya pasti dipakai asal bisa melihat. Tapi kalau mata belum terasa buram, biasanya bakal malas memakainya. Joe juga malas makai kacamata karena dia hanya butuh kacamata untuk menyetir di malam hari saja.

Setelah mencoba memakai kacamata beberapa jam sejak diambil dari optik, saya cukup merasa nyaman dan yakin akan lebih rajin memakainya. Dipikir-pikir harusnya saya memilih jenis frameless sejak awal, karena keluhan berat ataupun pandangan terbatas tidak ada lagi dengan kacamata frameless.

Mungkin akan ada yang bertanya kenapa ga pakai lensa kontak saja supaya ga ada berat bertengger di hidung sama sekali. Nah untuk ini saya kurang cocok. Repot rasanya urusan lepas dan pasang lensa kontak. Selain itu, mata saya sering berair dan ada kebiasaan mengusap mata. Jadi saya tidak berani menambah kerepotan dengan lensa kontak.

Memilih kacamata itu akhirnya dikembalikan dengan kebiasaan masing-masing dan isi dompet hehehe, jadi sebelum membeli kacamata terutama untuk yang sudah sampai tua baru butuh kacamata, tanyakan diri sendiri sudah siap dengan ada yang bertengger di hidung sepanjang hari dan dengan berat seberapa. Kalau perlu, coba beberapa jenis frame di beberapa optik. Jangan terburu-buru dalam memilih dan jangan mau diburu-buru. Oh ya sebaiknya untuk pertama kali, periksakan kesehatan mata ke dokter spesialis mata sebelum akhirnya dirujuk ke optik oleh dokternya. Kalau sudah dibeli, pakailah setiap hari. Kalau dari awal jarang dipakai, kemungkinan keterusan malas memakainya lalu akhirnya perlu ganti kacamata lagi deh.

Pentingnya Periksa Kesehatan Mata

Saya baru menggunakan kacamata sejak awal tahun 2018. Karena tidak biasa dan tidak selalu merasa butuh, saya hanya memakainya saat membaca. Belakangan ini rasanya tidak nyaman kalau tidak menggunakannya, tapi ketika dipakai rasanya mulai kurang nyaman juga terutama kalau pencahayaannya berlebihan ataupun kurang. Jadi serba salah ya rasanya.

Hari Sabtu akhir Juni lalu, setelah menunda beberapa kali akhirnya kami punya kesempatan ke dokter mata. Sebenarnya kalau untuk alasan ganti kacamata saja, bisa saja langsung ke banyak toko kacamata, ini yang saya lakukan ketika pertama kali bikin kacamata. Tapi karena dari cerita Joe ada teman yang harus operasi mata karena tidak aware sebelumnya dan saya baca anjuran memeriksa mata secara rutin di atas umur 30, maka saya pikir sekalian periksa deh. Ini pengalaman pertama periksa mata ke dokter spesialis mata.

Pemeriksaan awal kita diminta untuk membaca angka di papan yang berjarak sekitar sekian meter. Mata diperiksa gantian mata kanan dan kiri. Saya juga boleh menggunakan kacamata yang saya pakai sekarang ini.

Pemeriksaan berikutnya, mata kanan dan kiri diperiksa tekanannya dengan air puff tonometry. Pemeriksaan tekanan pada mata ini awalnya bikin saya kaget, karena tiba-tiba ada seperti udara disemprotkan ke mata. Tapi waktu periksa mata kiri saya sudah tidak kaget lagi. Hasil pemeriksaan awal dikonsultasikan oleh dokter spesialis.

Hasil pemeriksaan tekanan mata, ternyata mata kanan saya tekanannya di atas normal sedangkan mata kiri masih batas wajar. Untuk meyakinkannya, di dalam ruang dokter saya diperiksa lagi dengan alat tonometry yang lebih tinggi akurasinya. Sebelum di cek dengan alat berikut ini saya di berikan anastesi dulu matanya. Rasanya cuma agak lengket dikit tapi kurang dari 30 menit efek anastesi nya sudah hilang. Hasil pemeriksaan dengan alat yang lebih canggih ini juga hasilnya masih sama, mata kanan tekanannya lebih tinggi dari batas normal.

