Mencari Sekolah buat Joshua

Sekarang Joshua berumur 3 tahun 2 bulan dan masih belum dikirim ke sekolah/playgroup atau daycare manapun. Jonathan dulu umur 3 tahun kurang sudah dikirim ke daycare/taman bermain. Sebelumnya ga kepikiran mencari/memilih sekolah aja bisa jadi rumit. Mencari sekolah ini selalu jadi topik yang menarik buat saya karena di sini walaupun ada banyak sekolah, tapi mencari sekolah yang sesuai dengan kami itu ternyata ga mudah. Bahasa, harga, lokasi selain kualitas jadi pertimbangan sebelum mengirim anak ke sekolah/taman bermain.

Waktu Jona masih di daycare, saya bertemu dengan salah seorang ibu yang sama-sama mencari sekolah terbaik buat anak. Kami mengunjungi banyak sekali sekolah di Chiang Mai. Tapi karena teman saya ini orang Thailand kami lebih banyak mengunjungi sekolah Thai atau bilingual yang mengakomodasi orang asing. Dari dulu sekolah Internasional itu mahal, jadi kami ga pernah menargetkan sekolah Internasional. Kalau kata teman saya, anak dikirim ke sekolah Internasional cuma bisa berbahasa Inggris, dan kadang-kadang malah ga punya skill lainnya. Mungkin karena dia memandang sebagai orang lokal tinggal di negara sendiri, dia merasa kemampuan bahasa Inggris itu ga harus jadi kemampuan utama, apalagi kalau sampai harus bayar mahal. Dia juga punya beberapa ponakan yang lulusan sekolah Internasional tapi akhirnya kerjanya biasa saja dan penghasilannya ga berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah lokal.

Saya sebagai lulusan sekolah negeri dari SD sampai kuliah, ga bisa argue juga mengenai sekolah Internasional. Kemampuan bahasa itu bisa dipelajari, kami ga pernah menargetkan anak-anak harus bisa bahasa Inggris dulu atau bahasa Thailand dulu, tapi karena kami ga tinggal di Indonesia kami malah menargetkan anak-anak harus tetap bisa berbahasa Indonesia selain bahasa apapun yang mereka suka.

Jonathan bisa bahasa Thai dan Inggris dan sempat cuma prefer bahasa Inggris. Sejak homeschool dan banyak berbahasa Indonesia, dia mulai lebih banyak kosa kata bahasa Indonesianya. Joshua sampai sekarang lebih banyak berbahasa Inggris walaupun mengerti bahasa Indonesia. Tapi belakangan dia juga mulai suka mengucapkan kata-kata bahasa Thai yang dia dengar. Kenapa kami memaksakan anak-anak harus bisa bahasa Indonesia padahal ga tinggal di Indonesia? ya karena mereka orang Indonesia dan oppung/eyangnya ga bisa bahasa Inggris ataupun Thai. Mereka harus bisa bahasa Indonesia biar bisa ngobrol dengan keluarga besar kalau lagi pulang kampung.

Di Chiang Mai, daycare yang gurunya bisa bahasa Inggris itu pilihannya ga banyak, dan harganya 2 kali lipat dari jaman Jona daycare. Kadang2 kepikiran, dulu orangtua kami rasanya ga pusing-pusing amat milih sekolah, mereka akan cari sekolah terdekat negeri yang mereka mampu bayar dan itupun kadang terasa berat tiap awal tahun ajaran karena harus beli baju seragam maupun buku pelajaran dan alat tulis, sepatu dan tas kalau misalnya yang sebelumnya sudah kekecilan/rusak.

Di Chiang Mai ada banyak orang asing. Ada banyak sekolah Internasional dan bilingual, setiap sekolah Thai juga selalu ada English Programnya, tapi dari hasil survei, walau mereka bilang English Programme atau Bilingual umumnya semua pemberitahuan ke orangtua atau penjelasan apapun pakai bahasa Thai. Harga uang sekolah di sini juga sangat beragam, yang pasti untuk sekolah Internasional, rata-rata berkisar mulai dari 250.000 baht/tahun atau diatas 110 juta per tahun. Saya tahu, di Indonesia uang sekolah Internasional juga ga murah, tapi karena kami bukan lulusan sekolah internasional dan merasa bisa berhasil tanpa sekolah internasional, kami jadi merasa sekolah internasional ga sepadan dengan harganya.

