Sudah ada cukup banyak riset yang menyatakan bahwa terlalu banyak TV tidak baik untuk anak-anak, apalagi bayi di bawah usia dua tahun. Misalnya
artikel ini menuliskan berbagai macam kejelekan televisi:
Those studies have found that children don’t really understand what’s happening on a screen until they’re about 2 years old. Once they do, media can be good for them, but until then television is essentially a mesmerizing, glowing box.
Ada juga studi lain yang menunjukkan bahwa: bukan menonton TV yang membuat anak-anak menjadi “bodoh”. Tapi faktor edukasi dan finansial orang tua yang lebih berpengaruh.
In her initial analysis, Schmidt found that babies who spent more time in front of the TV performed worse on language and motor-skill tests at age 3 than those who watched less. But once Schmidt and her team controlled for other factors ” the mother’s educational status and household income” the relationship between TV-viewing and cognitive development disappeared. That means that TV-viewing alone did not appear to influence babies’ brain development; a parent’s education and finances mattered more. “Initially it looked like TV-viewing was associated with cognitive development,” says Schmidt, “but in fact TV-viewing is an outgrowth of other characteristics of the home environment that lead to lower test scores.”
Sayangnya riset tersebut kurang memperhatikan faktor ini: apakah karena pendidikan orang tua lebih baik, maka mereka jadi lebih menghabiskan waktu bersama anaknya? misalnya menjelaskan apa yang terjadi di televisi (dibandingkan orang tua yang pendidikannya kurang). Masalah ekonomi juga kurang dijelaskan. Apakah karena masalah ekonomi, maka orang tua harus bekerja ekstra dan membiarkan anak di depan televisi supaya diam, ataukah ada faktor lain.
Sebagai orang tua, kami memiliki pendapat seperti ini: tidak apa-apa anak menonton video di layar televisi, asalkan ditemani dan tontonannya dipilih. Jonathan sampai saat ini tidak suka melihat film tv (dia tidak peduli jika saya atau Risna menonton film di TV). Jonathan suka banyak video musik. Dulu sempat menonton barney, tapi sekarang tidak suka lagi. Sampai sekarang Jonathan masih tidak suka film animasi.
Jika kami tinggal di Indonesia, tentunya kami tidak akan memberikan tontonan sinetron atau acara-acara lain yang tidak baik. Sudah ada riset juga yang menyatakan bahwa apa yang ditonton berpengaruh terhadap perkembangan anak. Acara yang buruk akan berpengaruh buruk (misalnya acara kekerasan), sedangkan acara yang baik (program edukasi) berpengaruh baik. Dari pengalaman saya pribadi: saya dulu belajar bahasa Inggris dari Sesame Street, dan jadi suka matematika karena acara Mathnet. Lebih banyak materi mengenai sejarah dunia yang bisa saya ingat dari menonton serial TV Voyager!.
Sekarang ini, tablet sudah umum dipakai anak di rumah yang memiliki tablet. Menurut artikel ini:
According to some research out today from Nielsen in the U.S., in households that own a tablet, seven out of 10 children under the age of 12 use them.
Dibandingkan televisi: tablet bukan benda pasif, butuh interaksi (menyentuk objek), aplikasinya bisa dipilih, dan tablet juga lebih mudah disembunyikan. Risna sudah menemukan banyak sekali permainan edukasi untuk Jonathan. Kadang Jonathan belajar sesuatu lebih dulu di tablet di banding di dunia nyata. Misalnya dia sering kesulitan dengan puzzle, tapi setelah mahir bermain puzzle di iPad, dia tiba-tiba mau mencoba lagi puzzle fisik dan bisa.
Sampai sekarang ini Jonathan memakai tabletnya untuk:
- Menonton video musik, dan video rekaman dirinya sendiri
- Main game educational (sebagian daftarnya bisa dilihat di: situs Jonathan)
- Video call (dengan papa di tempat kerja atau anggota keluarga lain di Indonesia)
- Main game non educational (Angry birds dan Cut The Rope)
Sejauh ini Jonathan selalu menskip semua aplikasi yang tidak dia suka. Jika misalnya tidak sengaja salah sentuh (dan membuka website pembuat aplikasinya), Jonathan akan menutup browsernya dan kembali ke game/aplikasi tersebut.
Apakah tablet itu sangat membantu untuk pendidikan anak sehingga orang perlu membeli tablet? Menurut saya sih tidak sepenting itu. Saya sendiri tidak dibesarkan dengan televisi apalagi tablet, punya televisi setelah usia 8 tahun. Tapi jika punya tablet: bisa dicoba mencari berbagai aplikasi yang berguna untuk pendidikan anak. Saya rasa tablet lebih baik dibanding televisi. Dan jika Anda tetap memilih televisi: pilihkan acara yang baik. DVD film anak akan lebih baik dibandingkan dengan sinetron.
Khusus untuk acara televisi: kadang acara televisinya bagus, tapi iklan-iklannya kurang bagus. Apalagi nanti kalau sang anak sudah mengerti apa yang diiklankan, jadi ingin punya benda yang diiklankan. Jadi untuk amannya sebaiknya menonton selalu ditemani.