Persiapan Pernikahan dan Bibit, Bebet, Bobot

Hari ini ulang tahun pernikahan kami ke-17. Tidak ada rencana perayaan, yang ada rencana meeting yang akhirnya ditunda. Dari siang ada teman yang berharap meeting kami ditunda karena ingin mengajak kami makan malam bersama (mereka tidak tahu kalau hari ini hari istimewa). Jadilah setelah meeting ditunda, kami berangkat untuk makan bersama mereka. Makan malam shabu-shabu di musim dingin merupakan satu tradisi buat kami yang sama-sama sudah lama di Chiang Mai ini.

Mungkin akan ada yang berpikir: “Segitu nggak romantiskah kehidupan pernikahan di usia ke-17? Apa sudah tidak ada lagi tuh yang namanya perayaan dengan kencan berdua ala anak jaman now di restoran ternama dengan menu yang tidak bisa disebutkan namanya?” Bukan kami tak romantis, tapi ya itu bukan gaya kami. Jadi memang, tradisi kami menjelang hari ini adalah mengingat kembali apa saja yang sudah kami lalui sepanjang bersama dan menuliskan sebagai ucapan syukur di blog ini.

Kilas balik persiapan 17 tahun yang lalu

Khusus hari ini, saya menemukan beberapa harta karun digital yang saya bahkan sudah lupa isinya apa saja. Salah satunya, Joe menemukan catatan kegalauan saat menjelang hari H yang ada di backup SD Card dari Nokia Communicator.

Begini isi dokumen berjudul cerita persiapan.doc:

Pernikahan tinggal sedikit hari lagi, banyak hal yang belum beres. Ah, aku lupa orangtuaku sudah mulai tua, mereka sudah tak selincah dulu lagi. Pengalaman menikahkan dua orang kakak perempuanku sebelumnya membuat mereka merasa semuanya gampang dan tidak perlu terburu-buru. Tetapi entah mengapa semua pihak menimbulkan masalah, memberi janji dan kesanggupan, tapi ujungnya mengecewakan.

Aku pikir, aku tidak perlu turun tangan dalam persiapan ini dan itu, aku pikir semua bisa diatur dengan baik. Tapi ternyata mempersiapkan sebuah seremoni yang katanya hanya akan dialami sekali seumur hidup (kecuali oleh orang-orang yang katanya tidak ada kecocokan dengan yang satu cerai lalu jatuh cinta lagi dengan yang lain dan menikah).

Seorang teman yang akan menikah pada hari yang sama sudah mempersiapkan semuanya sebulan sebelum perhelatan digelar. Sedangkan aku? Tinggal 2 minggu lagi tetapi persiapan masih umm..memprihatinkan. Undangan baru selesai setengahnya, baju pengantin baru diambil 2 hari lagi. Suvenir masih seminggu lagi selesainya, katering belum dipastikan jumlah orangnya. Dokumentasi belum deal. Apalagi ya?

Semua orang selalu bertanya bagaimana persiapannya? Udah diet belum? Udah turun berapa kilo? Rajin-rajin luluran ya. Well..as my cousin says, semua orang gila pengantin dan membuat calon pengantin menjadi gila barangkali ya. Mungkin dengan mengharapkan kesempurnaan di hari yang berbahagia yang konon katanya sekali seumur hidup itu, semuanya akan berjalan dengan sempurna dalam hari-hari setelah pernikahan (padahal itu tidak menentukan). Entah kenapa jerawatku yang biasanya tersembunyipun ikut-ikutan menambah masalah, mereka hadir di wajahku, tak tanggung-tanggung, gede dan banyak *higs*.

Aku bertanya pada diriku, sebenarnya apa sih arti pernikahan itu? Apakah semua persiapan di hari pernikahanku, di hari aku mengucap janji setia sehidup semati dengan sang pangeran berkuda putih (eh dia tidak berkuda putih, tapi naik kymco saja hehe), apakah semua itu akan menjadi gambaran nyata apa yang akan kami hadapi di kehidupan kami bersama? Aku rasa tidak. Kadang-kadang aku iri dengan temanku yang bisa mengadakan sebuah pernikahan yang sangat sederhana, tanpa memusingkan apa yang harus dipakai, berapa undangan yang harus dikasih makan, apa suvenir pernikahannya dsb dst. Walaupun jujur saja, aku juga tergiur dengan pernikahan ala Trista sang Bachelorette yang diliput besar-besaran dan punya sponsor yang hebat.

Katanya setiap wanita punya impian mengenai hari besarnya menjadi pengantin. Well mungkin aku pernah punya mimpi tentang hari aku menjadi pengantin, tapi…bukan mimpi yang bagus, jadi aku tak pernah mengingat-ingatnya.

catatan 2 minggu sebelum hari H yang gak sengaja ditemukan hari ini.

Selain itu, saya juga menemukan buku tamu digital di undangan pernikahan versi online. Sebelum orang membuat undangan digital, kami sudah membuat website pernikahan (yang isinya kami pindahkan) karena kami tahu teman-teman kami tidak bisa hadir di Medan. Membaca kembali ucapan dan doa dari apa yang tertulis di sana, membuat saya tersenyum-senyum sendiri.

