Berduka di Masa Pandemi

Tidak ada manusia yang hidup selamanya, semua orang ada batas umurnya. Di awal pandemi, saya pernah berkata kepada suami semoga keluarga kami yang jauh di Indonesia semua baik-baik saja, karena kami tidak mungkin bisa pulang dengan kondisi penerbangan di masa pandemi ini.

Orangtua kami memang sudah cukup tua, dan mempunyai beberapa keluhan kesehatan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi selain berdoa mereka tidak kena infeksi covid-19, juga berharap mereka sehat-sehat saja dan berumur panjang supaya bisa beretemu lagi. Saya rasa setiap orang pasti berharap hal yang sama.

Designed by mindandi / Freepik

Manusia hanya bisa berdoa dan berharap tapi umur di tangan Tuhan. Kami sungguh tidak menduga kalau ibu mertua saya yang kami panggil Emak dipanggil Tuhan di masa pandemi ini. Rasanya? jangan ditanya, saya tidak bisa mendeksripsikannya dengan kata-kata.

Namanya duka itu sama apapun penyebabnya, rasanya sedih luar biasa. Walaupun kita tahu tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya, kita tidak akan pernah siap kehilangan orang yang kita sayangi. Sebagai orang yang percaya Tuhan, kita harus menerima dan mengikhlaskan. Saya percaya dukacita itu datang tidak sendirian. Akan ada pelangi sehabis hujan.

Saya belajar, rasa duka itu jangan disimpan sendiri tapi dibagikan supaya tidak jadi penyakit. Saya sungguh merasakan tangan Tuhan bekerja menghiburkan kami yang jauh di negeri orang ini. Kami mendapatkan ucapan turut berduka dan doa-doa yang luar biasa dari banyak sekali kerabat dan teman-teman di media sosial dan jalur pribadi ke kami.

Banyak ucapan dari teman-teman yang selama ini sudah lama sekali tidak pernah berinteraksi dan saya pikir sudah tidak aktif lagi di media sosialnya. Sungguh saya berterimakaih untuk semua ucapan yang sudah menguatkan kami.

Saya belum bisa membalas semua ucapan duka sekarang ini. Rasanya untuk menuliskan ini saja, saya memaksakan diri supaya saya tidak larut dengan pikiran sendiri. Saya bersyukur kalau ternyata di masa pandemi ini, masih banyak yang perduli dengan kami.

Dengan bantuan teknologi internet, kami bisa melihat wajah Emak untuk terakhir kali. Kami bisa melihat ibadah kebaktian pelepasan, penutupan peti sampai diantar ke peristirahatannya yang terakhir. Kami berterimakasih dengan semangat gotong royong yang ada,masih ada beberapa orang yang bisa hadir walaupun di masa pandemi.

Masa pandemi memang bukan masa yang normal. Normalnya, mungkin yang hadir akan lebih banyak lagi, tapi ada yang bisa membantu semua sampai dimakamkan saja rasanya sudah luar biasa. Saya juga tidak berharap melihat ada kerumuman orang yang banyak, karena saya juga tidak ingin melihat kedukaan kami membawa kedukaan berikutnya buat orang lain kalau misalnya salah satu yang datang orang tanpa gejala.

Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan kalau ada yang meninggal saat ini. Biasanya akan ada yang bertanya-tanya: jangan-jangan covid-19? Memang ada banyak berita di mana seseorang yang meninggal karena didiagnosa penyakit biasa, belakangan diketahui positif covid-19 atau masuk kategori PDP. Nah untuk hal ini, maka saya merasa lega kalau Emak bisa dimakamkan secepatnya dan kami tetap bisa melihatnya untuk terakhir kali.

Kemarin, ada seorang saudara juga bertanya ke saya, apa penyebab kematian Emak? yang saya tahu Emak memang sudah lama punya penyakit diabetes dan komplikasi ke jantung setahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir juga tidak ada keluhan seperti orang yang sakit covid-19 dan kesehatannya selalu dipantau oleh dokter pribadi alias adik ipar saya.

Kepergian Emak kemarin memang sangat mendadak, sore harinya masih sempat main dengan cucu-cucunya. Malam harinya masih sempat minta dibikinkan teh hangat ke bapak, dan teh baru jadi, Emak sudah terbaring pergi begitu saja. Jadi ya, saya hanya bisa menjawab semoga saja bukan covid-19, karena kalau iya, saya tidak bisa bayangkan keluarga kami yang lain akan terkena juga.

