Posting ini hanya sekedar sudut pandang saya dan pengalaman saya menjadi ayah bagi Jonathan. Pengalaman ini mungkin akan sangat berbeda dari cerita orang lain, dan bahkan akan berbeda lagi ketika kami memiliki anak lagi.
Dulu saya nggak kebayang, jadi ayah itu akan seperti apa sih? apakah nanti saya akan bisa kuat bangun malam-malam menggendong bayi ketika dia menangis, apakah saya akan bisa membantu mengganti popoknya, apakah saya nanti bisa menjadi ayah yang baik? bagaimana rasanya ada anak kecil setiap hari di sekitar kita? Waktu itu kami tidak punya pembantu, dan sampai saat ini kami hidup jauh dari keluarga.
Ternyata sulit menjawab semua itu, perasaan menjadi seorang ayah itu bercampur aduk, dan fasenya selalu berubah, dari senang, khawatir, sedih, capek. Tapi semuanya bisa dirangkum: menjadi ayah membuat saya bahagia dan membantu saya berusaha menjadi pria yang lebih baik lagi.
Saya akan menceritakan kronologi pengalaman menjadi ayah, dari mulai ketika Jonathan lahir (titik mulai menjadi seorang ayah). Waktu kelahiran Jonathan, saya sendiri di rumah sakit (mamanya Risna belum datang, tertunda karena adiknya meninggal). Mungkin sebagian mendeskripsikan kelahiran seorang anak sebagai suatu saat yang penuh kebahagian, tapi mungkin gambaran itu kurang tepat.
Saya merasa gembira, merasa bahagia, tapi juga merasa khawatir. Kelahiran Jonathan dilakukan dengan operasi caesar karena Risna mengalami demam, dan denyut jantung Jonathan dalam rahim Risna melebihi normal. Ketika lahir, muncul banyak pertanyaan: apakah Jonathan baik-baik saja? apakah Risna baik-baik saja?. Tapi saya tidak bisa khawatir terlalu lama, saya harus segera meninggalkan Risna di ruang operasi dan menyusul Jonathan untuk masuk ke ruang observasi di lantai atas. Di muka jonathan ada bercak warna hitam di wajahnya, saya langsung bertanya ke suster: apakah itu bakal hilang? (jawabnya: iya, itu namanya mongolian spot, yang di wajah akan segera hilang, yang di kaki dan punggung butuh waktu, bisa sampai bertahun-tahun sebelum hilang).
Setelah semua peralatan observasi dipasang di tubuh Jonathan, saya belum bisa melihat kelucuan bayi kami yang baru lahir itu. Saya segera mengambil beberapa foto (selain untuk mengabadikan moment, ada kekhawatiran kalo bayinya tertukar atau hilang, jadi fotonya harus cukup untuk membedakan Jonathan dari bayi lain). Setelah memastikan semua baik-baik saja, saya harus turun lagi, memastikan Risna baik-baik saja.
Sebelum proses kelahiran, kami sudah mengikuti birthing class, sudah membaca banyak buku untuk mempersiapkan diri, dan meskipun sudah merasa siap, rasa khawatir tetap ada. Saran saya: ikuti birthing class, meski tidak bisa menghilangkan 100 persen kekhawatiran, tapi itu membuat saya jauh lebih siap.
Malam pertama, Jonathan di ruang observasi, dan keesokan harinya saya boleh mulai mengunjungi dan melihat Jonathan. Salah satu suster senior yang bisa berbahasa inggris langsung menyarankan saya untuk memeluk Jonathan. Diapun segera mengangkat Jonathan menempelkannya di atas dada saya (saya dalam posisi duduk) Waktu itu saya merasa takut sekali. Saya merasa bayi yang baru lahir pastilah sangat rapuh, saya takut memegang terlalu keras, takut salah memegang, takut dia jatuh, tapi juga merasa senang sekali. Setelah keluar dari ruang observasi dan dibalut dengan kain, saya baru bisa melihat kelucuan anak kami.
Berbagai rasa takut dan khawatir ini banyak sekali muncul di usia awal Jonathan. Tapi kemudian saya semakin percaya diri. Menggendong bayi itu ternyata tidak sulit, mengganti popok itu ternyata sangat mudah, memandikan Jonathan lebih sulit (jadi sampai sekitar 6 bulan, mertua dan Risna yang memandikan Jonathan), tapi kemudian Jonathan senang mandi dan main air dengan saya.
