Banyak orang yang terheran-heran kenapa saya tiba-tiba rajin merajut dan menjahit. Mereka yang pada umumnya mengenal saya sebagai orang yang tidak pernah peduli dengan hal-hal lain selain buku pelajaran. Ada lagi yang mengenal saya sebagai seorang lulusan s1 dan s2 itb. Rasanya sejak kecil saya lebih berprestasi dalam bidang akademis daripada menunjukkan bakat dalam bidang keterampilan.
Oh ya sebenarnya saya tidak terlalu suka menuliskan terlalu detail dengan kehidupan saya di Internet. Saya lebih suka kalau orang melihat hal-hal yang menyenangkan yang terjadi pada saya daripada saya berbagi hal menyedihkan. Buat saya, setiap orang punya masalah masing-masing, saya tak ingin menambah masalah orang lain. Ya memang sih bercerita tentang masalah bisa membuat lega, tapi untuk bercerita tentang masalah saya pilih bicara kepada sahabat-sahabat saya dari hati ke hati.
Tapi kemudian, cukup banyak teman saya yang terlalu cepat menarik kesimpulan dari apa yang saya tulis saja tanpa mengenal atau bertanya secara langsung. Mereka yang mengetahui saya lulus s2 tapi ikut suami ke Thailand lalu sering menuliskan update tentang hobi saya bisa saja menyimpulkan saya melepaskan semuanya untuk ikut suami.
Ya..berapa banyak sih wanita yang ikut suami ke luar negeri punya kesempatan untuk bekerja juga atau sekolah juga? Berapa banyak perusahaan di luar negeri menerima ijasah lulusan Indonesia? Berapa banyak wanita yang sudah memiliki anak harus berhenti bekerja karena satu dan lain hal?. Berapa banyak orang yang bekerja sesuai pendidikannya?. Berapa banyak pasangan yang memiliki pendidikan yang sama sehingga istri bisa mendapat kesempatan ikut kerja di tempat suami kerja?. Saya ga tau statistik dari jawaban semua pertanyaan itu, tapi secara logika kesempatan saya untuk bekerja saat ini kecil. Apalagi negeri ini bukan menggunakan bahasa Inggris. Mau melamar jadi pengajar bahasa Inggris saya tidak kualified dibandingkan dengan native speaker yang sangat banyak jumlahnya di kota ini. Mau mengajar mata pelajaran komputer, mahasiswa di negeri ini bahasa Inggrisnya ga lebih baik dengan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa di Indonesia. Mau ngasih privat bahasa Indonesia kepada orang asing sepertinya bahasa Indonesia tidak sepopuler itu. Mau apa dong jadinya?.
Di masa awal tiba di kota ini, saya tidak langsung bekerja. Saya tau ini risiko saya ikut suami, tapi saya memang memilih ikut dengan suami yang mana saat itu usia pernikahan kami baru beberapa bulan. Ya buat saya, bersama-sama dengan suami lebih penting dari apa yg disebut karir. Bisa saja saya memilih tetap tinggal di Indonesia untuk mengejar karir, tapi untuk apa? uang? gengsi? masa depan? Saya tidak merasa uang itu lebih penting dari keluarga. Saya yakin suami saya bisa mencukupi kami berdua. Gengsi? saya bukan orang yang terlalu peduli dengan gengsi. Masa depan? saya tidak melihat masa depan lebih cerah kalau kami terpisah jauh dan kemungkinan akan sering menyebabkan pertengkaran dan hal-hal tak baik lainnya. Lalu dengan risiko tidak akan bekerja di negeri orang saya memilih ikut daripada tinggal.
Saya mendapatkan banyak pelajaran baru setibanya di negeri ini. Paling tidak saya harus belajar bahasa baru, hal yang tidak mudah dilakukan mengingat saya tidak punya bakat berbahasa. Bahasa daerah simalungun saja sampai sekarang tidak bisa. Saya harus belajar nyetir, saya harus mengasah kemampuan bahasa Inggris saya karena pelajaran bahasa Thai diberikan dalam bahasa Inggris dan modal untuk berkomunikasi sebeum bisa berbahasa Thai ya bahasa Inggris. Saya merasa kesempatan belajar hal-hal baru juga datang di kota ini. Dan menurut saya dan suami, keahlian-keahlian yang baru saya pelajari gak kalah berguna dengan pendidikan yang sudah saya peroleh.
Ketika pertama kali belajar merajut knit saya seperti teringat dengan kemampuan crochet saya. Saya bisa crochet sejak smp, waktu itu kakak saya menerima upahan buat topi dari tetangga, lalu saya pikir lumayan buat menambah uang jajan. Oh ya saya tidak pernah diberi uang jajan harian oleh orang tua. Uang jajan saya dapatkan dari ongkos ke sekolah. Jatah ongkos saya simpan sebagai gantiya saya berjalan kaki pulang dari sekolah (untuk perginya ga memungkinkan jalan). Sekolah saya tidak dekat dari rumah, dibutuhkan waktu 45 menit untuk berjalan kaki dari sekolah ke rumah. Kalau naik becak yang dikayuh mungkin bisa 15 menit. Saya masih ingat, dari 1 topi yang saya selesaikan saya memperoleh 150 – 250 rupiah. Saya sangat senang bisa menghasilkan uang sendiri (walaupun kalau diingat lagi sepertinya upahnya sangat sedikit untuk masa itu). Sampai ketika saya kelas 3 smp, menjelang ujian Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) – mirip dengan Ujian Nasional skrg ini – orang tua saya melarang saya merajut. Saya diminta konsentrasi ke sekolah saya.
