Postingan yang hampir terlupakan :D, bulan ini tepat kami 3 tahun di Chiang mai dan memasuki tahun ke 4. Tahun ke-3 ini merupakan tahun terbanyak kami terima tamu dari Indonesia, walaupun bisa dibilang kami ga bisa full service nganterin ke tempat-tempat wisata yang ada, tapi kami senang karena tamu-tamunya pada bawain 1 atau 2 hal yang dikangenin dari Indonesia.
Tamu pertama datang di bulan Januari 2010, adiknya Joe yg nomor 2: Aris, datang membawa sedus indomie dan beberapa teh celup sosro *hip hip hurrah*. Karena kunjungannya cuma singkat dan dia juga ga mau jalan sendiri, jadinya dibawanya ke tempat-tempat yang agak “kota” instead of wisata alam ataupun wisata kuil. Bisa dibilang dia agak-agak wisata kuliner deh hehehe.
Tamu kedua datang di bulan April 2010, mama saya dan namboru dame. Nah tamu ke-2 ini datang bawa rendang dan ikan teri medan. Asiknya tiap hari dimasakin makanan rumah, perbaikan gizi anak rantau deh sekalian belajar masak menu-menu masakan gampang dan enak (yg mana belum dipraktekin dengan sungguh-sungguh). Mama dan namboru kebanyakan tour berdua aja, sayangnya Chiang Mai lagi super panas, udaranya bener-bener deh minta ampun, di kantor juga lagi sibuk banget, jadilah kami ga bisa anter jalan-jalan. Mereka tapi enjoy juga sering-sering ke pasar tradisional, belanja dengan gaya bahasa tarzan, ikut tour sampe ke laos dan myanmar segala (padahal kami aja belum sampe sana).
Tamu ketiga datang di bulan Mei 2010, kakak istri sepupu (kak Aderini). Kak rini bawain coklat gede 2 biji *nyam*, biar kata ga khas Indonesia tetep aja doyan hehee. Kak Rini datangnya bentar doang di rumah kami, karena tujuan utamanya ikutan training yang kebetulan diadakannya di Chiang Mai (jarang-jarang ada training begini di Chiang Mai).
Dan tamu terakhir temen kuliah Joe beserta mamanya. Kami dibawain tempe goreng sambel dan indomie plus sambel abc *cihuuy*, pas lagi kangen tempe tapi lagi malas bikinnya, pas pula dibawain tempe. Ida dan mamanya juga datang cuma sebentar, dan mereka ikut tour yang ada (ga kami anterin hehe).
Oooh ada yang hampir kelupaan, ada juga kak Meinar dan Desi yang datang ke Chiang mai bulan Februari, ga nginep di rumah sih, tapi sempet ketemuanlah dan nganterin ngider Airport plaza.
Dari semua tamu yang datang, pastinya bagian menemani membeli oleh-oleh merupakan hal wajib dilakukan. Bahasa Thai semakin terasah kalau buat tawar menawar, tapi tetep aja ga tegaan kalau mau menawar serendah mungkin. Harga barang-barang juga udah berubah dibanding tahun pertama kami disini. Dalam waktu beberapa bulan terakhir ini merupakan rekor terbanyak kami ke night bazaar dan sunday market buat nemenin beli oleh-oleh. Barang-barang jenis oleh-olehnya juga semakin beragam. Lucunya setelah bertahun-tahun di Chiang Mai akhirnya kami mengeksplor bagian lain dari night bazaar dan menemukan tempat yang lebih murah. Beberapa tukang jualan di Sunday market aja sampe hapal sama kami, enaknya jadinya ga usah repot-repot tawar menawar lagi sih.
Betah di Chiang Mai? tentu saja betah. Kota ini kota kecil, ga macet, bersih walaupun belakangan ini ada polusi udara dan udara yang panasnya sampe 40 derajat celcius. Beberapa teman bertanya: sampai kapan kami akan tinggal di Chiang Mai? well itu semua belum bisa kami jawab, selama masih memungkinkan kayaknya kota ini jadi lebih nyaman daripada Bandung. Masalah bahasa tetep masih jadi masalah paling besar apalagi sampai sekarang masih buta baca tulis, tapi kalau untuk ngobrol sih udah lumayan lah (lumayan = pas pas an).
Banyak orang yang heran, kok lama amat sih sampai 3 taun ga lancar2 bahasanya. Yaa jelas aja ga lancar, di kantor pakai bahasa Inggris, di rumah bahasa Indonesia, bahasa Thai cuma kalau di warung makan, pasar atau beli oleh-oleh. Jadi yaa, karena ga terpaksa jadilah ga memaksakan diri belajar hehehe.
Sayangnya situasi politik negeri ini tetap masih kacau, walaupun efeknya ga terasa sampai Chiang mai, tapi rasanya tetep agak kuatir. Semoga semuanya membaik deh yang di Bangkok, biar rasanya tambah betah aja.