Bertanya untuk menunjukkan perhatian dengan rasa ingin tahu itu beda tipis. Tapi sebagai yang berduka, saya juga mengerti kenapa ada pertanyaan tersebut. Sebagai yang berduka, kita juga harus menerima kalau yang datang tidak sebanyak masa normal.

Hari ini saya mendapat berita duka lain dari Medan. Salah seorang kerabat dari papa saya meninggal pasca operasi. Mama saya jadi dilema pergi atau tidak untuk menyampaikan rasa dukacitanya. Sebagai orang batak, pemakaman orangtua di atas umur 60 tahun biasanya bisa berhari-hari dan seperti pesta besar saja, tapi tidak di masa pandemi ini.

Mama saya sudah masuk dalam lanjut usia, sudah 74 tahun, jadi termasuk beresiko tinggi terhadap covid-19. Saya tegaskan ke mama saya, mungkin kerabat yang meninggal memang bukan karena covid, tapi lingkungan rumah sakit dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai area, itu yang berbahaya. Akhirnya mama saya menelpon saja untuk menyampaikan rasa dukanya.

Pengalaman berduka di masa pandemi ini mengajarkan saya 3 hal:

  • Hal pertama: sampaikan dukacita tanpa bertanya-tanya penyebabnya, apalagi dengan nada menuduh jangan-jangan covid-19. Karena belum tentu semua orang menerima dengan baik maksud pertanyaannya dan malah bisa membuat yang berduka jadi tambah kesal.
  • Hal kedua: jangan memaksakan diri untuk datang ke acara duka, apalagi jika kita termasuk golongan beresiko tinggi atau bukan keluarga langsung. Karena walaupun mungkin yang meninggal bukan karena covid-19, selalu ada resiko bertemu orang tanpa gejala di keramaian. Utamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu
  • Hal ketiga: internet bukan lagi sekedar dunia maya dengan anonimity dan nama palsu. Internet sudah menjadi perluasan dunia kita yang sebenaranya. Semua komentar duka yang disampaikan di sosial media ataupun jalur pribadi, sama tulusnya dengan ucapan langsung. Bahkan emoji yang ada juga sudah merupakan reaksi dari lingkungan sosial kita.

Masa pandemi ini, bisa dibilang sebagai masa kegelapan. Ada kesedihan di mana-mana. Kesedihan karena kehilangan orang yang kita sayangi ataupun karena kehilangan pekerjaan atau hal-hal lainnya. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa berduka ataupun berbagi tawa dengan lebih normal seperti dulu.

Harapan Setelah Pandemi Berakhir

Walaupun belum tahu kapan pandemi ini berakhir, saya ingin berangan-angan. Melihat cara-cara manusia beradaptasi terhadap situasi khusus di masa pandemi, saya berharap beberapa hal bisa tetap dilakukan pasca pandemi. Namanya juga harapan, belum tentu terwujud, tapi ya namanya juga angan-angan.

Pernikahan Tanpa Resepsi Mewah

Esensi pernikahan itu untuk mengikat janji sehidup semati menjadi suami istri. Sebelum pandemi, ada banyak sekali saya membaca pengantin baru yang harus menanggung beban membayar hutang pesta pernikahan yang hanya sehari itu.

Resepsi pernikahan berupa pesta mewah yang menghabiskan biaya banyak itu tidak ada gunanya. Mungkin banyak yang tidak setuju dan berpendapat kalau pesta itu untuk berbagi kebahagiaan. Tapi apa iya berbagi kebahagiaan kalau akhirnya harus menghabiskan dana yang tidak sedikit dari kerabat yang memaksakan diri datang, terutama dari luar kota, atau bahkan dari luar negeri? Ongkos pesawatnya kalau dijadikan amplop hadiah pengantin rasanya bakal bikin pengantin merasa wow, bisa buat nambah bayar uang muka beli rumah.

Dari pihak pengantin, mengeluarkan biaya tidak sedikit juga. Mulai dari sewa gedung, sewa fotografer, bayar katering makanan, bayar pemusik untuk hiburan, bayar seragam kalau misalnya ada keluarga yang menuntut seragam. Belum lagi untuk baju pengantin yang hanya akan dipakai sekali lalu disimpan dalam lemari.