Lalu pertanyaan berikutnya oleh dokter kapan terakhir kali saya periksa mata dan apakah di keluarga saya ada yang punya penyakit glaukoma. Kondisi tekanan pada bola mata yang tinggi ini disebut ocular hypertension merupakan salah satu indikasi yang perlu diwaspadai sebagai kemungkinan mengarah menjadi glaukoma.

Apa sih glaukoma itu? Perasaan pernah dengar tapi gak pernah benar-benar cari tau. Ternyata glaukoma itu kerusakan saraf mata yang diakibatkan tekanan tinggi pada bola mata dan kalau tidak diobati bisa mengakibatkan kebutaan. Gejala glaukoma ini sering tidak terdeteksi kalau kita tidak pernah memeriksakan kesehatan mata sebelumnya dan baru disadari ketika mulai mengalami kehilangan penglihatan. Kalau sudah sampai terjadi pengurangan kemampuan melihat, mata kita tidak bisa dikembalikan untuk bisa melihat seperti semula lagi. Penyakit ini berbeda dengan rabun yang bisa diatasi dengan kacamata.

rumahsakitnya punya gadget keren nih buat periksa mata

Berikutnya, saya disarankan untuk diperiksa lebih lanjut dengan alat yang ada di rumah sakit. Saya diberikan nomor telepon rumah sakitnya untuk membuat janji memeriksa ketebalan kornea (OCT Test) dan Test lapang pandang (Visual Field Test). Kedua test ini diperlukan sebelum mengambil kesimpulan tindakan perawatan yang perlu dilakukan.

Setelah menelpon rumahsakit, saya disuruh datang hari kamis pagi jam 9. Rasanya cukup lama menunggu hari Kamis tiba. Hari Kamis pagi, saya diantar Joe ke rumah sakit dan Joe lanjut ke kantor. Untungnya gak lama menunggu saya dipanggil untuk diperiksa, jadi gak sampai lama resah sendirian hehehe.

Pemeriksan OCT berlangsung sangat cepat, gak sampai 5 menit rasanya. Berikutnya pemeriksan Visual Field Test yang cukup lama. Masing-masing mata diminta melihat 1 titik kuning dan kalau melihat ada cahaya blinking kita diminta memencet tombol. Pemeriksaan 1 mata berlangsung sekitar 10 menit. Jadi untuk 2 mata pemeriksaan 20 menit. Hasilnya pegel mata pegel pinggang karena kebetulan posisi mesinnya agak lebih tinggi dan kaki saya agak menggantung. Boleh berkedip selama pemeriksaan, tapi kalau fokus mata berpindah dari titik kuning, pemeriksaan harus diulang dari awal. Untungnya saya bisa lulus periksa tanpa mengulang. Kebayang kalau udah 9 menit tau-tau harus ulang dari awal hahaha. Mata agak berair karena kelamaan berusaha ingat fokus di 1 titik.

Setelah pemeriksaan selesai, saya dikasih lembaran hasil pemeriksaan untuk dikonsultasikan ke dokter klinik yang merujuk ke rumah sakit. Jadi saya gak bisa langsung tahu hasilnya saat itu juga. Biaya untuk 2 test tersebut plus administrasi rumahsakit sekitar 2200 Baht. Lumayan mahal ya, tapi lebih penting mengetahui kondisi kesehatan mata daripada mikirin duit kan.

Sore harinya, saya ke klinik mata lagi untuk konsultasi hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Hati agak deg deg an dikit tapi ya optimis matanya masih bisa lihat. Worst case, kalau memang harus diobati ya diobati untuk mencegah kebutaan. Best case, matanya masih sehat dan gak perlu diobati apa-apa, tapi ya dijaga jangan dipaksa memakainya.

Seperti biasa, setelah mendaftarkan diri di klinik dilakukan pemeriksaan membaca angka dan air puff tonometry. Hasil pembacaan air puff tonometry hari Kamis sore, kanan dan kiri sama-sama dalam batas normal. Hati mulai tenang dan optimis matanya masih sehat.

Setelah mengantri sekitar 20 menit menunggu giliran ketemu dokter, saya bisa semakin lega karena berdasarkan hasil pemeriksaan dari rumah sakit, semuanya masih normal. Ketebalan kornea normal, test lapang pandang juga normal dan hasilnya tidak ada vission loss.