Jumlah kekhawatiran terus berkurang tapi tetap saja ada, dan kekhawatirannya berbeda di setiap tahap pertumbuhannya. Misalnya: kapan ini jonathan puput pusarnya? Kok Jonathan belum bisa jalan ya usia segini? kapan dia akan bisa disapih? dan seterusnya.
Tapi semua kekhawatiran itu tidak bisa menutupi rasa bahagia yang saya rasakan. Kebahagiaan yang saya rasakan itu melebihi dari semua rasa capek dan khawatir yang saya rasakan.
Saya beruntung karena memiliki istri yang sangat rajin membaca berbagai macam hal yang berhubungan dengan kehamilan, dan setelah itu mengenai membesarkan anak. Supaya kami bisa berdiskusi, saya pun berusaha mengikuti sebagian besar yang dibaca Risna. Ada begitu banyak hal yang perlu dipelajari mengenai membesarkan anak. Dari mulai soal makanan, soal pola tidur, soal memilih mainan, soal kebiasaan anak, separation anxiety. Soal kesehatan anak: berbagai jenis penyakit, berbagai jenis dan jadwal vaksin, bahkan mengenai tekstur dan warna pupnya. Soal pertumbuhan anak: berapa berat yang normal, berapa lingkar kepala dan tinggi badan yang normal, apa kemampuan yang harus dimiliki di setiap titik usia. Berapa banyak kata yang harus diucapkan di usianya bulan ini.
Sebagian orang tua tidak terlalu peduli dengan hal-hal itu: ah nanti mereka akan tumbuh normal, nggak usah khawatir, dan biar dokter yang menjadwalkan semua vaksinasi. Mungkin mereka tinggal dengan mertua atau orang lain yang berpengalaman merawat bayi, tapi Jonathan adalah anak pertama kami, dan kami tinggal berdua saja (sampai sekitar 8 bulan baru kami memiliki pembantu yang datang dua kali seminggu).
Tidak semua hal membuat bahagia, sebagian besar orang tua pasti pernah mengalami rasa kesal pada anak karena tangisan ataupun rengekannya. Saya pun pernah mengalaminya. Saya percaya bahwa Jonathan adalah anak yang baik, dan bahwa ketika dia menangis, dia bukan nangis manja atau mengada-ada, tapi karena sesuatu yang kurang nyaman. Kalau saya merasa kesal, saya akan berusaha menggunakan logika saya. Dibanding saya, Risna kurang sabar dalam berbagai hal, dan sebenarnya sayapun sering tidak sabar, tapi jika kami berdua sama-sama tidak sabar, kasihan Jonathan.
Hidup berdua — tanpa pembantu dan keluarga lain yang available di malam hari — sangat melatih kesabaran kami. Jika Jonathan menangis, kami akan gantian menggendong Jonathan, tergantung siapa yang masih kuat bangun. Melihat ke belakang, kami beruntung karena Jonathan termasuk anak yang baik dan tidak terlalu sering menangis, kecuali sedang kurang sehat.
Sebagian orang sudah punya empati yang kuat terhadap sesama (atau bahkan mahluk lain) dari sejak kecil, mereka bisa merasakan kesedihan dan kegembiraan orang dengan mudah, tapi saya termasuk yang empatinya kurang. Ketika Jonathan pertama kali sakit demam, saya merasa sangat sedih, saya bisa mengingat dan merasakan kembali seperti apa rasanya ketika saya demam. Secara umum, empati saya makin bertambah, bukan sekedar merasakan apa yang dirasakan Jonathan, tapi juga jika membaca atau mendengar berita sedih maupun gembira.
Sayapun lebih memperhatikan sekitar dengan lebih seksama. Saya pun berkonsentrasi agar lidah lebih sensitif, supaya tahu bahwa suatu makanan akan terasa pedas atau tidak bagi Jonathan (ternyata banyak sekali makanan pedas yang tidak lagi terpikirkan oleh saya). Setiap lirik lagu saya perhatikan supaya tahu apakah liriknya baik bagi Jonathan, setiap film saya perhatikan apakah dialognya baik bagi Jonathan (dan apakah kata-kata yang digunakan terlalu rumit).
Saya senang sekali menggendong Jonathan. Sebagian orang bilang: anak nggak usah banyak-banyak digendong, nanti jadi manja dan mau digendong terus. Menurut saya: tidak selamanya saya akan bisa menggendong Jonathan karena dia akan bertambah besar, dan saya akan bertambah tua, dan tidak sepanjang hari saya ketemu Jonathan (karena harus bekerja), jadi ketika masih ada kesempatan saya ingin menggendongnya.
