Sekolah di Rumah

Catatan: Tulisan ini tidak sedang memperdebatkan definisi homeschool, sekolah di rumah, home based education, distance learning, online learning, learning from home dan metode-metode yang menyebabkan anak belajar di rumah di bawah pengawasan orangtua.

Beberapa hari belakangan ini, saya banyak baca pengumuman di berbagai belahan dunia termasuk di DKI Jakarta mengenai sekolah ditutup dan kegiatan belajar dipindahkan di rumah sebagai salah satu langkah mencegah penyebaran virus covid-19. Berbagai reaksi dari orangtua dan siswa bermunculan.

Saya tidak tahu bagaimana nantinya pelaksanaan dari kegiatan belajar di rumah. Mungkin ada yang dalam bentuk memberikan lembaran kerja untuk dikerjakan di rumah seperti PR tapi lebih banyak dari biasanya. Mungkin ada yang mengadakan pelajaran streaming online – walaupun untuk hal ini saya tidak yakin kesiapan bandwith dari sekolah maupun dari setiap murid. Mungkin akan ada juga di mana orangtua harus mengambil dan mengantarkan hasil kerja anaknya setiap hari. Yang jelas, bagaimanapun pelaksanaannya, orang tua akan jadi lebih repot daripada sebelumnya.

Bagaimana kalau kedua orangtua harus bekerja seharian? Di beberapa negara, selain sekolah ditutup, pegawai kantor juga diperintahkan untuk bekerja dari rumah. Dengan asumsi ini, orangtua bisa mengawasi anaknya untuk mengerjakan pelajaran sekolahnya. Tapi bagaimana kalau kantor orangtuanya masih wajib masuk kerja? siapa yang akan mengawasi kegiatan belajar anak di rumah?

Lanjutkan membaca “Sekolah di Rumah”

Investasi Untuk Diri Sendiri

Beberapa hari lalu, saya mencoba untuk menulis blog di handphone (HP) sambil menunggu mobil di bengkel. Hasilnya, saya memang berhasil menulis sampai selesai. Waktu menunggu beberapa jam terasa diisi lebih berguna. Tapi ada perasaan lelah ketika selesai menuliskan posting yang menurut saya tidak terlalu istimewa juga.

Oh ya, tulisan saya hari ini bukan mengenai investasi dalam arti simpan uang hari ini dan nikmati hasilnya kemudian, tapi malahan lebih ke: membeli sesuatu untuk diri sendiri supaya lebih produktif dan nikmati hasil nya kemudian.

Jaman sekarang, hampir semua orang sudah menggunakan smartphone. Banyak yang selalu mengganti hp ketika ada yang lebih baru keluar, banyak juga yang bertahan dengan hp yang ada sampai benar-benar tidak bisa dibenerin lagi.

Dulu saya masih ingat, jaman memakai HP Nokia 3650 yang keypadnya melingkar, dengan koneksi gprs yang tidak bisa dibilang super cepat, saya bersemangat sekali berusaha menulis posting blog dari hp. Tapi kenapa sekarang dengan koneksi internet yang lebih cepat dan keyboard qwerty di hp layar sentuh tidak membuat saya lebih semangat? Jawabannya: karena saya sudah kembali terbiasa mengetik di keyboard komputer.

Handphone sudah menjadi benda yang selalu dibawa kemana-mana. Buat beberapa orang ketinggalan HP sudah seperti ketinggalan dompet atau kunci rumah saja. Dibandingkan membawa laptop, membawa HP tentunya lebih praktis dan ringan. Untuk yang hobi menulis, dan terbiasa menulis kapan saja dan di mana saja, tentunya HP merupakan salah satu benda yang selalu tersedia untuk segera menulis.

Kegiatan mengetik di HP itu bisa dilakukan kapan saja. Kalau kita aktifkan fitur auto complete, kita bahkan bisa menulis jauh lebih cepat. Kalau malas mengetik, bisa juga dengan memanfaatkan voice typing atau menggunakan aplikasi live transcribe.