Lanjutkan membaca “Harapan Setelah Pandemi Berakhir”

Chiang Mai Akhirnya Bebas Polusi

Setelah beberapa lama menanti turunnya hujan badai, akhirnya hujan dan angin turun hari Sabtu dan Minggu kemarin di Chiang Mai. Pagi ini seluruh indikator polusi menjadi hijau dan tidak ditemukan adanya titik api lagi di utara Thailand. Kabar baik lainnya, hujan yang datang membuat sungai yang kering kembali mengalir dan persediaan kota mulai terisi lagi.

Hari ini 27 April 2020, tidak ada titik api di utara Thailand (sumber: www.cmupdatenews.com)

Semoga saja, hari ini merupakan hari pertama di tahun 2020 di mana Chiang Mai bebas polusi. Prediksi hujan yang masih akan turun sepanjang minggu ini, diharapkan benar-benar membuat udara Chiang Mai bersih. Semoga saja tidak ada lagi titik api baru karena semua masih terlalu basah untuk terbakar ataupun dibakar.

Chiang Mai Aqi 27 April 2020 (sumber https://aqicn.org/city/chiang-mai/)

Kalau pepatah bilang panas setahun dihapus hujan sehari. Situasi di Chiang Mai dan utara Thailand ini, polusi berbulan-bulan butuh hujan paling tidak seminggu dan tentunya dengan angin kencang kiriman badai musim panas dari Cina.

Lanjutkan membaca “Chiang Mai Akhirnya Bebas Polusi”

Nonton Film Indonesia di Netflix

Belakangan ini mulai bosan dengan drama korea. Sebenarnya banyak yang lagi hits dan jadi pembicaraan, dan direkomendasikan. Mau yang sudah selesai atau yang masih tayang setiap minggunya, ada banyak yang katanya bagus-bagus, seru dan menguras emosi.

Drama korea dengan cerita zombie atau cerita selingkuh, cerita setengah robot atau cerita pengacara yang penuh intrik atau cerita cinta pertama yang kenal dari masih kecil, sebagian besar ada di Netflix. Tapi rasanya dengan anak-anak di rumah saja, kurang baik kalau mereka ikut menonton film-film tersebut.

Beberapa hari lalu saya mulai terpikir untuk menonton film Indonesia saja di Netflix. Salah satu yang membuat saya mulai mencari film Indonesia lagi karena seorang teman yang di Bangkok membagikan kalau film Bumi dan Manusia sudah masuk Netflix Thailand. Nah gara-gara mencari film itu, malah menemukan beberapa film lain yang sepertinya lebih cocok untuk ditonton dengan anak-anak.

Saya memang sudah lama sekali tidak menonton film Indonesia. Sejak tinggal di Chiang Mai tahun 2007, saya hanya tahu film Indonesia yang ramai dibicarakan di sosial media saja. Itupun saya tidak selalu tertarik untuk menontonnya. Kalaupun tertarik, kadang sulit mendapatkan filmnya.

FIlm Indonesia di Netflix

Awal berlangganan Netflix, sebenarnya sudah pernah melihat ada film Indonesia. Waktu itu heran ada film judulnya What’s up with Love?, ternyata itu film Ada apa dengan Cinta yang judulnya diterjemahkan ke bahasa Inggris. Terus ada juga beberapa film lain, tapi umumnya film lama yang mana sudah saya tonton sebelumnya.

Biasanya film yang ramai dibicarakan itu kalau diangkat dari buku. Bukunya laris, lalu difilmkan. Semua berbondong-bondong menonton lalu kecewa karena katanya cerita di buku lebih bagus daripada filmnya. Ya iyalah ya, saya belum pernah menemukan ada film yang diangkat dari buku bisa lebih bagus dari bukunya. Tapi kalau belum sempat baca bukunya, menonton filmnya bisa memberi gambaran ingin baca bukunya atau tidak.

Selain yang saya ambil gambarnya dari aplikasi Netflix ini, ada banyak lagi film Indonesia lainnya. Tapi saya pikir, karena mau menontonnya dengan anak-anak, sebaiknya pilihan ke film yang ada pelajarannya. Kemarin pilihan pertama, nonton Laskar Pelangi yang judulnya diterjemahkan menjadi Rainbow Troops.

