Hong Kong Trip: Jalan-jalan seputar Tsim Tsa Tsui

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke Hong Kong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari ke-3 di Hong Kong, Kamis 20 September 2018. Hari ke-3 ini, Joe pergi mengikuti acara BEVX, saya harus bawa anak-anak berkelana sendirian. Karena kecapean di Disneyland, dan udara Hong Kong yang banyak debu dan asap rokok, Joshua bersin-bersin sejak kami tiba di hotel Butterfly on Prat. 

Sebelum berangkat, Joe sempat berharap di hotelnya akan ada pokegym atau pokestop, dan harapannya terkabul, ada pokestop persis di hotelnya hahaha.

Sebelum memilih hotel ini, kami mempertimbangkan memilih AirBnB supaya bisa masak,  tapi ga sengaja nemu hotel ini yang lokasinya benar-benar dekat ke mana-mana (tujuan kami), dan dapat kamar yang cukup besar dengan 2 bed double dan 1 bed single (jadi bisa tidur lebih leluasa). Waktu di Disneyland Hotel, cuma dapat 2 bed double, jadi Joe dan Jonathan agak sempit-sempitan, di hotel ini mereka bisa seorang  1 bed dan saya share dengan Joshua. Hotel ini juga meminjamkan 1 HP yang bisa akses internet dan telepon lokal (walau tidak kami pakai), dan 1 mobile wi–fi dengan akses data unlimited (nah yang ini kepake banget). Harga kamarnya juga ga berbeda dengan harga AirBnB yang cukup untuk 2 dewasa dan 2 anak.

Pagi-pagi Joe duluan keluar dari hotel untuk ke acara BEVX, saya dan anak-anak masih melanjutkan istirahat. Kami sarapan seadanya saja, dan berencana makan siang agak awal. Sebelum jam 11, saya dan anak-anak keluar cari makan. Kali ini, setelah googling restoran yang family friendly kami ke Charlie Brown Cafe. Cuma butuh jalan 5 menit dari hotel, tapi karena Joshua lagi ga mau kerjasama, jalannya jadi agak lebih lama. Joshua gak suka jalan sendiri dan minta digendong, sepanjang jalan dia meringis antara ga mau jalan dan setiap ketemu gedung yang ada AC nya dia mau belok aja ke sana.

Setelah beberapa kali berhenti untuk membujuk Joshua jalan, akhirnya sampe juga di cafe nya. Untungnya menu nya cocok untuk Joshua, dan dia bisa makan banyak. Makan terbanyak sejak sampai di HongKong. Karena kami makan cukup lama dan Joshua masih kurang fit, saya putuskan pulang kembali ke hotel untuk tidur siang dan memutuskan untuk jalan sore bareng Joe aja. Dari google,  saya liat ada space museum berseberangan dengan lokasi acara Joe, jadi lebih baik jalan-jalan sore biar ga panas juga jalannya.

Karena anak-anak masih capek pasca jalan-jalan di Disneyland, setiba di hotel mereka tidur nyenyak. Menjelang jam 5 sore, saya dan anak-anak keluar lagi. Lokasi BEVX sekitar 10 menit dari hotel. Tapi karena lagi-lagi saya semi menyeret Joshua yang gak suka jalan di luar yang banyak orang dan bau rokok, saya kelewat lokasi BEVX. Biasanya selama ini saya melihat hotel selalu punya halaman yang cukup luas untuk parkir dan atau taman hotel, tapi ternyata hal ini ga berlaku di HongKong, gara-gara ini saya kelewat lokasi trainingnya Joe, karena saya pikir baru melewati pertokoan doang.

Setelah ketemu Joe, kami nyebrang langsung ke Space Museum. Di dalam Museum, Joshua langsung happy. Tiket masuk Space Museum ini cukup murah, untuk Joshua kami bahkan ga perlu membayar. Isi space museum ini cukup menarik bahkan untuk Joshua. Ada banyak yang bisa dicoba, pencet sana sini dan perhatikan apa yang terjadi.

Rencana selanjutnya cari makan sebelum pulang ke hotel, tapi saya baru menyadari kalau space museum ini bersebelahan dengan HongKong Cultural Centre, dan setiap jam 8 malam di sana bisa melihat Symphony of Lights. Ada 3 restoran di Hongkong Cultural Centre, kami pilih restoran yang menunya ga terlalu besar, tapi itupun tetap saja kami ga berhasil menghabiskan apa yang kami pesan. 

Sebelum jam 8 malam, kami sudah duduk manis untuk menunggu Symphony of Lights. Acara ini berlangsung tiap malam sekitar 15 menit, tapi saya heran kenapa tetep rame ya? Saya bertanya dalam hati, kira-kira ada gak penduduk HongKong yang akan setia datang tiap malam melihat Symphony of Lights, atau semua yang duduk di situ turis?

Selesai melihat Symphony of Lights, kami langsung jalan pulang ke hotel. Kali ini Joe menggendong Joshua karena dia sudah terlihat sangat capek sekali. Jonathan sudah mulai terlatih jalan banyak, dan karena enjoy dengan banyak yang dia alami selama di HongKong, mulai ga mengeluh soal jauh perjalanan, apalagi jalan sore/malam hari lebih enak karena ga ada panas matahari yang menyengat.