Bertahun-tahun berlalu, saya tidak pernah memegang jarum rajut lagi, tapi waktu lulus sma dan di terima di ITB saya membawa sisa benang dan jarum rajut saya ke Bandung. Saya punya keinginan untuk belajar aneka hal dari rajutan, tapi saya tidak menemukan orang yang bisa ditanya atau komunitas untuk belajar bersama. Saya pindah kos di Bandung lebih dari 5 kali dan setiap pindah kos jarum dan benang itu tetep setia bersama saya. Suatu ketika saya sedang mengambil s2 saya dan berkenalan dengan Joe, saya mendapatkan fotokopian contoh-contoh tusukan crochet dan knit dari seorang teman kos. Dengan motivasi membuatkan syal dan sleeve laptop untuk kekasih hati, saya kembali memegang jarum rajut saya. Perasaan saya puas karena bisa belajar sendiri dari buku fotokopian dan menghasilkan sesuatu untuk orang yang saya sayang.
Sewaktu masa diserang rasa malas dalam mengerjakan tesis dan sudah mengenal internet (walau kecepatannya tidak stabil), saya berusaha mencari info di mana saya bisa belajar rajut. Karena sudh bisa crochet saya penasaran ingin belajar knit. Apalagi kalau di film-film biasanya yang ditunjukkan orang merajut itu ya yang menggunakan 2 jarum. Kepenasaran itu tidak pernah terjawab di Bandung. Motivasinya lenyap karena tidak menemukan teman senasib ataupun orang yang mendorong saya.
Di Chiang Mai, salah seorang teman yang sama-sama belajar bahasa Thai membawa project knitnya ke kelas. Waktu itu saya langsung tertarik dan minta diajarin. Berawal dari belajar knit, saya malah mengeksplor crochet kembali. Menemukan komunitas di internet dan menemukan begitu banyak video youtube dan informasi di Internet serta dukungan suami membuat saya ingat kembali dengan jarum dan benang saya. Oh ya, jarum dan benang yg saya bawa-bawa ke Bandung itupun ikut ke Chiang Mai loh.
Singkat kata singkat cerita dari knit ke crochet dari crochet malah pingin menjahit. Setelah saya menyelesaikan project besar berupa vest buat Joe, dia setuju membelikan saya mesin jahit. Saya tak salah memilih mesin jahit karena mereka menyediakan kelas untuk belajar jahit (walaupun dalam bahasa Thai). Saya takjub betapa baik hatinya orang-orang di Internet, segala macam tutorial ada disana. Sepupu saya (Dea sang Arsitek lulusan ITB dan doyan baking selain kerjainan tangan) yang juga lebih dulu membeli mesin jahit pun ikut menyemangati supaya saya belajar jahit. Dan sampai hari ini, sudah lumayan baju piyama yang saya buat untuk arena berlatih saya.
Well..saya belum menjadi jagoan di bidang craft ini, saya masih pemula. Tapi karena saya orangnya mudah lupa juga, maka saya merasa perlu menuliskan apa yang sudah saya tahu untuk jadi referensi di kemudian hari. Siapa tau ada yang ingin belajar juga, siapa tau saya akan absen dari dunia jahit karena satu dan lain hal. Kita ga tau apa yang harus dilakukan di hari depan, tapi buat saya belajar ketrampilan akan selalu ada gunanya.
Lalu apakah saya larut dengan hobi? Yang jelas setelah punya hobi saya menikmati saja hari-hari saat saya belum bekerja. Saya tidak pernah merasa bosan atau sepi karena sendiri di rumah. Sampai suatu hari saya ditawarin bekerja di kantor suami walaupun hanya part time. Tapi ya passion saya terhadap hobi saya membuat saya tidak merasa penting untuk menampilkan status tentang pekerjaan, saya lebih senang berbagi mengenai hobi saya daripada urusan kantor.
Anyway, kemarin saya agak emosi dengan terlalu banyak orang yang berkomentar kurang membangun mengenai saya yg lulusan s2 tapi kerjanya sepertinya ngurusin hobi saja. Well buat saya, seandainyapun saya tidak bekerja karena pilihan atau bukan pilihan kenapa sih orang kebanyakan tidak bisa menerima saja. Saya tahu bukan cuma saya yang menemukan passionnya setelah lulus dari suatu jenjang pendidikan, tapi saya bersyukur setidaknya saya menemukan passion saya. Suami saya selalu bilang: temukan passionmu dan berkaryalah sesuai passionmu supaya hidup ini lebih berarti. Dan kalau bukan karena suami saya, mungkin saat ini saya akan berkutat dengan hal-hal yang setiap hari saya keluhkan dan lakukan dengan terpaksa demi mengisi perut dan tuntutan keadaan.
Saya berbahagia menemukan passion saya walau agak terlambat. Tidak, saya tidak berencana menerima orderan dari hobi saya. Lagipula, kita tidak tahu apa yang terjadi di hari esok, karena saya juga mengenal seseorang yang pernah menjadi full time mother saat anak-anaknya masih kecil saat ini aktif kembali di kantor. Maka dari itu teman-temanku, mari kita menemukan passion kita dan belajar untuk menerima pilihan orang lain dengan baik. Ga selalu apa yang kita pikirkan tentang apa yang benar itulah yang benar.
Buat Anda yang setuju atau tidak setuju dengan saya, beda pendapat itu boleh saja. Tapi…saya akan terus berkarya, bagaimana dengan Anda, sudahkah menemukan apa passion dan talenta anda dan mengembangkannya?