Untungnya, film Indonesia di Netflix ini filmnya juga diberi subtitle bahasa Inggris. Untuk anak saya yang belum begitu terbiasa menonton film Indonesia, adanya subtitle ini cukup membantu dia untuk memahami jalan ceritanya.

Saya tahu film Laskar Pelangi ini sudah lama, dan saya tahu film ini diangkat dari buku karya Andrea Hirata dan kabarnya terinspirasi dari kisah nyata. Menonton film Laskar Pelangi ini membuat saya ingin membaca bukunya. Apalagi semua teman saya bilang kalau bukunya jauuuuh lebih bagus daripada filmnya. Iya saya pengen baca tapi belum menemukan bukunya.

Saya mencoba cari buku digital Laskar pelangi di beberapa tempat belum ketemu juga. Di Ipusnas dan Gramedia Digital tidak ada, di Google Playbook dan Kindle Amazon malah nemu buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Mandarin. Kalau mencari buku fisiknya, akan lebih sulit lagi, apalagi sekarang ini belum tahu kapan penerbangan Thailand – Indonesia normal kembali.

Poster Film Bumi Manusia di Netflix

Film berikut yang ingin saya tonton itu film Bumi Manusia atau yang diterjemahkan Netflix jadi The Earth of Mankind. Film ini juga diangkat dari bukunya Pramoedya Ananta Toer. Tapi kalau lihat ratingnya, kemungkinan ini ditonton tanpa anak-anak.

Banyak teman saya bilang lebih baik baca bukunya daripada nonton filmnya. Tapi persoalan yang sama dengan Laskar Pelangi, belum ketemu bukunya. Lagipula tidak ada salahnya menonton dulu, nanti cari bukunya kemudian.

Ada beberapa film yang menarik perhatian saya. Kalau dari judulnya sih bisa untuk sekalian belajar sejarah Indonesia. Tapi harus dicari tahu dulu ini filmnya berdasarkan sejarah Indonesia atau sudah dijadikan fiksi semata. Kalau mau ajak anak-anak juga harus memperhatikan rating usia penontonnya juga.

Poster Film Guru Bangsa Tjokroaminoto di Netflix

Kalau dari judul yang ada di foto sebelumnya, saya ingin menonton film Soekarno, Habibie, Guru Bangsa Tjokroaminoto, 3 Srikandi, Athirah, Sokola Rimba, Sang Pemimpi, dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Banyak juga yah.

Rencananya, kalau memang filmnya ratingnya cocok untuk anak-anak, nontonnya bisa untuk hiburan setelah jam belajar selesai. Padahal nontonnya juga buat sambil belajar juga. Belajar bahasa Indonesia dan belajar sejarah Indonesia.

Ada rekomendasi film Indonesia lain di Netflix yang menarik untuk ditonton bersama atau tanpa anak-anak?

Surat untuk Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi

Hari ini akhirnya hujan turun di Chiang Mai, entah kenapa jadi ingat belum menuliskan surat untuk tenaga kesehatan yang paling sibuk di masa pandemi ini. Untuk pegawai di dinas kesehatan, untuk para dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit, klinik kesehatan ataupun puskesmas di seluruh dunia. Untuk mereka yang gak punya pilihan untuk bekerja dari rumah.

sumber: freepik.com

Para tenaga kesehatan ini mungkin yang paling berharap pandemi segera berlalu, supaya mereka bisa beristirahat dengan perasaan tenang di rumah dengan keluarga, tanpa ada rasa khawatir jangan-jangan saya sudah terpapar penyakit. Mereka yang bertugas untuk mengurus pasien. Mereka yang harus menjaga dirinya supaya tidak terpapar dengan segala penyakit yang ada selain covid-19.

Iya penyakit bukan cuma 1 saja, ada banyak penyakit lain selain Covid-19, dan semua itu harus dirawat juga. Setiap hari, para tenaga kesehatan ini berhadapan dengan segala penyakit yang kadang tidak terlihat gejalanya. Mereka harus mendiagnosa penyakit pasien dengan serangkaian pertanyaan maupun tes. Kalau pasiennya tidak jujur, semakin sulit penyakit ditemukan, semakin lama harus mencari bagaimana merawatnya dan semakin tinggi kemungkinan mereka terpapar penyakit yang dibawa si pasien (dan ini bukan hanya masa covid-19 saja).