Saya termasuk beruntung karena saya masuk kerja pukul 8.30 pagi, saya sempat bermain dengan Jonathan di pagi hari. Siang hari saya bisa pulang ke rumah untuk makan siang, dan malam hari saya masih sempat bermain dengan Jonathan sampai jam tidurnya. Banyak orang tua yang tidak punya waktu untuk bertemu anaknya, karena harus bekerja untuk uang demi membesarkan anak mereka.
Waktu saya kecil dulu, nenek saya banyak mendendangkan lagu-lagu dan pantun Jawa, tapi saya tidak bisa nyanyi (suaranya jelek, dan buta nada) dan tidak hapal berbagai lagu Jawa, bahkan lagu anak-anak dalam bahasa Indonesia pun saya hanya tahu beberapa (maklum, tidak pernah TK, dan baru mengenal bahasa Indonesia waktu saya 6 tahun). Beberapa tahun yang lalu, saya membaca cerita Laurie Klein, pembuat lagu “I Love You Lord”, potongan ceritanya begini:
Laurie remembers one such moment: “In the fall of 2000, while my husband and I were in Discipleship Training School at Youth With a Mission in Lakeside, Montana, late one night in the dormitory I heard a baby crying. It was the baby of one of the young families attending the school. I slipped down the hall to pray for the baby, that it would be able to sleep. As I was praying outside the door, I heard the mother start singing ‘I Love You, Lord,’ and the baby fell asleep. The mother had no idea that I was outside the door or that I was the one who wrote the song.”
Cerita itu dari sudut pandang Laurie. Saya melihat cerita itu dari sudut pandang ibu sang bayi: dia meninabobokan anaknya dengan lagu rohani. Waktu saya baca cerita itu, saya berpikir: kalau nanti saya punya anak, akan saya ninabobokan dengan lagu rohani.
Dan itu saya lakukan pada Jonathan. Dengan kemampuan nyanyi saya yang pas-pasan, Jonathan bisa tidur kalau dinyanyikan lagu rohani. Lama-lama dia punya lagi favorit: “Bapa Surgawi”, dan kadang-kadang dia minta lagu: “Tuhan inilah hidupku”. Kalau dia sedang sakit, dia akan minta digendong dan minta dinyanyikan lagu “Bapa Surgawi”.
Bapa Surgawi
Bapa Surgawi Ajarku Mengenal
Betapa Dalamnya Kasih-Mu
Bapa Surgawi Buatku Mengerti
Betapa Kasih-Mu PadakuReff :
Semua Yang Terjadi Di Dalam Hidupku
Ajarku Menyadari Kau S’lalu Sertaku
B’ri Hatiku S’lalu Bersyukur Pada-Mu
Kar’na Rencana-Mu Indah Bagiku
Bukan jaminan bahwa dengan kesukaannya pada lagu ini akan menjamin hidup rohaninya di masa depan. Tapi setidaknya sebagi orang tua, kami telah berusaha.
Memiliki anak juga mengubah banyak hal: bagimana mengatur waktu supaya saya tetap bisa berkarya dan bermain bersama Jonathan setiap hari, bagaimana mengatur prioritas keuangan, bahkan mengubah makanan yang kami makan supaya cocok dengan Jonathan. Sekarang kami jadi jarang makan pedas, dan jika salah satu dari kami makan pedas, yang lain tidak, supaya nanti kalau Jonathan perlu bantuan (tersedak atau jika ada sesuatu di mulutnya yang perlu dikeluarkan, atau dia perlu minta disuapi dengan tangan), salah satu tetap bisa membantu.
Menjadi seorang ayah juga mempengaruhi hubungan suami istri. Ada seseorang yang pernah mengatakan: kehadiran anak akan membuat hubungan suami istri yang baik menjadi semakin baik, dan yang buruk menjadi semakin buruk. Jarang ada hubungan yang buruk menjadi baik setelah kelahiran seorang anak. Dengan adanya anak, kami jadi lebih banyak berbagi tanggung jawab, kami juga semakin memperhatikan kelakuan kami supaya lebih baik, karena apa yang kami lakukan akan ditiru oleh Jonathan.
Perjalanan sebagai ayah masih sangat panjang. Semua yang saya tuliskan di sini hanya sekedar sebagai pengingat masa-masa ini, supaya nanti bisa dibaca lagi di masa depan. Saya yakin pengalaman-pengalaman yang ada akan semakin beragam seiring dengan bertambahnya usia Jonathan (dan semoga kami segera dikaruniai adik bagi Jonathan).