Setiap kali membaca berita tentang berkurangnya polusi di suatu wilayah sebagai hasil dari kebijakan untuk di rumah saja, saya merasa cemburu dengan wilayah tersebut. Apalagi katanya polusi global juga berkurang sebagai dampak dari pandemi. Kenapa polusi di kota Chiang mai tak kunjung berkurang?
Polusi di Chiang Mai yang dimulai sejak akhir 2019, tidak berkurang sedikitpun dan malah makin menjadi-jadi di bulan Maret dan April 2020. Membaca berita ciri-ciri penyakit yang disebabkan covid-19 yang tak jauh berbeda dengan penyakit yang disebabkan polusi, membuat saya merasa pakai masker itu tidak bisa ditawar lagi dan lebih baik di rumah saja.
Mungkin sekarang ini Covid-19 dianggap pandemi yang berbahaya, tapi polusi yang tidak kelihatan juga memakan banyak korban jutaan jiwa setiap tahunnya. Polusi bahkan lebih berbahaya dari covid-19 menurut berita ini. Belum lagi pemberitaan kalau orang yang tinggal di daerah berpolusi lebih mudah terinfeksi covid-19. Aduh rasanya kami yang hidup di sini jadi terjepit diantara polusi dan pandemi covid-19.
Sepanjang tahun 2020 ini, reflek pertama di pagi hari adalah mengecek kadar polusi saat ini. Bahkan kadang-kadang sehari bisa lebih 3 kali melihat indikator polusi udara. Setiap siang atau sore hari, memandang langit keluar berharap melihat langit yang biru. Setiap malam berdoa semoga besok polusi berkurang supaya kami bisa ajak anak-anak main di halaman. Dan hasilnya hampir setiap hari saya kecewa dan akhirnya tetap saja berkurung di rumah saja dengan menyalakan filter udara.
Sebelum banyak negara menetapkan aturan pakai masker ketika di luar rumah atau jangan keluar kalau tidak terpaksa, saya dan penduduk kota di Chiang Mai sudah memakai masker N95 yang mampu menyaring polutan sampai ukuran pm2.5 ketika keluar rumah. Ya pilihannya pakai masker atau mengalami gangguan pernapasan karena tingkat polusinya setiap hari rata-rata di level: tidak sehat (unhealthy) sampai berbahaya (hazardous).
Sebenarnya sejak bulan Januari 2020 pun saya dan keluarga sudah memilih untuk di rumah saja di akhir pekan. Waktu itu polusi menjadi alasan kami untuk tidak keluar rumah, sekarang pandemi. Ada sih sesekali kami tetap keluar dengan memakai masker, tapi itupun tidak berlama-lama dan waktu itu semua kegiatan di luar masih normal.
Virus covid-19 pertama terdeteksi sekitar 13 Januari 2020 di Thailand, dan akhir Januari sudah sampai ke Chiang Mai, kedua kasus tersebut dibawa langsung dari Wuhan. Sejak itu pula, hampir di setiap tempat penjualan masker dan hand sanitizer diborong habis termasuk masker N95 yang bisa dicuci dan diganti filternya. Saya termasuk beruntung karena masih sempat membeli masker kain N95 yang bisa dicuci dan beberapa masker N95 sekali pakai.
Sejak bulan Februari, di berbagai tempat di Chiang Mai sudah menyediakan hand sanitizer untuk pengunjungnya. Di berbagai tempat kegiatan anak dilakukan pengukuran suhu tubuh dan wajib pakai hand sanitizer terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan. Kebijakan menggunakan masker juga mulai diterapkan oleh berbagai tempat kegiatan anak dan sekolah-sekolah
Sebelum semua kegiatan dihentikan total karena pandemi, saya masih sempat bawa anak saya yang kecil field trip ke sebuah farm house. Kami masih pergi ke mall di akhir pekan sesekali, atau ke tempat rekreasi bawa anak bermain ketika polusi agak sedikit berkurang.
Sebelum penerbangan internasional dihentikan seperti sekarang, kami juga masih berkesempatan berjalan-jalan sekitar Chiang Mai dengan teman-teman masa kuliah yang datang dari Bandung. Hari itu polusinya lumayan sebenarnya, tapi kami pikir gak apa sesekali jalan-jalan di tengah polusi, kan bukan tiap hari. Tapi ada juga seorang adik dan seorang dosen kami yang sudah berencana datang berkunjung membatalkan rencananya di bulan Februari karena covid-19 sudah sampai di Chiang Mai.
Kalau saya pikir-pikir, apa yang kami lakukan waktu itu merupakan hal langka yang tidak bisa didapatkan lagi saat ini. Ketika bertemu, kami masih saling jabat tangan padahal kan mereka dari ‘luar negeri’, kami masih jalan-jalan di pasar malam dan tempat rekreasi. Kami tidak ada yang menggunakan masker, tapi bawa hand sanitizer. Kami masih makan bersama di restoran. Belum ada yang namanya physical ataupun social distancing di bulan Februari. Sudah mulai ada perasaan waspada, tapi ya perasaan masih seperti biasa.
Awalnya saya yakin sekali kalau covid-19 pasti terkendali dan tidak akan menjadi sebesar sekarang ini. Tidak ada kekhawatiran akan menjadi pandemi. Ternyata saya salah. Untungnya kami semua baik-baik saja sampai saat ini, termasuk teman-teman yang mengunjungi kami juga sehat sekembalinya ke Bandung.
Sejak bulan Maret, ditetapkan aturan untuk di rumah saja. Saya berharap semoga kali ini polusi di Chiang Mai berkurang seperti di Wuhan, Eropa, atau Jakarta. Ternyata polusi tidak pergi juga. Polusi di kota ini penyebabnya bukan industri, tapi pembakaran ladang dan kebakaran hutan. Walaupun ada peraturan melarang bakar-bakaran selama 80 hari (10 Januari – 30 April 2020), polusi tetap di angka merah (unhealthy) kecuali ada hujan atau angin.
Saat ini, saya hanya bisa berharap hujan datang untuk mengusir polusi. Sebenarnya sudah ada beberapa kali hujan di wilayah utara Thailand. Bahkan ada hujan batu es beberapa hari lalu, tapi polusi tidak berkurang sama sekali.
Sekarang memang masih musim panas, tapi biasanya di bulan April atau awal Mei akan ada hujan kiriman sebagai efek badai musim panas di dataran Cina. Butuh lebih banyak hujan dan angin untuk memadamkan berbagai titik api di utara Thailand ini.
Ayolah hujan, mari sini mampir ke kotaku. Ayolah angin, usir polusi dari kota ini. Sampai kapan kami harus terkurung di dalam rumah. Minimal kalau polusi pergi, saya dan anak-anak bisa bermain di halaman rumah tanpa kuatir menghirup udara berpolusi yang bisa bikin sesak napas. Minimal, biar kami tidak harus berkurung di dalam rumah selama masa di rumah saja ini.
Tetap berharap agar polusi dan pandemi segera berlalu. Saya kangen melihat langit biru. Juga biar bisa bikin rencana pulang kampung untuk melepas rindu.