Saya bersyukur bertemu dengan Joe, mengenal Joe dan menikah dengan Joe. Saya bersyukur bersama Joe saya bisa mengajari 2 anak kami berbagai hal. Saya bersyukur kalau kami bisa saling mendukung dalam setiap hobi dan bidang yang kami tekuni dan tetap mendorong untuk tetap berkarya walaupun itu tidak melulu artinya harus bekerja kantoran buat saya.
Hari ini 14 tahun yang lalu, saya dan Joe menikah di gereja di Medan dilanjutkan dengan acara adat Batak Simalungun. Jumlah undangan waktu itu tidak banyak, keluarga Joe juga tidak banyak yang bisa hadir karena keluarga Joe kebanyakan ya masih di pulau Jawa. Tapi yang terpenting dari pernikahan itu ya memang bukan di mana diadakan atau jumlah undangannya.
Setelah 14 tahun menikah, ada beberapa hal yang dulu saya pikirkan ternyata jadi berubah. Saya ingin berbagi tentang hal-hal yang saya syukuri kami lakukan sebelum menikah.
Contents
Sebelum Menikah
Menikah itu bukan tujuan akhir, tapi merupakan awal dari hidup bersama dengan pasangan yang kita pilih. Menikah itu tidak seindah cerita fiksi, tapi bisa lebih indah lagi dari cerita yang ada, asal kita tidak salah memilih pasangan.
Berikut ini hal-hal yang perlu dilakukan sebelum memutuskan menikah:
Pacaran yang benar
Kenali calon pasangan dengan benar. Masa kenalan ini biasa dikenal dengan masa pacaran (mungkin kecuali kalo emang udah kenal/jadi temen dari kecil kayak drakor 😂). Kalau dulu saya pikir, masa pacaran itu tidak perlu berlama-lama, tapi juga tidak boleh terlalu sebentar. Walau saya dari awal menetapkan ingin mengenal Joe minimal selama setahun, akhirnya kami pacaran hampir 3 tahun.
Saya bukan bilang setiap orang harus pacaran selama 3 tahun ya, tapi yang terpenting adalah ketika masa pacaran kita sudah saling mengetahui hal-hal dasar termasuk ekspektasi dari pasangan kita nantinya seperti apa. Tentunya untuk mengenal pacaran dengan benar, kita harus saling jujur satu sama lain dan bukan pura-pura demi supaya dia tetap sayang sama kita. Jujur di sini termasuk masalah kesehatan yang kita punya seperti alergi atau bahkan kalau ada keinginan tidak punya anak dan lain-lain.
Sebelum menikah, sebaiknya sudah mengetahui apakah ingin punya anak atau tidak, mau punya anak berapa, kalau tidak dikaruniai anak bagaimana, mau tinggal di mana (bareng ortu atau mandiri)? bagaimana pengaturan keuangan nantinya? apakah istri harus selalu terlihat kurus dan ga boleh gemuk? bagaimana hubungan dengan teman lawan jenis (apakah boleh tetap sahabatan atau kongkow bareng dengan lawan jenis)? dan lain-lain yang sebenarnya bisa dibicarakan sejak awal.
Pacaran itu bukan sekedar kencan romantis, makan malam di restoran mewah saling menyuapi, bergandengan tangan jalan berdua menyusuri malam. Tapi yang juga tak kalah penting adalah komunikasikan apa yang diharapkan dari pasangan. Dan jangan pernah berharap pasangan berubah dan mengikuti tuntutan.
Ada hal-hal dan kebiasaan yang bisa diubah, tapi ada hal-hal yang akan sulit untuk diubah. Ada kebiasaan dan tradisi yang bisa dibiasakan bersama (misalnya makan malam ya bareng tapi kalau udah kelaparan banget bisa aja salah satu makan duluan kalau yang satu lagi masih sibuk), ada juga kebiasaan yang sulit diubah begitu saja (misalnya kebiasaan bangun pagi atau kebiasaan untuk tidak tidur larut).
Ada lagi misalnya kalau pasangan merokok, apakah bisa menerimanya atau tidak? gak usah deh percaya dengan janji: nanti berhenti merokok kalau udah punya anak, karena biasanya hal itu tidak akan terjadi. Tapi ya kalau memang gak masalah dengan pasangan merokok, ya berarti tidak apa-apa.