Mama saya seorang perawat di masa mudanya. Ketika kami mulai agak besar, papa saya meminta mama saya berhenti bekerja di rumah sakit dan bertugas di kantor saja. Sekarang mama saya sudah pensiun bertahun-tahun sebagai pegawai dinas kesehatan yang mengurus pekerjaan bagian rumah sakit. Sedikit banyak, saya tahu juga pekerjaan mama saya di dinas kesehatan. Mereka juga perlu membuat laporan tentang jumlah pasien, tentang penyakit yang paling banyak terjadi di satu daerah, tentang fasilitas apa yang dibutuhkan di satu daerah tertentu.

Terbayang saat ini, di masa pandemi, pegawai dinas kesehatan baik yang bertugas di rumah sakit ataupun yang di kantor, kerjaannya jadi banyak. Mereka tidak punya pilihan untuk di rumah saja. Mereka yang akan disalahkan kalau ada data laporan yang salah ataupun jumlah pasien yang tak kunjung sembuh.

Mungkin mereka tidak pernah berharap bakal bertemu dengan masa pandemi. Jangankan tenaga kesehatan, saya saja masih sering berharap masa pandemi ini hanya mimpi buruk dan segera terbangun dari tidur dan semua kembali ke keadaan yang normal.

Kemarin saya ngobrol dengan ipar saya, seorang dokter yang bertugas di Puskesmas. Ketika saya menanyakan bagaimana kabarnya, dia langsung curhat kalau sejauh ini sudah ketemu dengan 3 pasien positif covid-19 (bukan cuma terduga) dari hasil rapid test. Padahal rapid test ini masih sering memberikan false negatif, tapi kalau hasilnya positif, berarti memang sudah benar-benar positif. Saya tanyakan apakah dia selalu memakai perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) setiap ketemu semua pasien. Katanya mau tak mau ya harus, walau APD yang dipakai bukanlah APD yang sesuai standar dan terkadang harus cuci kering dipakai lagi sampai robek baru ganti.

Saya kaget, saya pikir tenaga kesehatan kita dapat jatah APD untuk melindungi diri dan supaya bisa merawat pasien dengan baik. Ternyata, mereka harus mencari sumbangan sendiri untuk mendapatkan APD. Duh, kalau dokter dan tenaga kesehatan tidak ada jatah APD, bagaimana kalau mereka terpapar lebih dahulu? bisa-bisa semua pasien dengan keluhan lain ikut terpapar juga.

Obrolan dengan ipar saya membuat saya ingin bertanya lagi dengan dokter yang lain. Saya mengontak teman SMA saya yang juga seorang dokter. Kalau menurut teman saya ini, dokter yang bekerja di rumah sakit swasta bisa menolak menemui pasien kalau tidak ada APD. Betapa jauh bedanya dengan nasib dokter di puskesmas ya. Padahal mereka sama-sama dokter dan sama-sama dibutuhkan di masa pandemi ini. 

Saya juga bertanya-tanya apakah suster dan pegawai kesehatan lainnya mendapat jatah APD juga? Kataya, kalau suster harus menyediakan APD sendiri. Padahal setahu saya gaji suster itu jauh lebih rendah daripada gaji dokter, dan mereka juga lebih sering ketemu pasien daripada dokter.

Ah, sekarang saya mengerti kenapa dulu papa saya tidak suka mama saya bekerja di rumah sakit. Saya baca saat ini banyak tenaga kesehatan yang tidak berani pulang ke rumah. Mereka menjaga jarak aman dengan keluarganya karena mereka tidak mau mengambil risiko. Sudah banyak tenaga kesehatan jadi korban pandemi ini.

Mungkin kalau saya yang jadi pegawai kesehatan di masa pandemi, saya akan bolos kerja saja atau berhenti sekalian. Pergi ke rumah sakit saja rasanya sudah bikin gemetar duluan, apalagi kalau harus jadi yang merawat orang sakit tanpa APD di masa pandemi ini.

Tapi memang menjadi tenaga kesehatan itu panggilan hati. Mereka menjadi tenaga kesehatan bukan karena gengsi atau sekedar biar ada pekerjaan. Mereka pastilah memang punya hati untuk melayani. Hati untuk membantu sesama manusia melawan penyakit yang diderita.

