Besok Jonathan akan berusia sebulan, artinya sudah sebulan yang lalu saya melahirkan Jonathan dan banyak hal selama sebulan ini yang membuat saya menunda-nunda menuliskan cerita kelahiran Jonathan dan kenapa akhinya diputuskan Caesar. Satu hal yang membuat saya menunda-nunda selain belum menemukan ritme yang menyempatkan duduk dengan tenang di depan komputer adalah pusarnya Jonathan belum puput juga. Hari ini tepatnya tadi pagi akhirnya pusar Jonathan puput juga.
Contents
Tanda awal kelahiran
Hari Minggu , 7 November 2010 sekitar jam 7 malam, saya mendapati ada flek. Usia kehamilan saya saat itu masih 39 minggu dan perkiraaan kelahiran seharusnya masih seminggu lagi (tanggal 15 November). Tidak ada rasa mules ataupun kontraksi. Saya dan Joe agak ‘panik’ tapi berusaha tetap tenang. Satu-satunya alasan kami agak kuatir adalah, hasil cek terakhir (seminggu sebelumnya) bayinya belum masuk ke jalan lahir, kami kuatir kalau ketuban pecah dan bayi belum masuk jalan lahir (dimana bayi kami terlilit tali pusar 2 kali) nantinya bayinya akan sulit bernapas karena gaya gravitasi menyebabkan tali pusarnya melilit bayi lebih kencang. Setelah menelpon dokter (yang malam itu bilang akan keluar kota), lalu google kami simpulkan kalau flek itu tidak disertai ketuban pecah. Menurut hasil pencarian ketuban itu sangat sulit pecah, kebanyakan orang (90%) ketuban dipecahkan oleh dokter dan film2 yang menggambarkan tanda awal kelahiran adalah ketuban pecah itu adalah sekedar film yang melebih-lebihkan.
Setelah merasa agak tenang, kami memutuskan tidak usah buru-buru ke rumah sakit malam itu juga. Tapi malam itu saya menyiapkan barang-barang yg masih mau dibawa ke rumah sakit mumpung masih bisa bergerak dengan leluasa (sebagian sudah disiapkan di mobil). Malam harinya ketika bersiap tidur barulah saya mulai merasa mules. Tapi saya pikir mules itu timbul karena perasaan ‘tegang’ menyambut hari esok karena tanda-tanda kelahiran sudah ada. Saya mencoba menghitung jarak kontraksi, masih sangat tidak teratur dan hasilnya malam itu saya tidur sangat sedikit.
Ke Rumah Sakit
Keesokan paginya, Joe dan saya masih maju mundur antara pergi atau tidak ke rumah sakit. Awalnya sempat terpikir Joe tetap kerja saja seperti biasa dan saya di rumah (kebetulan saya memanggil tukang bersih-bersih rumah untuk datang). Akan tetapi ketika saya cerita saya sudah merasa mules, akhirnya kami putuskan untuk mencoba mengecek ke rumah sakit (dan mungkin akan pulang lagi kalau memang belum waktunya). Di luar dugaan, ketika sampai di rumah sakit (sekitar jam 9) dan diperiksa, bayi sudah dalam jalan lahir daaaan saya sudah bukaan 4 (padahal saya masih bisa nyengir dan ketawa-tawa).
Akhirnya Joe ga jadi kerja dan menemani saya di rumah sakit, dokter obgyn yang biasa memeriksa saya datang sekitar jam 10 kurang, daaan dia akan keluar kota sampai jam 5 sore. Sempat agak kuatir klo bayinya ga sabar nunggu dokter, tapi ternyataaa waktu dokternya datang sore hari bukaannya ga nambah sama sekali. Dokter mengajukan alternatif: ketuban di pecah (memulai induksi) atau menunggu besok pagi. Kami memutuskan menunggu besok pagi.
Hari Kelahiran Jonathan
Selama di rumah sakit, setiap jamnya saya diperiksa jarak kontraksi, tensi, suhu tubuh dan detak jantung bayi. Sampai dengan jam 11 pagi, semuanya normal saja, yang mengecewakan kenapa kontraksinya belum teratur juga. Sudah dicoba berbagai cara untuk menambah bukaan, tapi sepertinya gak ada kemajuan. Karena penasaran, saya meminta diperiksa lagi sudah sampai bukaan berapa. Ternyata segala usaha yang dilakukan baru sampe ke bukaan 5 *higs*.
Jam 12 kurang Joe pergi beli makan siang, tiba-tiba saya merasa menggigil dan sulit bergerak. Waktu Joe tiba segera saya minta panggilkan suster untuk ukur suhu tubuh saya daan ternyata saya demam. Suster periksa detak jantung bayipun meningkat. Suster segera pasang selang oksigen untuk membantu pernapasan. Tak lama kemudian dokter datang dan memberi opsi: pecah ketubah harus segera dilakukan.
