Saya tau, sudah banyak orang tidak mau membaca cerita pandemi. Setiap membaca katanya bikin stress. Pokoknya ikut protokol kesehatan saja kalau keluar, demikian katanya. Saya masih membaca perkembangan di Thailand yang sudah hampir 50 hari tidak ada transmisi lokal, dan di Indonesia yang sejak pelonggaran rata-ratanya pasien baru rata-rata 1600 orang dalam 3 hari terakhir.
Kenapa saya masih mengikuti perkembangan Covid-19 kalau Thailand sudah aman? Karena gelombang ke-2 itu nyata adanya. Dari yang saya baca di bulan Juni, Cina sempat ada peningkatan pasien baru walau sekarang sudah terkendali, Australia saat ini menutup kota Melbourne dan Mitchell Shire karena ada lonjakan kasus di daerah tersebut. Di Tokyo, Jepang juga ada peningkatan kasus baru setelah pelonggaran. Korea yang juga termasuk sukses menangani Covid-19 mengumumkan kalau mereka menghadapi gelombang baru dari pandemi sejak akhir Juni 2020 yang lalu.
Jadi, walaupun Thailand saat ini aman, belum tentu selamanya aman dengan adanya orang-orang yang mulai diperbolehkan masuk ke Thailand. Belum lagi, saya baca berita tentang beberapa orang yang tertangkap karena berusaha untuk masuk tanpa ijin ke Thailand. Untuk yang masuk dengan ijin, jelas ada protokol pemeriksaan dan karantina 14 hari. Untuk orang yang berusaha masuk tanpa ijin ini, selalu ada kemungkinan mereka masuk membawa penyakit.
Mengamati beberapa hal sejak adanya pelonggaran dan membaca beberapa berita membuat saya menyadari kalau pandemi masih lama akan berlalu. Walau saya tidak putus berharap pandemi cepatlah berlalu, tapi ya saya harus menerima juga kalau saya seorang diri yang mengikuti dan sadar akan bahaya Covid-19, tidak cukup untuk membuat pandemi ini berlalu. Butuh kerjasama dari semua orang di seluruh muka bumi. Iya di seluruh muka bumi, karena kalau tersisa 1 atau 2 pasien saja, dan kita lengah, bisa membuat pandemi berulang lagi.
Ada beberapa hal yang membuat saya mengambil kesimpulan pandemi masih akan lama berlalu. Bukan, saya bukan mendoakan supaya pandemi berlangsung lama, tapi akal sehat saya berkata ini tidak akan selesai selama masih banyak orang yang tidak mau bekerjasama untuk melenyapkan si virus penyebab Covid-19 ini.
Pelonggaran aturan yang membuat lupa adanya pandemi
Manusia itu makhluk sosial. Manusia membutuhkan manusia lainnya. Manusia tidak bisa disuruh diam di satu tempat. Manusia butuh untuk berpindah tempat, bekerja di luar rumah, dan lain sebagainya. Di antara pertentangan ekonomi vs nyawa, saya mengerti akan ada pendapat kita tidak bisa membiarkan ekonomi terpuruk, kita harus membuat ekonomi berputar lagi, kita harus berdamai dengan si virus, kita harus mulai melakukan kegiatan di luar dengan mengikuti protokol kesehatan yang ada.
Maka, mulailah kembali para pegawai bekerja di kantor dan banyak tempat dibuka kembali. Supaya ekonomi kembali berputar. Akan tetapi, yang tidak diperhatikan adalah, selain hal-hal yang memang penting, ada juga kegiatan yang tidak penting dilakukan juga. Atas nama bosan, yuk kita ketemu di cafe atau restoran untuk melepas rindu mumpung sudah tidak terkurung lagi. Ketemunya bukan cuma 2 atau 3 orang, tapi ketemu sekitar 10 – 15 orang.
Berangkat dari rumah masih memakai masker, masih ikut protokol, sampai ketemu teman memang tidak salaman (awalnya). Tidak lama kemudian, mau makan harus lepas masker dong, gak bisa makan atau minum kalau pasang masker. Sambil makan dan minum, lanjut ngobrol-ngobrol. Tak terasa waktu berlalu selama 2 jam melepas rindu. Sebelum pulang yuk kita foto dan upload di FB.
Peristiwa di atas mungkin tidak persis demikian, tapi kemudian saya melihat foto banyak orang yang saya kenal di timeline sosial media saya dari unggahan fotonya. Fotonya pakai protokol apa? Emang ada protokolnya? Tentu tidak dong. Mana muat kita foto bersama kalau ada jarak diantara kita. Yuk kita foto doang kok dempet-dempetan. Ah sebentar doang, tidak apa-apa lah waktu foto tidak memakai masker, supaya kelihatan wajah kita yang indah ini.
Kalau orang yang di foto itu orang yang dekat dengan saya, biasanya akan saya ingatkan lagi untuk tidak sering-sering kumpul-kumpul seperti itu. Tapi dari sekian banyak yang saya ingatkan, saya selalu mendapat jawaban: “Kami ikut protokol kesehatan kok kalau berkumpul dan keluar rumah.” Sebenarnya ingin melanjutkan bertanya,”Protokol yang mana? Foto dempet-dempetan itu sesuai protokol?” Tapi kemungkinan besar saya akan dimusuhi dan dianggap “sirik aja lu” kali ya.