Walau tanpa fasilitas APD bukan jadi penghalang buat para tenaga kesehatan untuk mengerjakan tugasnya. Mereka mengupayakan APD sendiri, mereka menjaga kesehatan diri sendiri sambil tetap merawat yang sakit. Mereka tidak mundur walaupun nyawa sendiri taruhannya.

Buat para petugas kesehatan semua dimanapun kamu bertugas, terimakasih saya ucapkan untuk kalian semua. Terimakasih kalau kalian mau tetap bekerja supaya kami bisa di rumah saja. Terimakasih kalau kalian tetap mau merawat semua pasien tanpa memandang status dari si pasien dan jenis penyakit apa saja.

Saya tahu, kalian pasti berharap kami semua mengikuti anjuran yang ada dari pemerintah. Supaya kami tidak keluar rumah kalau tidak terpaksa. Supaya kami jaga jarak aman dengan yang lain. Supaya tidak ada pasien yang bohong waktu diperiksa. Dan pasti kalian berharap besok tidak ketemu pasien dengan gejala ataupun tanpa gejala yang positif covid-19.

Iya, tidak ada yang mau sakit. Semua juga pengen sehat. Semua berusaha untuk meningkatkan imunitas. Saran berjemur, minum vitamin, makan makanan sehat, berolahraga sebagian besar berupaya lakukan. Tapi memang ada juga yang selalu merasa dirinya harus sehat karena kalau tidak kerja tidak makan.

Iya, banyak yang merasa sehat dan tidak bisa diam di rumah saja. Tidak punya kendaraan pribadi, lalu terpapar atau malah menyebarkan di angkutan umum yang berdesakan. Banyak juga yang sudah disarankan untuk isolasi, tapi karena butuh makan harus keluar rumah juga.

Saya hanya bisa berdoa dan berharap pandemi ini segera berlalu. Semoga para tenaga kesehatan juga tetap sehat melalui masa ini. Semoga ada yang segera menemukan titik terang untuk mengakhiri pandemi ini. Entah itu vaksin, atau obat atau cara mendeteksi pasien secara dini untuk mengurangi penyebaran infeksi.

Salam dari Chiang mai untuk tenaga kesehatan di manapun kamu berada. Semoga malam ini kalian bisa beristirahat memulihkan tenaga walau mungkin hanya sebentar saja.

Menanti-nantikan Hujan turun di Chiang Mai

Sejak beberapa hari lalu, saya membaca pengumuman kalau akan ada hujan di utara Thailand sebagai akibat dari badai di Cina Daratan bagian selatan. Setiap hari, saya memeriksa prakiraan cuaca dan berharap pengumuman itu cukup akurat. Sungguh berharap hujan yang cukup banyak untuk menghapuskan polusi di kota Chiang Mai ini selain untuk mengisi persediaan air kota Chiang Mai yang mulai mengering.

Pengumuman akan ada Summer Thunderstorms di Utara Thailand (Sumber: tmd.go.th)

Membaca detail pengumuman ini, sebenarnya hati saya terbagi antara senang dan sedikit khawatir. Senang karena dengan adanya hujan dan angin kencang artinya udara akan terasa sejuk dan bersih, bye bye polusi. Khawatir karena membaca deskripsinya berupa hujan badai disertai kilat yang menyambar dan angin kencang dan kemungkinan hujan batu es juga. Apalagi dilengkapi dengan peringatan untuk tetap berada di dalam ruangan selama hujan berlangsung. Semoga saja tidak semengerikan yang saya bayangkan yang nanti terjadi.

Lanjutkan membaca “Menanti-nantikan Hujan turun di Chiang Mai”

Akhirnya Mencoba Kopi Dalgona

Siapa yang belum tahu kopi Dalgona? Sepertinya cuma saya yang baru hari ini menikmati kopi Dalgona yang katanya populer dari negeri Korea di masa karantina di rumah saja. Cara membuat kopi dalgona ini sudah lama beredar di timeline sosial media saya. Semua teman saya sudah mencoba membuat dan mencicipinya. Bisa diminum panas atau dingin terserah selera.

Kopi Dalgona di siang hari 39 dercel yang berasa 41 dercel
Lanjutkan membaca “Akhirnya Mencoba Kopi Dalgona”