Hari ke-4, Jumat Joe masih ada 1 hari lagi kegiatan BEVX. Hari Jumat Joshua sudah lebih segar. Pagi-pagi, saya ajak anak-anak jalan ke Science Museum. Tapi begitu keluar dari hotel, Joshua seperti trauma jalan di trotoar HongKong. Setelah beberapa kali berhenti dan membujuk dia supaya jalan, kami sampai juga di Science Museum. Tiket masuk ke Science Museum juga tidak mahal. Ada pameran mengenai space juga, jadi kami seperti melihat extended dari Space Museum. Beberapa jam di sana, kami belum berhasil melihat semuanya. Sekitar jam 1 siang, saya ajak anak-anak pulang, karena biasanya kalau kelewat jam makan bisa-bisa Joshua ketiduran pas nunggu makanan.

Di jalan pulang, kami melewati komplek yang banyak restoran kecil-kecil. Saya putuskan untuk makan sebelum pulang, di restoran yang kebetulan ada meja kosongnya (jam makan siang hampir semua restoran penuh). Waktu menunggu makanan, hampir saja Joshua ketiduran, untungnya masih bisa dibangunkan dan bisa makan dengan lahap.

Sampai hotel, kami tidur siang lagi. Saya juga ketiduran hahaha. Ternyata jalan-jalan bawa 2 anak di negeri orang lebih berat daripada di Chiang Mai.  Selama di Hong Kong, rata-rata saya berjalan sekitar 10.000 langkah, sementara di Chiang Mai tinggal injek gas ke mana-mana hahhaa. Bener-bener ya dimanjakan banget sama kota Chiang Mai.

Sore harinya, kami putuskan untuk stay di Hotel saja. Kami simpan tenaga buat jalan-jalan hari Sabtu. Hari terakhir di HongKong dan kami merencanakan untuk ke puncak tertinggi di HongKong.

HongKong Trip: Disneyland Day 2

Tulisan ini merupakan bagian dari cerita jalan-jalan kami ke HongKong sejak 18 September – 23 September 2018.

Hari berikutnya Rabu 19 September 2018. Anak-anak bangun sebelum jam 7 karena tidur awal malam sebelumnya. Matahari di luar sudah cerah banget. Karena hari sebelumnya kami makan malam masih agak sore, pagi-pagi kami udah lapar. Bersyukur juga udah pesan sarapan di hotel, jadi bisa langsung turun buat sarapan. 

Awalnya saya bingung mau milih makanan apa buat Joshua, akhirnya kami menemukan susu dan sereal di restoran untuk sarapan Joshua. Highlight dari sarapan di hotel adalah berfoto dengan Chef Mickey. Tapi berhubung chefnya cuma menyediakan sesi foto 30 menit, jadi kami harus antri foto juga sebelum Chefnya pergi. Anak-anak yang yang gitu kenal tokoh Mickey ya biasa aja deh hehehe.

Makanan sarapannya ada banyak jenis. Rasanya menurut saya biasa aja, ada pancake dibentuk kepala Mickey, ada buah-buahan, yoghurt, mie, nasi dan macem-macem deh. Tapi kalau kata Joe masih lebih berkesan dengan restoran di Jogja yang pernah kami kunjungi beberapa tahun lalu karena makanannya ada makanan khas Jogja (gudeg) dan ada jamu segala. Makanan di restoran Disneyland menurut saya agak standard, bahkan ga ada omellete yang diisi macam-macam yang biasanya jadi menu yang banyak ditunggu orang sampai ngantri.

Hari ke-2 sebelum ke Disneyland, selesai sarapan kami memutuskan jalan-jalan seputar hotel. Kami ga buru- buru ke Disneyland karena toh jam bukanya jam 10.30 pagi. Kami menemukan playground yang sangat sepi karena sepertinya anak-anak yang lain lebih suka berenang. Kami ga berenang karena saya ga siapin baju berenang, dan keputusan itu tepat karena kolam renangnya terbuka dan jam 8 pagi saja panasnya sudah terasa menyengat. Setelah puas bermain di playground yang menghadap ke laut, kami jalan sedikit mengitari halaman hotel sambil nangkap pokemon dan battle pokegym dan kembali ke kamar.

Karena jam check out hotel sekitar jam 11 dan kami masih mau bermain lagi di Disneyland (kami punya tiket untuk 2 hari), kami putuskan untuk langsung membawa koper ke area Disney supaya ga perlu balik lagi ke hotel. Di hotel juga ada penitipan koper, tapi daripada harus naik turun shuttle lagi sebelum naik taksi, lebih baik kami bawa koper sekalian. Sebenarnya di dalam resort Disneyland, dekat dengan tempat penitipan koper ada stasiun MRT juga, ada sedikit niat untuk naik MRT ke arah hotel berikutnya di kota. Saya bilang sedikit niat, karena kemungkinan besar kami sudah akan sangat lelah sehabis bermain di Disney dan naik MRT sambil membawa koper besar plus anak yang kemungkinan juga minta di gendong itu pastinya akan sangat merepotkan. Tapi ya pada akhirnya kami naik taksi langsung dari tempat bermain Disneylandnya sih karena jalur MRT untuk menuju hotel berikutnya itu memerlukan ganti jalur kereta dan kemungkinan besar jalannya lumayan jauh.