Buat saya, HP itu lebih untuk komunikasi chat atau membaca saja (selain mengambil foto dan share di media sosial). Belakangan ini saya sudah kembali ke laptop untuk menuliskan apa yang ingin saya ceritakan. Rasanya kecepatan tangan saya mengetik di laptop lebih bisa mengimbangi apa yang ingin saya tuliskan. Pernah juga saya coba menggunakan voice typing, tetap saja rasanya lebih lambat daripada kecepatan mengetik saya.

Saya tidak pernah mengukur kecepatan saya mengetik, tapi untuk menulis blog, kecepatan mengetik di HP jauh lebih lambat daripada kecepatan saya mengetik di laptop. Mengetik di HP untuk isi blog membuat saya frustasi sendiri. Jadi sepertinya saya akan kembali ke laptop saja untuk mengetik/menulis blog dan tidak memaksakan diri mengetik di HP. Saya salut untuk teman-teman saya yang bercerita menulis isi blog sampai buku berawal dari menuliskan di HP nya lalu diedit di PC kemudian.

Hubungannya dengan investasi untuk diri sendiri apa? Nah bagian ini saya teringat dengan apa yang pernah dibilang Joe. Ceritanya Joe ini punya banyak hobi mulai dari bikin program, memeriksa keamanan sebuah aplikasi sampai membongkar aplikasi. Hobinya ini bukan jadi sekedar hobi tapi juga menjadi sumber penghasilan tambahan keluarga.

Kadang-kadang untuk memeriksa keamanan aplikasi itu, butuh sistem yang sudah di jailbreak. Nah, awalnya dia cuma pakai 1 HP, yang bulak balik di jailbreak dan di reset lagi. Terus lama-lama dia merasa buang waktu terlalu lama untuk proses jailbreak dan reset itu, dan memutuskan beli HP 1 lagi. Saya awalnya ngomel-ngomel protes dong, karena saya bilang: buat apa sih punya HP banyak-banyak (emak-emak irit atau pelit emang tipis ya bedanya). Untungnya Joe kasih pengertian ke saya kalau waktu yang terbuang untuk proses jailbreak berkali-kali itu lebih baik dipakai untuk main sama anak. Lagipula beli HP lebih dari 1 itu juga bukan dari anggaran bulanan, tapi sudah jadi modal untuk pekerjaan berikutnya.

Karena Joe bukan cuma omong doang soal waktu digunakan untuk main sama anak dan memang jadi bisa lebih banyak waktu buat main sama anak, sayapun akhirnya menerima. Memang terkadang rasanya sayang beli HP ekstra untuk dipakai testing aplikasi doang, tapi kalau memang itu modal kerja, kenapa tidak? Toh nantinya dengan modal yang dikeluarkan, hasilnya bukan saya menghemat waktu kerja tapi juga bisa digunakan untuk pekerjaan selanjutnya yang artinya penghasilan tambahan. Beli HP ekstra dan mendapatkan penghasilan berlipat dari harga HP? ya baiklah beliin saya juga ya sekalian hahaha.

Terkadang, saya masih agak pelit dengan diri sendiri. Waktu saya mulai mengeluh karena mata saya gak kuat baca tulisan kecil-kecil, Joe menyarankan saya periksa mata dan bikin kacamata. Awalnya, tentu saja saya menolak dan menunda sebisa mungkin. Tapi namanya umur gak bohong ya, kalau mau ngeyel gak pake kacamata ya jangan ngeluh dong soal gak bisa baca tulisan dengan nyaman. Akhirnya saya menyerah dan bikin kacamata deh. Mata juga sesuatu yang sangat berharga, kalau gak dirawat, bisa-bisa kita ga bisa melihat dengan baik lagi.