Di masa pacaran, banyak hal sudah bisa diketahui, apalagi kalau sudah memutuskan untuk menikah ya. Tidak ada salahnya kok membicarakan hal-hal gimana nanti kalau sudah menikah, tapi tentunya bukan artinya pura-pura udah nikah dan panggilan sayang papa mama padahal belum resmi ya, itu mah lebay!
Intinya, pacaran yang benar, bukan cuma niruin drama romantis doang dan mengandalkan butterfly in the stomach dan hati dag dig dug doang. Pacaran itu masa kenalan, kalau emang gak cocok ya mending putus daripada setelah menikah cerai.
Kalau ada yang mau berusaha berubah, ya lakukan sebelum menikah, karena kalau sudah menikah dan ga berubah juga, nanti malah jadi sumber keributan.
Karena ketika menikah, kita mengucap janji untuk hidup bersama dalam suka dan duka, bukan ketika suka saja dan kita tidak bilang dengan syarat elu harus berubah dan ngikutin tuntutan gue. Makanya perlu pacaran, biar tau apakah kita bisa menerima pasangan kita itu dengan segala kekurangannya? Kalau kelebihannya pastinya diterima dan memang untuk melengkapi kita kan?
Buat perjanjian
Masa pacaran juga perlu perjanjian, bukan, ini bukan perjanjian pranikah, tapi perjanjian masa pacaran. Setelah mengenal pasangan sekian lama, biasa akan mulai ada hal-hal yang mungkin saja menyebabkan kesalahpahaman.
Joe dan saya juga dulu pacarannya ga selalu mulus, ada 2 perjanjian kami sejak awal pacaran:
1. Jangan putus sambung
Jangan minta putus kalau lagi ribut, kalau memang sudah tidak cocok lagi dan minta putus, ya boleh deh minta putus. Jadi kami tidak mau kalau lagi ribut berantam terus putus, abis itu nyambung lagi. Tapi ya kalau memang sudah merasa tidak ada kecocokan dan tidak merasa bisa saling membangun satu sama lain, mendingan bubar kan.
Salah satu nasihat yang kami peroleh ketika kami baru pacaran adalah: jadilah pasangan yang saling mendukung dan membangun. Kalau pasangan malah bikin kita jadi gak bisa bekerja karena sibuk ngajak kencan mulu, itu berarti bukan pasangan yang baik. Jadi parameternya pacaran yang sehat itu kalau tetap bisa berkarya, kalau malah jadi keasikan pacaran doang itu tanda-tanda tidak sehat.
2. Berjuang bersama untuk dapat restu
Kami berasal dari suku yang berbeda, biasanya pasangan beda suku ini banyak yang tidak disetujui oleh orang tua. Maka, kami sepakat untuk berjuang bersama untuk mendapatkan restu orangtua. Artinya, ya kalau udah usaha dan orangtua ga setuju, berarti memang belum jodoh.
Tapi sebenarnya, kami agak cari aman sih, sebelum orangtua ikut campur kami kenalan dulu, daripada udah ribut mulu sama ortu ternyata kami gak cocok, mending kan pastikan dulu emang mantap mau nikah baru tanya ortu. Tentunya kami sambil mendoakan hubungan kami ini. Kami percaya, kalau Tuhan merestui, pastilah Tuhan kasih jalan dengan membuat orang tua kami memberi restu.
Jadi setelah mantap memutuskan akan menikah, kami baru menceritakan ke orangtua masing-masing, dan ternyata doa kami dikabulkan dan gak pake drama orangtua langsung setuju, hehehe..
Kalian bisa bikin perjanjian lainnya yang kalian anggap penting
Ikut kelas persiapan menikah
Sebelumnya saya tidak tahu tentang kelas persiapan menikah ini. Untungnya di gereja yang kami hadiri dulu, ada yang mengadakan kelas persiapan menikah. Waktu itu saya dan Joe mengikuti kelasnya dan ceritanya sudah ada di blog ini. Untung juga Joe menuliskannya di sini, karena ada banyak hal yang saya sudah lupa walau saya masih secara tidak langsung menjalankan saran-saran yang kami dapatkan ketika kelas persiapan menikah itu.
Ada beberapa hal yang sering jadi sumber keributan dalam rumahtangga, mulai dari keluarga besar yang terlalu mencampuri, cemburu kalau pasangan tidak terbuka dengan kegiatannya selama di luar rumah dan masalah keuangan. Memang uang bukanlah segalanya, tapi kalau tidak ada uang banyak hal memang akan jadi sulit dan jadi sumber keributan.