Biaya penitipan koper dihitung per potong, jadi kami bayar untuk 2 koper (1 besar dan 1 kecil). Hari ke-2 di Disneyland kami sudah lebih tau apa yang akan jadi tujuan kami. Saya sudah membaca-baca deskripsi permainan yang kira-kira juga akan cocok untuk Joshua. Kami memutuskan untuk tidak menyewa stroller, karena kami pikir, nantinya Joshua bisalah tidur pas kami istirahat makan siang. 

Tujuan pertama di hari ke-2 ke Fantasy Land. Pertama naik Flying Dumbo, untungnya di hari ke-2 ini walau matahari cukup menyengat, tapi beberapa waktu ada awan yang cukup membuat udara ga terlalu panas.

Selesai naik Flying Dumbo kami bertujuan ke It’s a small world. Tempat tujuan berikut ini isinya seperti istana boneka di TMII, tapi lagunya Joshua sudah kenal karena ada dalam playlist yang sering diputar di mobil. Tapi sebelum sampai ke it’s a small world, kami naik teacup yang muter-muter dulu karena kebetulan lewat dan antriannya kosong, jadi ya sekalian aja. Lagipula tempatnya juga ada atapnya, jadi cukup teduh.

Joshua cukup senang naik gajah terbang maupun teacup yang muter-muter. Pas masuk ke it’s a small world udaranya paling adem, Joshua langsung semangat banget menuju ke boatnya. Di Disney, semua wahana menyediakan tempat antrian yang cukup panjang, kalau lagi ga ada antrian jadinya jalannya jauh hehehe. Keluar dari It’s A Small World, berasa deh panas lagi.

Selesai dari istana boneka, kami memutuskan untuk ke Toy Story Land dulu sebelum makan, kalau sudah makan kuatir malah mual kalau mainannya agak mutar-mutar.  Mampir sebentar di Tomorrow Land karena Jonathan mau naik roller coaster ala star wars.

Karena Joshua ga bisa ikut naik (ada batasan tinggi 120 cm), saya dan Joshua menunggu di luar. Daripada bengong, saya beli eskrim bentuk kepala Mickey (40 HKD). Saya pikir, anggap aja pengganti beli susu. Selesai Jona dan papanya naik roller coaster ala star wars (yang katanya Jona lebih menyeramkan karena gelap), kami naik flying saucer (ini sebenarnya sama saja dengan flying dumbo).

Sebelum sampai di Toy Story Land, kami lewati Adventure Land lagi dan sedang ada pertunjukan orang Moana. Pertunjukannya pake bahasa Cina dan Inggris, Jona dan Joshua ga gitu tertarik. Ada banyak orang dan tempat duduknya juga sudah penuh. Jadi kami berhenti sebentar doang untuk istirahat sekalian berteduh. Pas lewat lagi, ada beberapa orang foto dengan tokoh Moana versi English. Komentar Joe: sepertinya yang foto dengan Moana bapak-bapak semua, anak-anaknya ga ada malahan hahahaha. Kalau komentar saya: aduh itu rambut Moana ketauan banget rambut palsu, masih bagusan rambut aku hahahahha.

Setelah mampir sana sini, sampai juga di Toy Story Land, Joshua gembira banget liat tulisan ABC sampai Z yang super besar. Jadi agak gak enak sama orang-orang yang berusaha foto di situ, karena ya Joshua lalu lalang sambil bernyanyi-nyanyi gembira walaupun di bawah terik matahari. Setelah di distract, akhirnya sampai ke tujuan Toy Story Land, naik roller coaster yang bisa untuk semua umur dan tidak terlalu ekstrim (Slinky Dog Spin). Tapi ternyata, namanya roller coaster ya sama aja ya, tetep keliatan Joshua kurang suka naik roller coaster. Jonathan yang sudah naik yang lebih ekstrim tentunya cuma ketawa-tawa bahagia aja.

Selesai naik roller coaster, Jonathan pingin naik wahana yang ada Parachute drop. Di wahana ini sebenarnya Joshua bisa saja karena minimal 80 cm, tapi karena kami kuatir Joshua ga enjoy dan antriannya banyak, saya dan Joshua ga ikutan dan menunggu sambil Joshua puas-puasin liat ABC raksasa. Awalnya saya pikir kalau mereka jual versi mainannya, saya akan beli buat Joshua, tapi ternyata gak ada.

Setelah capek liat-liat ABC, akhirnya saya ajak Joshua jalan menunggu di area parachute drop. Saya dudukkan dia di kursi tempat latihan buat orang yang duduk di kursi roda. Eh ternyata dia ngantuk dan tertidur deh disitu. Karena Joe dan Jonathan masih lama diantrian, ya saya biarkan saja Joshua tidur disitu, sambil berharap ga ada orang yang perlu memakai itu (untungnya ga diusir juga sama petugas haha).

Sementara menunggu Joshua tidur, sebagai pemain Pokemon Go, kami mengambil alih satu Gym di area Parachute Drop.