Untuk mengeluarkan uang sekolah ratusan juta per tahun sejak anak umur 3 tahun sampai lulus universitas kalau dihitung-hitung bakal jadi beban untuk anak itu juga. Pilihan daycare bisa lebih murah (walau ga murah banget juga), dan untuk umur di bawah 6 tahun, pendidikan formal itu belom dibutuhkan. Anak lebih butuh diajak bermain dan belajar life skill. Saya mencari sekolah paruh waktu buat Joshua, tapi inipun belum berhasil menemukan yang tepat. Dengan kemampuan akademis Joshua yang mulai membaca di umur 3 tahun, sepertinya bakal semakin sulit mencari sekolah yang tepat buat dia. 

Untuk sebelum umur 6 tahun, saya mencari sekolah yang tidak mahal, guru bisa berbahasa Inggris dan tidak menekankan akademik tapi lebih banyak mengajak anak bermain. Sekolah yang guru-gurunya ga sibuk main HP dan tetap mau perhatikan anak main walaupun judul kelasnya free play. Sekolah/daycare yang ga banyak kasih anak video walaupun itu kasih lagu nursery rhyme. Karena kalau gurunya main HP mulu atau kasih video doang akhirnya sama aja dengan saya dong dan bisa saya lakukan di rumah tanpa bayar atau ribet antar jemput hehehe. 

Pada akhirnya, walaupun saya sangat ingin mengirimkan Joshua ke sekolah supaya saya bisa lebih ringan tinggal ngajarin Jonathan di rumah tanpa harus ajak Joshua main, yang paling tepat sampai sekarang ini ya tidak mengirimkan Joshua ke sekolah. Beberapa pertimbangan nantinya mencari nanny biar bisa ninggalin Joshua dan Jona di rumah kalau mamanya butuh me time.

 

Beberapa buku Roald Dahl

Siapa sih Roald Dahl? Singkatnya Roald Dahl itu penulis terkenal, lengkapnya lihat di wikipedia Roald Dahl ya. Dia menulis berbagai cerita dan cukup banyak menulis buku cerita pendek untuk anak-anak.

Tapi waktu saya jadi anak-anak, manalah saya tahu buku Roald Dahl, taunya cuma Enid Blyton karena ada film Lima Sekawan diputar di TV, lalu jadi nyari buku Lima Sekawan. Kemungkinan waktu saya kecil, buku-buku Roald Dahl belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Mengenalkan buku Roald Dahl ke anak

Sejak mengenalkan chapter book ke Jonathan, saya jadi ikutan membaca buku-buku karya Roald Dahl. Waktu saya menonton film Charlie and the Chocolate Factory, saya tahu kalau film itu dari buku penulis terkenal, tapi saya tidak mencaritahu siapa penulis bukunya dan apa karya lainnya. Tapi setelah tahu, akhirnya buku Roald Dahl untuk Jonathan yang pertama dibeli adalah  buku Charlie and the Chocolate Factory. Sebagai reward selesai membaca buku, kami nonton filmnya di Netflix.

Buku Roald Dahl berikutnya yang Jonathan minta belikan adalah Charlie and the Glass Elevator, dan George’s Marvelous Medicine. Karena Jonathan  menyelesaikan dalam waktu singkat, berikutnya kami belikan buku Matilda.

Ketika saya berencana untuk membeli lebih banyak buku Roald Dahl, kebetulan ada yang mau pindah dari Chiang Mai dan menjual satu set buku-buku Roald Dahl dengan harga murah, langsung deh saya beli tanpa pikir panjang. Buku Roald Dahl beli di toko sekitar 300 an baht, buku bekas 1 set yang saya beli ada 15 buku cuma 500 baht saja dan semua buku dalam kondisi bagus walaupun akhirnya ada beberapa buku yang sudah kami punya.

Karena merasa perlu untuk mengetahui apa yang di baca Jonathan, saya juga ikutan membaca buku Roald Dahl. Saya tidak membaca buku Charlie and the Chocolate Factory, soalnya saya sudah 2 kali menontonnya, saya pikir saya akan baca belakangan.

Saya pilih baca buku Matilda, berikutnya buku  George’s Marvelous Medicine, Fantastic Mr. Fox, The Twits, The Girrafe and the Pelly and Me. Semua buku-buku itu sudah dibaca duluan oleh Jonathan. Bahkan ada beberapa buku Roald Dahl lainnya yang Jonathan sudah baca tapi saya belum sempat menyelesaikan juga.

