Mangga saja Butuh Waktu

Hari ini kami sudah bisa menikmati mangga lagi, setelah menantikannya dari awal tahun. Pohon mangga ini pernah saya tuliskan dalam tulisan tahun lalu, dan memang pohon ini berbuah selalu di bulan April.

Apa istimewanya sih sampai dituliskan tentang si pohon mangga? Sebenarnya, pohon mangga ini menjadi proyek pribadi saya untuk memperhatikan sekitar seperti saran Austin Kleon di buku Keep Going.

Karena pernah dituliskan, saya jadi tahu kalau mangga ini berbuah setiap bulan April, dan tahun ini saya juga memfoto pohon ini beberapa kali sejak masih berupa bunga sampai jadi buah.

Lanjutkan membaca “Mangga saja Butuh Waktu”

Physical Distancing dan Good Friday

Ada gak yang mengalami apa yang saya alami. Sekarang ini, setiap melihat foto atau video di mana ada banyak orang ramai-ramai berkerumun, yang pertama terpikir adalah: “Wah mereka kok tidak jaga jarak aman”. Pikiran berikut:”Kok ga pada pake masker sih!” Kemudian saya tersadar, lah itukan foto dan video lama, bukan baru-baru ini.

Tapi jangankan lihat foto dan video lama, kalau melihat drama yang masih on-going tayang setiap minggu saja, saya berpikir: “Wow mereka berani sekali ya tetap produksi film. Kira-kira apa yang mereka lakukan untuk merasa aman di antara kru film atau artisnya tidak ada yang jadi spreader? apakah mereka mengadakan rapid test terlebih dahulu dan mengisolasi kelompok mereka supaya tidak berinteraksi sama sekali dengan dunia luar? Kira-kira kalau ada aktor atau kru film nya yang mengalami gejala, apakah mereka akan berhenti produksi seketika?”

Parah ya? Setelah kurang lebih 3 minggu di rumah saja dengan segala himbauan untuk jaga jarak aman dan memakai masker, rasanya sudah seperti dicuci otak saja. Gimana dengan orang-orang di Wuhan yang katanya lockdown selama 76 hari? Kira-kira setelah berapa hari kondisi di Thailand akan kembali normal?

Himbauan untuk menutup sekolah-sekolah dan lembaga kursus di Thailand di mulai sejak 18 Maret 2020, awalnya direncanakan sampai 30 Maret saja. Pada waktu itu bahkan belum ada rencana pembatalan Festival Songkran dan pesawat domestik dan internasional masih banyak beroperasi.

Lalu, karena semakin banyak kasus positif di seluruh Thailand, setiap hari peraturan bertambah, dan sekarang ini setelah semua sekolah ditutup, Kementrian Pendidikan Thailand mengumumkan tahun ajaran baru yang biasanya dimulai bulan Mei akan diundur dan mulai lagi 1 Juli 2020. Untuk sekolah Internasional, dipersilahkan mengatur tahun ajaran sendiri asalkan pelaksanaanya ya dari rumah masing-masing.

Dengan pengumuman ini, berarti sekolah dan lembaga kursus di Thailand diliburkan selama kurang lebih 100 hari. Selain aturan sekolah, kantor-kantor belum semuanya bekerja dari rumah. Beberapa orang yang kerjanya di mall tentunya sudah dirumahkan karena mall tidak boleh buka kecuali yang menjual makanan saja. Semua orang di luar rumah wajib memakai masker. Beberapa bis antar kota sudah berhenti beroperasi.

Lanjutkan membaca “Physical Distancing dan Good Friday”

Kenali Pasangan dari Selera Makannya

Tulisan ini terinspirasi ketika masak mi instan tadi pagi untuk sarapan, dan jadi teringat juga dengan film tahun 1999 Runaway Bride yang diperankan oleh Richard Gere dan Julia Roberts.