Selain masalah mata, kesehatan secara umum juga perlu kita prioritaskan untuk kita investasikan. Periksa kesehatan rutin juga perlu dilakukan (ini sih ngomong ke diri sendiri).

Untuk teman-teman yang hobi menulis, investasikan ekstra dengan alat yang paling sering kamu pakai menulis. Kalau memang paling sering menulis di HP, sebaiknya pilih HP yang agak tahan banting. Jangan lupa untuk menyimpan cadangan tulisan di cloud atau sinkronisasi dengan PC. Kalau sampai tulisan hilang karena HP tiba-tiba hang/mati total, aduhai rasanya pasti pengen garuk-garuk dinding kan.

Kalau ada yang punya cerita yang pernah kamu lakukan untuk investasi ke diri sendiri, silakan tuliskan di komentar.

Kenapa Masih Nonton Drama

Tulisan ini bukan spesifik ngomongin Drama Korea atau drama asia, tapi bisa drama apa aja. Kemarin akhirnya selesai juga nonton Cdrama Find Yourself. Percakapan dalam drama ini sering menyebutkan seolah-olah mereka ada dalam kehidupan nyata dan membahas: “ah kau pikir hidup ini seperti di film drama?” Tulisan ini sekalian mengambil contoh dari kisah di drama Find Yourself.

CDrama Find Yourself di Netflix

Tidak semua orang suka nonton drama. Tidak semua orang menyukai drama yang sama. Saya sendiri termasuk suka nonton drama asalkan jalan cerita menarik, ada faktor romantis dan komedi. Sedikit fantasi masih bolehlah, asal jangan terlalu mengada-ada.

Saya tidak suka nonton drama yang terlalu sedih ataupun yang terlalu berisikan protes sosial. Tidak suka bukan berarti tidak menonton, kadang-kadang secara acak saya menonton juga beberapa drama di luar genre yang biasa saya tonton.

Lanjutkan membaca “Kenapa Masih Nonton Drama”

Baca buku: Kim Ji-Yeong Born 1982

Setelah minggu lalu bolos baca buku, kemarin bolos nulis karena memutuskan baca buku Kim Ji-young, Born 1982 sampai selesai. Bukunya sebenarnya tipis, cuma 196 halaman sudah termasuk halaman-halaman yang tidak perlu dibaca. Tapi karena memulainya sudah sore, dan tanggung bacanya, jadilah memilih meneruskan membaca daripada menulis.

cover buku Kim Ji Yeong, sumber: Gramedia Digital

Buku ini aslinya berbahasa Korea, terbit tahun 2016 oleh seorang wanita Korea: Cho Nam-joo, yang pernah bekerja sebagai penulis skrip acara TV. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di tahun 2019 dan saya bacanya di Gramedia Digital.

Kisah dalam buku ini sudah diangkat menjadi film, tapi saya belum menonton filmnya. Tulisan ini merupakan kesan yang saya dapat dari baca bukunya. Terjemahannya terasa cukup enak dibaca, dan emosinya bisa bisa membuat saya merasa seakan-akan buku fiksi ini adalah kisah nyata dari seorang wanita yang lahir dan besar di Seoul, Korea di tahun 1982.

Walaupun buku ini berjudul Kim Ji-Yeong (KJY), tapi saya mau menuliskan kesan tentang wanita-wanita Korea lainnya yang diceritakan dalam buku ini. Selain kisah hidup KJY sejak lahir sampai tahun 2016, ada 3 wanita lain yang diceritakan dalam buku ini yang situasinya mirip dengan KJY: Ibunya Oh Man-Suk, Ketua tim di kantor yang bernama Kim Eun-sil dan istri dari psikiater yang membantunya mengatasi depresi.

