Dulu ganti handphone itu rasanya hal yang berat, ritualnya lama: nyari dulu model yang dimau setelah membandingkan spesifikasi dan harga (biasanya dulu pake tabloid pulsa), keliling-keliling BEC untuk membandingkan harga, dan setelah beli ditest dulu hardwarenya dan fitur-fiturnya. Dari sejak milih, bayar, mbaknya ngetes chargernya, lalu kami ngetes kamera, bluetooth dsb, bisa butuh beberapa jam. Setelah itu masih perlu install aneka software buat memindahkan isi phonebook dari komputer ke HP baru.
Sekarang ganti HP udah biasa banget. Biasanya beli HP dilakukan karena butuh fitur tertentu untuk development (yang menghasilkan duit lagi). Beli HP bisa dilakukan dalam waktu beberapa menit saja. Nggak perlu dicek semuanya, bahkan chargernya pun nggak (karena semua sudah microusb, dan punya banyak sekali charger MicroUSB).
Sekarang saatnya review beberapa HP yang dibeli akhir-akhir ini. Dimulai dari yang terbaru dulu: Asus FonePad 6. Ini bukan produk yang baru keluar, saya memilih ini karena (1) nggak sabar nunggu ZenFone 6 (2) harganya sama dengan Zen Fone 6 (3) Layarnya lebih bagus dari ZenFone 6 (Full HD) (4) Ada Stylusnya. Tadinya pengen ZenFone 6 karena CPU-nya Intel, belum pernah punya HP dengan CPU Intel.
Sejauh ini saya senang sekali dengan layarnya yang besar. Batere sejauh ini cukup untuk pemakaian sehari-hari. Stylusnya cukup praktis, dan enak untuk main game Nintendo DS (dengan emulator). Kameranya mengecewakan (tapi udah tau sih sebelum beli, bahkan nggak ada flashnya). Yang bikin kecewa sebagai developer: boot loadernya locked, kernel modulenya harus signed (dan swap tidak diaktifkan, untuk RAM udah 2GB), rootingnya susah (mesti downgrade dulu). Tapi meski demikian saya masih puas memakai benda ini, dengan SD Card 32 GB (10 GB saya alokasikan untuk partisi Debian).
HP Sebelumnya adalah Nokia X, ini cuma dipakai sebulan (lumayan lah sempat untuk develop sebuah proyek). Saya sudah berusaha mengoprek benda ini, mulai dari rooting, menginstall google apps, menginstall Debian, mengganti launcher, dsb. Satu kata yang merangkum semuanya: HP ini lambat. Satu-satunya aspek bagus dari HP ini adalah: signalnya bagus, baik WIFI maupun 3G-nya.
HP Sebelumnya lagi adalah Nokia Lumia 620. Hardwarenya lumayan bagus, tapi softwarenya mengecewakan. Banyak sekali hal-hal kecil yang bikin kesal. App Storenya masih sedikit, dan algoritma searchnya ngaco banget. Misalnya kita cari “Facebook”, aplikasi resminya nggak muncul di awal. Lalu kalau kita ketemu app tertentu (yang ternyata sudah kita install), maka akan muncul teks “installed”, tapi tidak ada shortcut untuk “open” aplikasi tersebut. Jadi kita perlu kembali lagi ke depan, search lagi nama aplikasi itu. Font judul aplikasi besar sekali, jadi layar tidak optimal.
Lalu berikutnya iMobile IQ9, yang merupakan HP Android lokal Thai (rebranding merk China). HP ini memuaskan, ini yang bikin saya sadar bahwa ternyata saya suka HP yang layarnya besar, sayangnya benda nggak ada slot SD Cardnya.
Bersamaan dengan itu saya memakai Dev Alpha C dengan OS BB10, tapi karena keyboardnya rusak, devicenya saya jual. Dev Alpha C ini cukup enak, cepat, kameranya bagus, keyboardnya sangat bagus. Mundur lagi, saya memakai Z10 hadiah dari BlackBerry. HP ini sangat nyaman dipakai, cepat, kameranya bagus, sayang appsnya kurang banyak, dan walaupun ngetiknya enak, lebih enak lagi pake dev alpha C.
Mundur ke 2 tahun lalu, saya memakai Blackberry Curve 8520. Handphone ini murah, keyboardnya enak, dan cukup cepat. Kameranya jelek banget. HP ini terutama saya gunakan untuk development aplikasi yang memakai BBOS 7.
Sementara Risna saat ini memakai iPhone 5S, sebelumnya sama-sama memakai Dev Alpha C dan Z10, dan sebelumnya lagi memakai Blackberry Storm.
Kayanya saya sering banget ganti-ganti HP, sampai ada yang comment kalau saya ganti HP kayak ganti tas aja.