Lega rasanya, tapi saya jadi bertanya-tanya, apa kira-kira penyebab pemeriksaan hari Sabtu sebelumnya bisa lebih tinggi dari normal. Kalau penjelasan dokter bilang, mata kita ini tekanannya seperti gelombang, ada titik rendah dan titik tinggi. Kemungkinan hari Sabtu lalu itu tekanan mata kanan saya sedang ada di titik tinggi, sedangkan di hari Kamis bisa jadi lagi di titik rendah. Lalu saya tanya lagi: apakah ini ada hubungannya dengan tekanan darah? kalau kata dokter sih nggak, walaupun menurut yang saya baca kalau tekanan darah terlalu tinggi bisa juga mengakibatkan gangguan penglihatan. Tapi ya dokter lebih tau lah ya.

Terus berikutnya gimana? ya sudah saya disarankan untuk datang periksa lagi tahun depan. Menurut dokter, pemeriksaan setiap tahun itu cukup baik, minimal dalam 4 tahun ke depan sebaiknya diperiksa. Apabila dalam waktu 5 tahun pemeriksaan mata saya hasilnya tidak ada gejala tekanan tinggi seperti hari Sabtu lalu, maka saya tidak perlu kuatir akan terkena glaukoma.

Glaukoma ini biasanya penyakit keturunan, tapi ada kalanya juga infeksi, penyumbatan pembuluh darah, peradangan atau terpapar zat kimia bisa menjadi penyebab penyakit ini. Semakin tua, resiko terkena glaukoma juga semakin meningkat.

Pelajaran dari ke dokter mata kali ini adalah: periksa mata secara rutin itu penting untuk mendeteksi apabila ada penyakit sejak awal. Menjaga kesehatan mata juga lebih baik dari pada mengobati. Kalau mata sudah lelah ya jangan dipaksa juga. Oh ya, kalau memang sudah harus dibantu dengan kacamata untuk membaca, mata jangan dipaksakan bekerja tanpa kacamata, karena itu juga bisa mengakibatkan kerusakan lebih parah lagi.

Pentingnya Merawat Gigi

Sejak tinggal di Thailand kami jadi lebih rajin ke dokter gigi untuk perawatan setiap 6 bulan sekali. Awalnya sih karena Joe perlu mencabut wisdom toothnya yang meradang. Saya yang sejak dulu menyadari giginya ada berlubang jadi ikutan membereskan gigi. Perlu datang beberapa kali sampai semua gigi berlubang ditambal dan gigi yang mulai terkikis disisip. Bisa dibilang prosesnya 6 bulan bolak balik ke dokter gigi sampai dinyatakan giginya tinggal butuh perawatan.

Untuk gigi Joe butuh waktu lebih lama, karena gigi yang sedang meradang tidak bisa langsung dicabut. Pertama harus diobati terlebih dahulu, lalu setelah tidak meradang lagi baru bisa dicabut. Gigi yang lainnya juga yang bermasalah dibereskan, dan Joe ada pasang 1 gigi geraham palsu yang prosesnya butuh waktu hampir 1 tahun.

Jonathan sedang dibersihkan giginya. Joshua dan papanya nungguin.

Di sini banyak klinik gigi, dan banyak juga klinik gigi yang dokternya cukup fasih berbahasa Inggris. Dokter gigi untuk anak-anaknya juga kerjanya sangat cepat. Saya ingat waktu di Indonesia, setiap ke dokter gigi ngantrinya itu cukup lama, tapi di sini kita datang sesuai janji. Jadi klinik giginya mengatur jadwal kita, dan kita tentunya diharapkan hadir tepat waktu, karena kalau kita terlambat akan membuat pasien lain jadi tertunda.

Anak-anak kami sejak umur sekitar 3 tahun juga kami bawa secara rutin, Joshua malah lebih awal karena insiden gigi depannya terbentur dan copot sampai ke akar. Untuk anak-anak cukup 15 menit selesai, karena biasanya dokternya hanya memeriksa giginya masih bersih dan tidak berlobang, lalu dibersihkan dan diberi fluoride setiap 6 bulan sekali. Kalau dihitung-hitung mungkin akan ada yang beranggapan ngapain bayar mahal ke dokter gigi kalau gak sakit giginya, tapi sebenarnya perawatan gigi ini bentuk investasi.