Saya bertanya, dan mungkin terkesan terlalu cerewet, tapi sebenarnya ini untuk kebaikan yang saya tegur juga. Ya, mungkin saya akan mendapatkan jawaban judes lagi, “urus urusan sendirilah, aku tau jaga diri.” Baiklah kalau demikian, saya terima nasib. Selama semua orang merasa sudah melakukan protokol, padahal jelas-jelas sering melanggar, pandemi tidak akan berlalu.
Mungkin akan ada yang anggap saya lebay dan berkomentar, “Masa ketemu sebentar aja langsung bahaya sih”, atau akan kasih data kalau ruang terbuka atau kalau tidak lebih dari sekian jam atau kalau imun kuat tidak apa-apa. Ya baiklah, saya berharap juga demikian adanya, tapi nyatanya, tenaga kesehatan yang sudah pakai baju lengkap untuk melindungi diri dan tau bagaimana melakukan protokol kesehatan dan terbiasa dengan berbagai jenis penyakit saja tidak lepas dari si Covid-19 ini. Mau bilang apa? Mereka lelah jadi imun rendah? Atau mereka anggap enteng jadi lengah? Lah apa bedanya dengan yang foto bareng walau sebentar?
Masih ada yang ngeyel bilang Covid-19 itu hoax semata
Hal lain yang membuat saya merasa pandemi masih lama berlalu adalah, adanya kelompok keras kepala yang bahkan tidak mengakui kalau pandemi itu nyata. Kalau kelompok pertama mengakui keberadaan virus dan ancaman penyakit, tapi mereka sering lalai saja karena merasa sudah ikut protokol. Nah kelompok yang ini agak lebih ekstrim. Mereka tidak mau memakai masker atau ikut protokol karena beranggapan pandemi ini hoax semata, ataupun alat politik semata.
Bahkan ada yang saya baca, mereka sengaja membuat Covid Party. Jadi, mereka berkumpul di satu tempat bersama dengan yang pasien positif Covid. Lalu mereka mengumpulkan uang untuk dihadiahkan kepada siapa yang pertama kali akan tertular. Hasilnya? Yang pakai masker dan ikut protokol saja bisa tertular, apalagi yang menantang seperti ini, ada yang sampai meninggal juga kok gara-gara Covid Party ini. Masa sih harus sampai ada korban jiwa dari orang yang kita kasihi baru percaya kalau penyakit ini nyata adanya?
Ekonomi VS Nyawa
Bagian ini sebenarnya bukan bagian yang menyenangkan untuk dituliskan. Iya saya tahu kalau ekonomi perlu bergerak. Iya, saya tahu tidak semua orang bisa diam di rumah saja dan bekerja dari rumah. Iya, saya tahu kalau ada orang yang lebih memilih mati kena Covid daripada mati tidak makan.
Masalahnya, ketika perusahaan dibuka tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Atau ketika pegawai yang bekerja tidak berani minta ijin sakit ketika merasa tidak sehat dan lalu ternyata menularkan penyakit. Hasilnya perusahaan malah harus ditutup. Sudah berapa pabrik harus ditutup dan berhenti produksi selama 14 hari karena ditemukan beberapa orang positif. Lalu akhirnya, ekonomi mana yang berputar? Kalau tidak hati-hati, ekonomi tetap tidak berputar, nyawa pun tidak selamat.
Tapi, di pihak lain, perusahaan juga mengalami dilema. Beberapa pegawai perusahaannya mungkin masuk ke dalam kelompok pemakai masker tapi tidak selalu patuh protokol atau kelompok tidak percaya pandemi itu nyata. Hasilnya, selalu ada kemungkinan perusahaan harus ditutup kalau terjadi penularan massal.
Jadi gimana dong?
Selama vaksin tidak ditemukan, atau obat dan cara pengobatan yang paling efektif untuk penyakit ini belum ditemukan, terima saja kalau pandemi masih akan terus berlangsung. Apalagi kalau masih selalu ada kelompok orang pertama dan kedua.
Ekonomi gimana nasibnya? Entahlah. Semoga saja ada keajaiban dan virus ini hilang sendiri karena bosan dengan manusia bumi dan pindah ke planet lain. Kita hanya bisa berharap dan selalu berharap. Berharap semua bekerja sama mengenyahkan pandemi, atau virusnya pergi sendiri.
Kejadian pandemi ini memang sungguh menyedihkan, mengesalkan, merubah dan berdampak pada banyak hal.
Tapi apapun ceritanya, kita harus tetap berpengharapan dan yakin akan hari depan yang lebih baik yekaan…
Semangat Ma’ JoJo! :*
Tentunyaaa, tetap berharap apapun yang terjadi. Di saat pandemi ini makin mengerti ayat ini: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Biarpun kesal tetap harus mengasihi orang-orang yang membuat pandemi makin lama.Tetap berharap pandemi segera berlalu, yakin dan percaya ada solusi untuk pandemi ini.