Walaupun belum tahu kapan pandemi ini berakhir, saya ingin berangan-angan. Melihat cara-cara manusia beradaptasi terhadap situasi khusus di masa pandemi, saya berharap beberapa hal bisa tetap dilakukan pasca pandemi. Namanya juga harapan, belum tentu terwujud, tapi ya namanya juga angan-angan.
Pernikahan Tanpa Resepsi Mewah
Esensi pernikahan itu untuk mengikat janji sehidup semati menjadi suami istri. Sebelum pandemi, ada banyak sekali saya membaca pengantin baru yang harus menanggung beban membayar hutang pesta pernikahan yang hanya sehari itu.
Resepsi pernikahan berupa pesta mewah yang menghabiskan biaya banyak itu tidak ada gunanya. Mungkin banyak yang tidak setuju dan berpendapat kalau pesta itu untuk berbagi kebahagiaan. Tapi apa iya berbagi kebahagiaan kalau akhirnya harus menghabiskan dana yang tidak sedikit dari kerabat yang memaksakan diri datang, terutama dari luar kota, atau bahkan dari luar negeri? Ongkos pesawatnya kalau dijadikan amplop hadiah pengantin rasanya bakal bikin pengantin merasa wow, bisa buat nambah bayar uang muka beli rumah.
Dari pihak pengantin, mengeluarkan biaya tidak sedikit juga. Mulai dari sewa gedung, sewa fotografer, bayar katering makanan, bayar pemusik untuk hiburan, bayar seragam kalau misalnya ada keluarga yang menuntut seragam. Belum lagi untuk baju pengantin yang hanya akan dipakai sekali lalu disimpan dalam lemari.
Bisnis pernikahan memang bisnis besar dan melibatkan banyak pihak terutama wedding planner. Tapi nantinya wedding planner bisa berubah fungsi, bukan untuk merencanakan pesta, tapi bisa saja memberi nasihat keuangan untuk calon pengantin supaya bisa langsung punya rumah setelah resmi di hadapan Tuhan dan Negara.
Kalau mau membagi rejeki ke orang lain juga tidak dilarang. Wedding planner bisa jadi yang mengatur ke mana dana disalurkan atau sekedar memberi saran pilihan bulan madu jika memang dianggap perlu untuk berbulan madu. Bisa juga wedding planner ini yang mengatur supaya acara pernikahan didokumentasikan dengan baik atau kalau perlu disiarkan secara langsung ke handai tolan ya merekalah yang mengurusnya.
Meeting Online Tetap Ada
Saya masih ingat, saat dulu masih aktif bekerja, untuk menghadiri rapat yang berlangsung 2 atau 3 jam di Jakarta, saya harus berangkat subuh dari Bandung naik kereta api. Lanjut naik taksi ke lokasi rapat.
Selesai rapat, buru-buru pulang mengejar kereta atau travel. Belum lagi sampai ke rumah, tau-tau ditelpon bos karena ternyata besok ada rapat lain lagi di Jakarta. Rebahan saja belum, tapi sudah membayangkan untuk mengulangi hari yang sama untuk rapat yang hanya beberapa jam saja.
Andai waktu itu kegiatan rapat online bisa dilakukan, saya hanya perlu menyalakan komputer dari kantor di Bandung dan tidak menghabiskan waktu dan biaya perjalanan.
Memang, banyak yang bilang, kita belum siap dengan kegiatan online. Aplikasi rapat online saat ini tidak aman. Berarti waktunya untuk memikirkan membangun aplikasi rapat online yang dipakai di Indonesia. Saya yakin ada banyak programmer handal yang bisa membuat aplikasi meeting online yang aman, atau minimal untuk mengetes keamanan dari aplikasi tersebut.
Kegiatan rapat online membuat orang-orang tidak fokus waktu rapat? Ah, bahkan waktu rapat di kantor kecil saja terkadang ada kok yang terkantuk-kantuk. Intinya kalau rapatnya tidak langsung membicarakan pokok persoalan, memang bisa saja akan ada yang kehilangan fokus atau mungkin sambil main gawai.
Pilihan untuk Bekerja dari Rumah
Saya berharap bekerja di rumah menjadi sesuatu yang umum. Jadi untuk kami ibu-ibu muda tetap bisa bekerja tanpa harus memilih antara anak dan karir. Sebenarnya ini juga bisa untuk kaum bapak, katakanlah misalnya istrinya sedang sakit dan anaknya masih kecil dan butuh perhatian. Iya memang bekerja dari rumah ini biasanya tidak akan seefektif bekerja di kantor, tapi tergantung bidang pekerjaanya juga.
Untuk bisa bekerja dari rumah, syarat utamanya menurut saya punya ruang kerja yang tidak akan diganggu anak setiap saat. Selain itu tentunya koneksi internet yang cukup cepat untuk sewaktu-waktu kalau perlu berkomunikasi dengan rekan kerja lainnya.
Iya memang tidak semua pekerjaan bisa bekerja dari rumah, tapi lihat saja sekarang, berapa banyak yang memaksakan bekerja dari rumah? Bisa kan kalau ada pandemi? Terus kenapa tidak bisa setelah pandemi berakhir?
Pilihan untuk Belajar dari Rumah
Tidak semua anak bisa di homeschool, tidak semua orang tua bisa mengajar anaknya. Tapi di masa pandemi ini, tidak ada kata tidak bisa, semua dipaksa harus beradaptasi mengikuti aturan dari sekolah. Beberapa sekolah swasta mulai memiliki sistem belajar jarak jauh yang lebih baik dari sekolah lain. Beberapa orang tua mulai memikirkan untuk beralih ke homeschooling saja.
Kami tau anak butuh teman untuk bermain, tapi kami memutuskan untuk homeschooling lebih karena situasi. Anak yang sering sakit karena alergi, dan tidak bisa makan dengan cepat sehingga lebih sering tidak makan siang di sekolah dan menyebabkan semakin sering sakit. Kalau saja ada sekolah yang menerima anak diajar orangtuanya sekian hari di rumah dan sekian hari di sekolah, sepertinya akan cukup ideal. Sekolah harusnya cukup percaya kalau orangtua mampu mengajar anak, bukankan pendidikan itu berawal dari rumah?
Kalau mau lebih lagi, saya berharap ada sekolah yang mau berbagi kurikulum ke orangtua, lalu nanti anaknya hanya perlu mengikuti beberapa sesi online dengan guru dari jauh, dan mengikuti ujian online. Ah banyak maunya ya. Dengan begini kan saya bisa saja memasukkan anak ke sekolah di Indonesia walaupun berlokasi di manapun di dunia ini.
Penutup
Masih banyak harapan lainnya, tapi sepertinya cukup dulu hari ini. Saya akan menambahkannya lain kali kalau ada terpikir hal lain lagi. Untuk semua hal dalam angan ini bisa terlaksana ada 1 kesamaan yang dibutuhkan: koneksi internet yang super cepat. Tapi ya kabarnya sekarang sudah memasuki awal era 5G, bisa jadi semua harapan jadi kenyataan.