Sebelum saya membeli bundle buku bekas harga murah, Joe awalnya berniat membelikan e-book saja. Tapi waktu mencari daftar bukunya Roald Dahl, kami baru menyadari kalau tidak semua buku Roald Dahl ini untuk anak-anak. Kalau masuk ke website officialnya Roald Dahl juga akan ada pertanyan apakah kita guru, anak-anak atau dewasa. Dan sayapun baru tahu kalau di official websitenya ada lesson plan untuk eksplorasi buku-bukunya di ruang kelas (bagian ini saya belum bisa cerita banyak karena saya juga baru tahu haha).

Kesan membaca buku Roald Dahl

Kesan saya ketika membaca buku-buku Roald Dahl (peringatan: bakal ada spoiler mengenai beberapa buku, karena saya ga bisa menuliskan kesannya tanpa menuliskan bagian yang bikin kesan tersebut).

Matilda

Awalnya saya merasa heran, apa iya buku ini untuk anak-anak? apalagi buku pertama yang saya baca Matilda. Kisahnya menurut saya sangat sedih dan banyak percakapan yang kurang pantas diucapkan oleh orangtua ataupun guru. Saya sempat heran, kenapa Jonathan ga nangis baca buku ini, mengingat dia nonton film pokemon aja bisa nangis hehehe.

Cerita Matilda berakhir sepertinya bahagia tapi menurut saya menyedihkan karena orangtua Matilda meninggalkan Matilda begitu saja dengan gurunya. Memang sih Matilda lebih bahagia tanpa orangtuanya, dia bisa baca buku dan si ibu guru lebih mengerti dia daripada orangtuanya, tapi kan tetep aja sedih kalau ada cerita anak ditinggal orangtuanya.

George’s Marvelous Medicine

Dari cerita George’s Marvelous Medicine, saya juga masih heran, apa iya ini buku anak-anak? kok ya George bikin ramuan dari isi obat-obatan di kamar mandi dan gudang lalu dikasih minum ke neneknya.

Heran karena neneknya kok bisa ga langsung mati. Ketika neneknya akhirnya mati, sepertinya mereka ga diceritakan merasa sedih. Aduh ini ngajarin apa sih ke anak-anak?. Tapi saya menyadari, memberikan buku ke anak itu harus didampingi, jadi saya ajak Jonathan ngobrol untuk mengingatkan dia jangan pernah bikin campuran obat seperti di buku George’s Marvelous Medicine.

Saya juga bertanya apakah dia merasa takut atau sedih ketika membaca bukunya. Intinya saya jadi punya bahan untuk mengajarkan hal-hal yang berbahaya dan sebaiknya tidak dilakukan.

Fantastic Mr. Fox, The Girrafe and the Pelly and Me, dan The Twits

Buku Fantastic Mr. Fox dan buku The Girrafe and the Pelly and Me jauh lebih baik jalan ceritanya dan tidak sedramatis buku-buku sebelumnya. Diantara membaca 2 buku itu, saya membaca buku The Twits yang lagi-lagi agak dramatis.

Dramatis karena nasib tragis Mr. dan Mrs. Twits di akhir cerita walaupun kalau dibaca dari deskripsi tokohnya mereka bukan orang yang baik dan rasanya tidak ada yang akan merasa kehilangan mereka.

Penutup

Akhirnya sebuah cerita hanyalah cerita, yang lebih perlu gimana kita memaknai cerita tersebut. Mengambil hal yang baiknya dan mengerti kalau di dunia ini ga semua orang baik. Bagaimana supaya bertahan hidup seperti keluarga Fox ketika mereka disudutkan dalam lubangnya dan bagaimana bisa seperti Matilda yang sangat rajin membaca sejak kecil.

Berikutnya masih banyak buku Roald Dahl yang belum saya baca, sejauh ini walaupun ceritanya gak semuanya berakhir bahagia, tapi cerita-ceritanya cukup menghibur.  Motivasi saya membacanya supaya bisa memilih juga mana buku berikutnya sebaiknya yang dibaca Jonathan, dan supaya saya jangan ketinggalan dari Jonathan hehehe.

