Halo Desember,
Kita ketemu lagi dengan bulan Desember. Tidak terasa, tinggal 30 hari lagi tahun 2020 akan habis. Eh, terasa sih sebenarnya, tapi ya walau terasa tetap saja ya namanya sudah menjelang akhir tahun. Musim dingin di Chiang Mai juga sudah mulai terasa dibandingkan bulan sebelumnya. Padahal, musim dingin di Thailand itu secara resmi diumumkannya sejak tanggal 22 Oktober lalu. Tapi, baru beberapa hari ini benar-benar terasa musim dinginnya.
Sejak tinggal di Chiang Mai, saya merasakan musim dingin tanpa hujan. Eh, tapi jangan salah, di sini musim dinginnya juga tanpa salju. Berbeda dengan di belahan bumi yang lebih jauh lagi dari garis khatulistiwa ya yang ada saljunya yah.
Secara geografis, Chiang Mai ini terletak di bagian utara Thailand. Kalau Indonesia bentuknya tersebar melebar dari barat ke timur, Thailand ini melintang dari Selatan naik ke Utara. Bagian Selatannya lebih dekat ke Khatulistiwa, jadi Chiang Mai ini semakin menjauhi khatulistiwa. Semoga kebayang ya.
Pertama kali mendengar kalau di Thailand ada 3 musim yaitu musim panas, hujan dan dingin, saya jadi bertanya-tanya: loh kok dibedakan musim dingin dan musim hujan? Pertanyaan itu tentunya karena di Indonesia kita mengenal hanya ada musim panas dan hujan (yang mana di musim hujan hawanya lebih dingin daripada di musim panas).
Kalau cerita di Thailand ada musim dingin tapi gak ada hujan, beberapa orang juga jadi bertanya: emangnya ada salju di Chiang Mai? Jawabannya: nggak juga! Hehehe. Jadi ada apa sih yang bikin musim dingin di Chiang Mai? Katanya sih karena kiriman angin dingin dari daratan China sih, di sana bersalju, di sini kebagian dinginnya saja.
Pertanyaan lainnya yang sering diajukan: kapan sih musim dingin di Chiang Mai dan seperti apa sih musim dingin di Chiang Mai?
Musim dingin di Thailand itu biasanya dimulai dengan akhir Oktober atau awal November dan berlangsung sampai bulan Februari. Sepanjang musim dingin udara sangat kering dan matahari bersinar sangat tajam menusuk kulit. Salah satu tanda musim dingin adalah, banyak bunga indah bermekaran di daerah pegunungan.
Musim dingin di Thailand yang paling dingin pernah saya rasakan itu cuma di 10 derajat celcius di pagi hari. Untuk mereka yang terbiasa di negeri bersalju, 10 derajat celcius itu pasti rasanya hangat, tapi buat saya yang suhu rata-rata hariannya berkisar di 28 derajat celcius, suhu segitu bikin sakit kepala.
Dengan alasan musim dingin yang tak ada hujan dan tak ada salju, musim dingin di utara Thailand identik dengan musim untuk jalan-jalan. Tempat wisata akan ramai dikunjungi. Bahkan di masa sebelum ada pandemi, bulan November sampai Februari itu selalu ada berbagai festival yang menarik untuk para wisatawan. Turis dari negara bersalju senang dengan udara yang relatif hangat buat mereka, makanya banyak yang datang menghabiskan liburan akhir tahun di Thailand.
Musim dingin kali ini udaranya tetap dingin, tapi kemungkinan kehadiran wisatawan akan terasa berbeda. Jangankan wisatawan mancanegara, wisatawan lokal pun kemungkinan akan berkurang banyak, apalagi kemarin didapati beberapa kasus Covid-19 baru di utara Thailand dari orang yang masuk secara ilegal ke Thailand melalui perbatasan darat.
Salah satu hal yang belakangan mulai jadi masalah di musim dingin di utara Thailand juga adalah masalah polusi. Hujan yang tidak turun menyebabkan semua menjadi kering dan juga berdebu, bukan hanya kulit saja yang kering.
Petani yang selesai panen sering lebih memilih untuk membakar sisa panen sebagai cara cepat mempersiapkan lahannya untuk musim tanam berikutnya. Terkadang juga terjadi kebakaran hutan karena udara yang sangat kering. Pembakaran dan kebakaran, tanpa hujan menghasilkan polusi udara meningkat.
Masih awal Desember, indikator polusi sudah menguning dan oranye. Kami sudah mulai menyalakan filter udara terutama di malam hari. Semoga saja di akhir tahun ini dan awal tahun 2021 polusinya tidak separah awal tahun 2020.