Hal yang diluar dugaan terjadi, ketika ketuban dipecahkan ternyata air ketubannya sudah kering. Sampai sekarang saya tidak tahu kapan ketuban saya pecah, kemungkinan ketubannya rembes. Saya segera diinduksi dan diberikan antibiotik karena dikuatirkan terjadi infeksi yang mempengaruhi bayi. Setelah 2 jam sejak proses induksi rasa sakitnya kontraksi mulai menghebat, akan tetapi jaraknya tetap belum teratur walaupun rata-rata antara 2 – 3 menit. Demam saya juga tak kunjung turun sampai saya diberikan parasetamol. Dan bukaan juga tidak maju-maju. Detak jantung bayi juga tetap tinggi.
Sekitar jam 3 sore, dokter visit lagi dan memberikan pilihan tetap menunggu atau bagaimana. Karena beberapa hal yang mulai terasa mengkhawatirkan mulai dari: bayi terlilit tali pusar, ketuban sudah pecah entah sejak kapan tidak diketahui, demam saya yang tak kunjung turun yang dikhawatirkan mempengaruhi bayi, dan detak jantung bayi yang meningkat selain rasa sakit kontraksi yang saya tidak tahu masih sanggup saya tahan atau tidak, akhirnya saya menyerah untuk menunggu melahirkan normal dan minta untuk dilakukan operasi caesar segera dengan bius lokal. Kami sudah menunggu kehadiran Jonathan sekitar 3 tahun lebih, rasanya kuatir juga kalau sampai kenapa-napa demi idealisme melahirkan normal — yang sepertinya rasa sakitnya dan proses pemulihannya belum tentu lebih cepat dari pemulihan caesar. Huh rasanya waktu itu sangat ‘tegang’. Dalam kondisi demam masih harus menterjemahkan bahasa thai pula ke Joe :P.
Untungnya di negeri yang mayoritas beragama Buddha ini, kami bertemu dengan dokter yang kebetulan beragama Kristen. Beliau memimpin doa bersama dengan kami berdua sebelum operasi dilakukan.
Untungnya dokter dan tim suster bergerak cepat, saya ga menunggu lama dan Jonathan segera bisa dilahirkan dengan selamat. Kami juga tidak perlu mengurus proses administrasi apapun, karena sudah diurus oleh rumah sakit.
Pasca Operasi
Orang-orang bilang melahirkan caesar itu lebih tidak menyakitkan dibanding melahirkan normal, kata saya (yang sempat ngalamin sakitnya kontraksi) pasca operasi tetep aja sakitlah. No pain no gain :P. Sepertinya juga kalau dari cerita-cerita tentang melahirkan normal, kayaknya siksaan pasca melahirkannya tetep aja sakitlah.
Setelah operasi saya dikembalikan ke ruang pemulihan sebentar lalu diantar ke ruang pasca persalinan sementara Jonathan dibawa ke nursery. Joe sibuk mundar mandir antara ruang rawat saya dan ruang rawat Jonathan. Saya mengalami gatal-gatal hebat sebagai efek samping dari anestesi. Muka saya sempat luka-luka akibat saya gak bisa menahan untuk tidak menggaruk (padahal sudah diberikan obat untuk mengurangi efek anestesinya tapi ga ngaruh). Malam itu cukup tenang buat saya dan Joe karena Jonathan masih di Nursery dan belum di bawa ke kamar.
Breastfeeding
Keesokan pagi, setelah kunjungan dokter kateter saya dilepas dan saya sudah mulai berlatih berjalan. Untuk bangun dari tempat tidur ternyata tidak mudah, berjalan juga masih tertatih tatih. Sakit di bagian jahitan tidak seberapa dibanding kontraksi tapi tetep saja perasaan limbung untuk bisa berjalan biasa. Siang itu Jonathan di bawa ke ruangan. Saya langsung mencoba menyusui walaupun blum ada susu yang keluar. Dengan bantuan suster saya mencoba menyusui Jonathan, ternyata menyusui itu ga gampang ya, saya pikir menyusui itu bisa dilakukan semua ibu baru secara otomatis :p . Suster rumah sakit selain membantu tapi juga cukup “kejam”, usaha menyusui Jonathan disertai dengan tarikan-tarikan di puting *hiks sakit*.