Lanjutkan membaca “Baca buku: Kim Ji-Yeong Born 1982”

Terserah, tapi…

Setiap hari kita makan 3 kali sehari. Kadang-kadang sampai pusing memutuskan mau makan apa siang ini. Pergi ke food court, ada banyak pilihan, tapi malah jadi pusing mau makan apa. Dulu waktu jaman belum ada anak, setiap mau makan Joe bertanya: makan apa kita? terus saya jawab terserah. Terus Joe memutuskan makan sesuatu dan seringnya saya bilang: tapi kan itu baru kemarin. Sampai akhirnya Joe kesel dan bilang: lah katanya terserah, giliran dipilihin protes. Ya udah putuskan mau makan apa.

Kata Joshua: aku mau semuanya am nyam nyam nyam…

Nah sebenarnya pernah juga, saya lagi ga kepengen makanan tertentu, lalu bertanya ke Joe: mau makan apa kita? Dia jawab: terserah. Sebenarnya terserahnya Joe ini maksudnya apapun yang saya pilih dia gak akan protes, tapi karena sayapun lagi ga punya ide, malah jadi kesel dan bilang: kalau aku tau mau makan apa, ya gak akan nanya lah.

Kata “terserah” ini kadang-kadang memang mengesalkan. Tapi sebenarnya lebih mengesalkan kata terserah yang pertama. Kalau kita bilang terserah dan pasti ikut dengan usulan yang diberikan, ya gak masalah. Atau bisa juga mungkin pertanyaannya diganti biar tidak dapat jawaban terserah.

Lanjutkan membaca “Terserah, tapi…”

Siapa korban pinjaman online sesungguhnya

Jaman sekarang banyak sekali aplikasi untuk meminjam duit online. Ada yang legal banyak yang gak legal. Joe pernah menulis tentang betapa tidak amannya data di pinjaman online terutama yang ilegal. Peminjamnya gimana? sepertinya lebih banyak yang maunya minjam tapi ga mau bayar. Kemarin Joe cerita ke saya ada grup yang katanya bela korban pinjaman online. Pertanyaan saya: yang jadi korban siapa? peminjam atau yang meminjamkan?

Pohon uang dari game The Sims

Saya kunjungi grupnya sebentar (saya gak mau kasih link, bisa dicari sendiri kok). Isinya? kebanyakan orang mencari cara melarikan diri dari tukang tagih hutang. Beberapa bangga bisa meminjam dari berbagai sumber dan berhasil tidak membayar. Ada yang pamer juga kalau dia aman-aman saja walau sudah lewat masa pembayaran tidak ada penagih yang datang.

Ada yang mengeluh karena tukang tagihnya kasar, padahal katanya tukang tagihnya rumahnya mentereng dan mobilnya keren. Ada yang menganggap mereka yang meminjam diperlakukan tidak adil hanya karena gagal bayar. Tapi sebenarnya apakah iya tukang tagih yang kasar, atau memang peminjam yang nakal gak mau bayar?

Lanjutkan membaca “Siapa korban pinjaman online sesungguhnya”

Baca Buku: Madre (Kumpulan Cerita)

Awalnya gak sengaja nemu novelet Madre di ipusnas. Isinya cuma 51 halaman. Ceritanya menarik dan saya selesaikan dengan cepat. Terus waktu baca-baca review, katanya ini merupakan bagian dari buku kumpulan cerita nya Dee Lestari dengan judul yang sama. Saya jadi penasaran, kira-kira cerita lainnya menarik juga tidak ya untuk dibaca.

cover novelet Madre di ipusnas

Saya pikir, coba cari ah di Gramedia Digital. Ternyata di Gramedia Digital, buku kumpulan ceritanya harus beli. Hmm… karena tidak tahu apakah cerita lainnya menarik juga, saya urungkan niat membeli. Apalagi kabarnya sih ada puisi juga selain cerita. Kalau melihat dari judul bukunya, kemungkinan besar memang novelet Madre ini merupakan cerita utamanya.

Lanjutkan membaca “Baca Buku: Madre (Kumpulan Cerita)”