Sudah sebulan terakhir ini saya menggunakan smartphone Android murah merk lokal Thai (i-Mobile IQ9.1A, yang sebenarnya merupakan re-branding hp murah dari China). Sejauh ini saya cukup puas memakai benda ini. Di posting ini saya tuliskan pengalaman saya memakai benda ini dan observasi saya terhadap Android murah lain.
Sebenarnya benda yang saya beli ini bukan yang termurah, saya bisa mendapatkan benda serupa dengan memesan di AliExpress atau DealExtreme, tapi saya tidak mau menunggu lama, dan dengan membeli lokal saya bisa mudah mengurus garansi (benda dari China juga ada garansinya, tapi sulit mengurusnya, plus harus membayar ongkos kirim) dan saya bisa mencoba di tangan saya sebelum membeli.
Spesifikasi IQ9.1A yang saya beli: MTK6589 quad core, display IPS 1280×720, 1 GB RAM, 16 GB ROM, layar 5.7″, Android 4.2.1. Benda dengan spesifikasi (CPU, RAM, ROM) bisa dibeli dari merk lain (misalnya Sony), tapi layarnya umumnya tidak besar. Ada beberapa benda bermerk yang layarnya lebih besar, tapi resolusi layarnya lebih rendah.
HP Android terakhir yang saya beli beberapa tahun yang lalu masih memakai Android 2.2, dan setelah itu saya memakai Android di tablet (Transformer TF101 lalu Nexus 7). Karena tablet terasa berat, penggunaannya lebih terbatas (saya hanya sering membaca buku di tablet). Jadi baru kali ini saya benar-benar memakai Android secara ekstensif.
Ada beberapa hal yang saya sadari setelah memakai dan mengoprek benda ini. Pertama: menemukan aksesori untuk benda ini tidak mudah. Untungnya mereka sudah memberikan screen guard dan case. Sekarang saya menyadari kenapa orang banyak yang membuat tiruan persis smartphone yang sudah terkenal, dan kenapa orang mau membelinya. Alasannya bukan (cuma) gaya, tapi aksesori. Banyak sekali yang menjual aksesori untuk merk terkenal (misalnya cover, screen protector) sehingga mudah mencari penggantinya.
Dalam hal hacking, carilah benda dengan SoC yang terkenal, dan pastikan source nya tersedia. Bukan cuma source kernel, tapi keseluruhan framework Android. Bagi orang awam: cara termudah untuk mengeceknya adalah: jika CyanogenMod mendukung benda tersebut, maka source codenya cukup lengkap (sedikit sekali merk China yang disupport oleh Cyanogenmod). Benda yang saya pakai ini memakai MTK6589 yang sangat populer, tapi source framework Androidnya tidak tersedia (hanya kernel nya saja). Jika source code benda tersebut terbuka, maka jika versi Android baru dirilis dan pembuat produk tidak merilis versi baru, Anda bisa mendapatkan versi tidak resmi dari para hacker.
Pastikan factory /original ROM bisa didownload dari website resminya. Jika tidak: pastikan membackup ROM sebelum mulai ngoprek. Saya menyadari betapa pentingnya ini ketika berusaha meresize partisi internal dan gagal. Untungnya saya sudah membuat backup sistem sebelumnya, tapi karena tidak ada ROM resmi yang bisa saya download, saya perlu merekonstruksi partition table dan EBR dengan menghitung manual layoutnya.
Hal yang paling mengesalkan dari berbagai device android yang saya coba adalah masalah peletakan tombol, bahkan di merk terkenal, misalnya di Nexus 7 saya, posisi power dan volume up sangat dekat, dan sering sekali salah pencet. Jadi ketika memegang dan mencoba, pastikan semua posisi tombol nyaman dalam berbagai posisi. Ada satu hal yang agak mengesalkan dari Android: tombol home sering tidak responsif (dalam arti: kadang ada delay cukup lama sampai layar beralih ke home screen). Jika tombol home berupa tombol fisik, maka kita bisa merasakan “klik” dan yakin bahwa tombolnya sudah kita tekan, tapi jika tombolnya non fisik (seperti IQ9.1A atau Nexus) kadang hal itu membuat frustasi. Sekarang saya mengerti kenapa sebagian besar Android Samsung memakai tombol home fisik yang bisa diklik (selain meniru Apple, ternyata ada alasan teknisnya juga).
Mengenai display: saya sempat tergoda dengan layar full HD (1920×1080), tapi ternyata banyak yang complain bahwa dengan layar full HD kinerja menjadi lambat dan boros batere, sedangkan bagi sebagian orang layar HD sebenarnya sudah cukup. Ada beberapa ukuran layar untuk resolusi yang sama (dari 4 inch sampai 7 inch) jadi pixel density-nya berbeda (ppi). Sebagai perbandingn: Ukuran layar iPhone 5/5S adalah 4 inch, 1136×640 pixel (326 PPI). Nilai PPI yang tidak jauh dari itu sudah sangat bagus.
Teknologi touch yang dipakai saat ini sudah cukup standar (capacitive touch dengan 10 point), dan hampir semua Android murah sudah memakai ini (kecuali yang sangat murah, ada yang hanya bisa 2 point). Sebagian Android murah sudah memakai Gorilla glass yang scratch resistant, tapi jika tidak yakin, tetaplah memakai screen guard. Sekarang ini saya sedang mencoba memesan scren guard yang lebih baik dari AliExpress (yang sekarang ini mudah sekali kotor).
Setuju! Aksesori apalagi screenguard kadang susah dicari, pun kalau nemu yang ukurannya sama peletakan kamera dllnya bikin penggunaan screenguard jadi ga maksimal.