Buat saya gak selalu gampang.
Saya berusaha menuliskan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Berusaha mengurangi menulis yang isinya keluhan semata dan mencari topik yang membuat orang lain merasa lebih baik setelah membacanya.
Ada idealisme untuk menuliskan hal-hal yang jelas sumbernya dan jelas sampainya ke pembaca. Butuh waktu untuk memformulasikan berbagai berita yang dibaca untuk dijadikan satu tulisan sendiri. Tapi sepertinya, di jaman sekarang, di saat arus informasi begitu derasnya, para profesional di bidang media sepertinya kurang mementingkan memeriksa fakta. Mereka berlomba untuk menuliskan berita terkini paling dulu.
Bukan hanya di masa pandemi ini saja, dari dulu setiap ada kasus yang ramai dibicarakan, setiap media berlomba memberitakannya. Bisa puluhan artikel terbit yang bedanya hanya 2 kalimat, yaitu kalimat judul dan kalimat penutup. Memang, media online berbeda dengan media cetak. Untuk tampil di media cetak, sebuah artikel pasti ada batas minimum jumlah kalimat, tapi untuk tampil di media online sepertinya berita berupa foto dengan keterangan foto saja sudah cukup untuk dilengkapi kemudian.
Kemampuan baca generasi online juga kabarnya tidak sama dengan kemampuan baca generasi offline. Jadi kalau melihat artikel dengan tulisan semua tanpa gambar, sudah hampir dipastikan banyak orang akan melewatkan beritanya dan hanya baca judul dan paragraph pertama saja.
Satu hal yang saya tidak suka dari artikel berita masa kini adalah, kadang-kadang jurnalis online mengutip beberapa tulisan dari media pribadi (blog, twitter, bahkan komen instagram) dan menuliskannya seolah-olah dia mewawancarai orang yang bersangkutan.
Ya memang secara tidak langsung, mereka memberi kredit terhadap penulisnya, tapi kenapa harus menuliskannya dengan gaya bahasa: menurut informasi yang kami peroleh dari mr. X , bla bla bla. Padahal ya sebut saja menurut blog si mr.X pendapatnya begini loh…. Penulisan seolah-olah ditanya langsung, padahal minta ijin mengutip tulisan aja kadang-kadang tidak dilakukan. Entahlah, apakah hal tersebut tidak diatur dalam kode etik jurnalisme ?
Menulis blog saja buat saya ga gampang. Kadang-kadang saya harus berpikir untuk menuliskan tanpa membuat orang lain tersinggung. Hal lain yang perlu dipikirkan juga bagaimana membuat tulisan yang ada gunanya. Kalau tulisannya tidak berguna, sudah saja tulisannya simpan jadi diary.
Menulis di media online itu harus ada filternya. Misalnya di jaman pandemi, kita gak bisa serta merta mengomentari setiap berita yang kita baca dan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan. Belakangan ini, selain mendapatkan tulisan yang menyejukkan hati ketika dibaca, banyak juga terusan video yang mengajak untuk mempermalukan orang-orang hanya karena pendapat mereka berbeda di awal maraknya Covid-19 dan setelah diresmikan jadi status pandemi.
Hal lain yang juga mengesalkan dari tulisan di media online, bahkan media berita yang sudah punya nama terkadang nulis berita itu sering menggunakan istilah yang salah. Padahal dengan menggunakan istilah yang salah, malah bikin beritanya jadi tambah ngawur.
Salah satu kata yang paling sering digunakan di masa pandemi ini adalah: lockdown. Media berlomba memberi list negara yang di lockdown. Waktu saya membaca kalau Thailand termasuk dalam negara yang lockdown, saya mengernyitkan kening karena sebagai yang tinggal di Thailand, saya tahu sampai saat inipun Thailand belum lockdown. Banyak aturan diberlakukan yang bisa ditambahkan setiap saat, tapi tidak ada lockdown di Thailand. Mau berbelanja keluar rumah gak perlu pakai ijin, cuma perlu pakai masker!
Ah ujung-ujungnya tulisan ini jadi ngomongin covid-19 related lagi deh. Padahal tadinya mau nulis secara general hehehehe. Intinya, menulis itu ga selalu gampang, tapi kalau udah nulis ya tuliskan hal yang berguna, bisa dipertanggungjawabkan dan jelas sumbernya. Bahkan menuliskan fiksi aja bisa jadi perkara kalau terlalu ada kesamaan fakta dan nama.