Saya ingat, setelah kelas persiapan menikah, saya dan Joe semakin yakin kalau komunikasi itu kunci utama. Hal-hal menghadapi keluarga besar diurus masing-masing. Jadi misalnya saya ada komentar tentang keluarga besar Joe, saya tidak akan ngomong langsung tapi ngomongnya ke Joe dan biar dia yang ngomong ke keluarganya, sedangkan kalau ada hal-hal tentang keluarga saya, Joe akan ngomong ke saya dan saya yang ngomong ke keluarga saya.
Kami sampai pada kesimpulan ini karena walaupun kami menjadi keluarga, tetap saja kami orang lain di keluarga yang kami datangi. Karena kami berasal dari budaya yang berbeda, untuk amannya yang menghadapi keluarga tersebut ya yang berasal dari situ.
Setelah Menikah
Tahun-tahun pertama kami menikah masih berdua saja. Menikah akhir Januari 2007, awal Mei 2007 langsung merantau ke Chiang Mai. Tinggal jauh dari keluarga besar membuat kami harus saling mengandalkan satu sama lain. Dan tentunya masa awal penyesuaian diri dengan satu sama lain dan penyesuaian dengan kota yang berbahasa asing ini membuat kami jadi makin solid.
Beberapa tips dari saya dalam 14 tahun menikah ini antara lain:
Menyaring komentar orang
Tidak semua komentar orang perlu didengar. Karena kami jauh, biasanya kami hanya mendapatkan komentar ketika sedang mudik dan kami bisa mengignorenya karena toh kami pulang hanya sebentar saja.
Komentar orang tidak akan ada habisnya, kalau yang komentar ngeyel, sesekali kami akan menjawab tanpa memberi peluang untuk dijawab lagi.
Kesepakatan dalam menjamu orangtua
Kami juga berusaha membagi kunjungan ke orang tua dan keluarga besar, dibatasi untuk keluarga langsung saja. Karena orang tua saya dan orang tua Joe beda pulau, kami tidak selalu bisa pulang mengunjungi kedua pulau sekaligus apalagi setelah punya anak, tiketnya mahal kan kalau mundar mandir 2 pulau sekaligus, selain waktunya lama di perjalanan hehehe.
Selain membagi kunjungan ketika pulang, kami juga mengundang orangtua kami datang ke sini. Karena situasi tidak memungkinkan untuk diundang bersamaan, biasanya kami akan mengundang bergantian. Kesepakatan ini bukan berarti jumlah kunjungan orangtua Joe harus sama dengan jumlah kunjungan orang tua saya, tapi ya kadang melihat situasi dan kebutuhannya juga.
Kesepakatan menjamu orang tua ini termasuk dalam hal mengirimkan hadiah buat orang tua. Karena kami menganut prinsip dompet bersama, kami tidak pernah mengirim uang diam-diam. Semua pengiriman uang melihat kebutuhan dan berdasarkan kesepakatan.
Saling melayani
Seperti saya sebutkan di bagian sebelum menikah, masa pacaran, kita perlu memberitahu apa ekspektasi kita terhadap pasangan. Semua kembali lagi sesuai kesepakatan saja. Ada yang misalnya sepakat kalau anak urusan istri doang dan suami cuma cari duit, tapi ada juga yang sepakat kalau anak itu urusan bersama tapi suami akan mengambi porsi lebih kecil dari istri.
Saling melayani ini bisa juga berarti, setiap jam makan, saya akan menyiapkan makanan di meja. Tapi di siang hari, biasanya Joe akan membuatkan saya secangkir kopi. Kalau saya sedang tidak bisa, sesekali Joe yang juga akan menyiapkan makanan di meja.
Kalau ada komunikasi yang baik, mudah-mudahan semua hal bisa dibicarakan dan tidak sering ribut setelah menikah.
Penutup
Tulisan ini masih sebagian dari catatan singkat dalam 14 tahun menikah, semoga saja bisa berguna untuk yang sedang memutuskan untuk menikah. Kalau kepikiran nanti catatannya dilanjutkan lagi, sekarang waktunya untuk berisitirahat.
Oh ya, Joe juga menuliskan versinya sendiri tentang 14 tahun menikah. Menulis seperti ini sudah menjadi salah satu tradisi setia anniversary kami, hehehe.