Indomie telur pake sayur

Kalau sudah menonton Runaway Bride, tentu samar-samar masih ingat bagaimana tokoh wanitanya selalu berusaha mengikuti selera pasangannya ketika memilih masakan telur yang disukai. Iya telur, makanan yang bisa dimasak dengan berbagai cara, apakah itu dibikin telur ceplok, didadar, diorak-orik, direbus setengah matang ataupun matang.

Waktu menonton film itu, saya pikir: lah telur itu enak dimasak apa saja, kenapa harus memilih salah satu saja? Tapi idenya boleh juga, cuma gara-gara memilih cara telur dimasak, bisa menjelaskan kenapa si tokoh wanita selalu kabur di hari pernikahannya (sesuai judul runaway bride).

Ternyata sekarang saya berubah pendapat: saya lebih suka telur dadar daripada ceplok ataupun rebus. Saya juga tidak suka telur setengah matang karena tahu kadang-kadang telur setengah matang itu bisa ada bakterinya. Tapi kalau terpaksa ya dimakan juga jenis telur yang dimasak selain di dadar.

Kalau Joshua? jelas dia cuma suka telur dadar, kalau Jonathan dia lebih suka telur ceplok, kalau Joe? dia suka telur dadar ataupun rebus, tapi demi kepraktisan dan karena waktu merebus lebih lama, dia gak protes kalau lebih sering makan telur dadar daripada telur rebus.

Nah hubungannya dengan mi instan apa?

Sejak tinggal di Chiang Mai, saya baru tau kalau mi instan itu tidak selalu sama teksturnya. Mi instan Indomie itu paling enak karena bisa dibikin agak lembek. Iya, saya suka mi yang agak lembek dan tentunya di masak pakai telur.

Nah kalau Joe gimana? dia pada dasarnya suka yang agak pas atau sedikit lembek asal jangan terlalu lembek. Nah jadi kalau masak mi instan, jalan tengahnya ya masaknya agak dibiarin lembek dikiiiiit aja. Masalahnya, mi instan Thailand gak bisa sama teksturnya dengan Indomie, jadi biarpun kelamaan dimasak, ga akan terlalu lembek juga (jadinya saya aman gak akan kelembekan masaknya).

Selagi masak, terpikirlah kira-kira apakah hubungan kepribadian seseorang dengan tingkat lembeknya mi instan yang disuka? Saya tahu, kalau di majalah-majalah atau tabloid, topik begini saja bisa dikupas tuntas dengan panjang lebar. Tapi saya jadi pengen bikin analisa ala-ala saya.

Ada 3 kategori mi instan menurut tingkat kematangan mi nya: masih kriuk, tidak kriuk dan tidak lembek, dan agak lembek. Terus ada lagi variasinya pakai telur dan sayur atau polos saja.

  • Orang yang suka mi instan yang masih kriuk ini menurut saya orang yang ga sabaran. Mi instan itu sesuai namanya ya mi yang di masak secara instan dan gak pake ribet. Tinggal cemplung-cemplung dan bahkan dulu iklannya bilang cukup 2 menit. Nah kalau sampai pengen mi instannya masih kriuk, berarti masaknya akan lebih cepat lagi kan. Saya simpulkan orangnya ga sabaran, jadi dia ga mau menunggu mi nya masak sesuai anjuran.
  • Orang yang suka mi instan yang tidak sampai lembek tapi juga tidak kriuk lagi ini orangnya menuntut kesempurnaan. Mereka maunya apa-apa itu sesuai dengan petunjuk. Tidak lebih dan tidak kurang. Mereka tapi juga rela masak ulang kalau sampai masaknya kelamaan dan mengakibatkan mi terlalu lembek.
  • Orang yang suka mi instan yang di masak lembek ini termasuk santai dan fleksible. Mereka tidak terburu-buru dan tidak juga penuntut kesempurnaan. Tapi memang ada kecenderungan terlalu santai. Mie lodoh juga kalau udah lapar ya udah gak apa di santap saja.

