Ini jawaban yang gw terima dari orang yang “bertanggung jawab” dengan “cerdasnya” menghapus mail gw (yang memang gak pernah gw backup karena isinya adalah urusan kampus semuanya dan relatip servernya kapasitas gede kecuali kejadian penghapusan seperti ini). Sebenernya soal data gw sudah merelakan walau tak bisa ikhlas, yang gw sesali adalah tindakan bodoh dan tanpa perhitungan dan mengatasnamakan kekurang telitian seorang admin.
Gw maafin juga data gw ga balik, hati gw tetep sakit. Gw mungkin emang ga kerja di DIVUSI lagi, but please dong, gw masih HIDUP, gw masih ADA, jangan anggap gw udah TIADA :(, pedih banget rasanya hati ini, bukan..bukan karena gw butuh account mail itu, gw ga butuh lagi account itu, tapi apa sih susahnya ngomong dulu!!! Percuma aja jadi orang INFORMATIKA, bidang yang tahu harga sebuah informasi dan data 🙁 kalo tindakan admin menghapus account orang yang masih ADA di depan mata tanpa bertanya dulu as if data gw ga ada harganya. So…ga dimaafin nih? gw hanya akan maafin kalau orangnya ngasih tau alasan apa yang ada dikepalanya menghapus mail gw tanpa bilang2 (karena memang dia berhak dan berkuasa melakukannya).
Waduh… Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Kemarin saya
memang membenahi Mail Server kita, menghapus beberapa yg.
sudah tidak aktif lagi, dan membuat E-Mail sementara utk.
kebutuhan Pelatihan SDM ITB… 🙁Rupanya, tidak sengaja saya juga menghapus account E-Mail
Risna. Bukan karena apa-apa, bukan juga karena Risna sdh.
tidak di DIVUSI lagi, tetapi benar-benar karena ketidak
telitian saya… 🙁Pagi ini saya sudah membuatkan lagi, dengan Password se-
mentara “******”. Tapi, sekali lagi Mohon Maaf, kemarin
saya menghapus Account beserta Direktori-nya… Apakah
ada suatu cara untuk merecover yang sudah terhapus itu ??
kata gw sih alasan ini basi banget
fakta A : gw jam 5 pagi masih login, tidakkah dia bisa melihat last login dulu sebelum menyatakan sebuah account tidak aktif?
fakta B : gw masih sering ke kampus, tidak bisakah dia bertanya terlebih dahulu sebelum main hapus account apalagi sampe ke home direktorinya? apa gunanya sekarang bertanya gimana cara merecover home dah tau juga kalo menghapus lebih gampang daripada menambah, sebagai admin kok yah yang kayak gitu ga mikir?
fakta C: kalo mo hapus account mail ga aktif kenapa ga menghapus account salah seorang staff yang sudah bertahun2 ke luar negeri untuk studi dan sepertinya ga ada niat kembali? (gw kemaren cek account seperti itu aja masih ada, kenapa gw yg masih ADA di hapus begitu saja?)
kalo menurut gw sih, account gw di hapus karena memang gw udah ga di DIVUSI lagi, well… gw ga butuh lagi imel itu, ambil aja tuh account, pake deh buat pelatihan, lebih baik bilang alasan itu daripada bilang ga ada alasan apa-apa.
So?ga dimaafin nih? gw hanya akan maafin kalau orangnya ngasih tau alasan apa yang ada dikepalanya menghapus mail gw tanpa bilang2 (karena memang dia berhak dan berkuasa melakukannya).
Pertanyaan hipotetis: Misalkan dia mengaku bahwa dia emang nggak mikir saat menghapus account tersebut. Dia hanya tahu bahwa kamu sudah tidak di Divusi dan tidak kepikiran untuk memperhatikan bahwa kamu masih memakai. Mengenai tata cara etis untuk memberitahu juga tidak kepikiran karena memang karakternya bukan orang yang secara sosial paham mana yang etis dan tidak sampai terjadi kasus. Dan untuk itu dia meminta maaf.
Apakah kamu mau memaafkan?
Sekedar pertanyaan hipotetis. Saya tidak bisa bilang mengerti perasaan kamu. Tapi saya tahu gimana sakitnya perasaan orang kalau merasa dikecilkan. Dan saya juga tidak yakin sebenarnya siapa administrator yang kamu maksud.
Jadi sekedar sharing aja, kalau dalam keadaan emosi, saya sih sering lupa kalau saya sebenarnya men-judge orang dengan _standar pribadi_. Padahal karakter orang itu macam-macam. Dan ada kemungkinan bahwa latar belakang aksi seseorang berbeda dengan cara pemikiran saya.
Bukan berarti dia nggak salah. Apa yang dia lakukan tetap nggak etis. Tapi menurut saya sih beda, nmisalnya, antara kesalahan berlatarbelakangkan niat jahat (tahu kode etik tapi sengaja melanggarnya) dengan kesalahan karena tidak terbiasa untuk memikirkan perasaan orang lain (memang tidak tahu kode etik yang berlaku). Jadi masih terbuka kemungkinan untuk alasan berbeda.