Hari ini nenekku meninggal. Ini nenek dari pihak Ibu, kalo dari pihak bapak, kakek dan nenek udah meninggal. Sedih, soalnya rencananya 11 hari lagi kami baru akan pulang ke Indonesia. Sedih karena belum sempat ketemu lagi sejak menikah (dan waktu nikah nenek gak dateng, karena dilaksanakan di Medan). Nenek ini saya panggil Simbok (yang sebenarnya di Jawa artinya “Ibu”) dan Ibu saya panggil “Emak”. Kakek dari pihak Ibu saya panggil “Pak tuo”.
Dulu, waktu aku masih kecil, kehidupan kami sangat miskin. Bapak masih bekerja sebagai karyawan rendahan di Surabaya. Sementara kehidupan belum menetap, aku dan emak tinggal di rumah pak tuo dan simbok di Sukoharjo. Setelah mendapat pekerjaan di Bogor, emak ikut ke bogor, ikut kerja di kantin Pabrik kaca tempat bapak bekerja. Kami ngontrak di gubug plastik. Tapi karena emak sakit, bapak menyarankan agar aku dan emak kembali lagi ke rumah pak tuo dan simbok. Sampai aku berumur 6 tahun baru kami pindah lagi ke Bogor (sekarang daerah itu masuk ke wilayah depok, karena di perbatasan jakarta timur).
Jadi waktu kecil, aku menghabiskan banyak waktu bersama simbok, dan jadi cucu kesayangan simbok. Ada banyak hal yang kuingat soal simbok. Pertama dia pinter masak. Dia bisa membuat masakan apa aja jadi enak. Kata emak, keahlian simbok ini berguna dari sejak jaman dulu. Waktu jaman susah dulu (tahun 1950-1970an), simbok bisa masak apa aja yang ada di sekitarnya, jamur, buah kelapa yang masih sangat kecil, pokoknya apapun juga bisa dimasak untuk menyambung hidup keluarga. Di jaman itu, mereka bisa makan enak cuma waktu panen. Waktu panen, simbok dan emak biasanya ikut jadi pekerja upahan yang memanen padi (istilahnya nderep beras). Setelah kehidupan membaik, simbok jualan tape ketan di pasar. Tape ketannya warna hijau (diwarnai dengan daun katuk), dan setelah dia berhenti, aku belum menemukan tape ketan yang seenak bikinan simbok. Simbok sangat sabar dalam membuat tape ketan, dia akan menampi ketan dan membuang batu serta ketan yang berwarna hitam dengan teliti, walau butuh waktu berjam-jam.
Simbok nggak pernah sekolah, tapi dia pintar berpantun, dan tahu banyak lagu jawa. Karena saya nggak pernah sekolah TK, lagu-lagu masa kecil yang saya tahu adalah lagu-lagu jawa yang diajarkan simbok (misalnya Sluku Sluku Bathok, Gundhul Pacul, dll). Simbok juga hapal banyak dongeng. Dongeng-dongeng yang diceritakannya nggak kalah seru dari cerita Hans Christian Andersen, dan . Waktu itu saya belum menyadari dan menghargai betapa uniknya dongeng-dongeng yang diceritakan simbok. Ketika dewasa, aku baru menyadari bahwa dongeng yang diceritakannya tidak ada di buku manapun. Ceritanya tidak kalah dari cerita-cerita HC Andersen, ataupun the Grimss Brother. Di masa tuanya simbok sudah lupa dengan aneka macam dongeng itu, dan saya pun sudah mulai lupa. Kalau masih mungkin, saya akan berusaha mencari tahu dan menuliskan dongeng-dongeng yang pernah diceritakannya.
Kira-kira sepuluh tahun terakhir ini, setiap kali bertemu simbok, dia akan memeluk dan bercerita hal yang sama: “lihat cucuku ini sudah besar, padahal dulu masih kecil, dan kerjaannya adalah memukul bekicot memakai batu”. Lalu dia akan mulai menirukan suaraku waktu meminta bekicot “cicot cicot mbok, cicot”. Tentunya bekicot bukan satu-satunya mainanku, dulu kadang-kadang kami membuat mobil-mobilan dari jeruk bali. Atau kadang-kadang kakek membuatkan mainan dari kayu.
Walaupun aku nggak akan bisa lagi ketemu simbok. Setidaknya simbok dulu bisa dateng waktu aku di wisuda di ITB. Setidaknya dia sudah sempat ketemu Risna sebelum kami menikah. Walaupun aku nggak tahu berapa umur simbok, tapi dia sudah menjalani hidup yang panjang, dan melewati banyak masa sulit dan bahagia dalam hidupnya. Selamat jalan simbok, kami akan merindukanmu.