Menjelang Homeschool Tahun ke-2

Sejak awal bulan Juni, Jonathan sudah selesai mengerjakan semua materi kelas 2 yang kami pakai. Kami memakai kurikulum Christian Light Education. Ada 10 buku masing-masing untuk pelajaran Math, Reading dan Language Art (Grammar, Phonics, Penmanship dan creative writing). Ada 5 buku masing-masing untuk Science, Bible dan Social Studies. Untuk tahun pertama menjalani homeschool, bisa dibilang kami menyelesaikan semuanya cukup cepat, mengingat kami mulai tanggal 30 October 2017 dan selesai 5 Juni 2018.

Tahun pertama kami jalani tanpa perencanaan yang banyak. Saya ga merencanakan jadual secara detail. Untungnya kurikulum yang kami pakai sudah dibagi 1 unit pelajaran per hari, semua instruksi juga jelas dan karena 1 unit hanyak beberapa halaman, Jonathan ga butuh waktu lama untuk mengerjakannya. Biasanya saya akan membuat jadwal per minggu. Setiap akhir pekan saya membaca cepat bahan untuk minggu depan, apakah kira-kira ada topik baru yang sulit dan butuh saya jelaskan.

Kurikulum yang kami pakai berupa workbook. Untuk tiap unit, dikenalkan sebuah topik baru, diberikan contoh soal dan jawabannya, lalu review beberapa topik sebelumnya. Setiap topik akan direview beberapa kali. Untuk pelajaran social studies dan Bible diberikan dalam bentuk cerita. Pelajaran yang butuh waktu agak lama buat Jonathan selesaikan Language Art, terutama untuk bagian creative writing dan penmanship. Untuk pelajaran lain, 1 pelajaran biasanya dia selesaikan rata-rata 30 menit, kecuali kalau dia lagi ga fokus dan mikirin mainan lain.

Beli beberapa buku waktu ada diskon di asiabooks.com

Sejak menghomeschool Jonathan, saya mengikuti beberapa group homeschooling, terutama yang memakai kurikulum yang sama. Saya jadi tahu, kalau di negara tertentu mereka harus melaporkan jumlah hari sekolah dalam setahun dan juga scope materi pelajaran yang mereka pelajari tahun tersebut. Untuk level high school (SMA) nantinya mereka harus menghitung kredit mata pelajaran. Bagian yang ini saya belum baca banyak karena saya mau fokus untuk kebutuhan saat ini saja. Lanjutkan membaca “Menjelang Homeschool Tahun ke-2”

Mengajak Jonathan Membaca

Sejak bisa membaca, Jonathan senang membaca berbagai buku. Buku yang dia paling senang model buku Usborne yang ada lift the flapnya. Berikutnya dia mulai suka membaca komik. Kami berusaha mengenalkan dia untuk membaca buku tanpa gambar (chapter book), awalnya dia bilang kurang suka dan ceritanya ga menarik.

Bulan Januari 2018, saya berusaha melatih Jonathan untuk membaca buku setiap hari 1 selama 10 menit, saya ikuti kegiatan challenge Read Aloud yang ada di internet tentunya dengan memberi reward buku yang dia pilih sendiri. 

Walaupun  dia sudah bisa baca, waktu membacakan bersuara, kadang-kadang dia belum bisa berhenti ketika ada titik ataupun tanda baca lainnya. Dia cenderung membaca seperti kereta api yang tidak ada jeda walau ada titik koma. Semua diterobos aja gak berhenti sampai ganti halaman. Tentunya jadi tidak enak mendengarkannya dan saya harus mendampingi membacanya.

Buku yang saya berikan untuk dia baca selama sebulan Januari beraneka ragam. Kadang saya suruh dia membaca dongeng sebelum tidur yang cuma beberapa halaman, buku lift the flap, komik dan saya mulai kasih chapter book yang isinya berupa kumpulan cerita lepas dan membacanya tidak lebih dari 10 menit.

Lanjutkan membaca “Mengajak Jonathan Membaca”

Gadget non Screen untuk Belajar : LeapFrog Scribble and Write, Talking pen, Smart Pad

Ada beberapa gadget/mainan yang kami beli untuk belajar Jonathan dan Joshua yang  tidak ada screennya. Joshua bisa bermain cukup lama dan belajar cukup banyak dari mainan-mainan ini. Supaya tidak lupa, saya akan menuliskannya di sini.