Dari 3 level tingkat masak mie di atas, kira-kira siapa yang paling pemalas? yang terburu-buru, atau yang terlalu santai sampai mi lembek? Hehehe ini menurut saya lebih malas yang terburu-buru. Kenapa? ya namanya juga bikin analisa ala-ala ya, sangkin malasnya, mereka ga sabar pengen cepet aja santap makanan, makanya masih kriuk juga langsung diangkut saja.

Yang paling rajin sudah tentu si perfeksionis. Mereka berusaha mengamati supaya mi nya tidak terlalu kriuk dan tidak terlalu lembek. Kalau kelewatan dan lembek terpaksa masak lagi karena mereka tidak mau makan yang lembek (ini bukti kerajinan mereka).

Nah berikutnya, ada orang yang suka makan mi instan polos saja, ada juga yang suka dicampur telur dan sayur-sayuran. Kalau saya dan Joe termasuk yang suka minimal pakai telur. Kalau ada sayur ya boleh juga dimasukkan sayurnya, tapi kalau ga ada sayur asal ada telur sebagai campuran ya sudah cukuplah untuk menambah kadar protein dari mi instannya. Mengurangi rasa bersalah makan mi instan hehehe.

Selain telur dan mi instan, ada banyak jenis makanan yang belum tentu sama untuk setiap orang. Baik itu lebih suka makan manis atau asin, lebih suka pedas atau pedas sekali, lebih suka keju atau coklat. Salah satu cara kita mengenali pasangan kita, tentunya dengan mengenali selera makannya sejak pacaran. Jadi kalau mau kencan makan berdua bisa gampang milih tempat makannya.

Menulis itu…

Buat saya gak selalu gampang.

Saya berusaha menuliskan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Berusaha mengurangi menulis yang isinya keluhan semata dan mencari topik yang membuat orang lain merasa lebih baik setelah membacanya.

Ada idealisme untuk menuliskan hal-hal yang jelas sumbernya dan jelas sampainya ke pembaca. Butuh waktu untuk memformulasikan berbagai berita yang dibaca untuk dijadikan satu tulisan sendiri. Tapi sepertinya, di jaman sekarang, di saat arus informasi begitu derasnya, para profesional di bidang media sepertinya kurang mementingkan memeriksa fakta. Mereka berlomba untuk menuliskan berita terkini paling dulu.

Bukan hanya di masa pandemi ini saja, dari dulu setiap ada kasus yang ramai dibicarakan, setiap media berlomba memberitakannya. Bisa puluhan artikel terbit yang bedanya hanya 2 kalimat, yaitu kalimat judul dan kalimat penutup. Memang, media online berbeda dengan media cetak. Untuk tampil di media cetak, sebuah artikel pasti ada batas minimum jumlah kalimat, tapi untuk tampil di media online sepertinya berita berupa foto dengan keterangan foto saja sudah cukup untuk dilengkapi kemudian.

Kemampuan baca generasi online juga kabarnya tidak sama dengan kemampuan baca generasi offline. Jadi kalau melihat artikel dengan tulisan semua tanpa gambar, sudah hampir dipastikan banyak orang akan melewatkan beritanya dan hanya baca judul dan paragraph pertama saja.

Satu hal yang saya tidak suka dari artikel berita masa kini adalah, kadang-kadang jurnalis online mengutip beberapa tulisan dari media pribadi (blog, twitter, bahkan komen instagram) dan menuliskannya seolah-olah dia mewawancarai orang yang bersangkutan.

Ya memang secara tidak langsung, mereka memberi kredit terhadap penulisnya, tapi kenapa harus menuliskannya dengan gaya bahasa: menurut informasi yang kami peroleh dari mr. X , bla bla bla. Padahal ya sebut saja menurut blog si mr.X pendapatnya begini loh…. Penulisan seolah-olah ditanya langsung, padahal minta ijin mengutip tulisan aja kadang-kadang tidak dilakukan. Entahlah, apakah hal tersebut tidak diatur dalam kode etik jurnalisme ?

