Secara umum udara di Chiang Mai cukup bersih, jumlah kendaraan belum terlalu banyak, dan tidak ada industri besar di sini (karena ini daerah pertanian dan pariwisata). Tapi di bulan Maret sampai April polusi udara cukup buruk karena masih banyak petani yang membakar sisa ladang mereka. Ini sudah menjadi masalah bertahun-tahun, dan sampai saat ini masih terjadi. Di masa sekarang, level polusi di daerah kota tergantung pada arah angin, kadang buruk sekali, kadang bagus.
Polusi hasil pembakaran ini termasuk dalam polusi partikel . Kadar PM2.5 (particulate matter 2.5 micometer) dan PM10 (particulate matter 10 micometer) yang tinggi sangat membahayakan kesehatan. Tiap negara menetapkan batas aman yang berbeda.
Sebagai pribadi yang tidak bisa mencegah semua orang melakukan pembakaran, solusi pribadi untuk masalah ini adalah filter udara. Filter ini harganya relatif mahal, apalagi yang bisa dipakai di ruang besar. Mengikuti ekspat yang sudah lama di sini, kami membeli filter dari Smart Air dan dipasang sendiri di exhaust fan.
Bagaimana bisa yakin bahwa filter murah ini bisa bekerja dengan baik? Tentunya perlu diukur, jadi saya memutuskan membeli sensor udara, SDS011 seharga 29 USD yang menurut review cukup bagus ketika dibandingkan dengan sensor Dylos yang harganya 300 USD.
Alat ini bisa mengoutputkan data melalui koneksi serial/UART dalam format biner. Sudah ada beberapa skrip di internet yang bisa dipakai untuk membaca outputnya. Tahun lalu sensornya saya hubungkan ke raspberry pi dan hasil pembacaaanya dilihat dengan SSH di handphone.
Bagaimana bisa yakin kalau alat ukurnya bekerja normal? mengingat kadang barang buatan China Quality Assurancenya minimum, tentunya ini perlu dipertanyakan juga. Eksperimen yang dilakukan adalah: filternya dicoba di luar rumah, dan dibandingkan dengan data dari beberapa website monitoring udara di Chiang Mai. Hasilnya cukup akurat, atau setidaknya tidak berbeda jauh.
Sebelum membuat sendiri filter ini, kami pernah membeli filter udara yang mahal. Berdasarkan pembacaan sensor, sebelum filter dinyalakan kadar PM2.5 dan PM10 cukup tinggi, setelah dinyalakan kadarnya menurun sampai titik tertentu.
Tahun ini saya sedikit lebih rajin: sensornya saya hubungkan ke ESP8266 dan LCD 16×2 (16 karakter, 2 baris), jadi tidak butuh Raspberry Pi lagi dan jadi portabel. Jika di rumah, hasil pembacaan juga akan di kirimkan via WIFI ke server.
Selain lebih murah, kelebihan lain memakai ESP8266 adalah: waktu startupnya sekitar 3 detik saja.
Tapi saat ini belum cukup rajin untuk mendesain case untuk benda ini. Masih belum menemukan design yang bagus, sensor perlu berada di luar case, karena perlu ada udara masuk untuk diproses, display perlu terlihat jelas dan battery bank perlu gampang dicharge dari luar.