Tulisan yang masuk itu banyak dari orang-orang yang mungkin sudah tidak kami ingat kalau bertemu lagi, atau mungkin mereka sudah lupa dengan kami. Beberapa ucapan itu datang dari mahasiswa bimbingan di PI Del, beberapa peserta TOKI dan OSN, beberapa rekan kerja, beberapa teman kuliah, ada juga teman kenal sesama blogger dan ada teman yang sempat menghilang dan sekarang menghilang lagi, dan ada juga loh yang tidak kenal kami tapi merasa terinspirasi membaca kisah kami dan meninggalkan ucapan selamat. Terima kasih loh untuk doa dan ucapan dari kalian, semoga kalian masih ingat dengan kami. Kalaupun kami lupa dengan kalian, semoga gak sungkan mengenalkan diri lagi kalau ternyata kami lupa.

Beberapa komentar yang masuk menyertakan link ke friendster dan blog yang sekarang sudah tidak aktif lagi linknya. Tetapi beberapa masih ada juga yang bisa dikunjungi. Sejenak seperti naik mesin waktu ke masa belasan tahun lalu.

Jadi apakah yang penting dipersiapkan sebelum menikah?

Kembali ke catatan kegalauan, sebenarnya apa sih arti pernikahan itu? Apakah persiapan yang dilakukan menentukan perjalanan pernikahannya? Jawabannya pernikahan itu komitmen untuk hidup bersama sampai maut memisahkan kita. Persiapan sebelum hari H tentu saja penting. Bukan persiapan untuk hari H nya saja, tetapi persiapan untuk menjalani hari-hari setalah hari H. Makanya jauh sebelum memutuskan menikah, kami sudah saling mengenal satu sama lain dan dilengkapi dengan katekisasi pranikah.

Sepanjang pacaran kami selalu berkomunikasi, bercerita, bertanya, berbagi rencana dan harapan, bahkan kami membicarakan berapa jumlah anak yang diinginkan. Jangan sampai ada ketimpangan keinginan jumlah anak atau ternyata salah satu pihak ternyata ga mau punya anak toh!

Pentingnya Bibit, Bebet, Bobot

Kami juga saling menceritakan tentang keluarga kami masing-masing, termasuk apakah ada penyakit bawaan. Jadi walaupun dulu menganggap orang yang terlalu pilih-pilih bibit itu agak berlebihan, sekarang kami paham kenapa memilih bibit itu penting. Apalagi setelah kami tes DNA, kami bersyukur juga melihat kalau anak-anak kami itu tidak sulit diajari berbagai hal ya karena dari genetik kami, hehehe.

Kalau masalah bobot sebagai kualitas, sudah tentu sebagai lulusan ITB saya yakin Joe itu berbobot dan bisa diandalkan. Kalau saya sih sudah jelas punya bobot badan yang ya gitu deh, hehehe. Eh tapi itu bobot sebagai berat badan ya, ahaha. Yang jelas, setelah kenal saya, bobot badan Joe juga bertambah walau nggak sampai berlebih.

Nah untuk urusan bebet yang diartikan sebagai jabatan, sebenarnya sih karena kami memiliki tingkat pendidikan yang sama, pastilah jabatannya gak jomplang. Tetapi, karena saya tahu Joe lebih jago mrogramnya dari saya, saya tahu juga kalau Joe bakal dapat jabatan lebih tinggi dari saya.

Jadi sebenarnya dari dulu kami tidak setuju dengan cinta itu buta, tetapi cinta itu juga perlu logika. Memikirkan apakah dia orang yang tepat buat saya, untuk menghabiskan waktu bersama sampai tua, untuk memiliki keturunan dan mengisi hari-hari bersama itu perlu pertimbangan dengan akal sehat. Bukan cinta semata. Apalagi kalau misalnya ada perbedaan selera, atau misalnya yang satu suka udang yang satu alergi udang, kan sulit tuh nanti menyediakan menu makannya.

Bibit dan DNA

Setelah mikir kemana-mana, kesimpulan saya sekarang ini masalah bibit, bebet dan bobot bisa disederhanakan menjadi 2 hal. Bibit dan DNA.

Pertama apakah calon pasangan Anda punya perencanaan jangka panjang terutama masalah finansialnya? Hal ini bisa secara sederhana misalnya diperiksa apakah dia punya Bibit Investasi? Kalau belum ya bisa mulai dari sekarang, eh sekalian deh (kode referral: ‘gvffgic’).

Berikutnya untuk tahu masalah kesehatan, keturunan, penyakit bawaan, alergi, dan bahkan kecerdasan bisa disuruh cek DNA aja deh. Mudah-mudahan kalau genetik kita dan pasangan bagus, hasilnya diturunkan yang bagus-bagusnya ke anak. Ya kan!

Haduh ini lagi mau nulis ucapan syukur ulang tahun pernikahan kok malah jadi kayak iklan sih, hehehe. Tapi memang begitulah, sayang kami belum kenal investasi seperti yang ada di Bibit 17 tahun yang lalu. Belum ada juga tes DNA waktu itu, tetapi kemungkinan 2 hal ini akan jadi persiapan pernikahan kami selain katekitasi pranikah.

Kami bersyukur selama 17 tahun menikah, kami masih tetap bisa saling mendukung dan bercerita tentang berbagai hal. Kami juga bisa menyelesaikan masalah apapun bersama-sama, dan merencanakan berbagai hal untuk dilakukan sebagai keluarga. Semoga saja kami bisa mengajarkan anak-anak kami juga sampai mereka dewasa, untuk memilih pasangannya sesuai Bibit, Bebet, Bobot dan DNA 🙂

Penulis: Risna

https://googleaja.com

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.