LeapFrog Scribble and Write

Benda ini kami beli sejak Jonathan belajar menulis. Awalnya saya kurang setuju untuk membelinya, karena saya pikir ga ada bedanya dengan menulis di tablet Ipad/Android. Ternyata, setelah diperhatikan, untuk menulisnya anak akan belajar memegang pen nya seperti memegang alat tulis dan harus ditekan seperti menulis di atas kertas. Anak belajar tracing dengan mengikuti led yang menyala per pixel. Mainan ini mengajarkan menulis huruf besar dan huruf kecil, selain menggambar beberapa bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, garis, segiempat dan juga beberapa gambar bebas. Versi yang kami beli belum ada untuk menuliskan angka, terakhir kami lihat versi yang sama dengan ini sudah ada menuliskan angka juga.

Joshua dari sejak umur setahun sudah senang dengan mainan ini, awalnya dia suruh kami yang tracing dan dia mengamati saja, atau dia senang mendengar instruksi-instruksi yang diberikan untuk tracing ataupun menebak huruf. Kemampuan Joshua mengingat huruf A-Z dan a-z sebagian besar karena mainan ini.

My First SmartPad: Baby Einstein

Mainan Smartpad ini dibelikan sebagai hadiah ulang tahun Joshua ke-2. Seperti biasa, saya kurang setuju membelikannya karena menurut saya, Joshua sudah bisa ABC dan ga perlu lagi untuk dibelikan mainan ABC lainnya. Tapi alasan Joe: Joshua belum pernah dibelikan mainan bagus yang baru, semua mainan dia warisan dari kakaknya.

Dan dalam waktu singkat Joshua sudah bisa memainkan mainan ini dengan baik dan mengingat ejaan banyak kata-kata yang ada dalam bukunya. Dalam bundle yang dibeli, selain smart pad, disertakan juga buku yang mengajarkan kata-kata berawalan a sampai z, mengeja warna dan benda-benda yang memiliki warna tertentu, musik, dan lain-lain. Mainan ini juga menanyakan huruf awal dari sebuah kata.

Mainan ini membantu menambah banyak kosa kata Joshua, dan juga mengenali huruf awal dari sebuah kata. Setelah main dengan smartpad ini, Joshua sangat cepat mencari huruf untuk mengeja kata-kata yang ada dalam bukunya. Dia juga belajar untuk mengetik di keyboard komputer papanya dan bisa mengetik A-Z dan angka-angka dengan cukup cepat.

Talking Pen

Kami tertarik dengan talking pen  karena Joe pengen bisa ngoprek mainan ini (walaupun sampai sekarang dia belum sempat membuat sesuatu dari benda ini).  Talking pen yang kami beli ini bisa untuk belajar 3 bahasa (Inggris, Thai dan Mandarin), tapi kami beli untuk bahasa Inggris dan terutama bahasa Thailand.  Pulpen ini bisa membaca buku khusus yang sudah ada mark nya di dalamnya, buku yang diterbitkan sudah sangat banyak. Ketika membeli paket pulpennya, kami mendapat banyak buku dan flashcard yang sampai sekarang belum habis dimainkan anak-anak. Kami akhirnya beli 2 pulpen karena awalnya Joshua dan Jonathan selalu berebutan untuk memainkannya. Joe bilang, ya beli 2 nanti yang 1 buat dia program kalau anak-anak udah bosan mainannya.

Mainan ini agak lama tidak dimainkan karena repot membereskan tiap kali selesai main. Tapi belakangan ini, sejak kami stop tontonan, mainan ini kami keluarkan lagi. Sejak mulai main dengan talking pen, Joshua tertarik untuk mengenali huruf Thai. Awalnya dia suka untuk mendengarkan saja, sekarang dia sudah hampir mengingat 44 huruf konsonan Thai dalam waktu seminggu.

Mainan-mainan ini memang agak mahal harganya, tapi kalau dilihat dari kegunaan dan memang cukup lama dimainkan, rasanya mainan ini sudah sangat terpakai dan dipakai oleh 2 anak. Untuk talking pen, nantinya saya juga ingin pakai untuk belajar mandarin.

Selain mainan yang menggunakan baterai, ada banyak juga mainan lain yang membantu anak-anak untuk belajar menulis dan membaca. Mainan favorit Joshua yang sering dia pakai adalah: white board + spidol, huruf2 magnetik, eva mat yang bermotif huruf dan magnetik drawing board.