Ada gak yang mengalami apa yang saya alami. Sekarang ini, setiap melihat foto atau video di mana ada banyak orang ramai-ramai berkerumun, yang pertama terpikir adalah: “Wah mereka kok tidak jaga jarak aman”. Pikiran berikut:”Kok ga pada pake masker sih!” Kemudian saya tersadar, lah itukan foto dan video lama, bukan baru-baru ini.
Tapi jangankan lihat foto dan video lama, kalau melihat drama yang masih on-going tayang setiap minggu saja, saya berpikir: “Wow mereka berani sekali ya tetap produksi film. Kira-kira apa yang mereka lakukan untuk merasa aman di antara kru film atau artisnya tidak ada yang jadi spreader? apakah mereka mengadakan rapid test terlebih dahulu dan mengisolasi kelompok mereka supaya tidak berinteraksi sama sekali dengan dunia luar? Kira-kira kalau ada aktor atau kru film nya yang mengalami gejala, apakah mereka akan berhenti produksi seketika?”
Parah ya? Setelah kurang lebih 3 minggu di rumah saja dengan segala himbauan untuk jaga jarak aman dan memakai masker, rasanya sudah seperti dicuci otak saja. Gimana dengan orang-orang di Wuhan yang katanya lockdown selama 76 hari? Kira-kira setelah berapa hari kondisi di Thailand akan kembali normal?
Himbauan untuk menutup sekolah-sekolah dan lembaga kursus di Thailand di mulai sejak 18 Maret 2020, awalnya direncanakan sampai 30 Maret saja. Pada waktu itu bahkan belum ada rencana pembatalan Festival Songkran dan pesawat domestik dan internasional masih banyak beroperasi.
Lalu, karena semakin banyak kasus positif di seluruh Thailand, setiap hari peraturan bertambah, dan sekarang ini setelah semua sekolah ditutup, Kementrian Pendidikan Thailand mengumumkan tahun ajaran baru yang biasanya dimulai bulan Mei akan diundur dan mulai lagi 1 Juli 2020. Untuk sekolah Internasional, dipersilahkan mengatur tahun ajaran sendiri asalkan pelaksanaanya ya dari rumah masing-masing.
Dengan pengumuman ini, berarti sekolah dan lembaga kursus di Thailand diliburkan selama kurang lebih 100 hari. Selain aturan sekolah, kantor-kantor belum semuanya bekerja dari rumah. Beberapa orang yang kerjanya di mall tentunya sudah dirumahkan karena mall tidak boleh buka kecuali yang menjual makanan saja. Semua orang di luar rumah wajib memakai masker. Beberapa bis antar kota sudah berhenti beroperasi.
Seminggu ini juga mulai diberlakukan jam malam. Setiap hari jam 10 malam sampai jam 4 pagi, dilarang keluar rumah. Yang saya heran, setiap harinya ada saja yang melanggar aturan dan entah sengaja entah gak keburu pulang, dan jumlah yang melanggar aturan curfew ini lumayan banyak. Beberapa yang terjaring curfew itu wartawan. Ngapain wartawan masih berkeliaran malam-malam? ya apalagi kalau bukan ingin mendokumentasikan jalanan yang sepi (tanpa mikir kalau dia sudah melanggar aturan curfew).
Dari hasil razia, orang-orang yang melanggar curfew ini umumnya juga sedang minum alkohol bareng dengan teman-temannya. Jadi sepertinya mereka cukup yakin kalau kelompoknya ini orang-orang yang bebas virus, mereka tidak ingat kalau salah satu cluster pertama yang banyak menyebar itu dari 11 orang party goers di Bangkok yang minum bareng di club malam.
Mulai hari ini dan 10 hari ke depan, alkohol dilarang diperjualbelikan di Chiang Mai dan beberapa daerah lainnya di Thailand. Di Phuket, mulai 13 April sampai 26 April mendatang, selain setiap orang diminta tinggal di rumah selama 14 hari, akan ada pemeriksaan ke rumah-rumah untuk mengetest sebanyak-banyaknya penduduk Phuket. Beberapa daerah lain juga menutup akses keluar masuk dan secara ketat memeriksa setiap orang yang lewat lintas antar propinsi.
Kadang-kadang terpikir, sebenarnya hanya butuh 1 aturan: di rumah saja! Tapi sepertinya, karena setiap orang punya kebutuhan masing-masing, mereka selalu punya alasan untuk tidak di rumah saja, lalu jadilah pemerintah menambahkan aturan supaya memaksa orang di rumah saja.
Daripada memikirkan apa saja aturan yang sudah keluar dan sampai kapan semua aturan itu berlaku, sebenarnya paling gampang memang: ya udah di rumah saja. Iya, gak semua orang bisa di rumah saja. Tapi banyak juga masih orang-orang yang seharusnya bisa di rumah saja, memilih untuk tidak di rumah saja karena alasan: bosan ah di rumah saja. Atau mungkin mereka menganggap yang di rumah saja itu sama virus aja takut? Atau mereka yakin kalau mereka keluar rumah dengan memakai masker dan rajin cuci tangan pasti aman.