Joshua masih kami biarkan tidur dikursi itu sekitar 25 menit, lalu kami gendong jalan sambil cari restoran.

Untungnya ga jauh berjalan dari situ kami menemukan restoran yang cukup adem dan ada menu nasi goreng segala di Explorer’s Club Restaurant di Mystic Point. Beberapa menu di restoran ini juga ada label Halalnya. Sambil menunggu saya order makanan, Joshua masih tidur sekitar 15 menit lagi.

Kami memutuskan  menutup perjalanan mengunjungi istana boneka lagi. Tapi setelah keluar dari Small World, Joshua mau naik Tea Cup lagi. Di sini HP Joe jatuh ke bawah Tea cupnya dan walaupun udah gorilla glass plus screen guard, HP Joe retak layarnya plus lensa kamera belakangnya juga retak. Masih nyala bisa dipakai, tapi layarnya ada bagian yang agak tajam dan berbahaya buat tangan, plus kamera depan belakang jadi blur.

Tadinya sudah cukup mau pulang, tapi karena wahana Winnie The Pooh lagi kosong dibanding hari sebelumnya, kami memutuskan masuk dulu ke Winnie The Pooh Storytime. 

Gak berasa, hari ke-2 kami bisa lebih banyak menikmati berbagai wahana. Tau-tau udah sore dan kami memutuskan untuk pulang supaya ga terlalu gelap sampai di hotel daerah Tsim Tsa Tsui. Kami naik taksi merah ke arah Tsim Tsa Tsui. Jonathan sangat terkesan dengan kode warna taksi di Hong Kong. Waktu dari Airport ke Disneyland, kami naik taksi berwarna biru, dari Disneyland ke Tsim Tsa Tsui kami naik taksi berwarna merah. Ada 1 jenis taksi lagi warna hijau tapi kami ga naik.

Sampai hotel Butterfly on Prat, sekitar jam 7-an, masukkin koper dan kami memutuskan makan di restoran Thailand sebelah hotel. Pelayan restorannya sebagian kurang bisa bahasa Inggris tapi bisa bahasa Thai, jadi mesennya malah pake bahasa Thai. Jauh-jauh ke Hong Kong pesen makanan Thai pake bahasa Thai hehehe.

Udah terlalu capek untuk menjelajah Hong Kong di waktu malam. Mampir di Cirlce K dan 7 Eleven akhirnya nemu susu coklat buat Joshua. Dan di sini lah saya mengalami kaget masalah sedotan, plastik bag dan merasa mini marketnya benar-benar mini dan barangnya ga sebanyak di Chiang Mai hehehe.

Hotelnya edkat McDonald’s, Circle K dan 7-Eleven

Kesimpulan hari ke-2: Kalau anak masih kecil, rasanya kurang optimal ke Disneyland. Sebaiknya menunggu anak tingginya 140 cm supaya bisa naik semua wahana dan harapannya kalau udah cukup besar, cukup kuat juga buat berjalan-jalan seharian menjelajahi Disneyland. Datang ke sana di hari biasa dan bukan musim liburan sekolah sangat membantu untuk tidak mengalami antrian panjang, tapi ya keputusan untuk langsung ke Disneyland di hari yang sama setiba di Hong Kong juga jadi ga efektif  di Disneylandnya.

Kalau mau lebih hemat, bisa juga menginap di area kota (bukan di Disneyland Resort), ke Disneyland hari berikutnya setelah sampai di Hong Kong, misalnya selesai sarapan naik MRT ke Disneyland, puas-puasin deh seharian dari jam 11.30 sampe jam 8 malam di Disneyland. Jadi bisa menghemat ga perlu titip koper segala, ataupun sewa stroller dan anak-anak juga udah segar tenaganya setelah tidur malam yang cukup. Bawa perbekalan makanan dan minuman dari Circle K atau 7 Eleven di kota, karena harga minuman di luar Disneyland berkisar 7 – 15 HKD saja.

Tapi ya, kami memang bukan traveler sejati. Udah tau ada aplikasi Disneyland sejak sebelum berangkat tapi tetap saja akhirnya di baca setelah sampai di sana hahahha. Jangan ditiru ya, kalau mau lebih fun lagi, sebaiknya baca informasi yang sudah banyak tersedia di internet, jadi gak kayak kami yang akhirnya banyakan jalannya daripada naik wahananya di hari pertama hehehhee. 

Mencari Sekolah buat Joshua

Sekarang Joshua berumur 3 tahun 2 bulan dan masih belum dikirim ke sekolah/playgroup atau daycare manapun. Jonathan dulu umur 3 tahun kurang sudah dikirim ke daycare/taman bermain. Sebelumnya ga kepikiran mencari/memilih sekolah aja bisa jadi rumit. Mencari sekolah ini selalu jadi topik yang menarik buat saya karena di sini walaupun ada banyak sekolah, tapi mencari sekolah yang sesuai dengan kami itu ternyata ga mudah. Bahasa, harga, lokasi selain kualitas jadi pertimbangan sebelum mengirim anak ke sekolah/taman bermain.