Menulis blog saja buat saya ga gampang. Kadang-kadang saya harus berpikir untuk menuliskan tanpa membuat orang lain tersinggung. Hal lain yang perlu dipikirkan juga bagaimana membuat tulisan yang ada gunanya. Kalau tulisannya tidak berguna, sudah saja tulisannya simpan jadi diary.

Menulis di media online itu harus ada filternya. Misalnya di jaman pandemi, kita gak bisa serta merta mengomentari setiap berita yang kita baca dan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan. Belakangan ini, selain mendapatkan tulisan yang menyejukkan hati ketika dibaca, banyak juga terusan video yang mengajak untuk mempermalukan orang-orang hanya karena pendapat mereka berbeda di awal maraknya Covid-19 dan setelah diresmikan jadi status pandemi.

Hal lain yang juga mengesalkan dari tulisan di media online, bahkan media berita yang sudah punya nama terkadang nulis berita itu sering menggunakan istilah yang salah. Padahal dengan menggunakan istilah yang salah, malah bikin beritanya jadi tambah ngawur.

Salah satu kata yang paling sering digunakan di masa pandemi ini adalah: lockdown. Media berlomba memberi list negara yang di lockdown. Waktu saya membaca kalau Thailand termasuk dalam negara yang lockdown, saya mengernyitkan kening karena sebagai yang tinggal di Thailand, saya tahu sampai saat inipun Thailand belum lockdown. Banyak aturan diberlakukan yang bisa ditambahkan setiap saat, tapi tidak ada lockdown di Thailand. Mau berbelanja keluar rumah gak perlu pakai ijin, cuma perlu pakai masker!

Ah ujung-ujungnya tulisan ini jadi ngomongin covid-19 related lagi deh. Padahal tadinya mau nulis secara general hehehehe. Intinya, menulis itu ga selalu gampang, tapi kalau udah nulis ya tuliskan hal yang berguna, bisa dipertanggungjawabkan dan jelas sumbernya. Bahkan menuliskan fiksi aja bisa jadi perkara kalau terlalu ada kesamaan fakta dan nama.

16 tahun Ngeblog bareng Joe

Hari ini, 16 tahun yang lalu, kami posting pertama kali di blog ini. Kadang-kadang hampir gak percaya, bisa bertahan ngeblog selama ini. Eh tapi kok belum jadi-jadi juga nih bikin buku? Selamanya blogger nih judulnya? Hehehe.

tulisan pertama saya di blog ini

Seperti biasa, namanya kalau lagi ulang tahun sesuatu, ada kecendurang kilas balik dan melihat-lihat tulisan lama. Jadi teringat lagi, kenapa dulu pilih nama domain compactbyte dan kenapa milih judul blog Amazing Grace.

Lanjutkan membaca “16 tahun Ngeblog bareng Joe”

Tambah Irit Selama di Rumah Saja

Berbeda dengan cerita teman-teman yang mengeluhkan pengeluaran tambah banyak selama di rumah saja terutama untuk cemilan, saya merasa selama di rumah saja 3 minggu ini pengeluaran tambah irit. Kenapa begitu?

Karena kami keluarga homeschool, pada dasarnya anak-anak ya belajar di rumah saja. Kalaupun ada keluar itu biasanya untuk kegiatan tambahan seperti kelas art, kelas taekwondo, kelas musik dan kelas bahasa Thai. Nah sejak di rumah saja, semua kelas itu juga diliburkan, otomatis biaya kursus yang dibayarkan dihitung untuk pembayaran bulan berikutnya. Jadi pengeluaran untuk biaya kursus berkurang.

Biasanya, antar jemput anak pasti butuh isi bensin paling tidak 2 kali sebulan. Nah sejak di rumah saja, bensin belum diisi sama sekali. Kebetulan memang isi bensin sebelum himbauan dirumahkan ini. Joe masih kerja, tapi ke kantor jalan kaki doang jadi ga kepake tuh bensin. Terus kalaupun harus isi bensin, harga bensin sekarang lagi murah hehehe.

