Sekali-kali cerita tentang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Mumpung ITB nya lagi ulang tahun ke-100 (3 Juli 1920 – 3 Juli 2020). Ceritanya panjang kalau mau diceritakan semuanya, jadi mending saya cerita apa yang teringat saja. Kalau mau baca cerita versi Joe, bisa baca di sini.
Beberapa hari ini, ada banyak teman-teman di Facebook yang ganti foto profil dengan bingkai 100 tahun ITB. Saya jadi menyadari ada banyak teman-teman alumni ITB di FB saya, tapi selama ini mereka tidak update status, mungkin mereka bikin akun cuma untuk baca-baca status yang lain saja.
Saya, tentu saja ikutan ganti foto profil dengan lambang gajah duduk itu. Terbayang kalau sekarang tidak sedang masa pandemi, kemungkinan akan ada perhelatan besar diadakan di kampus ITB. Usia 100 tahun itu istimewa, patut dirayakan, tapi ya karena pandemi, marilah meramaikan ulangtahun ITB ke-100 secara virtual di dunia maya.
Saya masih ingat, waktu SMA kelas 3 di Medan, semua teman saya berlomba-lomba masuk ITB. Guru-guru kami juga membuat kesan, ITB itu keren kalipun! Tapi, karena saya orangnya kurang percaya diri, dulu saya tidak terpikir ingin masuk ITB. Saya sempat mencoba jalur khusus untuk masuk ilmu komputer UI, dan ternyata tidak ada kabar yang artinya buat saya itu ditolak.
Karena ditolak UI jalur khusus, saya nekat ambil ITB waktu ujian masuk PTN. Saya sebut nekat, karena dalam hati sebenarnya agak gemetar juga, mengingat saingannya pastilah ada banyak sekali. Waktu bertukar cerita dengan Joe, jadi merasa lucu, kami berdua sama-sama ditolak UI dan jadi milih ITB. Kebayang kalau kami salah satu diterima di UI, kira-kira gimana jalannya kami bertemu ya, hehehe.
Pertama kali masuk kampus, rasanya kampus ITB itu gede banget dan cape jalan dari depan ke belakang. Tapi ternyata, kampus ITB itu ga ada apa-apanya ukuran jauhnya kalau dibandingkan dengan kampus lain di Indonesia. Ya namanya juga belum pernah jadi mahasiswa sebelumnya, dulunya cuma tau ukuran sekolah terbesar itu ya pas SMA.
Waktu ikutan ospek dikasih tau kalau Presiden Soekarno juga dulu sekolah di ITB. Di depan kampus ada spanduk bertuliskan: Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa. Dalam hati saya berkata,
“Duh kayaknya anak ITB ini sombong banget sih.”
Memang, kesan pertama itu anak ITB sombong-sombong banget. Tapi, ya bukan ITB nya yang salah sih, banyak anak ITB yang biasa-biasa saja. Joe dan saya termasuk anak ITB yang merasa biasa-biasa saja sebagai lulusan ITB. Tapi sebagai alumni ITB, kami beruntung punya teman orang-orang baik sesama alumni ITB juga. Kalau orang-orang yang tidak baiknya untungnya tidak ada dalam lingkaran pertemanan kami, hihihi.
Selama di Thailand, kami sudah beberapa kali dikunjungi oleh teman-teman dari ITB. Bukan cuma teman seangkatan, bahkan dosen juga pernah mengunjungi kami. Termasuk tahun ini sebelum pandemi, bertemu dengan beberapa teman yang jadi dosen dan masih aktif mengajar di ITB sampai saat ini.
Waktu kami ke Bangkok kemarin, kami juga bertemu dengan teman sejurusan yang tidak seangkatan dengan saya ataupun Joe. Tapi walau demikian, ada saja bahan obrolan yang bisa kami obrolkan. Malahan dulu itu saya mengospek angkatannya, hehehe. Untungnya sih gak diingat sebagai senior galak ya, semua jadi teman sesama alumni saja.
Dengan banyaknya yang menuliskan tentang ITB di hari ulangtahunnya ke-100 ini, saya tiba-tiba jadi pingin menyanyikan Hymne ITB (nyontek sih dari teman KLIP yang ternyata alumni ITB juga).
Dengan bangga kami seru namamu
Hymne ITB
Almamater nan jaya ITB tercinta
Besar nian sumbangsihmu bagi negeri
Bagi cita nan mulia masyarakat sejahtera
Oh Tuhan kami mohon restu dan petunjukmu
Dalam tugas dan bakti pada nusa dan bangsa
Boleh dong sesekali merasa bangga dengan ITB. Semoga alumni ITB dalam 100 tahun umurnya ini semua ingat dengan lagu ini dan ingat untuk tetap memberi sumbangsih bagi negeri untuk masyarakat sejahtera (aih mulia sekali yah). Dan semoga alumni ITB yang “bikin malu nama ITB, ” tidak ada lagi di kemudian hari.
Demi Tuhan, Bangsa, dan Almamater.
Siapa kalian? ITB! ITB! ITB! (ini seruan kami waktu masa orientasi alias ospek).