Waktu Jona masih di daycare, saya bertemu dengan salah seorang ibu yang sama-sama mencari sekolah terbaik buat anak. Kami mengunjungi banyak sekali sekolah di Chiang Mai. Tapi karena teman saya ini orang Thailand kami lebih banyak mengunjungi sekolah Thai atau bilingual yang mengakomodasi orang asing. Dari dulu sekolah Internasional itu mahal, jadi kami ga pernah menargetkan sekolah Internasional. Kalau kata teman saya, anak dikirim ke sekolah Internasional cuma bisa berbahasa Inggris, dan kadang-kadang malah ga punya skill lainnya. Mungkin karena dia memandang sebagai orang lokal tinggal di negara sendiri, dia merasa kemampuan bahasa Inggris itu ga harus jadi kemampuan utama, apalagi kalau sampai harus bayar mahal. Dia juga punya beberapa ponakan yang lulusan sekolah Internasional tapi akhirnya kerjanya biasa saja dan penghasilannya ga berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah lokal.

Saya sebagai lulusan sekolah negeri dari SD sampai kuliah, ga bisa argue juga mengenai sekolah Internasional. Kemampuan bahasa itu bisa dipelajari, kami ga pernah menargetkan anak-anak harus bisa bahasa Inggris dulu atau bahasa Thailand dulu, tapi karena kami ga tinggal di Indonesia kami malah menargetkan anak-anak harus tetap bisa berbahasa Indonesia selain bahasa apapun yang mereka suka.

Jonathan bisa bahasa Thai dan Inggris dan sempat cuma prefer bahasa Inggris. Sejak homeschool dan banyak berbahasa Indonesia, dia mulai lebih banyak kosa kata bahasa Indonesianya. Joshua sampai sekarang lebih banyak berbahasa Inggris walaupun mengerti bahasa Indonesia. Tapi belakangan dia juga mulai suka mengucapkan kata-kata bahasa Thai yang dia dengar. Kenapa kami memaksakan anak-anak harus bisa bahasa Indonesia padahal ga tinggal di Indonesia? ya karena mereka orang Indonesia dan oppung/eyangnya ga bisa bahasa Inggris ataupun Thai. Mereka harus bisa bahasa Indonesia biar bisa ngobrol dengan keluarga besar kalau lagi pulang kampung.

Di Chiang Mai, daycare yang gurunya bisa bahasa Inggris itu pilihannya ga banyak, dan harganya 2 kali lipat dari jaman Jona daycare. Kadang2 kepikiran, dulu orangtua kami rasanya ga pusing-pusing amat milih sekolah, mereka akan cari sekolah terdekat negeri yang mereka mampu bayar dan itupun kadang terasa berat tiap awal tahun ajaran karena harus beli baju seragam maupun buku pelajaran dan alat tulis, sepatu dan tas kalau misalnya yang sebelumnya sudah kekecilan/rusak.

Di Chiang Mai ada banyak orang asing. Ada banyak sekolah Internasional dan bilingual, setiap sekolah Thai juga selalu ada English Programnya, tapi dari hasil survei, walau mereka bilang English Programme atau Bilingual umumnya semua pemberitahuan ke orangtua atau penjelasan apapun pakai bahasa Thai. Harga uang sekolah di sini juga sangat beragam, yang pasti untuk sekolah Internasional, rata-rata berkisar mulai dari 250.000 baht/tahun atau diatas 110 juta per tahun. Saya tahu, di Indonesia uang sekolah Internasional juga ga murah, tapi karena kami bukan lulusan sekolah internasional dan merasa bisa berhasil tanpa sekolah internasional, kami jadi merasa sekolah internasional ga sepadan dengan harganya.

Untuk mengeluarkan uang sekolah ratusan juta per tahun sejak anak umur 3 tahun sampai lulus universitas kalau dihitung-hitung bakal jadi beban untuk anak itu juga. Pilihan daycare bisa lebih murah (walau ga murah banget juga), dan untuk umur di bawah 6 tahun, pendidikan formal itu belom dibutuhkan. Anak lebih butuh diajak bermain dan belajar life skill. Saya mencari sekolah paruh waktu buat Joshua, tapi inipun belum berhasil menemukan yang tepat. Dengan kemampuan akademis Joshua yang mulai membaca di umur 3 tahun, sepertinya bakal semakin sulit mencari sekolah yang tepat buat dia. 

Untuk sebelum umur 6 tahun, saya mencari sekolah yang tidak mahal, guru bisa berbahasa Inggris dan tidak menekankan akademik tapi lebih banyak mengajak anak bermain. Sekolah yang guru-gurunya ga sibuk main HP dan tetap mau perhatikan anak main walaupun judul kelasnya free play. Sekolah/daycare yang ga banyak kasih anak video walaupun itu kasih lagu nursery rhyme. Karena kalau gurunya main HP mulu atau kasih video doang akhirnya sama aja dengan saya dong dan bisa saya lakukan di rumah tanpa bayar atau ribet antar jemput hehehe. 

Pada akhirnya, walaupun saya sangat ingin mengirimkan Joshua ke sekolah supaya saya bisa lebih ringan tinggal ngajarin Jonathan di rumah tanpa harus ajak Joshua main, yang paling tepat sampai sekarang ini ya tidak mengirimkan Joshua ke sekolah. Beberapa pertimbangan nantinya mencari nanny biar bisa ninggalin Joshua dan Jona di rumah kalau mamanya butuh me time.

