Posting terakhir Risna mengabarkan bahwa kondisi Tulang (begitu saya memanggil almarhum mertua saya) sudah semakin membaik. Namun rupanya itu adalah ketenangan sebelum badai (calm before the storm), karena kemudian kondisinya memburuk. Meskipun operasi berjalan dengan baik, Tulang tidak berhasil melewati masa kristis di ICU. Saya sempat datang ke acara adat sayur matua, bagian dari pemakaman Tulang. Tapi sebelumnya saya ingin menuliskan mengapa kepergiannya tidak perlu ditangisi.
Tulang Walter adalah seorang Kristen yang benar-benar melayani Tuhan dalam hidupnya. Sebagai orang Kristen, kami percaya bahwa Tuhan Yesus pasti akan menerima kami di surga, jadi sebagai orang Kristen tidak ada yang perlu ditangisi. Tulang Walter juga adalah orang Batak Simalungun yang menjunjung adat. Secara adat Simalungun (atau Batak pada umumnya), Tulang Walter sudah mencapai sayur matua. Saya kutipkan dari blog ini:
Betapa istimewanya posisi Sayur Matua dan betapa ia menjadi kerinduan setiap orang Batak, makin jelas bila kita menyimak bagaimana orang-orang ‘merayakan’ meninggalnya seseorang yang sudah Sayur Matua. ‘Kepergiannya’ tidak lagi dianggap sesuatu yang pantas ditangisi. Melainkan lebih sebagai perayaan, kemuliaan, dan rasa syukur.
Jadi sebagai orang Batak, kepergiannya tidak perlu ditangisi. Secara pribadi, Tulang sering berkata bahwa dia tidak takut mati. Tulang lebih takut hidup “setengah mati”, hidup dalam dukungan mesin-mesin, tapi sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Tulang juga pergi dalam tidurnya. Jadi secara singkat: hidupnya sudah lengkap dan kepergiannya dengan damai.
Saya akan menceritakan pengalaman saya mengenai acara pesta dan penguburan. Saya orang Jawa, bukan orang Simalungun, jadi pemahaman saya mungkin ada yang salah atau tertukar, jadi mohon dimaklumi, dan informasinya mungkin perlu dicek lagi. Penjelasan saya tangkap dari Risna, dari Bang Bob, kak Ika, kak Noni, serta kakak dan abang yang lain yang berusaha menjelaskan kepada saya selama acara berlangsung. Tapi karena acaranya sangat melelahkan saya tidak dapat menangkap dan mengingat semua penjelasannya.
Saya mendengar kabar kepergian Tulang pada Rabu pagi (00.10). Rabu pagi saya segera memesan tiket, dan mengurus reentry visa. Saya masih perlu masuk kerja karena perlu memberi pengarahan kepada anak buah, apa yang harus dilakukan selagi saya pergi, saya juga perlu berkemas, mempersiapkan Jas dsb. Sebagai informasi, sulit sekali bisa pergi langsung dari Chiang Mai ke Indonesia dalam keadaan mendadak (butuh waktu persiapan setidaknya sehari). Kamis pagi 10.00 saya berangkat dari apartemen, sampai di rumah Medan pukul 10 malam.
Sekitar 30 menit setelah saya sampai, dimulai acara pemberian Porsa, sebagai menantu saya ikut mengenakan Porsa (topi dari kain putih). Katanya Porsa ini hanya digunakan untuk sayur matua. Bahwa kepergiannya tidak perlu ditangisi (nanti di akhir hari jumat ada acara melepas Porsa ini). Ada puji-pujian yang dinyanyikan. Acara selesai sekitar jam 2. Setelah mempersiapkan diri untuk acara di hari Jumat, saya tidur sekitar jam 3 pagi. Jam 5.30 saya sudah bangun, karena harus bersiap-siap (kamar mandi terbatas, sementar jumlah keluarga yang datang dan menempati rumah mencapai puluhan).
Acara dimulai jam 9 pagi. Ada ucapan terakhir dari anak-anak dan menantu, lalu kemudian dari Naturang (mama Risna) yang secara simbolis mengembalikan bunga yang diterimanya di pernikahan mereka. Isak tangis mengiringi acara tersebut. Acara kemudian diteruskan dengan pemberian kain putih, sebagai pemberian terakhir untuk pemberangkatan. Kain putih melambangkan kesucian. Secara bergiliran para Tondong datang untuk memberi kata-kata terakhir, nasihat dan penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan. Selain memberikan kain putih pada Tulang, para Tondong juga memberikan Ulos kepada pasangan-pasangan dalam keluarga, yang melambangkan strength and unity.
Setelah itu ada acara makan siang sambil diiringi pembacaan riwayat hidup Tulang. Sekitar jam 4, ada acara gereja. Seperti biasa ada kotbah, ada pujian, dan ada cerita mengenai kehidupan Tulang di Gereja (Tulang sangat aktif di gereja di berbagai bidang).
Setelah itu Jenazah dibawa ke perkuburan. Acara penguburan berjalan dengan singkat, dan kamipun kembali ke rumah. Di tahap ini acara sudah tidak bersifat umum lagi. Kain kabung Naturang dilepaskan, dan Porsa dilepaskan oleh para Tondong, sambil muka kami dicuci. Ini merupakan pertanda bahwa kami sudah tidak boleh bersedih lagi. Untuk melepaskan dan merelakan kepergian Tulang. Ada juga bagian acara yang menyatakan bahwa tanggung jawab adat telah beralih kepada Lae Boy (satu-satunya anak lelaki Tulang).
Kemudian kami menikmati hidangan. Ada beberapa bagian acara yang saya sudah lupa signifikansinya. Lalu sampai tengah malam, aneka nasihat diberikan untuk Lae yang memiliki tanggung jawab baru, dan untuk Naturang agar tidak bersedih dan meneruskan hidup. Begitulah semua acara akhirnya selesai. Namun sabtu pagi sampai siang masih ada acara berkumpul keluarga inti. Selain mengobrol, dan makan, dalam acara ini juga kami mengucapkan selamat berpisah kepada sebagian saudara-saudara kami yang harus pulang ke rumah masing-masing.
Di antara para menantu, mungkin saya yang paling sebentar mengenal Tulang. Jumlah pertemuan dengan Tulang bisa dihitung dengan jari, seingat saya 3 kali sebelum acara Martupol (pertemuan pertama di kost Risna, pertemuan dengan orang tua saya setelah wisuda Risna, dan pada acara Lamaran), lalu setelah itu kami pergi ke Chiang Mai. Kami hanya sempat dua kali pulang ke Medan (Tahun baru pertama, lalu pernikahan Lae Boy). Meski sering mendengarkan ketika Risna menelepon Tulang dan Naturang, saya jarang ikut bicara.
Namun saya bersyukur bisa sempat menjenguk ketika Tulang sakit, dan sempat menemani semalam di Rumah Sakit. Dan ayah saya juga sempat datang untuk menjenguk Tulang. Kami pun sempat didoakan oleh Tulang. Dalam doanya, Tulang tidak mendoakan untuk sakitnya/kesehatannya, bahkan Tulang menyatakan bahwa hidupnya sudah cukup lama, dan dia lebih mendoakan kami agar dapat segera diberi keturunan. Saya memang tidak sempat mengenal Tulang Walter dengan baik, tapi saya mengenal Risna, anak yang dibesarkannya. Dan dari sifat-sifat Risna, saya bisa melihat aneka hal baik yang telah diajarkan Tulang Walter kepada Risna.
Selamat jalan Tulang. Kiranya kami bisa selalu mengingatmu untuk kami jadikan teladan.