Di tempat kegiatan kursus anak itu biasanya banyak godaan jajanan. Kalau bukan anaknya, ya emaknya atau bapaknya suka tergoda beli cemilan waktu di luar. Dengan semuanya di rumah saja begini, cemilan jadi lebih terkendali dan karena sudah biasa di rumah saja, selera nyemil kami tidak jadi berubah drastis. Biasanya kalaupun di rumah udah bikin kopi, pas antar anak-anak les itu ada godaan buat beli kopi es lagi dan kadang-kadang beli kue-kue juga hehehe.

Sebelum himbauan di rumah saja, walaupun ada polusi, ada juga sih sesekali kalau udara tidak terlalu jelek kami pergi ke mall di akhir pekan. Kalau pergi ke mall, tau sendirikan, bukan cuma buat makan saja, kadang-kadang suka jadi sekalian beli ini beli itu. Godaan di mall itu banyak hehehe, belum kalau anak-anak liat mainan dan pasang tampang memelas pengen dibeliin.

Untuk makanan, karena di rumah saja, otomatis belanjaan lebih direncanakan untuk seminggu supaya gak sering-sering keluar. Dan tentu saja makan di rumah itu lebih irit daripada makan di restoran.

Pengeluaran yang paling terasa selama di rumah saja itu ya untuk listrik dan air. Karena udara panas luar biasa dan juga polusi udara, otomatis nyalain AC dan filter udara yang menggunakan tenaga listrik. AC sih gak selalu nyala 24 jam, tapi filter udara tidak bisa ditawar, hampir 24 jam menyala. Kalau air bertambah bayarnya selain untuk menyiram tanaman dan halaman, juga karena anak-anak dikasih main air di kamar mandi. Kasian gak kemana-mana, jadi ya udah main air aja di kamar mandi hehehehe.

Gimana dengan belanja online? katanya kan selama di rumah saja, malahan jadi tambah banyak belanja online? Kalau untuk soal ini, dari dulu saya tidak suka belanja online. Kalaupun ada yang kami beli online selama masa di rumah saja ini, ya memang karena dibutuhkan, bukan karena bosan ga ada kerjaan terus ya browsing barang-barang belanja gitu.

Sekarang ini mall di Thailand hanya boleh buka bagian makanan dan kebutuhan pokok. Yang namanya barang-barang non makanan itu semua wajib tutup. Jadi kalau ada butuh sesuatu yang non makanan, tidak ada pilihan lain kecuali beli online.

Kalau kalian selama di rumah saja jadi tambah boros atau tambah irit? Kira-kira paling boros di bagian mana?

Update Chiang Mai: Kebakaran Hutan, Polusi dan Seputar Corona

Sampai hari ini, masalah polusi yang sudah mulai sejak awal 2020 masih berlangsung di Chiang Mai, bahkan beberapa hari belakangan ini semakin parah dengan adanya kebakaran hutan di seputar utara Thailand.

Sebenarnya saya sudah malas untuk menuliskan kondisi saat ini, mulai bosan nulis masalah polusi sejak awal tahun. Bersyukur masih bisa di rumah saja dan pasang filter untuk mengamankan diri dari polusi udara. Tapi kalau tidak dituliskan, saya tidak bisa ingat kondisi tahun ini seperti apa.

Sejak pertengahan Maret, sudah banyak kejadian kebakaran hutan di sekitar Chiang Mai, sudah hampir 2 minggu ini ada kebakaran yang cukup besar dan memakan korban jiwa dari pihak pemadam kebakaran.

Awalnya, polusi itu karena membakar sisa panen. Lalu ada juga membakar hutan untuk menumbuhkan jamur yang harganya mahal. Belakangan ini kemungkinan kebakaran karena rumput kering dan musim panas yang berkepanjangan. Hasilnya tetap sama, polusi udara setiap hari dalam batas tidak sehat sampai hazardous.

Lanjutkan membaca “Update Chiang Mai: Kebakaran Hutan, Polusi dan Seputar Corona”