Gigi yang sehat butuh gusi yang sehat

Dulu saya pikir kalau masih gigi susu gak perlu dirawat atau diperiksa ke dokter gigi, tapi ternyata saya keliru. Merawat gigi itu harus termasuk merawat gusi. Kalaupun giginya berganti tapi gusi tidak sehat, otomatis gigi gantinya jadi tidak sehat juga. Berbagai masalah bisa muncul kalau gusi tidak sehat. Perhatikan kalau orang sakit gigi sampai bengkak, nah yang infeksi itu gusinya.

Membawa anak ke dokter gigi sejak kecil juga sekaligus mengajarkan mereka pentingnya menyikat gigi dengan benar dan merawat gigi. Gak mudah memang membawa anak-anak ke dokter gigi. Sampai tahun lalu, Jonathan masih takut dan minta ditemenin waktu dibersihkan giginya, tapi sekarang dia sudah mulai berani karena sudah mengerti kalau bersihkan gigi itu gak sakit, cuma bunyinya aja yang agak berisik.

Gigi dipakai seumur hidup

Sejak umur 7 bulan kita mulai tumbuh gigi, lalu sekitar umur 6 tahun gigi akan mulai berganti menjadi gigi permanen yang akan kita pakai sampai kita mati. Mungkin ada yang menganggap ah kalau gigi habis tinggal pakai gigi palsu. Tapi dari melihat beberapa orang yang saya pernah kenal yang memakai gigi palsu baik itu gigi palsu sebagian ataupun keseluruhan, mereka bilang lebih enak pakai gigi asli dan butuh waktu untuk melatih diri membiasakan gigi palsu (tentunya yang asli selalu lebih baik daripada yang palsu).

Untuk sesuatu yang akan kita pakai setiap harinya selama kita hidup, masa sih gak kita rawat. Kalau gigi sehat terawat, kita hanya perlu 6 bulan sekali ke dokter gigi. Kalau mau dihitung biayanya dibagi rata-rata per hari dengan asumsi kita hidup sampai 70 tahun, saya yakin tetap lebih murah.

Merawat gigi sama dengan merawat kesehatan

Pernah gak memperhatikan kalau lagi kurang sehat, mulut kita rasanya ga enak. Mulut yang bau tak enak juga salah satu indikasi kita kurang sehat. Nah bau mulut ini salah satunya bisa juga disebabkan oleh gigi yang ada lubangnya. Merawat gigi itu termasuk merawat kesehatan. Karena gigi juga bagian dari tubuh kita toh.

Senyum cemerlang semua senang

Siapa yang tak ikut senyum kalau melihat orang yang senyumnya cemerlang. Kalau kita sakit gigi atau gigi tak terawat, mana mungkin kita bisa punya senyum cemerlang. Gigi yang sehat juga menambah percaya diri kita untuk tebar senyum. Kalau gigi lagi sakit, pasti susah untuk bekerja, jangan harap deh bisa tersenyum.

Mencegah lebih baik daripada mengobati

Kadang kita merasa sudah cukup rajin sikat gigi, tapi mana kita tahu kondisi sebenarnya kalau tidak dibawa ke ahlinya. Dengan perawatan setiap 6 bulan sekali kita jadi tahu kalau misalnya ada gigi yang mulai bermasalah. Lebih baik segera menutup lubang kecil daripada semua gigi jadi berlubang. Kalau menunggu sakit gigi karena sensitif atau gusi bengkak, nah ini biayanya bakal lebih banyak dan lebih lama proses penyembuhannya dibandingkan ke dokter gigi 6 bulan 1 kali dan paling lama 1 jam.

Mulut kita juga banyak yang terhubung ke organ tubuh yang lain, kalau kita biarkan infeksi gusi berlarut-larut, bisa jadi menyebar ke saluran pencernaan atau bahkan ke saluran pernapasan. Namanya infeksi harus segera diobati, kalau tidak ya bisa menyebar dan fatal akibatnya.

Buat kami sih udah jelas, gigi itu perlu dirawat. Biaya perawatan gigi itu merupakan investasi untuk seumur hidup. Mari kita mulai rajin memperhatikan kesehatan gigi kita. Semoga di Indonesia juga semakin banyak klinik gigi yang lebih terjangkau supaya makin banyak yang sadar untuk menjaga kesehatan giginya.