Seperti halnya kebanyakan ibu baru, asi tidak langsung keluar (walaupun ada yang sudah keluar kolostrum selama hamil tua). Jonathan yang masih menerima suntikan antibiotik (antisipasi terkena infeksi dari saya) mengalami dehidrasi dan harus diberi susu formula menggunakan cup feeder. Saya dan Joe tidak anti susu formula dan mengerti alasan pemberian susu formula untuk menambah kekurangan asi (malahan kurang setuju dengan ibu-ibu yang kekeuh harus asi dan ga mau terima alasan pemberian formula dalam keadaan darurat – yang mana bisa berakibat buruk buat anak). Jujur ada kekuatiran asi saya tidak lancar, tapi saya tetap berusaha untuk tetap gembira apalagi mama saya akan segera tiba di Chiang mai dan Jonathan keliatannya baik-baik saja dan tidak rewel *yay*. Usaha-usaha untuk memperlancar asi yang dilakukan hanya mengompres dengan biji kacang hijau yang dipanaskan. Saya dipinjemin sama rumah sakitnya kompresnya. Biji kacang hijau ini disusun sedemikian rupa dalam kain yang bisa dikenakan seperti bra, dan bisa dipanaskan dengan microwave sebelum dipakai (dalam ruangan inap kami tersedia microwave).
Seiring dengan datangnya mama saya ke Chiang mai dengan makanan enak-enak, asi buat Jonathan pun mulai banyak, padahal saya tidak mengkonsumsi suplemen ataupun daun katuk atau daun-daunan yang biasanya disarankan untuk memboost produksi asi. Malahan saya sempat mengalami pembengkakan gara-gara telat ngasih minum Jonathan. Sebelum pulang dari rumah sakit berat badan Jonathan mulai mengalami grafik naik dan 7 hari sejak lahir berat badannya sudah melewati berat badan ketika lahir, padahal sejak pulang dari rumah sakit Jonathan minumnya full asi (di rumah malah ga punya susu formula 😛 ) kuncinya cuma: tetap happy, cukup istirahat dan makan sayur, buah, ikan dan sop setiap hari *thanks to my mom*.
Proses menyusui tidak semulus tertulis disini. Beberapa hari pertama selalu dibutuhkan orang lain untuk membantu saya menyusui Jonathan, selain itu Jonathan suka pilih-pilih tebu (cuma mau nyusu di satu dada aja). Proses pelekatan dan cara memegang Jonathan pun menjadi pembelajaran tersendiri buat saya. Kesimpulan saya tetap: menyusui itu tak semudah teori, walaupun banyak orang bilang begini begitu atau website yang menggambarkan semuanya dengan jelas ataupun konselor laktasi yang membantu secara langsung, akhirnya yang diperlukan adalah latihan, latihan dan latihan. Proses menyusui itu proses antara ibu dan anak, dan pembelajaran bersama. Puji Tuhan sekarang bisa dibilang proses pembelajaran antara saya dan Jonathan sudah semakin baik.
Masalah dengan Jahitan Caesar
Satu faktor yang mempersulit proses menyusui adalah rasa sakit bekas jahitan. Apalagi beberapa hari setelah perban waterproof dibuka, ternyata jahitan saya sebagian tidak tertutup baik dan seperti luka bakar dan merah. Untungnya dalam waktu sekitar 10 hari luka itu bisa kembali menutup. Dokter bilang ada benang jahit yang tidak larut dalam tubuh saya dan menjadi benda asing (ditolak tubuh saya). Rasa sakit dan kuatir luka itu lama sembuhnya membuat proses menyusui harus dilakukan dengan hati-hati. Untungnya mama saya yang dulunya perawat bisa membersihkan dan mengganti perban setiap harinya sehingga proses penyembuhannya berjalan baik.
Puput Pusar Jonathan
Hari – hari berlalu dengan cepat. Setiap hari rutinnya ya begitu-begitu saja, tau-tau hari sudah berganti dan sebulan sudah umur Jonathan. Masih sulit untuk membiasakan diri dengan ritme yang baru, apalagi di awal-awal jam minum susu Jonathan masih sangat tidak teratur. Tapi sekarang sepertinya ritmenya sudah mulai terlihat jelas dan malam hari hanya perlu sekali bangun dan setelah itu subuh (bagusnya jadi bisa bangun pagi deh 😛 ).
Satu hal yang ditunggu-tunggu sejak beberapa minggu lalu adalah puput pusar (lepasnya tali pusar) Jonathan. Semuanya terlihat baik-baik saja, tidak ada infeksi, tidak merah dan cukup kering, tapi saya juga tidak mengerti kenapa butuh waktu 4 minggu untuk pusar itu lepas. Tapi berdasarkan pencarian di google, walaupun rata-rata puput pusar itu kurang dari 2 minggu, tetapi sampai dengan 6 minggu dinyatakan masih normal jadi kami masih tetap menunggu-nunggu. Dan hari ini akhirnya Jonathan puput pusar *horaay*. Selamat ulang bulan Jonathan sayang mwah mwah.
Foto-foto lebih banyak bisa di lihat di Google Photos kami (tadinya di flickr, sudah dipindah)
Bu,,,,, baru lahiran ya???
metlamet ya Bu.. kapan dibawa pulang ke bandung??
ini anna, yang dulu ngulang alpro gitu?? hahahahaha.