Saya baru tahu, kalau tanggal 21 September itu setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Perdamaian Internsional. Hari ini ditetapkan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1981.
Sudah 40 tahun ya, dan saya baru tahu sekarang. Terimakasih untuk Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP) yang membuat tema ini menjadi tantangan buat dituliskan minggu ini.
Kenapa ada Hari Perdamaian Internasional?
Pertanyaan pertama yang terlintas ketika mengetahui ada hari perdamaian internasional adalah, kenapa sampai ada hari perdamaian internasional? Memangnya bisa ya sehari aja berdamai besok perang lagi?
“Peace is not something you wish for, it is something you make, something you are, something you do, and something you give away.”
Robert Fulghum
Dari hasil pencarian berbagai hal mengenai kata damai, saya ingin mengutip Robert Fulghum yang bilang kalau perdamaian itu bukan sesuatu yang sekedar kita harapkan tapi sesuatu yang kita lakukan.
Mungkin kalau mencari tahu sejarah hari perdamaian internasional, akan ada alasan lebih jelasnya. Tapi logikanya, di hari perdamaian ini, semua orang diminta untuk memikirkan perdamaian. Di hari tersebut semua yang bertikai harus gencatan senjata dulu.
Perdamaian itu bukan sesuatu yang sekedar kesepakatan, tapi juga membutuhkan niat baik dari pihak-pihak yang sedang tidak sepaham.
Kenapa Kita Butuh Perdamaian?
Bayangkan kalau suasana di rumah berisik terus menerus, saya rasa saya tidak akan bisa fokus mengerjakan apapun, termasuk menulis. Perdamaian itu dibutuhkan supaya kita bisa bekerja dan berkarya.
Demikian juga ketika terjadi perang, sumber daya sebuah negara akan terpakai untuk membiayai perang. Penduduk usia produktif yang seharusnya membangun negeri malah dikirim untuk maju ke medan perang.
Walaupun ada berbagai jenis-jenis perang, tapi pada dasarnya kalau ada konflik, ada masalah yang perlu dipikirkan, kita tidak bisa fokus untuk menghasilkan karya yang baik/membangun diri sendiri.
Pastinya ada berbagai alasan lain kenapa butuh perdamaian, termasuk supaya kita bisa bekerjasama untuk mempercepat menghasilkan karya ataupun mencari solusi bersama untuk masalah yang terjadi (misalnya masalah pandemi ini).
Keributan kakak beradik
Lawan dari kata damai, tidak selalu perang. Terkadang, hanyak konflik antar anak kecil saja pun sudah termasuk tidak berdamai. Saya mau ambil contoh keributan kakak beradik dalam keluarga.
Saya tidak akan mencontohkan orang lain, tapi saya akan memakai contoh diri sendiri. Saya dan kakak saya yang paling besar itu hampir setiap kali bertemu akan ribut. Biasanya sih karena tidak ada kesepakatan dan tidak ada yang mau mengalah. Padahal, kalau lagi berjauhan, kami sering merencakanan pertemuan. Kok ya gak kapok ya tiap ketemu ribut tapi merencanakan ketemu terus.
Menurut saya, semakin dekat dengan saudara, kesabaran saya semakin tipis. Biasanya ini karena ada ekspektasi, karena dia saudara saya, sudah seharusnya dia lebih mengenal saya.
Kalau saya renungkan, keributan kami ini lebih karena karakter sih. Sebagai orang batak, suara kami memang keras. Dan ya, namanya saudara, terkadang lupa menggunakan kata yang lebih halus untuk meminta tolong, menyuruh ataupun mengingatkan sesuatu.
Hal ini sebenarnya dimulai sebelum menikah. Karena masing-masing merasa “lebih tahu”, jadi tidak ada mau mengalah. Tapi keributan kami biasanya tidak berlama-lama sih. Kami juga tidak dendam ataupun benci. Kami bisa berdamai dengan cepat (walaupun tidak selalu ada kata maaf).
Sekarang ini sebagai orang tua, saya juga melihat 2 anak saya sebentar ribut, sebentar saling mencari. Kalau masih kecil, mungkin akan sering dianggap: namanya juga anak kecil. Tapi, bagaimana dengan yang sudah dewasa?
Sampai sekarang, saya dan kakak saya masih sering juga sih sesekali ribut kalau ketemu, padahal kami jarang sekali bertemu. Biasanya hal ini terjadi karena tidak ada yang mau memahami yang lain dan menganggap pendapatnya yang paling benar.
Perdamaian itu diusahakan
Kalau anak-anak saya ribut, saya tidak selalu turun tangan melerai. Biasanya saya biarkan saja mereka ribut (kecuali kalau saya sedang butuh ketenangan). Kalau mereka tidak mau berdamai juga, saya akan memisahkan mereka berdua.
Terkadang, memberi jarak antara orang yang sedang ribut itu diperlukan. Nah, saya jadi terpikir, bisa jadi hari Perdamaian Internasional ini pun idenya sama. PBB mengambil langkah menetapkan hari ini untuk memberi jarak antara pihak yang sedang bertikai. Memang mereka tidak akan otomatis berdamai, tapi dengan adanya jarak, mereka tidak terus terusan ribut/konflik. Mengambil jarak untuk memikirkan kembali kenapa dan apa sih yang diributkan?
Penutup
Mungkin tulisan saya ini terlalu menyederhanakan persoalan ya. Tapi menurut saya, kalau kita tidak tahu apa itu perdamaian dengan saudara sekandung/ keluarga, bagaimana mungkin kita bisa mengusahakan perdamaian dunia?
Saudara sekandung/ keluarga itu orang yang mau tak mau akan selalu ada di sekitar hidup kita. Jadi kita harus belajar untuk memahami mereka supaya tidak selalu terjadi keributan.
Nah kalau dengan keluarga tidak bisa ada perdamaian, kecil sekali kemungkinan bisa berdamai dengan orang asing yang pasti punya banyak sekali perbedaan dengan kita.
Satu lagi sih, kunci untuk bisa berdamai tentunya perlu saling memahami. Untuk bisa saling memahami, harus ada komunikasi terjadi. Kalau tidak ada komunikasi, terus saja kita dengan asumsi masing-masing dan menganggap diri yang paling benar.
Akan tetapi, saya menyadari topik perdamaian ini sesuatu yang lebih mudah dituliskan daripada dilakukan. Setidaknya, saya berusaha mengingat lagi kalau saya sedang “ribut” dengan siapapun untuk mengusahakan perdamaian dengan berusaha memahami dan membuka komunikasi. Bukan hanya diam-diaman dan merasa paling benar sendiri.
Bagaimana menurut kalian, apakah bisa orang yang tidak berdamai dengan keluarganya mengusahakn perdamaian dunia?