Sebelum menikah saya sudah pernah menuliskan tentang katekisasi pranikah yang kami ambil bersama. Ketika ikut katekisasi pranikah dulu, sebagian topik baru bagi saya, tapi di banyak topik, saya mikir: ah itu kan jelas, logis, masuk akal, kenapa harus diajarkan di kelas?
Sekarang, 17 tahun setelah kami menikah, saya sekarang bisa lebih jelas melihat bahwa apa yang logis buat kami, ternyata tidak logis bagi banyak orang. Sudah ada beberapa orang yang kami kenal yang bercerai, dan juga sudah menikah lagi.
Sesuai dengan materi katekisasi yang mencakup banyak hal (konsep pernikahan, kesehatan, keuangan, dsb), masalah keluarga yang kami lihat dialami oleh orang-orang juga beraneka ragam.
Misalnya dalam masalah konsep pernikahan: jika sudah menikah, lalu orang tua membutuhkan bantuan, maka siapa yang perlu didahulukan? kasusnya bisa beraneka ragam, misalnya orang tua sakit, dan istri atau anak juga sakit, siapa akan didahulukan jika dananya terbatas. Atau contoh ekstrimnya begini: kalau ada peristiwa akan tertabrak mobil dan hanya bisa menyelamatkan satu orang, apakah orang tua atau istri yang dipilih?
Di posting saya yang dulu saya membahas tentang ayat bahwa “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Tapi sebagian akan membawa ayat “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” (Keluaran 20:12).
Saya tidak akan menggurui, karena situasi masing-masing keluarga berbeda. Seorang anak tunggal mungkin harus memperhatikan orang tuanya lebih banyak dari seseorang dengan keluarga yang memiliki banyak anak. Masih banyak ayat-ayat lain yang bisa jadi pertimbangan, tapi yang penting adalah: dari awal sudah paham dan sepakat dengan pandangan masing-masing. Jangan sampai suatu hari suami atau istri yang menghabiskan banyak waktu atau uang untuk mengurus orang tuanya jadi sumber masalah.
Sebagian orang bisa menerima kekurangan pasangan lain. Sebagian orang sudah terlihat masalahnya dari fisiknya (misalnya menggunakan kursi roda), tapi sebagian besar sifatnya tidak terlihat. Kalau tidak didiskusikan, ini juga akan jadi masalah di masa depan.
Banyak masalah akhirnya kembali ke masalah finansial. Berbagai masalah lain kemungkinan akan merembet ke masalah ini. Misalnya masalah kesehatan akhirnya harus berhubungan dengan obat dan dokter yang mahal. Masalah merawat orang tua akhirnya berhubungan dengan menyewa orang untuk menjaga orang tua (bukan karena tidak sayang orang tua, tapi karena tidak mungkin bisa 24 jam standby).
Teori Segitiga Cinta
Berbagai masalah ini teorinya bisa diselesaikan dengan Cinta. Tapi apaan sih cinta itu? Dulu waktu katekisasi dibahas singkat juga mengenai teori Segitiga Cinta (bukan cinta segitiga). Ini bukan konsep Kristen, jadi tidak dibahas mendalam.
Penjelasan panjangnya silakan dibaca sendiri di link wikipedia ya. Tapi intinya begini, ada komponen gairah (passion), keintiman (intimacy), dan komitmen (commitment). Masing-masing komponen ini bisa dijabarkan lagi. Hal yang penting adalah: ini cuma teori, dan detail-nya bisa (dan masih) diperdebatkan banyak orang.
Idealnya semua komponen cinta ini ada dan sama kuatnya, tapi kenyataannya akan bergeser. Di beberapa orang, semua komponen bisa mengecil dan hilang (tidak ada cinta sama sekali), atau satu komponen mengecil, dan yang lain tetap (kekurangan satu tidak dikompensasi yang lain), atau satu membesar dan menggantikan yang lain yang mengecil. Kadang hal ini bisa berubah seiring waktu dan keadaan.
Contohnya: gairah pada pasangan mungkin akan menurun ketika pasangan semakin tua, atau ketika salah satu atau keduanya sakit. Sementara semakin lama kita bersama dengan seseorang, keintiman akan naik.
Menurut saya faktor yang sangat penting adalah komitmen.Beberapa pasangan memiliki masa sulit, misalnya suami diberhentikan dari pekerjaan, sementara ada banyak masalah hidup (misalnya anak dan orang tua sakit). Dalam kondisi ini, passion dan intimacy akan menurun, dan jika tidak ada komitmen untuk mempertahankan hubungan, maka semuanya bisa hancur.
Penutup
Saya bersyukur dulu mengikuti katekisasi pranikah, dan sangat menyarankan bagi yang baru akan menikah untuk mengikuti pelatihan semacam ini (sesuai agama masing-masing).
Saya juga bersyukur sejauh ini kami bisa menghadapi berbagai masalah bersama dan memiliki cinta yang cukup seimbang. Kami bisa tetap bercerita tiap malam baik merencanakan masa depan atau sekedar bergosip. Kami berharap kami diberi umur panjang bersama dan bisa melihat anak-anak kami tumbuh besar