 

Beberapa buku Roald Dahl

Siapa sih Roald Dahl? Singkatnya Roald Dahl itu penulis terkenal, lengkapnya lihat di wikipedia Roald Dahl ya. Dia menulis berbagai cerita dan cukup banyak menulis buku cerita pendek untuk anak-anak.

Tapi waktu saya jadi anak-anak, manalah saya tahu buku Roald Dahl, taunya cuma Enid Blyton karena ada film Lima Sekawan diputar di TV, lalu jadi nyari buku Lima Sekawan. Kemungkinan waktu saya kecil, buku-buku Roald Dahl belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Mengenalkan buku Roald Dahl ke anak

Sejak mengenalkan chapter book ke Jonathan, saya jadi ikutan membaca buku-buku karya Roald Dahl. Waktu saya menonton film Charlie and the Chocolate Factory, saya tahu kalau film itu dari buku penulis terkenal, tapi saya tidak mencaritahu siapa penulis bukunya dan apa karya lainnya. Tapi setelah tahu, akhirnya buku Roald Dahl untuk Jonathan yang pertama dibeli adalah  buku Charlie and the Chocolate Factory. Sebagai reward selesai membaca buku, kami nonton filmnya di Netflix.

Buku Roald Dahl berikutnya yang Jonathan minta belikan adalah Charlie and the Glass Elevator, dan George’s Marvelous Medicine. Karena Jonathan  menyelesaikan dalam waktu singkat, berikutnya kami belikan buku Matilda.

Ketika saya berencana untuk membeli lebih banyak buku Roald Dahl, kebetulan ada yang mau pindah dari Chiang Mai dan menjual satu set buku-buku Roald Dahl dengan harga murah, langsung deh saya beli tanpa pikir panjang. Buku Roald Dahl beli di toko sekitar 300 an baht, buku bekas 1 set yang saya beli ada 15 buku cuma 500 baht saja dan semua buku dalam kondisi bagus walaupun akhirnya ada beberapa buku yang sudah kami punya.

Karena merasa perlu untuk mengetahui apa yang di baca Jonathan, saya juga ikutan membaca buku Roald Dahl. Saya tidak membaca buku Charlie and the Chocolate Factory, soalnya saya sudah 2 kali menontonnya, saya pikir saya akan baca belakangan.

Saya pilih baca buku Matilda, berikutnya buku  George’s Marvelous Medicine, Fantastic Mr. Fox, The Twits, The Girrafe and the Pelly and Me. Semua buku-buku itu sudah dibaca duluan oleh Jonathan. Bahkan ada beberapa buku Roald Dahl lainnya yang Jonathan sudah baca tapi saya belum sempat menyelesaikan juga.

Sebelum saya membeli bundle buku bekas harga murah, Joe awalnya berniat membelikan e-book saja. Tapi waktu mencari daftar bukunya Roald Dahl, kami baru menyadari kalau tidak semua buku Roald Dahl ini untuk anak-anak. Kalau masuk ke website officialnya Roald Dahl juga akan ada pertanyan apakah kita guru, anak-anak atau dewasa. Dan sayapun baru tahu kalau di official websitenya ada lesson plan untuk eksplorasi buku-bukunya di ruang kelas (bagian ini saya belum bisa cerita banyak karena saya juga baru tahu haha).

Kesan membaca buku Roald Dahl

Kesan saya ketika membaca buku-buku Roald Dahl (peringatan: bakal ada spoiler mengenai beberapa buku, karena saya ga bisa menuliskan kesannya tanpa menuliskan bagian yang bikin kesan tersebut).

Matilda

Awalnya saya merasa heran, apa iya buku ini untuk anak-anak? apalagi buku pertama yang saya baca Matilda. Kisahnya menurut saya sangat sedih dan banyak percakapan yang kurang pantas diucapkan oleh orangtua ataupun guru. Saya sempat heran, kenapa Jonathan ga nangis baca buku ini, mengingat dia nonton film pokemon aja bisa nangis hehehe.

Cerita Matilda berakhir sepertinya bahagia tapi menurut saya menyedihkan karena orangtua Matilda meninggalkan Matilda begitu saja dengan gurunya. Memang sih Matilda lebih bahagia tanpa orangtuanya, dia bisa baca buku dan si ibu guru lebih mengerti dia daripada orangtuanya, tapi kan tetep aja sedih kalau ada cerita anak ditinggal orangtuanya.

George’s Marvelous Medicine

Dari cerita George’s Marvelous Medicine, saya juga masih heran, apa iya ini buku anak-anak? kok ya George bikin ramuan dari isi obat-obatan di kamar mandi dan gudang lalu dikasih minum ke neneknya.

Heran karena neneknya kok bisa ga langsung mati. Ketika neneknya akhirnya mati, sepertinya mereka ga diceritakan merasa sedih. Aduh ini ngajarin apa sih ke anak-anak?. Tapi saya menyadari, memberikan buku ke anak itu harus didampingi, jadi saya ajak Jonathan ngobrol untuk mengingatkan dia jangan pernah bikin campuran obat seperti di buku George’s Marvelous Medicine.