Sayangnya, kalau tidak semua orang sepakat untuk menurut himbauan di rumah saja, ya usaha sebagian besar orang yang di rumah saja akan jadi sia-sia, karena pemerintah makin kalang kabut dengan bertambah banyaknya jumlah pasien setiap hari, bertambah banyaknya jatuh korban termasuk dari tenaga kesehatan. Bertambahnya kebutuhan untuk alat pelindung diri buat tenaga kesehatan yang kabarnya hanya bisa sekali pakai (kebayang sampahnya ada berapa banyak). Dan tentunya ekonomi yang makin terpuruk. Terus akhirnya yang dipersalahkan siapa? kembali lagi selalu orang lain yang salah.
Saya tidak bisa bayangkan, kalau sampai 100 hari di rumah saja dan selalu memikirkan untuk jaga jarak aman, entah bagaimana perasaan nantinya setelah boleh berinteraksi seperti dulu lagi. Apakah saya malah jadi orang aneh yang akan selalu takut untuk salaman atau ngumpul-ngumpul dengan teman-teman. Berapa lama setelah larangan ini dicabut, saya akan berani untuk pergi ke gereja? Berapa lama setelah larangan ini dicabut saya akan ajak anak-anak untuk ke tempat kursusnya lagi? Berapa lama setelah larangan ini di cabut, kami berani untuk ke tempat bermain anak-anak lagi. Baru 3 minggu saja saya sudah selalu memikirkan: “ih kok ga jaga jarak aman sih!”.
Kemarin, saya dapat kabar dari pembantu saya kalau menantunya kehilangan bayinya di usia kehamilan 7 bulan. Ceritanya menantunya ini sudah 2 kali sebelumnya hamil dan belum 3 bulan keguguran. Untuk kehamilan ke-3, sejak usia kehamilan 5 bulan dokter sudah bilang kalau amniotik nya agak kurang dibandingkan normal, tapi bayinya masih sehat dan berkembang.
Bulan lalu, menantunya tidak ke dokter kandungan (atas arahan dari dokternya), alasannya apalagi kalau bukan: sekarang ini di rumah sakit ada banyak bahaya lain, jadi selama bayi terasa bergerak, semua baik-baik saja. Lalu, hari Minggu lalu dia pendarahan. Tengah malam di bawa ke rumah sakit dan menurut pemeriksaan bayinya masih baik-baik saja. Ada beberapa pilihan: tetap dipertahankan sambil menunggu waktunya, atau dioperasi caesar tapi ada bahayanya untuk bayi dan juga ibuya. Kemungkinan hidupnya hanya 50 persen untuk bayi dan ibunya.
Di saat mereka masih mempertimbangkan apa langkah yang harus dilakukan, ternyata bayinya membuat keputusan sendiri. Bayinya keluar sendiri dan sudah tidak bernyawa lagi. Saya mendengar ceritanya sedih bukan kepalang. Apalagi katanya bayinya sudah lengkap. Mereka memberi nama bayi itu dan menyerahkan urusan penguburan ke rumah sakit. Kenapa? ya kenapa lagi kalau bukan karena situasi Covid ini. Bahkan untuk berduka saja saat ini orang-orang tidak bisa berduka dengan normal!. Dan semua ini akan tambah lama berlangsungnya kalau tidak semua orang bisa tertib mengikuti himbauan dan aturan yang ada.
Lalu, hari ini kalau bahasa Inggrisnya Good Friday – diterjemahkan langsung jadi hari yang Jumat yang baik, tapi di dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan sebagai Jumat Agung, salah satu hari besar yang diperingati oleh umat Kristiani. Dan hati ini terasa semakin sedih.
Hari Jumat Agung bukan merupakan hari libur di Thailand, biasanya kami juga tidak sempat untuk datang kebaktian karena kebaktiannya jam 7 malam. Hari ini kami bisa mengikuti kebaktian online (bahkan kalau mau bisa memilih beberapa kebaktian online lainnya dari gereja yang ada di Indonesia). Tapi tetap saja rasanya hati ini sedih.
Kesedihan ini sepertinya karena memikirkan kenapa setelah saya menerima Kasih Karunia, saya masih merasa marah ketika melihat orang-orang yang melanggar aturan yang diserukan pemerintah untuk jaga jarak aman alias physical distancing ini. Kenapa saya tidak bisa tetap mengasihi mereka terlepas dari tindakan mereka yang salah? Bukankah kita diajarkan untuk membenci dosa nya bukan pendosanya? Lagian mana ada sih manusia yang tidak berdosa. Saya juga termasuk tidak bebas dari dosa. Hanya karena kasih karunia saja maka saya bisa diselamatkan.
Baiklah tulisan ini saya akhiri, karena sebentar lagi mau mengikuti ibadah Jumat Agung online. Selamat memperingati Jumat Agung dan menyambut hari Paskah untuk kita yang merayakannya.