Saya juga bertanya apakah dia merasa takut atau sedih ketika membaca bukunya. Intinya saya jadi punya bahan untuk mengajarkan hal-hal yang berbahaya dan sebaiknya tidak dilakukan.

Fantastic Mr. Fox, The Girrafe and the Pelly and Me, dan The Twits

Buku Fantastic Mr. Fox dan buku The Girrafe and the Pelly and Me jauh lebih baik jalan ceritanya dan tidak sedramatis buku-buku sebelumnya. Diantara membaca 2 buku itu, saya membaca buku The Twits yang lagi-lagi agak dramatis.

Dramatis karena nasib tragis Mr. dan Mrs. Twits di akhir cerita walaupun kalau dibaca dari deskripsi tokohnya mereka bukan orang yang baik dan rasanya tidak ada yang akan merasa kehilangan mereka.

Penutup

Akhirnya sebuah cerita hanyalah cerita, yang lebih perlu gimana kita memaknai cerita tersebut. Mengambil hal yang baiknya dan mengerti kalau di dunia ini ga semua orang baik. Bagaimana supaya bertahan hidup seperti keluarga Fox ketika mereka disudutkan dalam lubangnya dan bagaimana bisa seperti Matilda yang sangat rajin membaca sejak kecil.

Berikutnya masih banyak buku Roald Dahl yang belum saya baca, sejauh ini walaupun ceritanya gak semuanya berakhir bahagia, tapi cerita-ceritanya cukup menghibur.  Motivasi saya membacanya supaya bisa memilih juga mana buku berikutnya sebaiknya yang dibaca Jonathan, dan supaya saya jangan ketinggalan dari Jonathan hehehe.

Menjelang Homeschool Tahun ke-2

Sejak awal bulan Juni, Jonathan sudah selesai mengerjakan semua materi kelas 2 yang kami pakai. Kami memakai kurikulum Christian Light Education. Ada 10 buku masing-masing untuk pelajaran Math, Reading dan Language Art (Grammar, Phonics, Penmanship dan creative writing). Ada 5 buku masing-masing untuk Science, Bible dan Social Studies. Untuk tahun pertama menjalani homeschool, bisa dibilang kami menyelesaikan semuanya cukup cepat, mengingat kami mulai tanggal 30 October 2017 dan selesai 5 Juni 2018.

Tahun pertama kami jalani tanpa perencanaan yang banyak. Saya ga merencanakan jadual secara detail. Untungnya kurikulum yang kami pakai sudah dibagi 1 unit pelajaran per hari, semua instruksi juga jelas dan karena 1 unit hanyak beberapa halaman, Jonathan ga butuh waktu lama untuk mengerjakannya. Biasanya saya akan membuat jadwal per minggu. Setiap akhir pekan saya membaca cepat bahan untuk minggu depan, apakah kira-kira ada topik baru yang sulit dan butuh saya jelaskan.

Kurikulum yang kami pakai berupa workbook. Untuk tiap unit, dikenalkan sebuah topik baru, diberikan contoh soal dan jawabannya, lalu review beberapa topik sebelumnya. Setiap topik akan direview beberapa kali. Untuk pelajaran social studies dan Bible diberikan dalam bentuk cerita. Pelajaran yang butuh waktu agak lama buat Jonathan selesaikan Language Art, terutama untuk bagian creative writing dan penmanship. Untuk pelajaran lain, 1 pelajaran biasanya dia selesaikan rata-rata 30 menit, kecuali kalau dia lagi ga fokus dan mikirin mainan lain.

Beli beberapa buku waktu ada diskon di asiabooks.com

Sejak menghomeschool Jonathan, saya mengikuti beberapa group homeschooling, terutama yang memakai kurikulum yang sama. Saya jadi tahu, kalau di negara tertentu mereka harus melaporkan jumlah hari sekolah dalam setahun dan juga scope materi pelajaran yang mereka pelajari tahun tersebut. Untuk level high school (SMA) nantinya mereka harus menghitung kredit mata pelajaran. Bagian yang ini saya belum baca banyak karena saya mau fokus untuk kebutuhan saat ini saja. Lanjutkan membaca “Menjelang Homeschool Tahun ke-2”

Mengajak Jonathan Membaca

Sejak bisa membaca, Jonathan senang membaca berbagai buku. Buku yang dia paling senang model buku Usborne yang ada lift the flapnya. Berikutnya dia mulai suka membaca komik. Kami berusaha mengenalkan dia untuk membaca buku tanpa gambar (chapter book), awalnya dia bilang kurang suka dan ceritanya ga menarik.

Bulan Januari 2018, saya berusaha melatih Jonathan untuk membaca buku setiap hari 1 selama 10 menit, saya ikuti kegiatan challenge Read Aloud yang ada di internet tentunya dengan memberi reward buku yang dia pilih sendiri. 

Walaupun  dia sudah bisa baca, waktu membacakan bersuara, kadang-kadang dia belum bisa berhenti ketika ada titik ataupun tanda baca lainnya. Dia cenderung membaca seperti kereta api yang tidak ada jeda walau ada titik koma. Semua diterobos aja gak berhenti sampai ganti halaman. Tentunya jadi tidak enak mendengarkannya dan saya harus mendampingi membacanya.

Buku yang saya berikan untuk dia baca selama sebulan Januari beraneka ragam. Kadang saya suruh dia membaca dongeng sebelum tidur yang cuma beberapa halaman, buku lift the flap, komik dan saya mulai kasih chapter book yang isinya berupa kumpulan cerita lepas dan membacanya tidak lebih dari 10 menit.

Lanjutkan membaca “Mengajak Jonathan Membaca”

Gadget non Screen untuk Belajar : LeapFrog Scribble and Write, Talking pen, Smart Pad

Ada beberapa gadget/mainan yang kami beli untuk belajar Jonathan dan Joshua yang  tidak ada screennya. Joshua bisa bermain cukup lama dan belajar cukup banyak dari mainan-mainan ini. Supaya tidak lupa, saya akan menuliskannya di sini.

LeapFrog Scribble and Write

Benda ini kami beli sejak Jonathan belajar menulis. Awalnya saya kurang setuju untuk membelinya, karena saya pikir ga ada bedanya dengan menulis di tablet Ipad/Android. Ternyata, setelah diperhatikan, untuk menulisnya anak akan belajar memegang pen nya seperti memegang alat tulis dan harus ditekan seperti menulis di atas kertas. Anak belajar tracing dengan mengikuti led yang menyala per pixel. Mainan ini mengajarkan menulis huruf besar dan huruf kecil, selain menggambar beberapa bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, garis, segiempat dan juga beberapa gambar bebas. Versi yang kami beli belum ada untuk menuliskan angka, terakhir kami lihat versi yang sama dengan ini sudah ada menuliskan angka juga.

Joshua dari sejak umur setahun sudah senang dengan mainan ini, awalnya dia suruh kami yang tracing dan dia mengamati saja, atau dia senang mendengar instruksi-instruksi yang diberikan untuk tracing ataupun menebak huruf. Kemampuan Joshua mengingat huruf A-Z dan a-z sebagian besar karena mainan ini.

My First SmartPad: Baby Einstein

Mainan Smartpad ini dibelikan sebagai hadiah ulang tahun Joshua ke-2. Seperti biasa, saya kurang setuju membelikannya karena menurut saya, Joshua sudah bisa ABC dan ga perlu lagi untuk dibelikan mainan ABC lainnya. Tapi alasan Joe: Joshua belum pernah dibelikan mainan bagus yang baru, semua mainan dia warisan dari kakaknya.

Dan dalam waktu singkat Joshua sudah bisa memainkan mainan ini dengan baik dan mengingat ejaan banyak kata-kata yang ada dalam bukunya. Dalam bundle yang dibeli, selain smart pad, disertakan juga buku yang mengajarkan kata-kata berawalan a sampai z, mengeja warna dan benda-benda yang memiliki warna tertentu, musik, dan lain-lain. Mainan ini juga menanyakan huruf awal dari sebuah kata.

Mainan ini membantu menambah banyak kosa kata Joshua, dan juga mengenali huruf awal dari sebuah kata. Setelah main dengan smartpad ini, Joshua sangat cepat mencari huruf untuk mengeja kata-kata yang ada dalam bukunya. Dia juga belajar untuk mengetik di keyboard komputer papanya dan bisa mengetik A-Z dan angka-angka dengan cukup cepat.

Talking Pen

Kami tertarik dengan talking pen  karena Joe pengen bisa ngoprek mainan ini (walaupun sampai sekarang dia belum sempat membuat sesuatu dari benda ini).  Talking pen yang kami beli ini bisa untuk belajar 3 bahasa (Inggris, Thai dan Mandarin), tapi kami beli untuk bahasa Inggris dan terutama bahasa Thailand.  Pulpen ini bisa membaca buku khusus yang sudah ada mark nya di dalamnya, buku yang diterbitkan sudah sangat banyak. Ketika membeli paket pulpennya, kami mendapat banyak buku dan flashcard yang sampai sekarang belum habis dimainkan anak-anak. Kami akhirnya beli 2 pulpen karena awalnya Joshua dan Jonathan selalu berebutan untuk memainkannya. Joe bilang, ya beli 2 nanti yang 1 buat dia program kalau anak-anak udah bosan mainannya.

Mainan ini agak lama tidak dimainkan karena repot membereskan tiap kali selesai main. Tapi belakangan ini, sejak kami stop tontonan, mainan ini kami keluarkan lagi. Sejak mulai main dengan talking pen, Joshua tertarik untuk mengenali huruf Thai. Awalnya dia suka untuk mendengarkan saja, sekarang dia sudah hampir mengingat 44 huruf konsonan Thai dalam waktu seminggu.

Mainan-mainan ini memang agak mahal harganya, tapi kalau dilihat dari kegunaan dan memang cukup lama dimainkan, rasanya mainan ini sudah sangat terpakai dan dipakai oleh 2 anak. Untuk talking pen, nantinya saya juga ingin pakai untuk belajar mandarin.

Selain mainan yang menggunakan baterai, ada banyak juga mainan lain yang membantu anak-anak untuk belajar menulis dan membaca. Mainan favorit Joshua yang sering dia pakai adalah: white board + spidol, huruf2 magnetik, eva mat yang bermotif huruf dan magnetik drawing board.